Anda di halaman 1dari 7

Nepotisme hingga periode Orde Reformasi saat ini masih berlangsung.

Misalnya tindakan partai-partai yang menempatkan keluarga elit partainya pada posisi nomor urut teratas, menyisihkan para kader dan aktivis partai yang "berkeringat" serta berjuang dari bawah. Tidak mustahil patrimonialisme baru dalam skala partai ini bisa tumbuh dalam skala negara yang bisa berujung pada ketidakpercayaan publik terhadap proses demokrasi- Dalam tubuh TNI, seperti diakui Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, praktik nepotisme juga terjadi. Namun, sifatnya hanya sporadis, karena secara sistematis sudah berkurang dibanding pada masa Orde Baru. Nepotisme dan kolusi bahkan tampaknya masih terjadi dalam dunia birokrasi secara umum, misalnya dalam rekrutmen PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan anggota militer. Lewat otonomi daerah, kekuatan-kekuatan politik di daerah telah memanfaatkan menguatnya primordialisme dan komunalisme bagi tujuan-tujuan jangka pendek karena tingginya biaya kontestasi politik di daerah. Seiring dengan proses pilkada, lahirlah kemudian tim sukses (keluarga dan temanteman) yang membuat pemenang pilkada dikelilingi lingkaran tersebut, yang menurut temanteman daerah acapkali lebih berpengaruh kepada pimpinan daerah terpilih ketimbang staf resminya. Korupsi, nepotisme, dan kolusi pun selanjutnya menjadi marak. Kasus korupsi yang dilakukan oleh sebagian bupati, gubernur, dan juga korupsi di DPRD memperlihatkan hal itu. Misalnya dugaan kasus korupsi Bupati Kutai Kartanegara, Syaukani HR, senilai Rp15,9 miliar pada 2006; Bupati Kendal, Jawa Tengah, Hendy Boedoro senilai Rp57 miliar juga pada 2006; dan dugaan kasus korupsi Gubernur Kalimantan Timur, Suwarna AF., senilai Rp440 miliar pada 2005. Untuk DPRD, contoh kasusnya adalah 43 kasus korupsi yang terjadi di DPRD Surabaya senilai Rp22,5 miliar. Ini belum ditambah pelanggaran terhadap aturan penetapan biaya penunjang kegiatan DPRD sebesar 0,50 persen dari pendapatan asli sesuai PP110/2000. Meluasnya wilayah keluarga (extended family) yang menjadi rumah yang kondusif bagi berkembangnya nepotisme atau kolusi dan korupsi di atas bisa dipahami. Argumennya karena di wilayah perkotaan sekalipun corak masyarakat Indonesia sesungguhnya adalah masyarakat desa (rural community), bukan masyarakat kota (urban community) secara sosiologis. Sebagaimana dikatakan Redfield, di antara ciri masyarakat pedesaan adalah tanpa huruf (budaya baca dan menulis yang lemah), homogen, mempunyai rasa kesatuan yang kuat,

tingkah laku tradisional (tidak rasional), kelompok keluarga merupakan unit untuk bertindak, menentang segala sesuatu yang sekuler, dengan ekonomi yang lebih didasarkan pada status. Agaknya, karena itulah Jakarta sering disebut sebagai the big village alias kampung raksasa. Sebutan itu muncul pada dekade 1960-an. Maklum, meski menjadi ibukota Indonesia, sebagian besar wilayahnya masih berupa perkampungan padat yang dihuni kaum miskin. Jakarta yang sekilas tampak gemerlap pada dasarnya adalah hamparan kampung yang dihuni kaum miskin yang bertumpu pada model ekonomi bayangan (shadow economy). Ekonomi ini dibangun oleh tiga subsektor: informal, subsistensi (termasuk istri yang bekerja di rumah tanpa gaji atau bantuan keuangan dari keluarga besar), dan subsektor ekonomi gelap (sektor "kriminal" dan kegiatan ekonomi terselubung lainnya). Mereka dikenal sebagai massa apung perkotaan (urban floating mass), karena secara geografis dan okupasional sangat mudah berpindah-pindah. Dalam masyarakat yang keluarga merupakan unit untuk bertindak, seorang yang sukses berkewajiban memberi kesempatan kepada keluarganya untuk ikut sukses atau menikmati sukses yang telah diraihnya. Caranya dengan memberi bantuan finansial kepada keluarga. Jika tidak, ia akan dianggap egois, pelit, tidak mengerti makna solidaritas, dan hanya mementingkan diri sendiri. Padahal, dalam pandangan keluarganya, sukses yang diraih itu bukan hanya peran dan usahanya sendiri, melainkan juga peran dari keluarganya, paling tidak antara lain berkat doa keluarganya. Pola extended family seperti itu memang dalam beberapa hal positif. Misalnya bisa mengurangi pengaruh negatif pengangguran, dengan seorang penganggur dapat menikmati bantuan keluarga sebagai jaring pengaman sosial sambil menunggu datangnya kesempatan bisa bekerja. Namun, beban yang dipikul seorang yang dianggap sukses baik sebagai pejabat, politisi, dan profesional menjadi amat besar. Sering beban itu tidak mungkin bisa dipikul dengan gaji resmi yang relatif kecil. Korupsi pun karenanya merupakan jalan pintas untuk dapat memikul beban tersebut. Pola itu akan semakin lebih mantap lagi dalam mendukung korupsi, ketika tingkat penghargaan dalam masyarakat dan keluarga ditentukan oleh seberapa banyak materi yang dimiliki dan disumbangkan. Koruptor dermawan pun dalam masyarakat seperti itu akan dianggap sebagai tokoh terhormat. Dari sisi budaya, gambaran itu tentu saja bisa dicari pembenarannya seperti pada pepatah Minang: "Baraia sawah di ateh, lambok sawah di

bawah "yang artinya berair sawah di atas, lembap sawah di bawah. Maksudnya adalah jika seorang anggota kelompok mendapat rezeki atau mempunyai jabatan, orang-orang di sekelilingnya harus ikut menikmati rezeki atau jabatan tersebut. Akibat dari pola masyarakat seperti digambarkan di atas (kekeluargaan dan materialistik), maka money politic adalah sebuah kewajaran dan suasana sosial yang kritis terhadap tindak korupsi tidak tumbuh atau setidaknya sulit untuk tumbuh. Filosofi atau gugus budaya tertentu agaknya menunjukkan kuatnya suasana sosial seperti itu. Contohnya adalah "Mikul dhuwur mendem jero" (kebaikan dan jasa seseorang dimunculkan dan keburukannya ditiadakan/dilupakan) yang dulu sering diungkapkan Pak Harto. Kendati untuk perbuatan kecil antarindividu sikap ini baik dan dianjurkan agama, gugus budaya yang memperlihatkan kuatnya sisi kekeluargaan atau kecenderungan soft culture dengan cepat melupakan penyelewengan yang dilakukan pejabat publik merupakan problem. Rekonstruksi budaya seperti ini agar lebih kondusif bagi lahirnya pemerintah dan pemimpin yang bersih tampaknya mendesak untuk dilakukan. Dalam konteks kebudayaan Jawa yang lebih besar, filosofi yang sulit melahirkan suasana sosial yang kritis terhadap tindak korupsi ini tentu bisa dipahami. Alasannya karena dalam masyarakat Jawa, prinsip kerukunan (keselarasan) tidak mengizinkan penolakan terbuka, meskipun terhadap persoalan publik. Kerukunan (keharmonisan) juga melarang pengambilan posisi yang bisa menimbulkan konflik terbuka dan mengajarkan pengormatan pada hubungan-hubungan hierarkis seperti kepada pejabat publik dan juga penghormatan pada keselarasan sosial, meskipun untuk menuntut kepentingan dan hak sendiri. Anak Jawa diajarkan antar lain dua perasaan: wedi dan sungkan. Wedi berarti takut terhadap ancaman fisik dan akibat kurang enak yang lahir dari suatu tindakan. Sebagai masyarakat dengan pengaruh feodalisme pernah berlaku lama, anak Jawa diajarkan harus takut terhadap orang yang harus dihormati, semisal kepada pejabat, yang lebih tua, dan orang asing. Sementara sungkan adalah rasa hormat yang sopan terhadap atasan atau sesama yang belum dikenal sebagai pengekangan halus terhadap kepribadian dirinya. Meski begitu, budaya isin yang berarti malu dalam masyarakat Jawa sesuai dengan agenda pemberantasan korupsi, karena isin berarti malu melakukan kesalahan sebagai langkah pertama ke arah kepribadian Jawa yang matang. Ora ngerti isin dalam masyarakat Jawa pun merupakan suatu kritik yang amat tajam.

Budaya extended family dan feodalisme di atas membuat corporate culture birokrasi Indonesia tidak menjadikan efisiensi dan efektivitas sebagai ukuran dalam bekerja. Ungkapan yang menggambarkan buruknya birokrasi Indonesia pun sangat terkenal, yaitu "Kalau bisa dibikin susah, mengapa dibikin' gampang?" Dalam bahasa Max Weber, birokrasi di Indonesia adalah birokrasi patrimonial, yaitu bentuk birokrasi tradisional yang didasarkan pada extended family dan hubungan-hubungan yang bersifat pribadi. Para administratur pemerintah pun lebih sebagai pelayan dan wakil-wakil dari si pemimpin. Dalam birokarsi model patrimonial yang di Indonesia terjadi terutama sejak masa Orde Baruyang dalam taraf dan kasus tertentu masih berlangsung hingga kini hubungan pribadi adalah segalanya. Pengangkatan pegawai dan pejabat pun lebih bersifat politis atau berdasarkan like or dislike, seorang pegawai hanya bisa naik pangkat jika atasannya menilai ia loyal. Persoalan kinerja dalam birokrasi patrimonial merupakan ukuran kedua. Sebagaimana ditekankan Weber, meski birokrasi modern yang rasional tidak sepenuhnya mencegah timbulnya hubungan hubungan pribadi, tapi sebagai birokrasi modern, harusnya terdapat pemisahan yang tegas dan sistematis antara apa yang disebut pribadi, seperti emosi/perasaan dan hubungan sosial pribadi dengan apa yang disebut birokrasi. Birokrasi seperti itu, karenanya, menurut Weber, mengalami depersonalize. Artinya, birokrasi modern yang terbebas dari rasa cinta, benci, dan setiap perasaan yang sangat pribadi, khususnya yang tidak rasional dan tidak dapat diperhitungkan. Hal ini karena sebagaimana dikatakan Ross Pool, birokrasi yang modern menurut Weber harus merupakan bagian dari rasio instrumental yang ukurannya adalah efisiensi dan efektivitas dilihat dari sisi tujuan organisasi C. Tradisi Hadiah: Prokontra dan Praktiknya Dalam UU No. 31/1999 dan No. 20/2001, hadiah (gratifikasi) didefinisikan sebagai pemberian dalam arti luas, meliputi pemberian uang, barang, rabat diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cumacuma, dan fasilitas lainnya, baik terjadi di dalam maupun di luar negeri. Sebagaimana sebagian telah dijelaskan di atas dan juga seperti terdapat dalam beberapa buku agama, terutama fiqih, hadiah merupakan pemberian kepada seseorang yang tujuannya menjalin hubungan baik (silaturrahmi murni), sebagai bentuk penghormatan kepada yang diberi, dan

untuk memenuhi tuntutan agama yang karenanya harus dilakukan secara tulus, bukan untuk motif kepentingan kekuasaan dan material. Pemberian hadiah juga bersifat universal yang sudah dikenal ratusan tahun. Karena, menurut SH. Alatas, pemberian hadiah bukanlah termasuk korupsi jika dilakukan secara terbuka, tidak sembunyi-sumbunyi (jika bisa dalam sebuah upacara), tidak menyebabkan pelanggaran tugas dan hak publik maupun pemerintah, tidak merupakan penggelapan dana pemerintah, dan tidak juga merupakan pemerasan. Hadiah karenanya tidak menjadi penyebab secara langsung suburnya korupsi di Timur. Faktor strukturlah, yaitu para penguasa korup beserta kelembagaannya, yang membuat hadiah menjadi bagian atau menyuburkan korupsi. Namun, harus juga diakui bahwa sejak dulu hadiah untuk para pejabat mempunyai perbedaan yang tipis dengan suap. Hadiah yang terlalu besar atau sangat bernilai secara ekonomi'bisa membuat pejabat tidak berlaku adil dalam tugasnya. Agaknya karena itulah, Plato (427-347 SM) sejak masa kuno melarang pejabat publik menerima hadiah. Secara harfiah dia mengatakan: "Para pelayan bangsa harus memberikan pelayanan tanpa menerima hadiah. Mereka yang membangkang, kalau terbukti bersalah, dibunuh tanpa upacara" Kendati demikian, dalam praktik harus dipastikan bahwa hadiah memang cenderung menumbuhkan korupsi. Salah satu responden sebuah riset di Yogyakarta mengungkapkan: "...Memberi hadiah merupakan praktik yang biasa dalam kehidupan sehari-hari. Seperti saya misalnya memiliki kepentingan supaya bisnis saya dipermudah dan berjalan mulus, saya mendekati staf atau pejabat, biar dekat dan urusan saya akan lancar. Akan tetapi, biasanya kita hanya mengajak mereka makan atau yang lainya. Untuk itu, kita yang mentraktir mereka atau memberi hadiah". Sumber lain dalam riset itu menyebut sebagai berikut. "Kita selalu berusaha untuk melakukan pendekatan kepada mereka sehingga kita dipermudah dalam melakukan bisnis. Pendekatan yang kita lakukan misalnya memberikan hadiah, atau kadang-kadang kita memberikan uang transport.... Besarrwa (uang transpor) sih masih wajar, yaitu sekitar Rp. 100.000. Karena itu, apa yang ditempuh UU antikorupsi di Indonesia yang tidak melarang mutlak sama sekali cukup moderat. Dalam UU itu, hadiah yang didapat pejabat publik harus dilaporkan oleh penerimanya kepada KPK selambat-lambatnya 30 hari setelah menerima. Jika ini dilakukan, penerimanya tidak dianggap menerima suap. Selain itu, dalam pembuktian

gratifikasi bukan suap, jika nilainya Rp10 juta atau lebih harus dilakukan oleh penerima (pembuktian terbalik), dan jika di bawahnya dilakukan oleh penuntut umum. D. Upeti di Indonesia dari Masa ke Masa Jika hadiah merupakan bentuk penghormatan kepada yang diberi dan dilakukan harus dengan ketulusan, tanpa ada kepentingan, upeti lebih sebagai keharusan yang dimunculkan pejabat dan dalam banyak kasus berfungsi sebagai uang pelicin (sogokan). Bentuk upeti ini menjadi bagian dari feodalisme kerajaan dan kepriyayian, sebagaimana telah dijelaskan di muka. Selain kasus yang telah dikemukakan di atas, kasus yang menarik yang menjelaskan bahwa upeti mengakar dalam sejarah kebudayaan Indonesia juga diungkap oleh Nicolas Engelhard, Gubernur Pantai Timur Jawa, sebagaimana dikisahkan Duku Imam Widodo, penulis Soerabaia Tempo Doeloe. Dalam pengalaman yang ditulisnya tanggal 15 April 1805, Nicolas mengungkapkan bahwa dirinya menjadi kaya raya karena sogokan (upeti) orangorang pribumi yang menginginkan jabatan. Di wilayah Melayu di Indonesia, sikap pejabat atau penguasa pada masa dulu itu dilihat dari apa yang diungkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. la mengkritik para raja saat itu karena kerja mereka adalah menindas rakyat melalui penarikan upeti yang berat. Mungkin dari realitas itulah dikenal pantun: Burung kenari berkekah/berkekah di tengah padang/jika tidak berani menjarah/ tidak usah menjadi hulubalang. Tradisi upeti itulah yang dilestarikan oleh Presiden Soeharto saat berkuasa. Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto, istri, anak-anak, dan menantunya mendirikan yayasan-yayasan yang secara formal tujuannya bersifat sosial dan amal. Dari banyak yayasan-yayasan ini, yang terbesar adalah Dakab, Dharmais, Supersemar, Tritura, dan Amal Bhakti Muslim Pancasila. Namun dalam praktiknya, yayasan itu digunakan untuk menghindari pajak, mengaburkan perusahaan publik dan swasta, dan terutama untuk mengumpulkan sumbangan atau lebih tepatnya upeti dan kutipan dari perusahaan-perusahaan swasta dan BUMN. Modus pengambilan upeti baru yang ditempuh pemimpin Orde Baru ini bukanlah satu-satunya modus. Menurut George Junus Aditjondro, modus lain tentu saja ada banyak, yaitu mengeluarkan dan menyalahgunakan kepres, mendayagunakan aset yang menjadi milik kawan-kawan mantan Presiden Soekarno, menyalahgunakan fasilitas publik dan negara,

membentuk monopoli komoditi (seperti impor gandum dan tepung terigu dan juga cengkeh), menyewakan pesawat untuk jemaah haji, menyelundupkan emas ke luar negeri, mengimpor senjata dan bahan peledak, dan menghadiahi para kroni yang mau "bekerja sama" dengan promosi jabatan dan kekuasaan. Meskipun sebagian besar benar, tampaknya masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Karena berbagai penyimpangan itu, pada 8 Agustus 2000 Presiden Soeharto secara resmi didakwa oleh jaksa agung karena telah menggelapkan uang sebesar USD 571 juta dari tujuh yayasan yang diketuainya ketika masih menjabat dan diindikasikan melanggar UU antikorupsi tahun 1971. Namun, hingga meninggalnya, kasusnya ini tidak kunjung diselesaikan. Penarikan upeti seperti di atas hingga kini masih berlangsung. Praktik politik uang pilkada atau pilpres menunjukkan asumsi ini. Dari laporan hasil audit pertama parpol-parpol yang diserahkan ke KPU dalam pemilu 1999, sejumlah parpol memperoleh donasi, atau lebih tepatnya upeti, anonim yang melebihi batas yang ditetapkan UU No. 3/1999. Dalam UU itu, batas maksimal sumbangan perorangan Rp15 juta dan untuk sumbangan perusahaan Rp150 juta. Penarikan upeti juga sering dilakukan oleh polisi. Ini bisa dilihat dari fenomena gerombolan preman sebagaimana diungkapkan Gary Goodfaster.67 Mereka bisa beroperasi di tempat polisi tidak efektif atau memilih untuk tidak efektif. Di beberapa tempat,

Anda mungkin juga menyukai