Anda di halaman 1dari 4

Apakah Saya Anak Didikmu yang Bandel?

Pertemuan kali pertama kita adalah di bulan Desember 2009. Saat saya masih lugulugunya di organisasi dan cenderung meng-iya-kan apa yang dikatakan senior. Saat itu salah seorang senior menyebarkan sms untuk berkumpul di markas dikarenakan ada tamu dari Bandung yang mengajak berdiskusi. Dan datanglah saya ke markas, saat itu bersama Novika, bermaksud untuk menemuimu. Tamu yang tidak kami kenal sebelumnya. Senior saya tidak menceritakan tujuan kita bertemu. Tiba-tiba, membuka obrolan malam itu, Anda mengeluarkan sebendel kertas tebal hasil cetakan. Obrolan dimulai dengan pokok bahasan pembuatan buku organisasi. Panjang lebar Anda menjelaskannya pada kami. Dengan seksama Anda mengomentari tiap bab pada cetakan kertas itu. Tak jarang, dengan intonasi meninggi, Anda seolah menampar kami bahwa harusnya kami sadar. Harusnya kami sadar bahwa bendelan kertas itu adalah cikal bakal buku organisasi. Yang saya tangkap malam itu adalah Anda sebal dan marah. Sebal karena rancangan buku yang masih jauh dari layaknya sebuah buku. Marah karena, mungkin, tim buku yang belum terbentuk. Sedangkan saya, tidak tahu apa-apa. Melihat kondisi Anda yang notabene adalah tamu organisasi saat itu (yang akhirnya kami sudah menganggap Anda sebagai bagian keluarga kami), saya pun mencoba untuk mendatangi markas setiap harinya. Sebagai Anggota Muda, saya terbilang hampir setiap hari datang ke markas. Itu karena Anda, sebagai tamu, yang menginap di markas kami kurang lebih selama 3 (tiga)bulan. Dengan segala wejangan yang Anda berikan setiap hari, saya pun bersedia untuk membantu proses penyusunan buku. Termasuk kata-kata Anda....Seorang Penulis bisa mati, tapi tulisannya akan selalu abadi. Saya saat itu merasa sangat minim dalam kemampuan menulis. Anda pun menguji saya dan Novika untuk mengumpulkan model tulisan. Hampir setengah hari yang membuatnya. Berpikir keras dan memutar otak untuk mencari kata-kata yang cocok. Dan kali pertama Anda mengecek tulisan saya, tidak ada semenit, Anda sudah berkomentar yang saya juga tidak paham maksudnya apa. Walhasil, tugas pertama saya adalah mengetik ulang artikel koran usang yang mencakup kegiatan organisasi. Tak apalah, pemanasan dengan keyboard, begitu pikir saya. Hari demi hari, pembagian tugas pun dilakukan dengan tim buku yang lain. Termasuk tugas wawancara, yang mulai mendekatkan saya dengan kehidupan senior. Anda selalu mengingatkan untuk terus memegang prinsip 5W + 1H ketika melakukan interview. Setiap ada anggota yang datang ke markas, dengan lantang Anda mengingatkan, Siiiil, jangan lupa, tuh diwawancarai..!

Saya begitu gemas ketika Anda bersikukuh dengan bagian Kronikaria organisasi, yaitu bagian dimana mencakup daftar kegiatan organisasi, lengkap dengan tahunnya. Bagaimana saya bisa mendapatkan data-data tersebut? Apakah anggotaanggota yang sepuh masih ingat? Beruntung, sebuah peti kayu berisikan dokumendokumen liar organisasi masih tersimpan di gudang peralatan. Tumpukan kertas HVS buram, tersimpan diam tanpa kata di dalam peti kayu itu. Berdebu, bahkan beberapa sudah berjejakkan gigi-gigi tikus. Hanya ini satu-satunya sumber data kegiatan organisasi mulai tahun 1969. Hasil coretan rapat di tahun 70-an pun saya temukan di peti ini. Selama seminggu, saya menyusun kertas kertas sejarah ini di dalam folder, sekaligus berhadapan dengan program Excell untuk merekap data. Anda selalu mengingatkan, Kertas itu penuh debu sayaaang, jangan lupa pakai masker! Ya. Kata-kata: sayang, seLalu Anda ucapkan ketika menekankan sesuatu yang penting kepada saya. Bahkan ketika mengirim sms, meskipun akhirnya kata tersebut harus tersingkat: syg. Awalnya, agak risih juga harus dipanggil dengan model seperti ini. Saya lebih cocok menjadi cucu Anda, lho! Sampai suatu malam, ketika kita makan di Tumenggung Suryo, sedikit saya tahu bahwa ternyata Anda tinggal sendiri di Jakarta. Tapi, sejak obrolan malam itu yang sempat menyinggung keluarga Anda, saya tidak pernah mengulanginya lagi di hari esoknya. Sungkan. Setelah makan malam, biasanya kita masih melanjutkan rutiinitas masing-masing di markas. Saya masih di ruang alat dengan tumpukan kertas, dan Anda duduk tegak di hadapan komputer dengan memencet keyboard keras-keras. Suara itulah yang membuat mata saya melek, tidak ngantuk sedetik pun. Maklum, belum pernah saya temui orang yang mengetik dengan menekan keras tombol-tombol keyboard-nya. Jam pun menunjukkan pukul 22.00 WIB. Selama bekerja dengan Anda, pukul 21.00 serasa masih sore. Pukul 22.00 adalah waktu dimana saya harus pulang, itu pun karena sms ibu yang mengingatkan. Suatu ketika, karena benar-benar ngantuk dan letih, saya pun tertidur hingga lewat pukul 22.00 WIB. Masih di ruang alat. Anda pun membangunkan saya, Sil, gak pulang?. Dengan mata setengah terbuka, saya hanya menjawab, Saya tidur markas saja Pak, sudah ijin kok. Ya, dan malam itu saya pun tertidur ditemani serakan kertas beralaskan sajadah dan berselimutkan mukena. Pukul 3 pagi, suara keyboard komputer kembali terdengar. Saya lirik, Anda memang sudah duduk di kursi inspirasi Anda. Hingga adzan Subuh membangunkan saya, selepas itu, rutinitas jogging pun Anda lakukan. Tidak selamanya saya menunjukkan iktikad sebagai anak didik yang baik. Pernah suatu ketika, saya lalai waktu. Telat datang ke markas yang membuat Anda marah saat itu juga. 2 jam waktu menunggu memang tidaklah singkat. Dan saya pernah membiarkan Anda menunggu selama 2 jam. Maaf.

Ada perasaan haru, ketika Anda harus kembali ke Jakarta. Pagi-pagi sekali, sebelum Subuh, kami mengantarkan Anda ke Terminal Arjosari. Anda berniat untuk mampir ke suatu kota sebelum menuju Jakarta. Tapi sebaliknya, ada perasaan was-was dan kaget yang negatif- ketika ada kabar bahwa Anda aan kembali ke Malang. Seakan kami belum siap bertemu dengan Anda karena tugas kami yang belum terselesaikan. Sampai pada akhirnya, buku pun mendekati proses finishing. Saat liburan panjang, kebetulan saya ada kegiatan NGO di Jakarta, saya pun menyempatkan diri untuk berkunjung ke kediaman Anda. Apalagi kalau bukan untuk urusan buku. Berangkat dari daerah Kemang pukul 5 sore, saat padatnya lalu lintas pulang kantor. Itu kali pertama saya bepergian jauh di Jakarta mengendarai kopaja. Dari Kemang naik 77 ke Blok M, oper 57 turun Pusat Grosir Cililitan, dan harusnya- oper angkot merah CH. Karena sudah malam, saya pun menaiki angkot merah yang saya anggap CH. Itu pun setelah bertanya pada pak sopirnya, dan dia mengiyakan bahwa angkotnya melewati Patria Jaya. Anda tahu? Malam itu saya sampai di Terminal Kampung Rambutan! Selama di Jakarta tahun 2010, mungkin sebanyak 2 kali saya menginap di rumah Anda. Lebih tepatnya, di gudang buku Anda. Di mana-mana buku. Di Rak dapur pun buku. Di kamar atas tempat saya tidur pun penuh dengan buku. Tak ada keraguan bahwa Anda memang seorang penulis, editor, dan guru yang berilmu dan berwawasan luas. Momen kebahagiaan kita adalah ketika buku organisasi sudah tercetak (big thanks to Dhe Heru dan Bu Bina). Kita sempat kebingungan ketika Dhe Heru, pelaku utama konten buku, harus menjalani opname di Rumah Sakit. Saya masih ingat, sepuluh menit sebelum dioperasi, Dhe Heru masih sempat menghubungi saya untuk membicarakan masalah kanting VCD di cover belakang buku. Alhamdulillah, buku pun bisa tercetak dan dilaunching. Kita mulai bisa menikmati apa yang kita kerjakan setahun silam. Kebersamaan kita berlanjut sampai ketika organisasi mengadakan sebuah ekspedisi. Anda masih ingat, ketika Anda menghubungi saya tentang ekspedisi? Ya, biarlah itu kita simpan masing-masing. Sayangnya, di suatu momen, dapat saya pastikan bahwa Anda sempat mengalami kekecewaan. Buah pemikiran Anda sangat berarti pada kesempatan itu. Setelah menghadapi masa penundaan ekspedisi, proses berguru pun saya lakukan bersama Nabhan di kediaman Anda. Jujur, tidak banyak yang kami dapatkan dari Anda saat itu. Kami hanya menulis, mencoba menuang kembali cerita lalu. Sampai suatu ketika, saya butuh refreshing. Nabhan dan teman-teman lain sudah kembali ke Malang. Tinggal saya sendiri di Jakarta, menulis bersama Anda. Saya pun memutuskan untuk ke Cibodas, menikmati lukisan Sang Kuasa di Gunung Pangrango. Sekembalinya dari sana, saya menuju rumah Anda untuk mengecek

perkembangan tulisan saya yang Anda renovasi. Sekaligus berpamitan pulang ke Malang. Yang Anda katakana adalah, Sayang sekali, Sil. Harusnya kamu bisa intens di sini, benar-benar berguru. Kalaupun saya tidak bisa ikut ekspedisi kelak, paling tidak kamu sudah bisa menggantikan saya. Dan pesan di rumah Anda itu yang kini, kalau saja boleh, meninggalkan sedikit sesal di diri saya. Bisa jadi, bertambah pula sesal saya ketika tidak menemui Anda di Malang. Dan kita hanya bertemu 2 jam saja sebelum Anda kembali ke Jakarta. Saat DIES NATALIS. Kala itu, Anda sempat ingin mengajak berbincang, namun saya lebih memilih untuk asyik menata makanan di piring saji. *** Sampai di awal bulan Januari, dimana Dhe Heru masih sempat ngobrol dengan Anda dan melaporkan kepada saya tentang perkembangan di Jakarta. Seminggu setelahnya, Anda pun mengirim sms kepada saya yang menanyakan tentang bukubuku anda. Belum sempat ada kepastian tentang buku-buku kesayangan Anda, saya menerima kabar dari rekan Mahitala. Anda sudah tiada. Yang saya pikirkan adalah, kondisi Anda yang hidup sendiri. Benar saja, pertukaran kabar yang silih berganti di ponsel saya menyatakan bahwa kediaman Anda sedang didatangi Polisi. Mereka mencoba masuk ke dalam rumah Anda. Kabar selanjutnya, menyatakan, ya, positif. Semoga Anda mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya. Terimakasih atas bimbingannya, P.3.... 5W + 1 H, outline, font Cantoria kita, Busway Pinang Ranti, CH, teh tubruk favorit saya, teko usang setiap pagi, segudang buku sumber informasi, roti bakar, dan pengakuan Anda yang pernah menganggap saya murid terbaik, Apakah masih tetap murid terbaik??!!! Atau Saya Anak Didikmu yang Bandel?

Anda mungkin juga menyukai