Anda di halaman 1dari 4

2.1.

Reaksi Masyarakat Terhadap Pers

Reaksi sosial terhadap pers dan pelaku kejahatan (penjahat) seperti yang telah Kita pahami bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang merugikan masyarakat sehingga terhadapnya diberikan reaksi yang negatif. Kita juga telah pahami bahwa reaksi terhadap kejahatan dan penjahat, dipandang dari segi pelaksanaannya. dilihat dari segi pencapaian tujuannya dapat dibagi menjadi dua yakni; Reaksi Represif dan Reaksi Preventif. Karena berbeda tujuannya maka secara operasionalnya pun akan berbeda, khususnya dari metode pelaksanaan dan sifat pelaksanaannya. 1. Reaksi Represif Secara singkat pengertian reaksi atau tindak represif adalah tindakan yang dilakukan oleh masyarakat (formal) yang ditujukan untuk menyelesaikan kasus atau peristiwa kejahatan yang telah terjadi, guna memulihkan situasi dengan pertimbangan rasa keadilan dan kebenaran yang dijunjung tinggi. Contoh kasus; tema (pembobolan ) 2. Reaksi Preventif Yang dimaksud dengan reaksi atau tindak preventif adalah tindak pencegahan agar kejahatan tidak terjadi. Artinya segala tindak-tindak pengamanan dari ancaman kejahatan adalah prioritas dari reaksi preventif ini. Menyadari pengalaman-pengalaman waktu lalu bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang sangat merugikan masyarakat maka anggota masyarakat berupaya untuk mencegah agar perbuatan tersebut tidak dapat terjadi. Selain reaksi represif dan reaksi preventif ada juga reaksi formal dan reaksi informal, 1. Reaksi Formal

Reaksi formal terhadap kejahatan adalah reaksi yang diberikan kepada pelaku kejahatan atas perbuatannya, yakni melanggar hukum pidana, oleh pihak-pihak yang diberi wewenang atau kekuatan hukum untuk melakukan reaksi tersebut. Sebagai suatu sistem pengendali kejahatan maka secara rinci, tujuan sistem peradilan pidana, dengan demikian adalah; (1) mencegah agar masyarakat tidak menjadi korban kejahatan, (2) menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, serta (3) mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi kejahatannya. Contoh kasus; tema (efek jera shaming/malu untuk para koruptor) Usul Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang didukung organisasi masyarakat sipil salah satunya, Indonesian Corruption Watch (ICW) untuk mengenakan simbolsimbol berupa pakaian khusus bagi tersangka pelaku korupsi. Hal ini semakin menarik ketika ICW secara khusus mengusulkan sejumlah rancangan pakaian khusus bagi koruptor tersebut. Sulit untuk melihat bahwa shaming dalam bentuk "pakaian khusus koruptor" masuk dalam reintegrative shaming. Tujuannya lebih pada membuat malu itu sendiri dan sebagian berpendapat untuk membuat jera. Perlu dipahami bahwa keinginan untuk membuat malu dan jera lebih melihat pada aspek kesalahan dari pelaku atau tidak melihat pada sejauh mana shaming bermanfaat untuk memulihan konflik. Namun, hal ini tidak sekaligus berarti reaksi yang diberikan justru melanggar hak-hak dari para pelaku koruptor. Terlebih lagi bila para koruptor yang dimaksud masih berstatus sebagai tersangka. Sederhananya, reaksi tetap harus melindungi hak tersangka untuk diduga tidak bersalah. Bila ini kembali dilihat dengan filosofi pemasyarakatan jelas tidak mendukung semangat memberikan reaksi formal yang manusiawi dan melindungi HAM.

Ketiga pertimbangan ini perlu diperhatikan dengan baik bila tujuan akhir dari setiap reaksi formal terhadap kejahatan adalah "meluruskan" kesalahan pelaku dan membuatnya diterima kembali di masyarakat. Ide "pakaian khusus koruptor" dalam hal ini masih terlalu jauh dari bermanfaat bagi upaya memerangi korupsi di negeri ini. Hal yang jauh lebih penting dalam menimbulkan penjeraan ini adalah kepastian bahwa proses hukum berjalan bagi siapapun yang melakukan korupsi dan kepastian bahwa hakim akan memberikan hukuman yang mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. Satu penjelasan teoritik tentang peran membuat malu pada pelaku kejahatan untuk tujuan mengintegrasikan kembali dirinya dengan masyarakat. Penjelasan teoritik tersebut disebut Reintegrative Shaming. Pelaku kejahatan cukup dibuat malu namun ditujukan untuk membuat dirinya dan masyarakat sadar atas kesalahan yang telah dilakukan. Dalam konteks tipologi kejahatan, memang tidak semua jenis kejahatan dapat dipulihkan dengan cara ini. Berkebalikan dengan reintegrative shaming, ada pula upaya membuat malu yang tidak ditujukan untuk reintegrasi pelaku, yaitu stigmatisasi. Dalam hal ini pelaku kejahatan cukup hanya dibuat malu dan lebih jauh dari itu juga menciptakan "rasa sakit" secara psikologis. Stigmatisasi secara simbolik juga memperlihatkan penolakan masyarakat bagi pelaku kejahatan. 2. Reaksi Informal Reaksi informal yang dilakukan bukan oleh aparat penegak hukum tetapi oleh warga masyarakat biasa. Masyarakat biasa di samping telah mendelegasikan haknya kepada aparat penegak hukum berhak saja bereaksi terhadap kejahatan dan penjahat sebatas mereka tidak melanggar peraturan yang ada. Dalam kasanah kriminologi, reaksi informal dari masyarakat itu lebih dikenal sebagai tindak kontrol sosial informal. Studi-studi memperlakukan beberapa aspek dari kontrol sosial informal pada tingkat komunitas ketetanggaan yang digunakan untuk membangun

tipologi dari definisi operasional dari kontrol sosial informal. Definisi operasional ditemui dalam dua dimensi yaitu; bentuk dan tempat

Oleh : Isnaeni, XII IPS 2

Anda mungkin juga menyukai