Anda di halaman 1dari 21

Sejarah Perkembangan Sistem Pertanian Desa Bajadolok

Nurhamidah Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN Desa yang kita kenal di negeri kita ini, sudah dikenal sejak zaman Hindu. Perkembangan sejarah kerajaan-kerajaan di Indonesia telah berlangsung berabad-abad lamanya, timbul dan lenyap dalam prosesnya masing-masing. Kekuasaan politik yang meliputi sebagian atau seluruh wilayah negeri ini silih berganti. Namun desa sebagai kesatuan pemerintahan yang terendah, tetap bertahan dan hidup terus. Bahkan selama itu pula susunan pemerintahan pada umumnya tidak mengalami perubahan yang berarti. Perkataan "desa" berasal dari Bahasa Sansekerta, yaitu "deca" yang berarti tempat, "daerah" atau "lapangan"1. Kemudian pengertian itu berkembang lagi menjadi tanah air, tanah asal atau tanah kelahiran. Istilah "desa" tidak dipakai di seluruh daerah di Indonesia. Masing-masing daerah menggunakan istilah sendiri, sesuai dengan bahasa daerahnya. Sebagai contoh, orang Sumatera Selatan menamakan desa mereka dengan istilah "dusun" atau daerah gabungannya disebut "pendopo" atau "marga". Desa di Sumatera Barat disebut dengan istilah "nagari" dan daerah gabungannya disebut dengan istilah "luhak". Di Sumatera Timur (Melayu) disebut "kampung", di Aceh disebut dengan istilah "gampong" atau "meunasah". Di Minahasa disebut "wauna", di Maluku disebut "negeri" atau "dati". Dan masih banyak lagi istilah-istilah lainnya. Pengetian desa yang dimaksudkan di sini adalah suatu daerah kesatuan hukum, yang merupakan tempat tinggal suatu masyarakat yang mempunyai kesatuan pemerintahan (terendah). Dalam pengertian ini, berarti desa adalah suatu daerah atau wilayah administratif yang terendah (dalam struktur pembagian wilayah-wilayah di Indonesia secara hirarkis) yang didiami oleh sekelompok masyarakat tertentu. Telah banyak lukisan tentang desa. Dari sekian banyak lukisan tentang desa itu, yang selalu digambarkan adalah tentang keindahan alamnya, kedamaian dan ketenteraman. Desa dalam sanjak seorang penyair, coretan seorang pelukis atau tulisan dan cerita seorang pelancong selalu digambarkan tentang suasana masyarakatnya yang ramah, aman dan damai, bentuk petak-petak sawah dan ladang yang teratur rapi, dihiasi dengan padi-padi yang menguning dan nyiur yang melambai-lambai, serta burung-burung yang beterbangan melintasi sungai-sungai yang mengalir penuh kedamaian dan ketenteraman.

S. Wojowasito ; kamus Kawi (Jawa-Kuno) Indonesia , Malang, CV.pengarang,1977, hal.60.

e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

Namun di balik itu semua, desa dalam perjalanan sejarahnya tidak setenang sanjaknya itu. Desa dalam perkembangannya berada dalam suatu gejolak, yaitu gejolak yang diciptakan oleh perubahan sosial ekonomis dan oleh harapan-harapan yang menyertainya. Desa di negeri kita ini, dalam sejarahnya yang paling baru tidak lagi dibungkus rapat-rapat. la mulai dimasuki oleh hasil kemajuan teknologi moderen. Dimulai dari teknologi pertanian moderen, seperti pupuk kimia, bibit padi jenis unggul, racun pemberantas hama dan sebagainya, sampai kepada barang-barang konsumsi baru seperti radio, tape recorder, sepeda motor dan sebagainya. Dalam rangka ini, berarti kita melihat desa itu dalam suatu proses sejarah, yaitu suatu perubahan masyarakat dalam zamannya, dan bukan melihat desa itu dari segi kacamata estetis yang penuh keindahan dan kedamaian. Perubahan dalam aspek tertentu dalam suatu kesatuan hidup masyarakat, selalu mempunyai implikasi pada aspek yang lainnya. Misalnya, perubahan yang terjadi dalam sistem pertanian suatu desa tertentu, akan selalu membawa akibat dalam struktur ekonomi dan struktur masyarakat desanya. Selalu juga akibat yang terjadi pada aspek yang lain itu, pada dasarnya berlawanan dengan perubahan yang dikehendaki semula oleh orang-orang yang membuat kebijaksanaan. Hal ini biasanya kurang disadari. Demikianlah dalam tulisan ini akan diuraikan tentang adanya proses perubahan yang demikian itu , yang dalam perjalanan sejarah, telah dialami oleh sebuah desa yang bernama Bajadolok di Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun. Kisah ini diawali dengan diubahnya sistem pertanian ladang menjadi sistem persawahan, sejak sekitar awal tahun 1960, yaitu dengan berhasilnya masyarakat setempat membuat irigasi yang berhasil mengairi sawah seluas lebih kurang 225 hektar. Tahap perubahan berikutnya pada akhir tahun enampuluhan, yaitu pada awal pelaksanaan program pembangunan lima tahun yang pertama sampai akhir tahun 1978, pada saat pemerintah berusaha meningkatkan produksi pangan (khususnya beras). Dalam usaha meningkatkan produksi beras itu, telah dimasukkan hasil kemajuan teknologi moderen, seperti pupuk kimia, bibit padi jenis unggul, racun pemberantas hama dan sebagainya. Studi yang kecil dan sederhana ini penting dalam beberapa hal. Studi ini diharapkan bernilai dalam suatu usaha untuk melihat dinamika masyarakat setempat dalam kurun waktu tersebut. la juga penting sebagai kasus yang mungkin merupakan pantulan dari gejala umum yang pernah terjadi pada masa lampau.

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG DESA BAJADOLOK Bajadolok adalah suatu desa yang terletak di sebelah Tenggara kota Pematang Siantar yang berhawa sejuk, di wilayah Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun. Jaraknya dari kota Pematang Siantar lebih kurang dua puluh satu kilometer. Dari kota kecil Tanah Jawa ke desa tersebut dapat ditempuh dengan mengendarai sepeda motor atau mobil. Jaraknya dari kota Tanah Jawa yang merupakan ibukota kecamatan itu kirakira dua kilometer. Apabila kita berjalan dari Tanah Jawa ke desa Bajadolok ini, kita harus melalui daerah perkebunan kelapa sawit, sejauh lebih kurang dua kilometer. Perkebunan kelapa sawit itu milit P.T. Perkebunan VII Dolok Sinembah. Di perkebunan inilah sebagian kecil

e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

penduduk desa Bajadolok bekerja sebagai buruh dan kehidupan mereka ini terikat oleh birokrasi perkebunan. Desa Bajadolok ini luasnya lebih kurang 15.234,5 km2, terletak memanjang dari arah Barat ke Timur menyusuri pinggiran sungai Bahkasinder. Mungkin, dengan adanya sungai itulah yang mendorong orang-orang dahulu mendirikan rumah-rumah tempat tinggal di situ, sehingga akhirnya terbentuk sebuah perkampungan, yang kemudian berkembang hingga sekarang ini. Di seberang sungai, di sebelah Utara daerah yang merupakan perkampungan itu, adalah daerah pertanian, yang memanjang ciri arah Barat ke Timur menyusuri sungai Bahkasinder itu juga. Luas daerah pertanian itu lebih kurang 225 hektar, yang terdiri dari daerah persawahan dan sebagian kecil daerah perladangan. Desa ini merupakan dataran tinggi. Di daerah persawahan tersebut, kelihatan di sana-sini bukit-bukit. Ketinggian daerah ini dari permukaan laut lebih kurang 378 meter. Curah hujan rata-rata 226,55 milimeter per bulan. Hujan banyak turun pada bulan-bulan September, Oktober dan Nopember. Desa ini terdiri dari enam buah kampung, yaitu : 1. Afdeling VII Dolok Sinembah 2. Afdeling VIII Dolok Sinembah 3. Kampung Jawa 4. Kampung Pagar jawa 5. Kampung Banua 6. Kampung Balimbingan. Kecuali Afdeling VII clan Afdeling VIII Dolok Sinembah, penduduknya bertani. Sedangkan penduduk yang tinggal di Afdeling VII dan Afdeling VIII Dolok Sinembah, walaupun secara administratif pemerintahan desa mereka tercatat sebagai warga Bajadolok, tetapi pada dasarnya, dalam kehidupan sehari-hari mereka lebih terikat pada peraturan-peraturan dari pihak perkebunan. Di desa ini, orang-orang tersebut lebih dikenal dengan sebutan "orang kebon". Karena sebagian besar fasilitas hidup mereka disediakan oleh pihak perkebunan, seperti perumahan, hiburan, pakaian dan sebagainya. Mereka ini tinggal dalam satu komplek perumahan yang disediakan untuk mereka, yang disebut dengan istilah "pondok". Mereka ini mempunyai ikatan-ikatan solidaritas tersendiri antara masing-masing warga pondok, yang terlepas dari kampung lainnya. Khusus bagi kehidupan orang-orang ini tidak menjadi obyek penelitian, karena sejarah perkembangan kehidupan mereka lebih ditentukan oleh kebijaksanaan pihak perusahaan perkebunan daripada oleh adanya faktor lain. Desa Bajadolok ini penduduknya hampir sembilan puluh persen adalah suku Jawa, dan lebih kurang sepuluh persen lagi suku Batak Simalungun dan suku lainnya. Penduduk ash daerah ini dahulu adalah orang-orang Simalungun. Kapan orang-orang Jawa tersebut mulai masuk ke desa ini tidak diketahui secara pasti. Kampung-kampung di desa Bajadolok ini dapat dibagi-bagi menurut kelompok etnis yang mendiaminya, karena tiap-tiap kelompok etnis tersebut hidup berkelompok terpisah dengan kelompok etnis lainnya. Kampung-kampung yang didiami oleh orang Jawa, yaitu . Kampung Jawa, Kampung Balimbingan gena Afdeling VII dan Afdeling VIII Dolok Sinembah. Sedangkan Kampung Banua dan Kampung Pagar Jawa didiami oleh orang Batak Simalungun.

e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

Perbedaan kelompok etnis yang mendiami kampung-kampung di desa ini, telah pula membedakan bentuk-bentuk dan susunan serta letak-letak rumah di kampung itu. Di kampung yang didiami orang Batak Simalungun (Kampung Banua dan Kampung Pagar Jawa) bentuk dan susunan serta letak rumahnya tidak berbeda dengan perkampungan khas orang-orang Simalungun. Kampung itu didiami sekelompok keluarga secara genealogis. Jadi mereka ini merupakan persekutuan yang bersifat teritorial genealogis. Oleh karena itu jumlah mereka ini, dibandingkan dengan orang Jawa di situ merupakan golongan minoritas. Keadaan yang demikian itu kelihatannya tetap saja, dari dahulu hingga sekarang. Sedangkan kampung yang didiami oleh orang Jawa (kecuali Afdeling VII dan Afdeling VIII Dolok Sinembah) menggambarkan ciri khas Jawa. Rumah-rumah didirikan terpencar-pencar, tetapi selalu diusahakan menghadap ke jalan yang lebih besar. Halaman rumah selalu bersih, tanpa ditumbuhi oleh rumput-rumput atau bunga-bunga perhiasan yang banyak. Ini gunanya untuk menjemur padi pada waktu musim panen. Jarak antara satu rumah ke rumah lainnya selalu agak jauh. Karena rumah-rumah selalu terletak di tengah-tengah kebun mereka yang agak luas, dikelilingi oleh pohon-pohon tanaman keras yang turnbuh tidak teratur, seperti rambutan, duku, kelapa, kuini, mangga, manggis, durian dan lain sebagainya. Pada musim-musim tertentu, hasil panen buah-buahan itu merupakan mata pencaharian tambahan bagi mereka. Keadaan inl juga tidak berubah dari tahun ke tahun sampai dengan tahun 1978. Ada tiga kemungkinan mengenai asal-usul orang Jawa di daerah ini. Kemungkinan pertama, bahwa orang-orang Jawa yang mendiami daerah ini, adalah mereka yang didatangkan oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu, sebagai kuli kontrak di daerah perkebunan sekitar desa tersebut. Kemudian sebagian dan mereka itu memisahkan diri dari rekan-rekannya yang tetap bekerja sebagai buruh perkebunan, untuk selanjutnya mendirikan perkampungan di sepanjang pinggiran sungai Bahkasinder. Mereka ini melepaskan diri dari ikatan-ikatan birokrasi perkebunan, setelah selesai masa kontraknya, dan sewaktu-waktu bila mau, mereka bekerja sebagai buruh yang tidak terikat. Penduduk setempat menamakannya dengan istilah "preman" (vrijman, Bahasa Belanda). "Vrijman atau preman berarti karyawan yang tak terikat kontrak".2 Kemungkinan kedua adalah, bahwa mereka ini merupakan sisa-sisa orang- orang Jawa dari kerajaan Tanah Jawa pada abad ke XIII dahulu. Sebagimana diberitakan, bahwa Ekspedisi Pamalayu (Pamalayu Expedition) pada tahun 1275 - 1289 telah sampai ke daerah Sungai Dareh (Minangkabau Timur). Sebagian dari mereka yang dipimpin oleh Panglima Indra Warman masuk dari muara Sungai Asahan. Kemudian, dengan cara menelusuri sungai Silo, mereka sampai ke daerah pedalaman dan mendirikan Kerajaan Silo. Setelah Kerajaan Silo ini diserang oleh Singosari, Raja Silo mengalami kekalahan, dan selanjutnya dikuasai oleh orang Batak Simalungun. Nama Kerajaan Tanah Jawa adalah nama yang diberikan oleh orang - orang Simalungun, sebagai ganti ciri kerajaan Silo.3

Mohammad Said : Suatu zaman gelap di Deli, koeli kontrak tempo doloe dengan berita dan kemarahannya Medan,Percetakan Waspada,1977, Hal 216. Mangaradja Onggang parlindungan : Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku rao. (Teror agama Islam mazhab hanbali di Tanah Batak 1816-1833) Penerbit Tanjung Pengharapan, tanpa tahun terbit, hal 450-453.

e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

Kemungkinan yang ketiga adalah gabungan ciri kemungkinan yang pertama dan kedua di atas. Maksudnya di sini ialah bahwa orang-orang Jawa yang mendiami daerah tersebut, di samping berasal ciri orang-orang Jawa yang datang dahulu (abad XIII) kemudian mendirikan Kerajaan Tanah Jawa, juga kemudian bercampur dengan orangorang Jawa yang didatangkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda yang dijadikan kuli kontrak di daerah ini. Dalam perkembangan berikutnya, yaitu sekitar awal tahun limapuluhan, terjadi lagi proses perpindahan penduduk ciri Jawa ke desa Bajadolok ini. Migrasi orang-orang Jawa sebagai pendatang baru ini disebabkan adanya ajakan keluarga mereka yang sudah lama tinggal di desa ini. Pada waktu itu orang-orang jawa desa ini yang memiliki tanah luas, memperoleh hasil panen yang cukup memadai, sehingga dapat menabung. Mereka pergi ke jawa dengan hasil tabungan itu, dan kembali ke desa ini dengan membawa keluarga mereka. Mereka ini pada umumnya adalah orang-orang Jawa yang berasal dari bagian Selatan daerah Jawa Tengah, seperti Banyumas dan Purwakarta. Sekarang, penduduk kota Tanah Jawa terdiri dart bermacam-maam suku. Di antaranya yang terbanyak adalah orang-orang dari Tapanuli Selatan, Batak Toha, Batak Simalungun dan Jawa. Di samping itu terdapat juga orang-orang Cina, yang umumnya mereka ini berdiam di tengah-tangah kota kecil itu dan sebagai pemilik toko di sana. Penduduk desa Bajadolok ini menjual hasil-hasil pertanian mereka, terutama buahbuahan, ke kota tanah Jawa tersebut. Hubungan antara penduduk desa dan kota Tanah Jawa ini pada umumnya terjadi apabila perlu saja, yaitu jika terjadi jual-beli antara mereka. Berdasarkan hasil sensus tahun 1976, desa Bajadolok ini berpenduduk 3627 jiwa yang terdiri dari 742 rumah tangga.4Dari 742 rumah tangga ini yang bekerja sebagai buruh perkebunan 219 KK dan selebihnya yaitu 523 adalah bertani. Dari jumlah penduduk tersebut di atas, yang menjadi obyek penelitian adalah mereka yang bekerja sebagai petani. Mereka yang bekerja sebagai buruh perkebunan tidak menjadi obyek dalam penelitian ini. Dari jumlah petani tersebut di atas, masih dapat dibagi lagi berdasarkan golongan petani luas, petani menengah dan petani kecil (petani gurem). Istilah "petani gurem"5 ini telah lazim dipakai oleh Lembaga Survey Sosial Ekonomi Nasional (susenas). Berdasarkan data dari kepala desa setempat, 5% dari mereka merupakan petani luas, 10% merupakan petani menengah, 15% lagi termasuk golongan petani gurem (petani kecil) dan 70% merupakan golongan buruh tani dan petani penyakap. Perkiraan persentase golongan petani ini adalah perkiraan keadaan pada akhir tahun 1978. Perubahan persentase golongan-golongan petani di desa ini akan diuraikan pada bab-bab berikut nanti. Yang dimaksud dengan petani luas adalah petani yang mengusahakan sawah luasnya lebih 1 hektar. Petani menengah ialah petani yang mengusahakan sawah seluas 0,5 sampai 1 hektar. Sedangkan petani kecil (petani gurem) ialah petani yang mengusahakan sawah kurang dari 0,5 hektar. Golongan petani tersebut di atas adalah golongan petani pemilik sawah. Selanjutnya, buruh tani ialah mereka yang mengerjakan pekerjaan tani dengan menerima upah, dan penyakap adalah orang- orang yang
4. Sumber data dan daftar statistik Kantor Kepala Desa Bajadolok Kecamatan Tanah Jawa, keadaan pada bulan Mei 1978
5 Sajogyo ; "Golongan Miskin dan Partisipasi Dalam Pembangunan Desa", Prisma no. 3/1977, Jakarta : LP3ES, hal. 12. Demikian juga dalam tulisan-tulisan beliau yang lain, istilah tersebut selalu dipakai.

e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

menggarap/mengerjakan sawah offing lain dengan perjanjian bagi hasil dengan syaratsyarat tertentu yang disetujui oleh kedua belah pihak. Pada umumnya buruh tani tidak memiliki sawah sendiri, dan kalaupun mereka ini mempunyai sawah,hasil sawahnya itu tidak mencukupi kebutuhan keluarganya hingga panen berikutnya.

BAB III PERKEMBANGAN SISTEM PERTANIAN Pertanian di desa Bajadolok sebelum awal tahun enam puluhan ditandai oleh cara pengolahan tanah yang sangat tradisional, yaitu dengan cangkul. Hal ini disebabkan keadaan lahan pertanian yang berupa ladang (tegalan), dan juga jumlah ternak lembu atau kerbau yang sangat langka pada waktu itu, yang tidak memungkinkan pengolahan tanah dengan bajak. Cara pengolahan tanah yang sangat tradisional itu membutuhkan waktu yang relatif lama dan tenaga kerja yang relatif banyak. Tetapi kesempatan kerja yang dimungkinkan oleh peralatan yang tradisional ini cukup besar. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah sendiri, atau penduduk desa yang memiliki tanah yang tidak begitu luas, mempunyai banyak kesempatan untuk memperoleh pekerjaan mencangkul dengan memperoleh upah. Walaupun keadaan yang begini, yaitu pekerjaan upahan ini, baru mulai dikenal di desa tersebut sejak sekitar akhir tahun lima puluhan. Sebelum itu pekerjaan-pekerjaan pertanian selalu dikerjakan dengan cara gotong royong. Pekerjaanpekerjaan pertanian yang dilakukan dengan cara gotong royong itu mulai dari rnengolah tanah (mencangkul), menanam padi sampai kepada memotong padi. Dikenalnya pekerjaan-pekerjaan pertanian secara upahan (pertanian komersial) ini sejak timbulnya golongan petani kuat di desa ini, walaupun sebenarnya jumlah petani kuat tersebut pacta waktu itu tidak begitu banyak. Tetapi, walaupun jumlah mereka tidak banyak. Oleh karena mereka mempunyai ladang yang cukup luas (di atas 1 hektar) dan memiliki modal uang yang cukup, hal ini sangat memberikan motivasi dan kesempatan yang besar bagi para buruh tani untuk memperoleh pekerjaan upahan. Para petani kuat itu mulanya adalah para pendatang baru dan luar desa, yang kemudian menetap di desa Bajadolok ini. Dengan modal yang mereka miliki, mula-mula mereka membeli ladang sambil mengembangkan modal mereka itu dengan sistem ijon. Hasil wawancara dengan para petani setempat menunjukkan perkiraan, bahwa mengerjakan tanah dengan cangkul ini, setiap orang rata-rata hanya dapat menyelesaikan pekerjaan seluas lebih kurang 100m2 per hari. Berarti, untuk menyelesaikan pekerjaan pencangkulan tanah seluas 1 hektar apabila dikerjakan oleh satu orang, memerlukan waktu tiga bulan lebih. Jika seorang memiliki tanah seluas satu hektar, sedangkan ia memerlukan waktu sepuluh orang untuk menyiapkan pengolahan tanah tahap pertama itu, berarti ia harus mempergunakan lebih kurang sepuluh orang tenaga kerja. Apabila tanahnya itu lebih dari satu hektar, berarti tenaga kerja yang diperlukan disesuaikan dengan jumlah kelipatan luas tanahnya itu. Suatu kesempatan yang cukup besar bagi buruh tani untuk memperoleh lapangan pekerjaan pada waktu-waktu pengolahan tanah (pencangkulan) tahap pertama itu. Lnilah keadaan pada akhir tahun limapuluhan di desa Bajadolok ini. Setelah tahun 1960, atau tepatnya pada masa awal tahun enampuluhan, daerah perladangan di desa Bajadolok ini mengalamai perubahan total. Kecuali daerah yang

e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

berbukit-bukit, daerah yang tadinya merupakan perladangan telah diubah menjadi daerah persawahan. Hal ini terjadi setelah penduduk desa ini berhasil membuat saluran irigasi, yaitu dengan cara memindahkan sebagian aliran sungai Bahkasinder dari Kampung Balimbingan. Perubahan itu begitu relatif cepat sekali, sehingga pada akhir tahun 1963 sudah dapat dikataan 50% daerah perladangan itu telah berubah menjadi daerah persawahan, dan pada tahun 1966 kira-kira 90% daerah tersebut telah menjadi daerah persawahan. Perubahan bentuk pertanian ladang menjadi pertanian sawah ini telah membawa akibat dalam cara pengolahan tanah dan sistem pertanian lainnya. Dalam cara pengolahn tanah, beberapa petani (terutama para petani kuat di desa ini) telah merubah peralatannya dari cangkul ke bajak Karena, bagaimana pun merekalah yang mampu membeli kerbau atau lembu dan bajak. Di samping dipergunakan untuk mengerjakan sawah sendiri, dalam perkembangan selanjutnya, lembu/kerbau dan bajak itu mereka sewakan kepada yang membutuhkan. Biasanya yang mampu menyewa bajak dan kerbau/lembu mereka ini adalah para petani menengah. Dengan demikian, di samping mengurangi modal karena tidak lagi menggunakan tenaga upahan untuk mencangkul dalam proses pengolahan tanah, petani kuat itu juga memperoleh keuntungan dari uang sewa bajak tadi. Para petani menengah pada umumnya lebih cenderung menyewa kerbau/lembu dan bajak dalam mengerjakan sawahnya, didorong oleh suatu pertimbangan, bahwa menyewa kerbau/lembu dan bajak lebih murah dibanding dengan mempergunakan tenaga upahan dengan cara mencangkul. Di samping biaya yang lebih ringan, waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan mempergunakan bajak relatif lebih cepat. Dalam sewa-menyewa bajak, pada tahap permulaan sistem pengolahan tanah dengan bajak ini, sewa/upah selalu dibayar pada musim panen tiba. Sewa yang harus dibayar untuk hasil pembajakan seluas 400 m2 (1 rante) sebanyak 4 kaleng padi kering yang telah ditampi. Menurut ukuran di daerah ini, setiap kaleng padi berbobot 16 kg. Dengan demikian, untuk setiap 400 m2 sawah yang dibajak sewanya sebanyak 64 kg gabah kering bersih, dan sewa tersebut dibayar pada waktu panen. Kemudian, dalam perkembangan berikutnya, sewa yang harus dibayar untuk pekerjaan pembajakan seluas 400 m2 itu mengalami kenaikan. Kalau pada tahap awal untuk setiap 400 m2 sawah yang dibajak sewanya 64 kg padi, maka pada tahap berikutnya menjadi 5 kaleng padi kering bersih (80 kg). Kenaikan sewa ini serentak dilakukan/ditetapkan oleh para petani pemilik bajak di desa ini. Keadaan ini telah menunjukkan gejala solidaritas yang kuat di antara golongan petani kuat di desa tersebut. Ditinjau dari sudut perkembangan teknologi pertanian, perubahan pengolahan tanah dari cangkul ke bajak ini dapat dikatakan sebagai suatu kemajuan. Tetapi ditinjau dari segi lain, kemajuan dan perubahan itu sendiri telah membawa implikasi di bidang kesempatan kerja dan penggunaan tenaga kerja pertanian. Para buruh taut yang dahulunya memperoleh lapangan kerja pada musim mencangkul, kini sebagian dari mereka telah tersisihkan. Hal ini berarti sebagian dari mereka telah kehilangan kesempatan kerja. Keadaan ini telah menunjukkan polarisasi baru di bidang pertanian di desa ini. Dalam kesempatan berwawancara dengan para petani, mereka mengatakan bahwa pada musim membajak, para buruh tani banyak yang menganggur. Lapangan kerja lain yang dapat menampung mereka satu-satunya adalah

e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

perkebunan. Tetapi jumlah mereka yang dapat ditampung sebagai buruh harian lepas di perkebunan ini, juga tidak memadai. 3.1. lmplikasi Penggunaan Bibit Unggul Sampai dengan tahun 1968, para petani desa Bajadolok masih memilih padi jenis lokal, seperti : jenis Ramos, Jongkong, dan sebagainya, yang berusia lebih kurang 180 hari. Padi jenis lokal ini menurut keterangan para petani dan juga petugas penyuluhan pertanian lapangan, sangat tahan terhadap hama, kecuali hama tikus. Tetapi dengan memilih jenis padi lokal ini, para petani hanya bisa panen sekali dalam satu tahun. Dalam jangka waktu 180 hari berikutnya, pada umumnya mereka menanam palawija, seperti : jagung, kacang tanah, kedele dan sebagainya, yang merupakan tanaman komersial. Dalam rangka meningkatkan produksi beras, sekitar tahun 1968 sampai 1969, pemerintah telah menganjurkan kepada para petani agar menanam padi jenis unggul. Pada waktu itu padi unggul yang telah ditemukan adalah jenis PB-5 dan PB-8. Padi jenis ini berumur sekitar 100 hari. Ditemukannya jenis padi unggul tersebut, memungkinkan para petani menanam padi dua kali dalam setahun. Tetapi dengan menanam padi jenis unggul ini, kesempatan untuk menanam tanaman komersial (palawija) tidak ada lagi. Sejak itulah para petani di desa Bajadolok ini mulai menanam bibit padi jenis unggul, dan sejak itu pulalah para petani mengalami panen dua kali dalam setahun. Sebelum para petani ini mengenal padi jenis unggul, mereka umumnya belum mengenal pupuk kimia. Setelah mereka menanam padi jenis unggul, mereka dianjurkan agar menggunakan pupuk tersebut. Suatu hal yang sangat renting dalam penggunaan pupuk kimia ini adalah, bahwa cara penggunaannya harus tepat dan teratur. Pemupukan yang tidak tepat dan sempuma mengakibatkan panen yang tidak baik. Perawatan yang tepat, teratur dan sempurna adalah merupakan konsekuensi daripada penggunaan/pemilihan bibit unggul ini. Hal ini adalah mempakan implikasi yang logis, bahwa setiap penggunaan penemuan baru hasil teknologi moderen membutuhkan perawatan yang tepat dan sempuma. Di samping pemupukan, pemberantasan hama juga harus dilakukan dengan sempurna dan teratur. Karena pada jenis PB-5 daD PB-8 sangat peka terhadap hama wereng. Pengalaman menunjukkan, bahwa sekitar awal tahun tujuhpuluhan, tanaman padi di Bajadolok ini habis diserang hama wereng, tanpa menghasilkan panen sedikitpun. Hal ini disebabkan penyemprotan insektisida yang serba tanggung. Faktor yang menyebabkan demikian adalah, di samping kurangnya pengetahuan para petani desa ini terhadap penggunaan bahan-bahan kimia tersebut, juga didukung oleh sikap tradisional yang masih lekat di kalangan para petani itu sendiri. Penyediaan kredit oleh pemerintah melalui program Bimas/Inmas masih dianggap oleh mereka sebagai suatu tambahan beban biaya dalam proses produksi. Hal ini disebabkan adanya pengalaman mereka sebelumnya, yaitu pada waktu mereka masih memilih bibit padi jenis lokal, mereka merasa tidak dibebani oleh adanya biaya pemupukan dan pemberantasan hama serta yang lain-lainnya. Demikianlah, kegagalan panen di sekitar awal sampai dengan pertengahan tahun tujuhpuluhan itu, di desa Bajadolok ini telah membawa implikasi sosial yang lain lagi. Ini sebagai pengalaman pertama bagi para petani di desa ini, sebagai akibat penanaman bibit padi jenis unggul. Akibat yang sangat berkepanjangan dan sangat menyedihkan

e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

umumnya dialami oleh petani kecil. Program Bimas/lnmas yang diintroduksi pemerintah umumnya tidak menolong mereka. Para petani kecil terpaksa menunggak kredit Inmas/Bimas, disebabkan mereka terjerat oleh para pengijon. Setelah panen gagal disebabkan hama wereng, untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sekeluarga menjelang musim tanam dan musim panen berikutnya, mereka terpaksa meminjam uang dari petani kuat di desa ini. Dalam kesempatan berwawancara denagan para petani di desa ini, salah seorang petani menyatakan bahwa sawahnya telah digadaikan kepada seorang petani kuat di desa ini juga, untuk jangka waktu tiga kali panen. Tetapi sudah lima kali panen berlalu ia belum juga dapat menebus sawah yang digadaikannya itu. Sehingga sawahnya itu masih dikuasai oleh si penerima gadai, walaupun si pemilik sawah itu yang mengerjakan sebagai penggarap (penyakap). Dalam kasus lain lagi, seorang petani telah kehilangan sawahnya. Sawahnya itu telah dijual kepada seorang petani kuat di desa itu, karena ia tak dapat menebusnya, sedangkan anak istrinya perlu makan untuk menyambung hidupnya. Sebelum sawahnya itu dijual, terlebih dahulu digadaikan untuk jangka waktu tiga kali panen. Tetapi telah enam kali panen berlalu ia tak kunjung dapat menebusnya. Akhirnya kini ia bekerja sebagai buruh tani pada musim tanam atau musim panen. Pada saat-saat tidak ada kesempatan kerja di sektor pertanian, ia terpaksa bekerja sebagai buruh harian di perkebunan kelapa sawit PTP VII Dolok Sinembah. Masih banyak lagi kasus lain yang seperti tersebut di atas. Keterjeratan para petani pada para kreditur itu bukan saja karena ia meminjam uang untuk makan, tetapi juga karena meminjam pupuk atau meminjam uang untuk membeli pupuk. Kegagalan musim panen sebelumnya memaksa mereka menunggak kredit Inmas/Bimas. Menjelang musim tanam berikutnya mereka tidak lagi dibenarkan memperoleh jatah pupuk dari petugas Inmas/Bimas setempat, karena tunggakan kredit sebelumnya belum dibayar. Keadaan semacam ini memaksa mereka meminjam pupuk dari petani kuat menurut keterangan, tidak jelas dari mana pupuk tersebut diperoleh atau meminjam uang untuk membeli pupuk. Peminjaman itu dengan perjanjian, bahwa pada musim panen berikutnya harus dibayar dengan sejumlah padi. Menurut keterangan para petani, perhitungan harga sebagai pembayaran hutang itu lebih murah daripada harga pasar. Suatu hal yang merupakan implikasi lain dari penggunaan padi jenis unggul ini ialah, bahwa para petani desa ini sebenarnya telah dipaksa untuk turut mengambil bagian dalam suatu perekonomian pasar. Sebagian dari mereka yang tidak terjerat pada para pengijon atau kreditur, biasanya mereka menjual sebagian hasil panennya. Mereka terpaksa menjualnya, karena membutuhkan uang untuk membayar tenaga kerja guna mempersiapkan sawah musim tanam berikutnya. Setelah beberapa bulan, banyak para petani yang terpaksa membeli beras di pasar untuk dapat bertahan hidup hingga panen berikutnya. Celakanya, ketika para petani ini menjual padi mereka di saat musim panen, mereka menerima harga yang rendah. Tetapi, tatkala mereka harus membeli beras beberapa bulan kemudian, mereka harus membayar harga yang lebih tinggi. Kemudian, sistem penanaman bibit yang dahulunya dilakukan secara gotongroyong, kini telah berubah. Kini tenaga kerja yang melaksanakan bukan dengan cara gotong-royong, tetapi dengan cara upahan. Akibat rasionalisasi dan komersialisasi di

e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

bidang pertanian ini, akhirnya sulit untuk memperoleh tenaga kerja yang mau beketja secara gotong-royong. Gejala ini telah menunjukkan adanya pergeseran pola berpikir geguyuban (tolong menolong) ke arah pola yang bersifat komersial. Pada waktu sistem pertanian di daerah ini masih merupakan bentuk perladangan, penyiangan rumput biasanya dilakukan dengan mempergunakan alat yang disebut "gurisan". Gurisan ialah alat penyiang berbentuk parang dibentuk melengkung ke samping. Sekitar awal tahun tujuhpuluhan, akibat rasionalisasi di bidang pertanian di desa ini, padi ditanam berbaris lurus (secara larikan). Keadaan ini telah mendorong ditemukannya alat penyiang rumput yang baru, yang disebut "oyosan". Oyosan ini mulamula dibuat oleh kepala desa setempat, kemudian dikembangkannya. Perkembangan alat penyiang dari gurisan ke oyosan ini telah membawa implikasi di bidang penggunaan tenaga kerja. Dengan mempergunakan gurisan, seorang pekerja per hari rata-rata hanya dapat menyiang seluas 100 m2. Tetapi dengan mempergunakan oyosan ini, seorang pekerja per hari rata-rata dapat menyelesaikan pekerjaan seluas 1200 m2. Suatu perkembangan yang cukup besar di bidang ini. Oyosan ini telah mendesak sebagian para buruh tani yang sebelumnya memperoleh lapangan pekerjaan pada musim-musim menyiang. Terdesaknya sebagian para buruh tani pada musim menyiang itu, membuat mereka terpaksa mengalihkan pekerjaan ke lapangan lain. Satu-satunya lapangan pekerjaan, seperti telah disebutkan di atas tadi, adalah perkebunan. Karena tidak selamanya lapangan kerja di perkebunan dapat menampung mereka sebagai buruh harian, maka sebagian dari mereka terpaksa menganggur. Mengenai pembasmian hama, pada umumnya sebelum para petani desa ini mengenal bibit unggul padi, mereka tidak mengenal cara pembasmian hama dengan bahan-bahan kimia, seperti : pestisida dan insektisida. Karena, pada waktu mereka masih menanam padi jenis lokal dahulu, musuh utama bagi para petani umumnya hanya tikus, burung, walang sangit dan serangga lainnya, yang perusakannya terhadap padi tidak begitu hebat. Setelah mereka menanam padi jenis unggul, mereka sebenamya dipaksa untuk membasmi hama dengan bahan-bahan kimia untuk mencegah serangan hama werng. Penggunaan dn penyemprotan racun pembasmi hama itu harus dilakukan dengan cara yang intensif. Di samping itu, untuk memperoleh racun pembasmi hama ini, para petani harus mengeluarkan modal. Penambahan modal itu bagi mereka dirasakan sebagai tambahan beban, terutama bagi para petani kecil. Berdasarkan keterangan petugas penyuluhan pertanian lapangan menurut keterangannya, kesimpulannya itu berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan merajalelanya hama wereng itu sesungguhnya adalah akibat penanaman dua kali setahun. Dahulu, pacta waktu petani desa ini menanam padi jenis lokal, sebenarnya hama wereng itu sudah ada. Tetapi pembiakan populasi wereng itu tidak begitu hebat, seperti halnya pada tanaman padi jenis unggul. Dahulu mereka hanya menanam padi sekali dalam setahun. Setelah panen padi, pada umumnya mereka menanam palawija. Pada waktu penanaman palawija itulah siklus kehidupan populasi hama wereng itu terputus, karena pada waktu itu tanaman padi tidak ada lagi. Tetapi setelah para petani desa ini menanam padi dua kali dalam setahun, kesempatan untuk berkembang terus kehidupan wereng itu sangat baik sekali, dan secara kuantitas perkembangan wereng itu berlanjut sangat cepat sekali. Hal ini didorong pula oleh kurangnya daya tahan padi unggul itu terhadap serangan hama wereng.

e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

10

Selain itu, pembasmian hama wereng ini secara tanggung-tanggung akhirnya tidak ada artinya sama sekali. Seperti telah disebutkan di atas tadi, bahwa pembelian racun pemberantas hama itu bagi para petani kecil di desa ini dirasakan sebagai penambahan beban modal, akibatnya mereka melakukan penyemprotan itu secara tanggung-tanggung. Hal ini belum mereka sadari, bahwa penyemprotan yang demikian itu menyebabkan imunitas hereng itu sendiri, yang pada perkembangan berikutnya hama wereng itu sulit untuk diberantas. Diperkenalkannya bibit unggul kepada para petani desa Bajadolok ini, juga telah mengakibatkan perubahan dalam cara pemungutan hasil panen. Sebelum mereka menanam padi jenis unggul, pada umumnya mereka memotong padi dengan ani-ani (ketam), yaitu sejenis pisau pemotong untuk memotong tangkai-tangkai padi dari batangnya. Tetapi setelah mereka menanam padi unggul, oleh karena batang padi sangat pendek, kurang memungkinkan pemotongan padi dengan ani-ani. Keadaan ini telah mendorong mereka mengubah alat pemotong padi dari ani-ani ke sabit. Di samping pendeknya batang padi itu, kondisi bulir-bulir padi yang terlalu mudah lepas dari tangkainya, juga merupakan faktor yang turut mempengaruhi perubahan cara memotong padi jenis unggul ini. Pergantian alat pemotong padi dari ani-ani ke sabit ini, telah berpengaruh terhadap organisasi tenaga kerja pertanian di desa ini. Pergantian tersebut telah mengakibatkan sangat berkurangnya kebutuhan tenaga kerja untuk panen. Sebelum penggunaan sabit, baik pria maupun wanita turut serta menuai padi dengan menggunakan ani-ani. Tetapi, setelah panenan dikerjakan dengan sabit, hampir seluruhnya dilakukan oleh pria. Pemotongan padi dengan sabit ini sangat lebih cepat apabila dibandingkan dengan menggunakan ani-ani. Dengan demikian, jumlah tenaga kerja yang diperlukan pun menjadi berkurang. Para penyabit ini umumnya bekerja dengan mendapat upah. Dalam hal ini, walapun setiap tenaga kerja mendapat upah lebih (dalam bentuk uang atau gabah), tetapi banyak tenaga kerja rang tersisihkan. Suatu hal yang perlu dicatat, bahwa pada waktu cara memotong padi masih dengan menggunakan ani-ani, pekerjaan itu dilakukan lebih bersifat gotog-royong daripada upahan. Seandainya pun mereka pulang membawa padi, tetapi sesungguhnya bukanlah merupakan upah. Padi yang dibawa pulang itu, lebih berarti berupa rasa solidaritas, ia merupakan sekedar pemberian dari si pemilik sawah, agar para tetangga atau rekan sekampung itu turut merasakan beras baru, hasil panen tahun itu. Gotongroyong itu dilakukan secara berganti-gantian. Sifat kegotong-royongan itu berangsur-angsur mulai mengendur, sejak berubahnya sistem pertanian dari bentuk ladang ke sawah. Kemudian perubahan itu demikian jelas kelihatan, setelah para petani desa Bajadolok ini mengenal dan menanam bibit unggul. Suatu perkembangan baru lagi, ialah cara merontokkan bulir-bulir padi itu dan tangkainya. Jika dahulu cara merontokkan bulir-bulir padi jenis lokal dengan cara memijak-mijak (menggilas), tetapi sekarang, oleh karena padi-padi itu disabit dengan batang yang agak panjang, cara merontokkannya dengan memukul-mukuLkan batang padi yang telah disabit itu ke batang-batang bambu yang telah disusun sedemikian rupa. Pekerjaan ini juga dilakukan oleh tenaga kerja upahan. Biasanya untuk pekerjaan yang demikian ini, makan dan minum ditanggung oleh pemilik padi.

e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

11

Tujuan pemerintah menganjurkan kepada para petani supaya menanam jenis unggul, adalah untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya beras. lnilah tujuan yang utama. Dalam panen pertama sampai ketiga awal pelaksanaan program pemerintah di desa Bajadolok ini, memang peningkatan produksi padi tersebut jelas kelihatan, dibanding dengan jumlah produksi pada waktu menanam padi jenis lokal. Hal ini disebabkan para petani desa ini mengalami panen dua kali dalam setahun. Tetapi, jika dihitung-hitung, peningkatan produksi itu sebenarnya tidak banyak berarti bagi para petani itu sendiri. Sebabnya ialah, karena sistem pertanian padi jenis unggul ini jauh lebih banyak memerlukan input produksi yang dibeli dengan uang (melalui kredit Inmas/Bimas) dibanding dengan sistem pertanian padi jenis lokal. Dahulu, pada waktu para petani menanam padi jenis lokal, banyak input produksi yang berupa tenaga (baik tenaga keluarga maupun tenaga tetangga) dan juga pupuk kandang dari kotoran ternak, bibit yang ditanam merupakan hasil panen sebelumnya atau dan tetangga dengan cara tukar menukar. Setelah menanam padi unggul, lebih banyak bibit yang dibeli, tenaga kerja terlalu banyak yang dibeli dengan uang, demikian juga pupuk dan racun pemberantas hama. Hampir seluruh petani yang diambil sebagai responden dalam wawancara menyatakan, bahwa jika panen berhasil, dari hasil produksi seluruhnya (jenis unggul) kira-kira 66% merupakan biaya produksi. Dengan demikian, hanya kira-kira 34% merupakan hasil bersih yang mereka peroleh. Dengan input produksi yang lebih mahal itu, hasil rata-rata yang dicapai memang bisa lebih tinggi, dibanding dengan produksi padi lokal. Tetapi penanaman padi jenis unggul ini, di samping terlalu banyak input produksi yang dibeli dengan uang, juga terlalu fluktuasi produksi panen. Panen sering gagal, tetapi juga sering menghasilkan dalam jumlah yang tinggi. Sebenarnya terlalu banyak resiko yang harus ditanggung oleh para petani desa Bajadolok ini dalam menanam padi jenis unggul. Umumnya, yang lebih gampang memikul resiko adalah petani kuat di desa ini.Karena, bagaimanapun mereka lebih banyak memiliki surplus padi dibanding dengan petani kecil. Dikatakan demikian, karena jika petani kuat tersebut gagal dalam panen, mereka mungkin hanya harus "berpuasa sedikit" hingga musim panen berikutnya. Tetapi, jika petani kecil yang gagal dalam musim panen, mereka harus meminjam uang kepada para pengijon atau menjual harta benda bahkan sawahnya. Dari data yang diperoleh, pada tahun 1978 hampir 20% dari jumlah petani di desa ini telah kehilangan sawahnya karena dijual kepada petani bermodal kuat, dan hampir 15% sawahnya digadaikan (dianggunkan), serta 15% lagi terjerat kepada pengijon.6 Gejala ini kelihatannya akan terus meningkat. Keadaan yang terakhir, masih ada beberapa petani kecil yang masih enggan mengambil resiko itu. Menurut mereka hal ini dilakukan berdasarkan pertimbangan pertimbangan tertentu. Sebenarnya mereka ini juga termasuk petani yang berpikir rasional. Rasional dalam arti dapat menyesuaikan perilaku persoalan-persoalan yang dihadapi. Sebagaimana yang selalu mereka katakan, jika dahulu panen mengalami kegagalan maka hasil yang diperoleh sama dengan nol, tetapi setelah mereka menanam padi jenis unggul, jika panen gagal hasil yang diperoleh bisa menjadi minus. Sejak petani desa Bajadolok ini memilih padi unggul sebagai tanaman pertanian mereka, juga terdapat perubahan pola konsumsi masyarakat, terutama pada golongan
6

Data ini diperoleh dari catatan Kepala Desa setempat, keadaan akhir 1978

e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

12

petani kuat. Dahulu hasil panen selalu mereka simpan di dalam lumbung, sebagai bahan persediaan makanan keluarga menjelang musim tanam berikutnya. Musim tanam berikutnya enam bulan setelah panen. Dapat dikatakan sebagian besar hasil panen mereka waktu itu untuk keperluan makan keluarga, sebagian lagi untuk membeli pakaian dan sebagian lagi untuk keperluan pesta dan upacara-upacara. Pada dasarnya basil produksi pertanian itu digunakan untuk keluarga dan masyarakat desa itu. Dahulu, jika ada petani kaya yang hasil panennya baik dan mengalami surplus produksi, surplus itu biasanya dipakai dalam lingkungan masyarakat desa. Misalnya dengan mengadakan upacara, kenduri, memperbaiki rumah dengan cara "sambatan" (gotongroyong), juga melalui bermacam-macam cara dengan memelihara anak buah. Pola yang demikian itu telah berubah. Kini terdapat kecenderungan para petani mengkonsumsi barang-barang mewah. Jika panen tiba dan kebetulan mereka memiliki surplus padi, mereka akan memakainya untuk membeli barang-barang baru, seperti tape recorder, radio, bahkan sampai kepada sepeda motor. Barang-barang tersebut akhirnya telah menjadi lambang status sosial di desa ini. Pada petani lapisan atas, mereka selalu mempergunakan kelebihan-kelebihan hasil pertanian mereka untuk membuat rumah bagus, yang menggunakan bahan-bahan yang didatangkan dari luar desa, dengan tenaga tukang yang dibayar dan bukan dengan cara gotong-royong. Di bidang lainnya, kelebihan produksi itu mereka investasikan ke dalam kegiatan yang tidak banyak menciptakan kesempatan kerja, misalnya "huller" (mesin penggiling padi), kerbau/lembu dan bajak, atau untuk biaya pendidikan anak-anak mereka yang sekolah ke kota Siantar atau Medan. Pada penelitian terakhir, juga terdapat keluhan bahwa golongan petani kaya (golongan berada) di desa ini agak menjauh dari kelompok yang kurang berada atau miskin. Tetapi pada saat penelitian belum dapat dibuktikan. Keluhan-keluhan itu misalnya, jika seorang kaya di desa ini mengadakan kenduri, dia akan mengundang orang-orang kaya di desa ini dan yang berada di luar desa. Sementara itu, golongan masyarakat yang kurang mampu tinggal menjadi penonton. 3.2. Diferensiasi Sosial Distribusi pemilikan tanah di desa ini sangat tidak merata. Sepertiga dan jumlah rumah tangga (yang bekerja di sektor pertanian) yang menguasai tanah pertanian. Sedangkan sisanya lebih kurang hanya menggantungkan hidupnya dengan bekerja di tanah orang lain. Sejak awal tahun tujuh puluhan, tanah-tanah persawahan di desa ini telah terkonsentrasi di tangan sejumlah kecil anggota masyarakat. Pada awal tahun tujuh puluhan sejumlah 50% warga desa mempunyai sebidang sawah (rata-rata 1,5 hektar). Tetapi sampai menjelang akhir tahun tujuh puluhan persentase itu menjadi mengecil seperti dapat dilihat dalam tabel di bawah ini, yaitu menjadi 30%. Gejala ini menunjukkan jumlah rumah tangga yang kehilangan sawahnya semakin bertambah, dan berarti lapisan buruh tani dan penyakap semakin membesar jumlahnya. Golongan Petani Petani luas ( di atas 1 ha) Petani Menengah ( 1 ha) Petani kecil (di bawah ha) Buruh tani dan penyakap Jumlah Jumlah Rumah Tangga 26 (5%) 52 (10%) 78 (15%) 367 (70%) 523 (100%)

e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

13

Kelompok besar rumah tangga yang tak mempunyai sawah, secara kasar dapat dibagi dua. Pertama, yaitu lapisan buruh tani, yang pada umumnya mereka bekerja dibayar dengan uang, meskipun untuk jenis-jenis pekerjaan tertentu mereka dibayar dengan barang. Kedua yaitu lapisan penyakap (penggarap sawah milik orang lain), yang posisinya lebih stabil bila dibandingkan dengan lapisan buruh tani, oleh karena mereka ini pekerjaan dan pendapatannya terjamin untuk periode yang lebih panjang. Sedangkan buruh tani pekerjaannya tergantung tersedianya kesempatan kerja, serta kesediaan para pemilik sawah menerima/menggunakan tenaga kerja mereka. Kedua kelompok ini sangat tergantung kepada kelompok kecil pemilik tanah. Buruh tani menjual tenaga kerjanya kepada para pemilik sawah tersebut secara agak berbeda, dibandingkan dengan penyakap. Kebanyakan mereka tidak mempunyai ikatanikatan formal dengan yang mempekerjakan, meskipun pada umumnya mereka bekerja bagi petani-petani yang merupakan tetangga terdekat. Buruh wanita tidak dapat meminta pekerjaan. Mereka hanya menunggu sampai seseorang memanggil untuk mencangkul atau menyiang. Untuk pekerjaan ini, pada tahun 1978 mereka memperoleh upah harian sebesar 1,5 sampai 2,5 kg padi atau sekitar Rp200,- sampai Rp 300,-. Dahulu, sebelum tahun tujuhpuluhan, kaum wanita desa ini dapat pergi kesawah ketika padi yang telah tua akan dipanen. Berdasarkan tradisi, semua wanita yang datang harus dipekerjakan dalam panenan. Upah mereka dibayar dalam bentuk natura, dan terdiri dari sebagian tertentu dari padi yang mereka potong. Dalam tahun - tahun tersebut jumlah upah ini berkisar antara 1/12 sampai 1/15 dan kemudian 1/18 sampai 1/20. Seperti telah disebutkan dalam uraian di atas, sebenarnya bagian-bagian yang diterima oleh pekerja-pekerja wanita itu, lebih merupakan pemberian daripada upah. Pekerjaan di bidang usaha tani yang demikian ini, sebenarnya tidak mencukupi bagi mereka. Dengan demikian kelangsungan hubungan antara para buruh tani ini dengan si pemilik sawah kurang terjamin. Berbeda dengan buruh tani di atas, para penyakap umumnya mempunyai hubungan yang lebih erat dengan seorang pemilik sawah. Hubungan penyakapan ini, bisa terdiri dari seorang petani kecil (seorang petani tua atau jandanya) yang menyakapkan tanah mereka kepada anak atau anak menantunya. Meskipun demikian, pada umumnya petani-petani yang lebih kayalah yang mempekerjakan beberapa penyakap. Angka-angka yang pasti menunjukkan jumlah rumah tangga petani yang menyakapkan tanahnya, tidak diperoleh dalam penelitian ini. Hubungan antara pemilik dan penggarap dalam sistem penyakapan ini bersifat sangat tetap, dan bagian untuk masing-masing pihak dalam faktor-faktor produksi dan panen, dihitung berdasarkan suatu rumusan khusus. Di desa Bajadolok ini, perjanjian kerja secara tertulis antara penyakap dan pemilik sawah tidak dipergunakan. Secara formal, perjanjian kerja berlaku hanya untuk satu musim, meskipun kebanyakan perjanjian kerja secara otomatis diperpanjang hingga waktu yang tidak ditentukan. Dalam hubungan penyakapan ini, penyakap bertanggung jawab atas segala biaya, kecuali sebagian biaya untuk bibit dan pupuk. Sebagian dari biaya ini juga ditanggung oleh pemilik sawah. Hasil panen seluruhnya dibagi antara penyakap dengan pemilik sawah dengan rasio 1 : 2 (mertelu). Penyakapan adalah lebih daripada sekedar hubungan kerja antara dua pihak. Di desa Bajadolok ini, semua unsur-unsur hubungan "patron-client" (patron klien) yang tidak simetris dan yang mencakup aspek-aspek kehidupan yang lain, termasuk dalam hubungan kerja tersebut. Biasanya, penyakap dan anggota-anggota keluarganya harus

e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

14

melaksanakan berbagai macam pekerjaan di rumah, atau di sekitar rumah serta pekarangan pemilik sawah, tanpa menerima imbalan. Pada kesempatan- kesempatan tertentu (misalnya ketika pemilihan umum) mereka harus membuktikan kesetiaan politiknya kepada patronnya dengan cara memberi dukungan. Di segi lain, seorang penyakap memohon bantuan keuangan kepada patron dalam bentuk pinjaman bebas bunga, apabila ia menghadapi kesulitan dan tak dapat memenuhi biaya produksi, atau jika ia membutuhkan uang guna keperluan-keperluan lain. Oleh karena pinjaman di desa Bajadolok ini biasanya dikenai bunga 20% sampai 30% sebulan dan diberikan hanya apabila ada jaminan yang memadai. Unsur kredit ini bersama-sama dengan jaminan kelangsungan kerja, sangatlah penting bagi penyakap, sehingga ia bersedia melakukan pekerjaan tersebut meskipun hanya memperoleh imbalan yang relatif kecil. Hubungan-hubungan dan jaminan-jaminan yang demikian itulah yang tidak ada bagi buruh tani yang juga bekerja di sawah milik orang lain. Dibandingkan dengan buruh tani, penyakap jarang mempunyai sumber- sumber pendapatan tambahan. Sekali-sekali mereka bekerja sebagai buruh upahan di tanah orang lain, ketika di tanah garapan mereka hanya sedikit atau tak ada yang akan dikerjakan, akan tetapi bentuk usaha sampingan yang lain kadang-kadang dengan tegas dilarang oleh patron mereka. Para pemilik sawah yang melarang penyakap bekerja sampingan, umumnya disebabkan kekhawatirannya, kalau-kalau penyakap mengabaikan tanah yang telah dipercayakan kepadanya. Istri seorang penyakap biasanya dapat bekerja sebagai buruh tani, misalnya untuk menanam atau menampi dan menyiang. Beberapa di antara mereka telah dapat memulai usaha bakulan (usaha menjual makanan/kue-kue kecil yang dijajakan dengan bakul) atas dasar pinjaman kecil dari pemilik sawah yang disakapnya.

BAB IV INTENSIFIKASI, KOMERSIALISASI DAN LAPANGAN KERJA Program Bimas dan Inmas di desa Bajadolok baru dilaksanakan pada tahun 1971. Pada tahun-tahun pertama, yang terlibat dalam teknologi baru masih terbatas pada anggota-anggota Pamong Desa, yang diwajibkan memberi contoh yang baik kepada masyarakat desanya. Selanjutnya, pada tahun-tahun berikutnya jumlah peserta meningkat, akan tetapi petani-petani kaya dan pemilik sawah yang luas tetap merupakan kelompok yang dominan. Menurut catatan dari Dinas Pertanian Rakyat, rata-rata luas pemilikan sawah di antara, peserta program Bimas adalah sekitar 2 hektar, hal ini jauh di alas rata-rata pemilikan di wilayah Kabupaten Simalungun.7 Seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya, pada mulanya petani-petani di desa ini memperoleh keuntungan dari produksi padi jenis unggul cukup tinggi. Akan tetapi pada tahun-tahun berikutnya, penyakit tanaman, seperti wereng dan tikus, berkalikali merusak tanaman padi mereka, sehingga telah menimbulkan kerugian-kerugian yang sangat besar. Di samping kejadian-kejadian tersebut di atas, ada lagi akibat yang paling parah. Hal ini terjadi pada jumlah besar kredit yang diberikan oleh Bank Rakyat Indonesia kepada para petani di desa Bajadolok ini. Kredit tersebut tidak saja dipergunakan untuk membeli bibit, pupuk dan sebagainya, tetapi juga mereka pergunakan untuk modal
7

Sumber dari catatan Dinas Pertanian Rakyat kabupaten Simalungun

e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

15

berdagang, menyewa tanah dari petani kecil dan membeli barang-barang konsumsi yang mahal, seperti : sepeda motor, radio, tape recorder dan sebagainya. Keikutsertaan dalam program Bimas menjadi sangat menguntungkan, sehingga sejumlah penduduk desa Bajadolok yang sebelumnya tidak terlibat dalam kegiatan-kegiatan pertanian, seperti : guru, karyawan Rumah Sakit PTP VII, mulai membeli atau menyewa sawah. Selama beberapa tahun terakhir, kelompok ini telah memperoleh keuntungan-keuntungan yang cukup besar. Meningkatnya jumlah investasi, ketergantungan yang semakin besar terhadap kredit, kemungkinan untuk memperoleh keuntungan yang besar, serta kesempatan untuk menginvestasikan keuntungan tersebut atau menggunakannya untuk membeli barangbarang lux, mendorong petani lapisan atas desa ini mengelola usaha taninya secara lebih rasional. lntroduksi program Bimas di desa Bajadolok ini berjalan hampir serempak dengan meluasnya lembaga-lembaga seperti tebasan dan borongan tandur (borongan tanam) yang menyerahkan kegiatan-kegiatan pekerjaan panenan dan penanaman bibit kepada para perantara, sebagai salah satu usaha mengakhiri "sistem garapan terbuka". Karena, sebagaimana juga telah disebutkan pada bagian di atas sebelum bab ini, bahwa pada dasamya dahulu pekerjaan-pekerjaan panenan dilakukan dengan sistem garapan terbuka. Pada waktu itu, setiap pekerja wanita yang datang untuk melakukan pekerjaan panenan, menurut tradisi harus diterima oleh pemilik padi. Sistem garapan terbuka seperti ini, mulai hapus setelah timbulnya lembaga-lembaga tersebut di atas. Pada tahun 1973, seorang pengusaha desa Bajadolok ini telah mendirikan sebuah mesin penggilingan padi yang pertama untuk desa ini. Usaha ini merupakan usaha yang memekanisasikan cara penumbukan padi dengan tangan yang sangat padat karya. Cara dan alat-alat pertanian lain semakin banyak dipakai, seperti ditemukannya mesin alat perontok padi. Sehingga, setelah beberapa tahun kemudian, seluruh petani pemilik sawah luas dan kebanyakan petani-petani sedang, telah meninggalkan pola lama, yakni "sistem garapan terbuka" tersebut di atas. Korban yang utama akibat daripada proses ini adalah para kaum wanita dari rumah tangga yang tidak mepunyai sawah, atau jelasnya, mereka yang termasuk dalam lapisan buruh tani. Mereka ini biasanya mengerjakan penanaman, panenan dan menumbuk padi, sehingga memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi pendapatan keluarganya. Di akhir tahun 1977, kesempatan kerja bagi mereka semakin terbatas, jumlah pembayaran berupa padi dalam panenan pun diturunkan dari 1/18 menjadi 1/22 bagian. Dalam tahun 1977 banyak petani mulai menanam padi unggul jenis tahan hama. Jenis padi ini memiliki batang yang juga agak pendek. Akibatnya teknik pekerjaan panenan juga mengalami perubahan secara menyeluruh. Padi dirontokkan langsung setelah dipotong, dengan mempergunakan alat perontok dari bambu buatan sendiri atau mesin alat perontok. Apabila dahulu sistem pekerjaan panenan yang lama, 200 orang wanita dapat memaneni 1 hektar sehari, kini pekerjaan itu cukup dilakukan oleh 25 orang laki.8 Alasan utama mengapa petani-petani kaya di desa Bajadolok ini menerapkan teknik penghematan tenaga karja, tampaknya adalah karena peningkatan investasi yang relatif cepat, yang mengharuskan perhitungan ongkos produksi secara lebih sungguh-sungguh. Kebanyakan para petani yang merasionalisasikan pengolahan usaha taninya dengan cara
8

Data tersebut disimpulkan dari hasil wawancara dengan petugas penyuluhan lapangan.

e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

16

di atas menyebutkan bahwa mereka terpaksa memperhitungkan setiap sen dari biaya yang dikeluarkan. Di antara mereka banyak yang dapat membuat perhitungan secara tepat tentang keuntungan finansial yang mereka harapkan, dengan mengadopsi teknologi baru itu. Akan tetapi, dalam pandangan mereka, alasan ekonomilah yang mendorong rasionalisasi tak dapat dihidarkan. Sesungguhnya, di samping alasan ekonomi, masih ada alasan politik yang memungkinkan rasionalisasi itu dilaksanakan. Seorang petani pemilik sawah yang luas, menyebutkannya dengan terus terang : "Dewasa ini kita harus hati-hati ini dalam pengeluaran, jika kita tidak ingin bangkrut. Kita harus memperhitungkan segala pengeluaran untuk biaya produksi seminimal mungkin".9 Situasi politik dalam tahun-tahun terakhir, dan segala segi sangat menguntungkan petani-petani kaya di desa ini. Petani-petani kaya di desa Bajadolok ini pada waktu itu menguasai administrasi pemerintahan desa, menduduki posisi yang berpengaruh di Golkar dan PPP, dan mereka juga mempunyai hubungan dengan anggota ABRI di luar desa atau yang berada di kota Tanah Jawa yang merupakan ibukota kecamatan itu. Kini, bagi mereka yang tidak mempunyai sawah, bagi mereka dari lapisan buruh tani, bagi mereka dari lapisan petani penyakap, hampir sepenuhnya tergantung pada belas kasihan para pemilik sawah, dan tak dapat melakukan apa-apa kecuali mengeluhkan nasibnya. Sehingga dalam kesempatan wawancara dengan mereka, selalu timbul ungkapan : "kebo gede menang berik", artinya : kerbau besar menang tanduk". Kecuali kelompok kecil pemanen dan perontok padi yang dipekerjakan dan memperoleh upah yang tinggi, kebanyakan buruh tani tidak dapat memperoleh pekerjaan di sektor pertanian ini, sehingga bagi mereka ini tidak mempunyai pilihan, selain daripada mengalihkan pekerjaannya ke sektor luar pertanian, atau menganggur. Lapangan pekerjaan satu-satunya yang dapat menampung mereka adalah sektor perkebunan, yaitu perkebunan kelapa sawit milik PTP VII di sekitar desa itu. Ini pun tidak selamanya dapat menampung mereka. Keadaan ini menunjukkan potensi bahaya pengangguran yang cukup besar. 4.1. Pertanian Komersial dan Penyakapan Menurut Geertz, penyakapan merupakan mekanisme yang penting dari ideologi pemerataan kemiskinan, oleh karena pada sitem penyakapan dan praktek- praktek yang serupa, desa-desa persawahan yang semakin miskin memperoleh jalan untuk membagi kue ekonomi kepada jumlah yang ditentukan secara tradisional, dan dengan demikian dapat mempertahankan tingkat hidup penduduk yang besar jumlahnya itu agar tetap homogen .10 Sedangkan menurut teori ekonomi klasik dan neo-klasik, hubungan produksi yang tidak efisien, seperti penyakapan, akan lenyap dengan pertumbuhan pertanian komersial.11 Meskipun demikian, di desa Bajadolok ini tidak ada masalah tentang pengalihan penyakapan kepada tenaga buruh upahan (atau dengan menyewakan tanah) oleh para pemilik sawah. Terlepas dari hal tersebut, telah muncul suatu aturan baru dalam
9 10

11

Wawancara dengan salah seorang petani kaya di desa ini. Clifford Geertz : Involusi Pertanian, proses perubahan ekologi I Indonesia, (terjemahan S. Supomo) Jakarta, Bharata Karya Aksara , 1976, hal 106. C. F. Bishop & W.D. Tousant : Pengnatar Analisa Ekonomi Pertanian , (terjemahan Wisnuadji, dkk) Jakarta , Mutiara , 1979, hal 28.

e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

17

penyakapan "mertelu". Menurut aturan baru ini - yang telah dijalankan terutama oleh beberapa petani kuat baru para penyakap diharapkan untuk melaksanakan seluruh tugastugas penggarapan kecuali membajak dan menggaru sedangkan pemilik sawah bertanggung jawab atas seluruh pengeluaran-pengeluaran yang lain. Setelah panen, penyakap menerima 1/9 atau 1/12, sisanya diambil oleh pemilik sawah. Penyakapan di desa Bajadolok ini bukannya lenyap, melainkan semakin meningkat - meskipun dalam bentuk yang baru dan lebih berat dan kelihatannya tidak ada masalah dalam memadukan hubungan produksi pre-kapitalis ini ke dalam ekonomi komersial desa yang baru berkembang. Alasan utama untuk ini adalah, karena terbatasnya tanah garapan, kecilnya kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar usaha tani, serta keadaan politik sepertl yang telah dikemukakan di atas tadi. Oleh karena itu penyakapan sangatlah menarik bagi para petani tak bertanah. Penyakapan memberikan jaminan kesempatan kerja untuk periode yang cukup panjang, dan tambahan pula, memberikan kemungkinan bagi mereka untuk meminta bantuan dari pemilik sawah, jika mereka menghadapi kesulitan. Dari segi keuangan bagi pemilik sawah penyakapan ini cukup menguntungkan, karena apabila dibandingkan dengan menggunakan buruh harian, biaya yang dikeluarkan dalam sistem penyakapan lebih kecil. Penggunaan buruh harian memerlukan biaya yang lebih besar. Selanjutnya dalam sistem penyakapan, seorang pemilik sawah membayar upah tenaga kerja baru setelah panen. Apabila terjadi kegagalan seluruh atau sebagian panen, ia tidak perlu bertanggung jawab atas biaya buruh yang dipakai dalam proses produksi. Seluruh biaya ini ditanggung oleh penyakap, dan bahkan setelah panen yang kurang berhasil, penyakap masih harus menyerahkan dua pertiga dari hasil panen tersebut kepada pemilik sawah. Keuntungan lain dari penyakapan ini, apabila ditinjau dari sudut si pemilik sawah, bahwa ia mempunyai banyak kesempatan untuk menggunakan waktunya guna kepentingan-kepentingan lain, seperti berdagang, kegiatan-kegiatan politik, bersantai dan sebagainya. Oleh karena itu ia dapat mempercayakan usaha taninya kepada penyakap hanya melalui perintah-perintah dan sekali-sekali mengadakan peninjauan ke sawahnya. Lebih daripada itu, keluarga penyakap merupakan sumber tenaga kerja baginya, yang dapat dipergunakan secara cuma-cuma jika diperlukan. Akhirnya, penyakap sawahnya merupakan suatu kelompok pengikut yang setia, yang dapat dimanfaatkan baik untuk kepentingan sendiri, maupun kerabat atau teman- teman untuk memperoleh dukungan pada waktu pemilihan umum atau pemilihan tingkat desa. Di samping itu lagi, oleh karena para pemilik sawahlah yang menentukan produksi pertanian - misalnya : varietas apa yang akan ditanam, kapan menggunakan pupuk, pupuk apa yang digunakan dan berapa jumlahnya, kapan panen dilakukan dan sebagainya dan juga ia bebas untuk memberhentikan penyakap, yang menurut penilaiannya tidak mau bekerja keras, maka ada jaminan baginya untuk memperoleh produksi yang semaksimal mungkin. Meskipun kedua pihak merasa memperoleh keuntungan dari sistem penyakapan itu, hal ini tidaklah berarti bahwa "terus of trade" (syarat-syarat kerja) di antara keduanya tidak mengalami perubahan-perubahan. Perkembangan desa Bajadolok memperlihatkan contoh tentang rusak dan menurunnya "relative bargaining position" (posisi tawarmenawar relatif) para penyakap dalam bubungannya dengan pemilik-pemilik tanah sebagai akibat dari berbagai proses, seperti meningkatnya keterbatasan tanah garapan,

e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

18

serta timbulnya ketergantungan terhadap pasar dan dengan demikian terhadap fluktuasi harga pasar. Dahulu, sebelum tahun enampuluhan, biaya penggarapan tanah terutama menjadi tanggung jawab pemilik sawah dan produksi dibagi dua. Perlahan-lahan beban biaya tersebut beralih kepada penyakap, dan menjelang akhir tahun tujuhpuluhan seluruh biaya produksi ditanggung oleh penyakap. Selanjutnya di pihak lain, pemilik sawah telah pula menuntut proporsi yang lebih besar dari hasil produksi panen. lntroduksi varietas baru (padi jenis unggul) telah pula menambah beban yang harus dipikul para penyakap. Pemilik sawah mewajibkan kepada penyakap-penyakapnya untuk menanam padi varietas baru, serta menggunakan input-input yang diperlukan. Seperti halnya biaya menjadi tanggungan penyakap, meskipun ia dapat meminta pinjaman dari pemilik sawah dalam bentuk uang muka dari bagian panen yang menjadi haknya, hal ini masih berakibat meningkatnya beban penyakap tersebut. Padi jenis unggul juga membutuhkan perhatian dan tenaga yang lebih besar, sebab bibit harus ditanam menurut garis lurus (larikan) dan harus lebih sering disiangi. Dengan demikian, penyakap dipaksa untuk menyediakan waktu dan usaha yang lebih besar (juga uang, apabila membutuhkan buruh-buruh harian), sedangkan dua pertiga dari produksi panen menjadi hak pemilik. Pada tahun-tahun terakhir, terdapat lagi suatu perkembangan baru, yaitu para petani kaya mulai mempekerjakan perantara atau mandor, yang melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap penyakap-penyakap. Dalam kasus ini khususnya, hubunganhubungan patron yang lama telah mengalami perubahan yang hampir menyeluruh, menjadi suatu persetujuan/perjanjian kerja di antara kedua belah pihak. Dengan kesadaran bahwa banyak orang yang tidak mempunyai sawah di desa, yang bersedia untuk menggantikannya, maka para penyakap tidak mempunyai pilihan lain, kecuali memenuhi kewajiban-kewajiban baru yang dibebankan padanya oleh para pemilik sawah. Dalam betuknya yang terakhir, penyakapan di desa Bajadolok ini sangatlah sebanding dengan pertanian komersial. Di samping adanya jaminan sumber tenaga kerja yang mudah/murah dan teratur, pemilik sawah masih dapat mengontrol produksi untuk memaksimumkan hasil. Di bawah kondisi-kondisi penyakapan ini, pemilik sawah desa ini dapat memperoleh surplus padi, yang tak akan diperolehnya dalam kondisi produksi kapitalis dengan mempergunakan jumlah modal yang sama. Sama halnya dengan buruh tani di desa ini, yang menghadapi penurunan pendapatan dari pekerjaan-pekerjaan mereka di sawah-sawah garapan, para penyakap juga hampir tidak mungkin menolak perkembangan-perkembangan baru ini. Akibatnya seringkali anggota-anggota keluarga, di antaranya anak-anak kecil, harus mencari pendapatan-pendapatan tarnbahan atau seperti yang selalu diakui dan diungkapkan oleh para kaum wanita di desa ini : "makan harus lebih hati-hati!" 4.2. Peruhahan Keseimbangan Lingkungan dan Produksi Panen Keadaan terakhir pada waktu penelitian ini dilakukan, hama wereng di desa lni tidak lagi begitu menyerang tanaman padi. Mungkin hal ini disebabkan para petani telah memilih padi varietas baru yang tahan lama, atau juga karena penyemprotan racun pemberantas hama yang teratur dan sempurna. Tetapi hama tikus mulai menyerang padi mereka. Pada bulan Desember 1978, yaitu panen kedua tahun itu, tidak seorang petani pun di desa ini yang berhasil memanen padi mereka. Seluruhnya habis diserang tikus.

e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

19

Menurut keterangan petugas penyuluhan pertanian lapangan menurutnya penjelasan itu berdasarkan hasil pengamatannya bahwa merajalelanya hama tikus di desa Bajadolok ini disebabkan mulai musnahnya populasi ular di daerah persawahan. Musnahnya binatang ini disebabkan adalanya perburuan yang dilakukan secara besarbesaran oleh para petani desa ini. Mungkin hal ini didorong oleh keharusan untuk mencari pendapatan tambahan seperti yang telah diungkapkan di atas. Karena pada waktu itu, telah timbul tengkulak-tengkulak yang bersedia membeli ular-ular hasil buruan itu, untuk kemudian dijual kepada orang-orang Cina di kota-kota. Yang menjadi sasaran buruan utama oleh para petani itu adalah ular sawah. Perburuan ular secara besar-besaran itu akhirnya telah mengakibatkan terganggunya keseimbangan ekosistem (sistem lingkungan) di daerah pertanian di desa ini. Seperti diketahui, makanan ular (terutama ular sawah) adalah tikus. Pada waktu ularular itu masih banyak di daerah ini, perkembangbiakan tikus-tikus itu dapat dibatasi. Tetap, dengan semakin musnahnya/berkurangnya jumlah populasi ular itu, akhirnya perkembangbiakan populasi tikus itu sangat cepat sekali. Sesungguhnya, seeara tidak sadar para petani itu sendiri telah membantu berkembang biaknya hama tikus itu, yang akhirnya memusnahkan padi mereka sendiri. Akibatnya panen gagal. Yang menjadi korban dalam hal ini adalah para petani kecil, karena akhirnya mereka harus berhubungan kembali dengan para pengijon, atau menggadaikan sawahnya. Demikianlah lingkaran kehidupan petani di desa Bajadolok selama delapan betas tahun terakhir ini.

BAB V KESIMPULAN lntroduksi padi jenis unggul dan perubahan sistem pertanian selama kurun waktu delapan belas tahun di desa Bajadolok telah menimbulkan lapisan masyarakat petani baru yaitu lapisan petani kuat yang timbul dengan cara membeli sawah-sawah. Para petani kecil atau petani lemah yang membutuhkan uang. Sejalan dengan itu telah timbul pula lapisan masyarakat petani yang paling lemah, yaitu lapisan buruh tani dan penyakap yang hidupnya sangat tergantung pada lapisan petani kuat tadi. lntroduksi kredit Inmas/Bimas dalam jangka waktu tersebut hanya menolong para petani kuat sedangkan para petani lemah/petani kecil tidak terjangkau. Keuntungankeuntungan kredit Inmas/Bimas telah mendorong orang-orang yang sebelumnya tidak terlibat dalam kegiatan pertanian untuk membeli sawah dan menjadi tuan-tuan tanah baru di desa itu. Perkembangan sistem pertanian dari ladang ke sawah secta introduksi bibit padi unggul telah menyisihkan sebagian besar tenaga kerja dan menimbulkan pengagguran secara terbuka maupun tersembunyi. Penggunaan tenaga kerja lebih banyak yang dibeli dengan upah. Dalam introduksi padi bibit unggul, peningkatan penghasilan memang tercapai tetapi hanya bagi para petani lapisan atas yaitu para petani yang bersawah luas. Sistem penyakapan yang timbul selama delapan belas tahun di desa ini telah pula menimbulkan hubungan patron-klien antara pemilik sawah dan penyakap.

e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

20

Perkembangan /perubahanhan sistem pertanian selama delapan belas tahun itu telah merapuhkan pola gotong-royong di desa Bajadolok terutama pekerjaan- pekerjaan di sektor pertanian. Dalam segi teknologi pertanian terdapat perkembangan yang positif, seperti terdapatnya penemuan-penemuan baru alat-alat pertanian buatan sendiri dan caracara baru dalam proses produksi.

DAFTAR PUSTAKA Bishop, C. F. [dan] W. D. Tousan, 1979. Pengantar Analisa Ekonomi Pertanian. Jakarta : Mutiara. Geertz, Clifford , 1976. Lnvolusi Pertanian Proses Perubahan Ekologi Di Indonesia (terjemahan S. Supomo). Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Husken Frans, 1979. Pemilikan Tanah, Penyakapan Dan Buruh Tani, Perubahan Ubungan-Hubungan Kerja Ini Pedesaan Jawa", Majalah Penelitia Sosial Cakrawala No.3 / 1979, LPIS Universitas Kristen Satya Wacana, Semarang. Parlindungan, Mangaraja Onggang, [s.a]. Pongkinangolngolan Sinambela Gelar Tuanku Rao (Teror Agama Islam Mazhab Hanbali Di Tanah Batak 1816-1833), Tanjung Pengharapan, tanpa tahun terbit. Said Mohammad,1977. Suatu Zaman Gelap Di Deli, Keli Kontrak Tempo Doeloe Dengan Derita Dan Kemarahannya. Medan : Percetakan Waspada.

Sajogyo, 1974. Penelitian Dinamika Pedesaan ;Berita Antropologi No. 18 / 1974, Jakarta. Wojowasito. S. 1977 Kamus Kawi (Jawa-Kuno) Indonesia. Malang : Cv. Pengarang.

e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

21

Anda mungkin juga menyukai