Anda di halaman 1dari 8

Pendahuluan Kelumpuhan pada muka adalah suatu bentuk kesulitan yang mempunyai suatu dampak besar atas seorang

pasien. Kelumpuhan saraf fasialis mungkin terjadi secara kongenital, neoplastik atau diakibatkan oleh infeksi atau peradangan, trauma, racun, atau karena iatrogenic. Penyebab paling umum dari kelumpuhan nervus fasialis yang unilateral adalah Bell palsy, yang juga dikenal sebagai kelumpuhan nervus fasialis idiopatik. Bell palsy ditemukan sekitar 60-75% dari kasus yang terjadi secara unilateral akut. Pada tahun 1550, Fallopius mencatat satuan cahaya yang sempit pada tulang dimana saraf ketujuh dari nervus kranial terlewati. Pada tahun 1828, Charles Bell membuat perbedaan antara saraf kranial ketujuh dan kelima, ia mencatat bahwa saraf yang ketujuh telah terlibat pada sebagian besar fungsi motorik wajah dan saraf yang kelima terkait pada sebagian besar persepsi yang berhubungan dengan perasaan wajah. Bahkan hari ini, masih terjadi kontroversi antara perawatan dan etiologi dari Bell palsy. Tanda klinis dari Bell palsy bisa membantu mencari penyebab kelumpuhan pada muka yang meliputi serangan yang mendadak dari kelumpuhan pada muka secara unilateral (kurang dari 48 jam), ketiadaan tanda, gejala penyakit pada CNS dan ketiadaan tanda dan gejala dari telinga atau penyakit fossa posterior. Patofisiologi Inti saraf fasialis terdapat dalam reticular pons, bersebelahan dengan bilik jantung yang keempat. Radik dari nervus fasialis meliputi serabut motorik, solitarius dan nukleus saliva. Nervus intermedius meliputi serabut dari saliva dan nukleus solitarius berisi serabut yang berhubungan dengan perasaan dari lidah, mukosa dan post auricular kulit seperti halnya serabut parasimpatetik yang berhubungan dengan kelenjar ludah dan kelenjar lakrimal. Serabut saraf fasialis kemudian berjalan disekitar inti saraf kranial keenam lalu keluar melalui pons pada sudut cerebellopontine. Serabut yang melewati saluran indera auditorik internal bersama dengan vestibular saraf kranial kedelapan. Bagian yang paling dangkal dari saluran indera auditorik internal adalah segmen labirin. Ini merupakan penempatan yang umum dari lokasi tekanan pada saraf fasialis dalam Bell palsy. Saraf kranialis ketujuh berisi serabut parasimpatetik yang mempersarafi hidung, langit-langit mulut dan kelenjar lakrimal. Serabut parasimpatetik preganglionik yang berawal dari nukleus saliva yang bergabung dengan serabut nukleus solitarius yang akhirnya membentuk nervus intermedius. Serabut ini kemudian bersinaps dengan ganglion submandibular, yang mempersarafi kelenjar sublingual dan submandibular. Serabut dari nervus intermedius juga mempersarafi ganglion pterygopalatine, dimana terdapat serabut parasimpatetik yang mempersarafi hidung, langit-langit mulut dan kelenjar lakrimal. Saraf fasialis melalui foramen stylomastoid dalam tengkorak dan berakhir ke dalam zygomatik, bukkal, mandibular dan cabang dari cervical. Nervus ini mempersarafi otot-otot dari ekspresi muka, yang meliputi frontalis, orbicularis oculi, orbicularis oris, buccinator, dan platysma. Otot lain yang diinervasi oleh saraf fasialis meliputi stapedius, stylohyoid, abdomen digastric posterior, oksipitalis serta di daerah anterior dan posterior otot-otot auricular. Semua otot yang dipersarafi oleh saraf fasialis berasal dari arkus brachialis kedua. Lokasi dari kerusakan nervus fasialis pada penyakit Bell palsy terjadi di perifer. Dimana kerusakan berada di dekat atau di ganglion geniculate. Jika lesi berada di proksimal ganglion geniculate, maka terjadi kelumpuhan motorik dari gustatorik dan terjadi kelainan otonom. Lesi diantara ganglion geniculate dan asal chorda tympani menghasilkan efek yang sama kecuali pada kelenjar lakrimasi. Jika lesi terdapat pada foramen stylomastoid, mungkin hanya mengakibatkan kelumpuhan muka saja. Bell palsy disebabkan oleh edema dan iskhemia yang menghasilkan tekanan saraf fasialis yang berjalan

sampai saluran tulang. Penyebab edema dan iskhemia masih diperdebatkan. Di masa lalu, pada keadaan dingin (misalnya angin dingin, pengaruh keadaan udara dingin, atau mengemudi dengan jendela yang terbuka) telah dipertimbangkan sebagai satu-satunya pemicu pada Bell palsy. Bagaimanapun, kebanyakan penulis percaya bahwa herpes simpleks virus (HSV) adalah penyebab yang hampir bisa dipastikan. Tapi hubungan antara HSV dan Bell palsy sangat sulit karena HSV ada dimana mana. Pada tahun 1972, Mccormick lebih dulu mengusulkan bahwa HSV bertanggung jawab atas kelumpuhan muka yang tidak diketahui. Ini telah didasarkan pada analogi bahwa pada HSV telah ditemukan sariawan dan ia menghipotesakan bahwa HSV tetap berada pada ganglion geniculate. Sejak itu, studi otopsi menunjukkan HSV berada di dalam ganglion geniculate pada pasien dengan Bell palsy. Murakami melakukan polymerase reaksi berantai (PCR) dalam pengujian HSV pada cairan endoneural nervus ketujuh pada pasien yang mengalami perawatan Bell palsy. Sebelas dari 14 pasien telah ditemukan HSV pada cairan endoneuralnya. Asumsi bahwa HSV merupakan agen etiologi pada Bell palsy adalah wajar. Jika ini adalah benar, kemudian virus hampir bisa dipastikan terdapat pada akson sensoris dan terletak pada sel-sel ganglion. Kadang-kadang virus akan timbul kembali, menyebabkan kerusakan lokal pada myelin. Jadi Bell palsy mungkin terjadi karena sekunder oleh virus dan atau reaksi autoimun yang menyebabkan saraf fasialis demyelinasi, yang menghasilkan kelumpuhan fasialis secara unilateral. Frekuensi Di Amerika Insiden dari Bell Palsy per tahun kira-kira 23 kasus dari 100,000. Pada orang dengan kencing manis mempunyai resiko sekitar 29% lebih tinggi dibanding pada orang tanpa kencing manis, mengukur kadar glukosa darah pada waktu mendiagnosa Bell palsy kadang-kadang tidak didapatkan peningkatan. Di Dunia Terjadi paling tinggi pada suatu studi di Seckori, Jepang, pada tahun 1986 dan terjadi yang paling rendah di Sweden pada tahun 1971. Kebanyakan studi populasi menunjukkan frekuensi insiden pertahun sekitar 15-30 kasus dari 100,000. Mortalitas dan Morbiditas Mayoritas pasien yang menderita penyakit Bell palsy mempunyai neurapraksia atau blok konduksi saraf lokal. Pasien mungkin bisa mengalami penyembuhan saraf sempurna. Pasien dengan axonotmesis, dengan gangguan akson, mempunyai penyembuhan yang baik tetapi pada umumnya tidak sempurna. Faktor resiko yang berhubungan dengan hasil yang kurang baik pada Bell palsy meliputi : (1) usia lebih dari 60 tahun (2) kelumpuhan lengkap (3) penurunan indera perasa atau berhubungan dengan ludah pada salah satu sisi kelumpuhan (pada umumnya 10-25% dibandingkan dengan sisi pasien normal). Faktor lain yang berhubungan dengan hasil yang kurang baik meliputi nyeri pada auricular posterior dan penurunan lakrimasi. Pasien pada umumnya mempunyai prognosis yang baik, kira-kira 80-90% pasien sembuh tanpa kerusakan rupa yang nyata dalam 6 minggu sampai 3 bulan. Pasien dengan usia 60 tahun atau lebih tua mempunyai kesempatan sembuh sempurna kira-kira 40% dan mempunyai resiko tinggi sequele. Pasien dengan usia muda sekitar 30 tahun hanya mempunyai suatu 10-15% kesempatan dengan keadaan sembuh sempurna dan sequele. Jika tidak sembuh dalam 4 bulan, maka kemungkinan pasien mempunyai sequele yang

meliputi sinkinesis, keluar air mata terus menerus dan spasme hemifasial. Sinkinesis adalah suatu kontraktur yang abnormal dari otot muka baik sambil tersenyum atau menutup mata. Mungkin saja lemah dan mengakibatkan sulitnya menggerakkan dagu ketika pasien mengedip, menutup mata sambil tersenyum atau kontraktur di sekitar mulut sambil yang mengedip. Air mata diamati ketika pasien sedang makan. Spasme wajah merupakan salah satu komplikasi dari Bell palsy yang jarang terjadi. Biasanya terjadi kontraksi tonik singkat pada satu sisi muka. Spasme dipicu oleh stress, lelah atau ketika akan tidur. Kondisi bisa terjadi sekunder oleh karena tekanan akar saraf ketujuh oleh pembuluh darah yang menyimpang, tumor atau demyelinasi saraf. Paling umum terjadi pada usia 50 sampai 60 tahun dan kadang-kadang etiologi tidak ditemukan. Adanya hemispasme progresif pada muka dan ditemukannya kelainan saraf kranial menandai adanya kemungkinan suatu luka pada batang otak. Pasien diabetes 30% lebih mungkin sembuh sempurna dibanding pasien non diabetes yang hanya mempunyai kesembuhan parsial, biasanya Bell palsy sering kambuh pada pasien yang disertai diabetes. Bell palsy hanya meliputi 23% dari kelumpuhan muka secara bilateral. Mayoritas pasien dengan kelumpuhan muka secara bilateral mempunyai Guillain-Barr Sindrom (GBS), sarcoidosis, penyakit lyme, meningitis (neoplastik atau infeksi) atau neurofibroma bilateral (pada pasien dengan neurofibromatosis type 2). Rekurensi Bell palsy terjadi sekitar 10-15%. Mungkin berulang pada sisi ipsilateral atau kontralateral dalam kelumpuhan awal. Rekurensi pada umumnya dihubungkan dengan sejarah keluarga dari Bell palsy. Kira-kira 30% pasien dengan kelumpuhan muka ipsilateral yang timbul kembali ditemukan tumor saraf ketujuh atau tumor kelenjar parotis. Pasien dengan kelumpuhan muka ipsilateral yang timbul kembali perlu pemeriksaan MRI atau High-Resolution CT yang berfungsi untuk mengesampingkan infeksi atau neoplastik (misalnya, berbagai sklerosa, sarcoidosis) yang menyebabkan rekurensi. Jenis kelamin Bell palsy dipengaruhi oleh jenis kelamin. Bagaimanapun, wanita-wanita muda yang lebih tua 10-19 tahun lebih memungkinkan terpengaruh dibanding orang pada kelompok usia yang sama. Wanita-Wanita hamil mempunyai 3,3 kali resiko yang lebih tinggi dibanding wanita yang tidak hamil, Bell palsy paling sering terjadi pada trimester yang ketiga. Usia Yang paling rendah ditemukan pada usia yang lebih muda dibanding 10 tahun dan yang paling tinggi terdapat pada usia 60 tahun atau lebih . Gejala Klinik Bell palsy merupakan diagnosa yang berbeda. Hasil diagnosa harus dibuat atas dasar suatu sejarah yang seksama, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang jika diperlukan. Gejala Bell palsy : i Serangan akut kelumpuhan muka unilateral bagian atas dan bawah (diatas 48 jam) i Nyeri auricular bagian posterior i Gangguan air mata i Hiperacusis i Gangguan rasa Kelumpuhan harus meliputi dahi dan menurunkan aspek dari wajah. Pasien boleh melaporkan ketidakmampuan untuk menutup mata atau untuk tersenyum pada sisi yang terpengaruh. Ia juga boleh

melaporkan peningkatan air liur pada sisi kelumpuhan. Jika kelumpuhan melibatkan hanya pada bagian yang lebih rendah dari wajah, mungkin kerusakan pada pusat harus dicurigai (dengan kata lain, supranuclear). Jika pasien mengeluh kelemahan kontralateral atau diplopia dengan supranuclear pada kelumpuhan muka, maka stroke atau lesi intracerebral harus betul-betul dicurigai. Separuh pasien Bell palsy bisa mengeluh sakit pada auricular bagian posterior. Mungkin pasien pernah mengalami trauma. Sepertiga pasien bisa mengalami hyperacusis pada telinga ipsilateral dengan kelumpuhan, yang mana merupakan hal yang sekunder dari kelemahan otot stapedius. Satu dari keenam pengalaman pasien mengalami penurunan lakrimasi. Banyak pasien melaporkan rasa kebas pada sisi kelumpuhan. Beberapa penulis percaya bahwa ini adalah sekunder dari keterlibatan saraf trigeminal, sedangkan penulis lain membantah bahwa ini mungkn gejala yang berkaitan dengan ketiadaan mobilitas otot-otot muka dan bukan ketiadaan sensasi. Jika pasien mempunyai serangan kelumpuhan muka secara continue, kelemahan sisi kontralateral, sejarah trauma, infeksi atau peradangan, penyebab lain kelumpuhan muka harus betul-betul dipertimbangkan. Pasien yang mempunyai kelumpuhan muka secara bilateral harus dievaluasi adanya GBS, penyakit lyme dan meningitis. Kelumpuhan muka secara ipsilateral yang timbul kembali harus dicurigai adanya suatu tumor saraf ketujuh atau tumor kelenjar parotis. Jika pasien melaporkan serangan kehilangan pendengaran yang mendadak dan timbul sakit dengan serangan kelumpuhan muka, maka Ramsay hunt sindrome harus dipertimbangkan. Gejala yang berhubungan dengan neoplasma saraf ketujuh meliputi kelumpuhan pelan-pelan secara progresif, hiperkinesis pada muka, timbul sakit, rekurensi kelumpuhan dan keterlibatan saraf kranial lain. Tumor cerebellopontine bisa mempengaruhi saraf ketujuh, kedelapan dan kelima secara simultan. Pasien dengan suatu kelumpuhan yang progresif pada saraf muka yang lebih lama dari 3 minggu, maka harus dievaluasi untuk adanya neoplasma. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan awal pada pasien menunjukkan perataan dahi dan nasolabial yang melipat ke samping dihinggapi kelumpuhan. Ketika pasien diminta untuk mengangkat alis, sisi dahi dengan kelumpuhan akan tertinggal. Ketika pasien diminta untuk tersenyum, wajah akan dikesampingkan ke arah lateralis dari kebalikan sisi kelumpuhan. Pasien tidaklah mampu menutup mata dengan sepenuhnya pada sisi yang terpengaruh. Pada penutupan mata, maka mata akan ke atas dan ke dalam pada sisi yang terpengaruh. Ini dikenal sebagai peristiwa Bell dan dipertimbangkan suatu respon normal. Suatu pengujian hati-hati pada kepala, telinga, mata, hidung dan kerongkongan (HEENT) harus dilaksanakan pada semua pasien dengan kelumpuhan muka. Saluran pada indera pendengar yang eksternal harus diperiksa adanya gelembung, suntikan, infeksi atau peradangan, atau trauma. Pasien mungkin merasakan penurunan sensasi peniti pada auricular bagian posterior. Pasien yang mempunyai kelumpuhan otot stapedius biasanya didapatkan hiperacusis. Dengan kelemahan atau kelumpuhan pada otot orbicularis oculi (inervasi saraf muka) dan fungsi normal otot levator (inervasi saraf oculomotor) dan otot Mueller (inervasi simpatis). Refleks air mata bisa juga tidak terlalu membantu dalam Bell palsy. Pengujian pada kornea dan rasa bisa juga dipertimbangkan. Pengujian mengenai ilmu penyakit saraf secara seksama pada pasien dengan kelumpuhan muka sangat

perlu dilakukan. Lebih lanjut dilakukan pengujian seperti MRI otak, pungsi lumbal dan electromyography (EMG). Diagnosis banding i Inflamasi akut demyelinasi poliradikuopati i Angiopati amiloid i Sirkulasi stroke bagian anterior i Arsenik i Trombosis arteri basilar i Tumor Kepala Benigna i Glioma batang otak i Penyakit Carotis dan Stroke i Serebral Aneurisma i Guillain-Barre Sindrome pada masa kanak-kanak i Intrakranial Hemorhagik i Low-Grade Astrocytoma i Penyakit lyme i Meningioma i Meningococcal meningitis i Berbagai Sklerosis i Mbius Sindrome i Neurofibromatosis type 2 i Neurosarcoidosis i Neurosyphilis i Meningitis tuberculosa Penyakit lain yang bisa dipertimbangkan: Retak Tengkorak fundamental Barotrauma Keracunan makanan Carcinomatosis Dipteri Kerusakan muka HIV Iatrogenic ( seperti otologik, neurotologik, dasar tengkorak atau operasi parotid) Idiopatik Infeksi atau peradangan Aneurisma intratemporal carotis interna Otitis eksterna malignant Meningitis Penyakit gondok Tumor parotid Ramsay hunt sindrome Sarcoma Teratoma Tetanus

Pemberian Thalidomide Trauma Racun Gangguan vaskuler Vasculitis Wegener Serum titer dari HSV mungkin bisa diperoleh, tetapi tidak begitu membantu. Glukosa darah atau hemoglobin A1c mungkin diperoleh untuk menentukan pasien yang mempunyai penyakit diabetes yang tidak diagnosa. Pemeriksaan Penunjang Radiologi Jika sejarah dan pemeriksaan mendorong ke arah hasil diagnosa Bell palsy, maka pemeriksaan radiologi tidak begitu perlu, sebab kebanyakan pasien dengan Bell palsy sembuh dalam 8 sampai 10 minggu. Jika kelumpuhan tidak sembuh atau bertambah buruk, pemeriksaan radiologi mungkin bermanfaat. MRI pada pasien dengan Bell palsy bisa memperlihatkan gaambaran peningkatan saraf ketujuh pada atau dekat ganglion geniculate. Bagaimanapun, jika kelumpuhan lebih daari saatu minggu, kemungkinan adalah tinggi karena suatu neoplasma yang menghambat saraf kranialis ketujuh. Tumor yang menekan saraf kranialis meliputi schwannoma (yang paling umum), hemangioma, meningioma, dan sclerosing hemangioma. Jika pasien mempunyai suatu sejarah trauma, CT Scan tulang yang sementara mungkin diperlukan. Pemeriksaan lain Bisa juga menggunakan peningkatan bunyi pada stetoskop test yang berfungsi untuk menilai fungsi dari otot stapedius. Schirmer blotting test untuk menilai fungsi dari air mata serta penggunaan benzen untuk mengetahui refleks nasolaakrimal. Brainstem auditory-evoked respone (BAER) berguna dalam mengukur respon transmisi melalui batang otak dan sangat efektif dalam mendeteksi khususnya luka retrocochlear. Bagaimanapun, ketika suatu pasien mengalami multiple kraniaal neuropati, dengan kata lain, CN VII dan VIII, maka penggunaan BAER mungkin bermanfaat. Pemeriksaan mikroskopik Suatu tinjauan dalam 12 kasus otopsi pada pasien dengan Bell palsy yang dilakukan Peter Dyck s menyatakan bahwa mayoritas kasus menunjukkan perubahan inflamasi di sekitar sel tulang dan dinding dari arteri. Lokasi keterlibatan yang umum adalah ganglion geniculate. Perawatan di Rumah Sakit Secara umum, seseorang yang menderita Bell palsy sesungguhnya mempunyai prognosis yang bagus. Terapi lebih ditujukan untuk meningkatkan fungsi dari nervus fasialis dan mengurangi kerusakan pada neuron. Obat yang paling sering di pakai adalaah dari jenis kortikosteroids. Bagaimanapun, penggunaan steroids masih kontroversi sebab kebanyakan pasien pulih tanpa perawatan. Dosis prednisone yang direkomendasikan adalah 1 mg/kg atau 60 mg/hari untuk 6 hari, yang diikuti tapering dose, dengan total 10 hari. Terapi Gol farmakoterapi adalah untuk mengurangi keadaan tidak sehat dan mencegah komplikasi. Kategori Obat :

Korticosteroid, Prednisone dapat digunakan tetapi mempunyai banyak efek yang kurang baik yang mencakup cairan, hipokalemia, myopati, peptik ulser, sakit kepala (pseudotumor), ketidakteraturan haid, katarak, glaukoma dan dibetes melitus latent. Nama Obat : Prednisone (Deltasone, Orasone, Meticorten), Glucocorticoid yang bisa diserap oleh GIT. Merupakan anti-inflammatori dan immune-modulating efek serta mempunyai variasi daripada efek metabolisme. Dosis dewasa : 1 mg/kg atau 60 mg/oral untuk 7 hari, tappering dose dengan total pemberian obat selama 10 hari. Dosis anak-anak : 1 mg/kg atau 60 mg untuk 6 hari, tappering dose dengan total pemberian obat untuk total 10 hari. Kontraindikasi : Hipersensitivitas, diabetes yang taaak terkontrol, infeksi jamur sistemik, penyakit peptik ulser, tuberkulosis, osteoporosis, reaksi kurang baik dari kortikosteroid. Interaksi obat : Obat yang mempengaruhi enzim hepatik bisa meningkatkan clearance meliputi obat tidur, phenitoin dan rifampin, pasien dengan pemberian aspirin atau coumadin harus dimonitor akan terjadinya perdarahan pada gastro intestinal. Kehamilan : Pada umumnya aman. Tindakan pencegahan : pasien dengan resiko hiperglikemia, elektrolit yang abnormal, osteoporosis, nekrosis avascular, penyakit kejiwaan, dan myopati atau memperburuk kelemahan pada pasien dengan myasthenia gravis, discontinuitas prednisone tanpa tappering dose pada pasien dengan resiko adrenal crisis. Terapi Antiviral, Acyclovir telah digunakan pada Bell palsy baik secara kombinasi dengan prednisone atau tidak. Nama Obat : Acyclovir (Zovirax), obat antiviral yang mempunyai sifat mencegah dan melawan terhadap HSV-1, HSV-2 dan VZV, yang selektif pada sel yang terinfeksi. Dosis dewasa : 800 mg/oral/5 kali/hari dalam 10 hari Dosis anak-anak : > 2 tahun, 20 mg/kg untuk 10 hari Kontraindikasi : Hipersensitivitas Interaksi obat : Probenecid atau Zidovudine memperpanjang waktu paruh dan bisa meningkatkan keracunan CNS. Kehamilan : Belum tentu aman. Tindakan pencegahan :Hati-hati pada renal failure atau ketika menggunakan obat-obat nefrotoksik. Komplikasi Kira-kira 30% pasien Bell palsy mengalami kelumphan sequelae, yang meliputi kesembuhan motorik yang tidak sempurna, regenerasi sensoris yang tidak sempurna dan kerusakan saraf parasimpatetik. Kesembuhan motorik yang tidak sempurna, biasanya mengenai ketidakcakapan mulut atau epiphora. Kesembuhan sensoris yang tidak sempurna bisa mengakibatkan dysgeusia (pengaburan rasa) atau ageusia (hilangnya rasa). Kerusakan saraf parasimpatetik menyebabkan fungsi kelenjar lakrimal yang menyimpang dari kebiasaan, dilaporkan terdapat pasien yang meneteskan air mata ketika sedang makan. Prognosis Orang yang menderita Bell palsy mempunyai variasi kesembuhan dari yang sembuh sempurna sampai yang menderita kelumpuhan permanen dan sinkinesis.

Sepertiga pasien memperoleh bisa kembali sembuh sempurna fungsi motorik mukanya tanpa sequele. Sepertiga pasien memperoleh kesembuhan fungsi motorik muka yang tidak sempurna. Tetapi tidak menunjukkan kelainan yang nyata. Sisa pasien dapat menderita kecacatan permanen dan kelainan wajah yang nyata.

Anda mungkin juga menyukai