Anda di halaman 1dari 9

1.

Oksitosin Secara fisiologis, oksitosin merupakan non peptida yang disintesis di dalam badan sel supraoptik dan neuron paraventrikuler serta dibawa sepanjang akson menuju ke lobus neural hipofisis posterior dan oksitosin siap disekresi oleh hipofisis bagian posterior. Kadar oksitosin dalam plasma meningkat selama kehamilan, meskipun tidak menyolok. Sensitivitas uterus terhadap oksitosin juga makin meningkat dengan makin bertambahnya usia kehamilan. Oksitosin merangsang terjadinya kontraksi miometrium. Oksitosin tidak terlibat dalam fase pertama persalinan sehingga infus oksitosin relatif tidak efektif dalam menginduksi persalinan pada kehamilan dengan serviks belum matang dan tidak ditemukan bukti bahwa oksitosinmenginduksi pembentukan gap junctiondi antara selsel miometrium. Bukti lain yang mengurangi kemungkinan oksitosin untuk inisiasi persalinan adalah bahwa kadar oksitosin selama kehamilan relatif tetap atau kenaikannya sedikit (Berlick, 2002). Oksitosin sebagai uterotonika yang poten tidak diragukan terutama pada persalinan fase dua. Kemungkinan oksitosin berperan mengoptimalkan proses persalinan dengan bekerja secara sinergis dengan uterotonin yang diproduksi di jaringan uterus. Selain kadaroksitosin, kekuatan kontraksi uterus juga dipengaruhi adanya reseptor oksitosin yang terletak pada membran plasma miometrium dan secara fisiologis merupakan reseptor spesifik untuk oksitosin (Berlick, 2002). Oksitosin memberikan hasil yang baik pada pemberian perenteral, juga cepat diabsorbsi di mukosa mulut dan bukal, sehingga memungkinkan pemberian per oral sebagai tablet isap.Waktu paruh oksitosin sekitar 12-17 menit. Oksitosin diinakfikan

oleh oksitosinase yang dihasilkan oleh plasenta dengan jalan memecah ikatan peptida dan sebagaian besar diekskresikan oleh ginjal dan hati (Cunningham, 2005).

2. Prostaglandin Prostaglandin adalah hormon yang dibuat oleh berbagai organ dan efeknya sangat beraneka ragam.Senyawa ini merupakan 20 carbon hydroxyfatty acid dengan rangkaian cyclopectan dan dua buah rantai samping. Berdasarkan susunan cyclopectan tersebut dikenal prostaglandin A, B, E, dan F. Lokasi hidroksi dan jumlah rantai tak jenuhnya menunjukkan jenis seperti PGE1, PGE2, PGF1 , PGF2 , dan sebagainya. Pada manusia asamarakidonat merupakan prekusor prostaglandin PGE dan PGF mempunyai efek yang penting dalam proses persalinan (Cunningham, 2005). Biosintesis prostaglandin dimulai dari perubahan asam arakidonat yang terdapat dalam bentuk ester di dalam fosfolipid dapat dilepaskan oleh enzim fosfolipase A2 terutama bila ada rangsangan kimiawi dan mekanis. Setelah terbentuk asam arakidonat, maka selanjutnya dimetabolisme melalui dua sistem enzim. Enzim lipooksigenase mengubah asam arakidonat menjadi peroksida lipid 12-hidroperoksi-asam-eikosa-tetraenoat (12-HPETE), 12-HETE, dan leukotrien. Hasil katalisis ini hanya ditemukan pada paru-paru, tombosit, dan leukosit.HETE dan HPETE yang terbentuk mempunyai efek kemotaktik terhadap sel-sel polimorfonuklear dan mungkin berpengaruh pada reaksi peradangan (Cunningham, 2005). Enzim siklooksigenase (terdapat dalam mikrosom) akan mengubah asam arakidonat menjadi endoperoksida siklik, PGG2, dan PGH2. Kedua peristiwa ini tidak stabil, selanjutkannya akan mengalami isomerisasi secara enzimatik dan non enzimatik dianggap

menjadi PGE, PGF, dan PGD. Selain itu PGH juga dapat dimetabolisme menjadi prostasiklin (PGI2) oleh enzim prostasiklin sintetase dan tromboxan A2 (TX A2) oleh enzim sintetase (Cunningham, 2005). Pengaruh prostaglandin dalam persalinan dapat dijelaskan sebagai suatu perubahan kompleks pada janin dan ibu.Pada janin, sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal tidak hanya mempengaruhi produksi steroid di plasenta, tetapijuga mempengaruhi komposisi cairan amnion yang disekresi dari paru dan ginjal.Perubahan ini juga merupakan isyarat kepada uterus termasuk serviks dan miometrium. Membran-membran janin merupakan faktor biologis penting yang selama ini (pada sebagian besar masa kehamilan) dianggap diam. Hal itu membentuk hubungan antara permukaan yang dinamis di dalam uterus yaitu antara amnion (sumber utama PGE2), desidua (sumber utama PGF1 ), dan korion (sumber utama prosiaglandin dehidrogenase PGDH) yang berada diantara amnion dan desidua (Cunningham, 2005). Pematangan serviks diyakini ada hubungannya dengan dua peristiwa utama yaitu pemecahan kolagen dan perubahan jumlah relatif pada berbagai glikosaminoglikan. Asam hialuronat merupakan zat yang dihubungkan dengan kapasitas suatu jaringan untuk menahan air. PGE2 merupakan vasodilator, meningkatkan permeabilitas di dalam serviks sehingga neutrofil dari sirkulasi ibu dapat memasuki stroma dari jaringan di serviks. Interleukin 1 (IL-1) yang dihasilkan di serviks akan menarik dan mengaktifkan netrofil yang merupakan sumber penting kolagenase. Pengendalian PGE2 di dalam uterus diatur oleh aktifitas PGDH yang dihasilkan di dalam korion dan merupakan enzim yang bertanggung jawab terhadap degradasi PGE2 (Bricker, 2002). Terjadinya kontraksi pada miometrium dimungkinkan oleh adanya gap junction

yang timbul pada saat awal persalinan. Bukti in vivo dan in vitro pada binatang menjelaskan bahwa progesteron menghambat pembentukan gapjunction. Prostaglandin juga dipercaya berperan pada pembentukan gap junction. Efek stimulan dari PGE2 dan PGF2 adalah dengan cara meningkatkan konsentrasi Ca2+ bebas intraseluler, proses ini menghasilkan aktivasi miosin light chainkinase, fosforilasi miosin, dan kemudian interaksinya dengan aktin (Bricker, 2002).

a. Prostaglandin E2 Aplikasi lokal gel prostaglandin E2 (dinoproston) banyak digunakan untuk mematangkan serviks. Perubahan histologis yang terjadi mencakup pelarutan serabut kolagen dan peningkatan kandungan air submukosa. Perubahan-perubahan pada jaringan ikat serviks aterm ini serupa dengan yang ditemukan pada awal persalinan. Rayburn (1989) mengkaji pengalaman kumulatif dengan preparat prostaglandin E2 intraservikal atau intravaginal pada lebih dari 5.000 kehamilan yang berasal dari 70 lebih uji klinis prospektif. Rayburn menyimpulkan bahwa prostaglandin E2 lebih baik daripada plasebo dalam meningkatkan pematangan dan pembukaan serviks (Cunningham, 2005). Proses pematangan serviks yang dipicu oleh prostaglandin sering mencakup inisiasi persalinan. Selain itu, dengan inisiasi persalinan, persalinan yang ditimbulkan serupa dengan inisiasi persalinan dengan persalinan spontan normal. Pemakaian prostaglandin E2 dosis rendah meningkatkan kemungkinan keberhasilan induksi, mengurangi insidensi persalinan yang berkepanjangan, dan mengurangi dosis oksitosin maksimal dan total. Sekitar separuh dari wanita yang mendapat

prostaglandin E2 memasuki persalinan dan melahirkan dalam 24 jam. Manfaat prostaglandin terhadap angka seksio sesaria tidak bermakna (Cunningham, 2005). Efek samping prostaglandin E2 berupa hiperstimulasi uterus. Hiperstimulasi uterus didefinisikan sebagai enam atau lebiih kontraksi dalam 10 menit untuk total 20 menit. Angka hiperstimulasi uterus yang pernah dilaporkan sekitar 1 % untuk gel intraservikal (dosis 0,5 mg) dan 5 % untuk gel intravaginal (dosis 2 sampai 5 mg). Oleh karena dapat terjadi hiperstimulasi yang serius atau gangguan janin apabila prostaglandin digunakan pada persalinan, maka pemakaian pada keadaan ini umumnya tidak diperbolehkan. Apabila terjadi, hiperstimulasi biasanya mulai dalam 1 jam setelah aplikasi gel atau supositoria. Tindakan mengeluarkan supositoria vagina dengan menarik bagian ekor dari jaring yang mengelilingi preparat ini biasanya akan meredakan efek tersebut. Irigasi serviks dan vagina untuk mengeluarkan gel belum terbukti bermanfaat (Cunningham, 2005). Efek sistemik, termasuk demam, muntah, dan diare akibat prostaglandin E2 dosis rendah hampir dapat diabaikan. Setiap produk prostaglandin E2 harus diberikan secara hati-hati dengan glaukoma, gangguan hati atau ginjal yang parah, atau asma. Prostaglandin E2 adalah suatu bronkodilator, dan bahwa bronkokonstriksi atau perubahan tekanan darah yang bermakna belum pernah dilaporkan terjadi pada pemakaian gel dosis rendah. Kemungkinan skor Apgar yang rendah, perlunya resusitasi, keharusan perawatan di unit intensif, atau kematian perinatal tidak meningkat pada pemakaian prostaglandin E2 (Cunningham, 2005).

b. Prostaglandin E1

Misoprostol adalah suatu prostaglandin E1 sintetik dan tersedia dalam sediaan tablet 100 mcg untuk mencegah ulkus peptikum. Obat ini telah digunakan secara tidak resmi sebagai pematangan serviks prainduksi dan induksi persalinan. American College of Obstetricians and Gynecologist menyatakan bahwa pemberian intravagina 25 mcg selama tidak lebih dari setiap 3 sampai 6 jam sekali efektif bagi wanita yang serviksnya belum matang (Cunningham, 2005). Dosis misoprostol 50 mcg menyebabkan peningkatan takisistol, pengeluaran mekoneum, dan aspirasi mekoneum secara bermakna dibandingkan dengan prostaglandin E2. Peningkatan insidensi seksio sesarea akibat hiperstimulasi uterus dibandingkan dinoproston. Dosis 25 mcg setiap 3 jam menyebabkan penurunan secara bermakna efek merugikan dibandingkan dengan dosis 50 mcg. Laporanlaporan mengenai ruptur uteri pada wanita dengan riwayat bedah uterus sebelumnya menyebabkan pemakaian misoprostol dikontraindikasikan pada para wanita ini (Cunningham, 2005). Windrim (1997) melaporkan misoprostol per oral memiliki efektifitas untuk mematangkan serviks dan menginduksi persalinan setara dengan pemberian intravaginal. Bennett (1998) dan Toppozada (1997) mendapatkan adanya pemendekan interval sampai kelahiran pada aplikasi vaginal, tetapi lebih sering terjadi kelainan frekuensi denyut jantung janin. Adair (1998) menyimpulkan bahwa aplikasi oral dan vaginal sama efektifnya tetapi dosis oral 200 mcg berkaitan dengan peningkatan kelainan kontraktilitas uterus. Wing (1999) melaporkan bahwa misoprostol 50 mcg per oral kurang efektif dibandingkan dengan misoprostol 25 mcg pervaginam untuk mematangkan serviks dan menginduksi persalinan.

Dilaporkan juga bahwa dosis oral 100 mcg sama efektifnya dengan dosis 25 mcg intravaginal. Perlu lebih banyak informasi mengenai dosis optimal, rute pemberian misoprostol, kinetika penyerapan oral, penyerapan vaginal, dan pH vagina (Cunningham, 2005).

Interaksi antara Prostaglandin dan Oxytocin Oksitosin merupakan hormon yang sangat kuat, dikeluarkan oleh

neurohipofisis, yang mana merangsang secara langsung jaringan miometrium dan jaringan mioepitelial payudara. Oksitosin sangat cepat dimetabolisme dan waktu paruhnya berkisar antara 3-4 menit. Hanya ada sedikit bukti bahwa peningkatan kadar oksitosin maternal bertanggung jawab dalam memulai persalinan, tetapi kadar rendah oksitosin mungkin dibutuhkan sebagai faktor esensial. Sekali persalinan telah mulai, kadar oksitosin akan sangat meningkatkan kontraksi uterus yang intensif. Konsentrasi oksitosin yang ditemukan pada plasma ibu, janin, dan bayi yang baru dilahirkan tidak bermakna. Jadi, pengeluaran oksitosin dari hipofisis janin hanya berperan dalam fase ekspulsi dan postpartum. Pada kondisi postpartum, oksitosin menimbulkan kontraksi dan retraksi uterus sehingga jumlah perdarahan yang terjadi berkurang (Cunningham, 2005). Oksitosin meningkatkan kontraksi uterus dengan dua cara yaitu bekerja langsung pada sel otot polos uterus untuk berkontrasi dan merangsang pembentukan prostaglandin di lapisan desidua (Fuschs, 2002). Oksitosin dapat menstimulasi kontraksi uterus melalui mekanisme yang bebas dari konsentrasi kalsium intraseluler. Ditemukan bahwa konsentrasi Prostaglandin E

(PGE) dan Prostaglandin F (PGF) meningkat selama pemberian oksitosin.Oksitosin juga menstimulasi produksi PGE dan PGF dari desidua manusia.Penemuan ini menunjukkan adanya interaksi positif antara oksitosin dan prostaglandin sebagai tambahan terhadap aksi uterotonika dan mungkin pelepasan prostaglandin oleh oksitosin perlu untuk efisiensi kontraksi uterus selama persalinan (Bricker, 2002). Pembentukan proslaglandin oleh selaput janin dan desidua vera uterus diduga sebagai mekanisme biokimia akhir yang menyebabkan persalinan. Hal ini dapat diperlihatkan bahwa pemberian proslaglandin F2 atau prostaglandin E2 secara intravena, intraamniotik, atau ekstra ovular akan menyebabkan kontraksi

miometrium pada setiap umur dari kehamilan. Komplek multienzim berupa prostaglandin sintetase yang terjadi pada selaput janin dan desidua vera berperan sangat kuat, setidaknya prostaglandin memegang peran kunci dalam inisiasi persalinan. Lebih jauh dijelaskan, kadar prostaglandin akan meningkat dalam cairan amnion wanita yang sedang melahirkan, dan bahkan prostaglandin atau hasil metabolitnya akan meningkat pada darah perifer wanita hanya sebelum dan selama persalinan (Bricker, 2002). Besar kemungkinan bahwa dengan melalui sistem komunikasi organ dilakukan pengaturan aktivitas dari enzim-enzim didalam amnion sedemikian rupa sehingga diduga isyarat yang berasal dari janin akan mempercepat pelepasan asam arakidonat dan meningkatkan biosintesis prostaglandin di dalam amnion. Ada suatu mekanisme pengaturan aktivitas dari fosfolipase A2.Fosfolipase C yang spesifik terhadap fosfatidilinositol, diasilgliserol lipase dan dengan demikian

monoasilgliserol lipase, di amnion dan khorion sehingga terbentuk asam-asam

arakidonat yang selanjutnya terbentuk prostaglandin (Cunningham, 2005).

Anda mungkin juga menyukai