Anda di halaman 1dari 4

Koalisi Partai di Pemerintahan SBY-Boediono

Indonesia menjalankan pemerintahan republik presidensial multipartai yang demokratis. Seperti juga di negara-negara demokrasi lainnya, sistem politik di Indonesia didasarkan pada Trias Politika, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kekuasaan legislatif dipegang oleh sebuah lembaga bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Lembaga eksekutif berpusat pada presiden, wakil presiden, dan kabinet. Kabinet di Indonesia adalah Kabinet Presidensial sehingga para menteri bertanggung jawab kepada presiden dan tidak mewakili partai politik yang ada di parlemen. Meskipun demikian, Presiden saat ini yakni Susilo Bambang Yudhoyono yang diusung oleh Partai Demokrat juga menunjuk sejumlah pemimpin Partai Politik untuk duduk di kabinetnya. Tujuannya untuk menjaga stabilitas pemerintahan mengingat kuatnya posisi lembaga legislatif di Indonesia. Namun pos-pos penting dan strategis umumnya diisi oleh menteri tanpa portofolio partai (berasal dari seseorang yang dianggap ahli dalam bidangnya). Lembaga Yudikatif sejak masa reformasi dan adanya amandemen UUD 1945 dijalankan oleh Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi, termasuk pengaturan administrasi para hakim. Meskipun demikian keberadaan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tetap dipertahankan.1 Dalam sistem pemerintahan presidensiil yang kita anut, sebenarnya SBY tak memerlukan koalisi. Berbeda dengan sistem parlementer, dalam sistem presidensiil seorang presiden tak dapat dijatuhkan oleh parlemen. Pengecualian bila presiden dinilai telah melanggar konstitusi atau melakukan tindakan pidana. Apabila kita melihat hasil perolehan suara di Pemilu Legislatif dan Presiden tahun 2009, Partai Demokrat yang tidak menang mutlak atau tidak menjadi single mayority di DPR, memang memerlukan berkoalisi dengan partai lain. Dari Demokrat merangkul

http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_presidensial diakses tgl 6 Juni 2011

Parta Golkar, PKS, PKB, PBB, dan PAN. Adanya koalisi di DPR itu sangat wajar supaya kebijakan pemerintahan yang dijalankan SBY yang berasal dari Demokrat tidak terganjal atau diganjal di DPR.2 Kemudian apabila melihat perolehan suara SBY dalam pemilihan presiden, SBY menang mutlak. Secara matematis atau politik sebetulnya SBY bisa bersikap mandiri dalam mengisi jabatan menteri di berbagai kementerian, tanpa mempedulikan atau merasa harus memberi imbalan kepada partai yang mau berkoalisi di DPR dengan Demokrat. Pertanyaannya sekarang adalah mengapa SBY tidak cukup percaya diri menyusun kabinet secara professional dan bebas dari keharusan memberi imbalan kepada kader partai mitra koalisinya. Atau dalam istilah sekarang ini mengapa terjadi transaksional dalam menyusun kabinet. Mungkin saja SBY mengikutkan kader partai dalam kabinet dengan

pertimbangan; 1. Indonesia ini negara besar dengan sejumlah permasalahan yang sangat besar pula. Untuk mengeluarkan negara ini dari berbagai masalah besar itu perlu kebersamaan sesama komponen bangsa. 2. SBY menyadari betul bahwa negara yang dalam masalah besar ini gampang dipecahbelah atau pemerintahan akan gonjang ganjing bila dikritik tiap hari oleh partai politik. 3. SBY mengikutkan partai dalam kabinetnya untuk memberi tempat kepada semua partai politik mengirim kader terbaiknya duduk ke kabinet untuk menunjukkan kemampuannya membantu pemerintah mengatasi berbagai masalah negara dan memajukan negara. Tapi, kalau kita memperhatikan apa yang terjadi di kabinet SBY periode I dan II yang sudah berjalan setahun lebih, tiga hal tersebut tidak tercapai. Malahan menjadi bomerang. Artinya menteri yang berasal dari partai tidak memanfaatkan posisinya itu untuk menunjukkan kemampuan lebihnya berbuat untuk negara dan bangsa, sehingga tidak membawa dampak positif bagi pemerintahan maupun menaikkan popularitas partainya. SBY juga menjadi bingung dengan sikap anggota partai koalisi di DPR yang beroposisi dengan pemerintah.
2

http://www.vivaborneo.com/koalisi-pecah.htm#more-8675 diakses tgl 6 Juni 2011

Kalau kita menilik sejarah masa lalu negara dan bangsa ini, sejak pemilu pertama diadakan tahun 1955, memang sejarah membuktikan bahwa bangsa kita, khususnya politisi tidak pandai berkoalisi dengan partai pemenang pemilu. Dari itu sejarah juga mencatat ada umur kabinet di Indonesia hanya dalam hitungan bulan. Dari itu apa yang terjadi sekarang ini sebenarnya bukanlah hal yang baru di Indonesia. Politisi tidak bisa memilah waktu kapan bertanding dan bersaing terbuka, dan kapan waktunya saling bekerjasama membangun negara dan bangsa. Dalam kesepakatan awal koalisi partai pada awal pemerintahan SBY yang disampaikan tepatnya pada tanggal 15 Oktober 2009, para pimpinan partai politik telah sepakat untuk berkoalisi, dan berkoalisi bukan untuk masing-masing, bukan untuk beroposisi, dan mendukung penuh suksesnya Pemerintahan SBY-Boediono 2009-2014, baik di eksekutif maupun legislatif. Ternyata, dalam perjalanannya, koalisi tersebut tidak solid untuk tetap satu suara dalam menyikapi persoalan-persoalan yang muncul. Hal ini agaknya sedikit banyak mengganggu pikiran SBY dalam menjalankan roda pemerintahan.

Perbedaan tersebut muncul saat bergulirnya hak angket mengenai Bank Century dan mafia pajak. Golkar dan PKS berseberangan dengan anggota koalisi lainnya dalam menyikapi kedua kasus yang menjadi perhatian masyarakat. Setelah hampir setengah tahun hanya menjadi wacana yang diwarnai oleh suarasuara akan perlunya perombakan kabinet, tata ulang koalisi akhirnya mencapai final pada 23 Mei lalu. Keenam partai yang tergabung dalam koalisi sepakat untuk kembali jalan seiya-sekata. Keenamnya pun meneken kontrak baru koalisi yang merupakan penyempurnaan dari kontrak sebelumnya yang dinilai membuka celah bagi mbalelo-nya anggota koalisi. Sudah barang tentu SBY-Boediono berharap kontrak baru tersebut cukup untuk menambal keretakan yang sempat terjadi. Selanjutnya perahu kembali dapat berlayar mengarungi samudera pemerintahan hingga 2014. Tak boleh ada lagi perbedaan pendapat

yang bisa mengganggu hubungan harmonis koalisi sampai akhir pemerintahan SBYBoediono tiga setengah tahun lagi. Agak berbeda dengan kontrak sebelumnya, dalam kontrak baru ini partai koalisi yang mbalelo dari keputusan bersama koalisi tak bisa lagi mempertahankan pendapatnya sendiri. Mereka harus tunduk dengan kesepakatan yang sudah menjadi suara bulat koalisi. Kalau perbedaan tersebut tak bisa diselesaikan, maka anggota koalisi yang tetap ngotot dengan pendapatnya sendiri dianggap mundur dari koalisi. Ini seperti sanksi yang diberikan kepada anggota koalisi yang sudah tidak bisa mengikuti suara mayoritas di dalam koalisi itu sendiri.3

http://republika.co.id:8080/koran/0/136482/TANTANGAN_KOALISI_BABAK_BARU diakses tgl 6 Juni 2011

Anda mungkin juga menyukai