Anda di halaman 1dari 33

8

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Radikal Bebas Radikal bebas adalah suatu atom, gugus, atau molekul yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbit paling luar, termasuk atom hidrogen, logam-logam transisi, dan molekul oksigen. Adanya elektron tidakberpasangan ini, menyebabkan radikal bebas secara kimiawi menjadi sangat aktif. Radikal bebas dapat bermuatan positif (kation), negatif (anion), atau tidak bermuatan (Halliwell dan Gutteridge, 2000). Sumber radikal bebas bisa berasal dari proses metabolisme dalam tubuh (internal) dan dapat berasal dari luar tubuh (eksternal). Dari dalam tubuh mencakup superoksida (O2*), hidroksil (*OH), peroksil (ROO*), hidrogen peroksida (H2O2), singlet oksigen (1O2), oksida nitrit (NO*), dan peroksinitrit (ONOO*). Dari luar tubuh antara lain berasal dari: asap rokok, polusi, radiasi, sinar UV, obat, pestisida, limbah industri, dan ozon (Siswono, 2005). Radikal bebas pada umumnya dapat mempunyai efek yang sangat menguntungkan, seperti membantu destruksi sel-sel mikroorganisme dan kanker. Akan tetapi, produksi radikal bebas yang berlebihan dan produksi antioksidan yang tidak memadai dapat menyebabkan kerusakan sel-sel jaringan dan enzimenzim. Kerusakan jaringan dapat terjadi akibat gangguan oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas asam lemak atau dikenal sebagai peroksidasi lipid. Aktivitas radikal bebas dapat menjadi penyebab atau mendasari berbagai keadaan

patologis. Di antara senyawa-senyawa oksigen reaktif, radikal hidroksil (OH) merupakan senyawa yang paling berbahaya karena mempunyai tingkat reaktivitas sangat tinggi. Radikal hidroksil dapat merusak tiga jenis senyawa yang penting untuk mempertahankan integritas sel yaitu: (1) Asam lemak tak jenuh jamak (PUFA) yang merupakan komponen penting fosfolipid penyusun membran sel (2) DNA, yang merupakan piranti genetik dari sel. (3) Protein, yang memegang berbagai peran penting seperti enzim, reseptor, antibodi, pembentuk matriks, dan sitoskeleton (Halliwell dan Gutteridge,

2000 ; Papas, 1999). Regulasi jumlah radikal bebas secara normal dalam sistem biologis tubuh dilakukan oleh enzim-enzim antioksidan endogenous seperti enzim SOD, GPx, dan CAT. Pengukuran radikal bebas di dalam tubuh sangat sulit dilakukan karena radikal bebas bereaksi sangat cepat sehingga seringkali dilakukan pengukuran tidak langsung melalui produk turunannya seperti MDA dan 4-hidroksinonenal. Kedua senyawa tersebut sering digunakan untuk pengukuran reaksi radikal bebas lipid (Nabet, 1996).

2.2 Malondialdehida Menurut Leibler et al. (1997), MDA merupakan produk enzimatis dan nonenzimatis dari pemecahan prostaglandin endoperoksida dan produk akhir dari lipid peroksidasi. MDA merupakan molekul reaktif yang memiliki rumus

molekul C3H4O2 dan dikenal sebagai penanda (marker) peroksidasi lipid.

10

Pengukuran MDA banyak dilakukan oleh para peneliti sebagai indeks tidak langsung dari kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh peroksidasi lipid. Menurut pernyataan Tokur et al. (2006), prinsip pengukuran MDA adalah rekasi satu molekul MDA dengan dua molekul asam tiobarbiturat (TBA) membentuk kompleks senyawa MDA-TBA yang berwarna pink dan kuantitasnya dapat dibaca dengan spektrofotometer. Beberapa penelitian mengenai MDA dilakukan oleh para ahli seperti yang dilakukan oleh Prangdimurti et al. (2006), yang menyatakan bahwa terjadi penurunan kadar MDA pada hati tikus Sprague Dawley yang diberi asupan ekstrak daun suji. Hasil penelitian Jawi et al. (2008) juga menyatakan terjadinya penurunan kadar MDA pada darah dan hati mencit jantan galur Swiss setelah diberi asupan ekstrak ubi jalar ungu. Puspawati (2009) menyatakan bahwa asupan sorgum dan jewawut yang kaya antioksidan dapat menurunkan kadar MDA pada hati tikus Sprague Dawley. Penelitian yang dilakukan oleh Kutlu et al. (2009) pada tikus hiperkolesterolemia yang disuplementasi dengan apricot cernel oil, memberikan hasil yang signifikan terhadap penurunan MDA pada hatinya.

2.3 Antioksidan Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat spesies oksigen reaktif, spesies nitrogen, dan radikal bebas lainnya sehingga mampu mencegah penyakit-penyakit degeneratif seperti kardiovaskular, kanker, dan penuaan. Senyawa antioksidan merupakan substansi yang diperlukan tubuh untuk menetralisir radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal

11

bebas terhadap sel normal, protein, dan lemak. Senyawa ini memiliki struktur molekul yang dapat memberikan elektronnya kepada molekul radikal bebas tanpa terganggu sama sekali fungsinya dan dapat memutus reaksi berantai (Halliwell dan Gutteridge, 2000). Rajalakshmi dan Narisimhan (1996) menggolongkan antioksidan menjadi tiga tipe yaitu : (1) Antioksidan primer Senyawa-senyawa yang berfungsi sebagai antioksidan primer mampu memutus rantai reaksi pembentukan radikal bebas dengan memberikan ion hidrogen atau elektron pada radikal bebas sehingga menjadi produk yang stabil. Senyawa yang digolongkan sebagai antioksidan primer adalah kelompok senyawa polifenol, asam askorbat (vitamin C), kelompok senyawa asam galat, BHT, BHA, TBHQ, PG, dan tokoferol. (2) Antioksidan sekunder Antioksidan sekunder berfungsi untuk mencegah terbentuknya radikal bebas, menginaktifkan singlet oksigen, menyerap radiasi ultraviolet dan bekerja sinergis dengan antioksidan primer. Senyawa yang digolongkan sebagai antioksidan sekunder adalah asam tiodipropionat, dilauril dan distearil ester. (3) Chelator sequestransts Senyawa yang tergolong sebagai chelator berfungsi sebagai pengikat logam-logam yang dapat mengkatalis reaksi oksidasi lemak seperti Fe dan Cu. Belitz et al. (2009) menyatakan bahwa terikatnya logam-logam tersebut oleh chelating agent mampu meningkatkan efisiensi reaksi antioksidan, menghambat

12

oksidasi asam askorbat dan vitamin-vitamin yang larut lemak. Senyawa yang digolongkan sebagai chelator atau chelating agent adalah asam sitrat, suksinat, oksalat, laktat, malat, tartarat, asam polifosfat, ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA), asam amino dan peptida. Senyawa golongan asam karboksilat seperti asam sitrat, asam nikotinat, asam salisilat dan asetil salisilat disamping berfungsi sebagai chelator, juga memiliki keaktifan sebagai antioksidan. Dari keempat senyawa golongan asam karboksilat tersebut, asam sitrat merupakan antioksidan yang paling efektif dan memiliki sifat sebagai radioprotektor

(Gromovaya et al., 2002). Sumber-sumber antioksidan yang dapat dimanfaatkan oleh manusia dikelompokkan menjadi tiga yaitu (1) antioksidan yang sudah ada di dalam tubuh manusia yang dikenal dengan enzim antioksidan (SOD, GPx, dan CAT), (2) antioksidan sintetis yang banyak digunakan pada produk pangan seperti BHA, BHT, PG, dan TBHQ, dan (3) antioksidan alami yang diperoleh dari bagianbagian tanaman seperti kayu, kulit kayu, akar, daun, buah, bunga, biji, dan serbuk sari, juga dapat diperoleh dari hewan dan mikroba. Jenis antioksidan yang banyak didapatkan dari bahan alami berupa vitamin C dan E, beta karoten, pigmen seperti antosianin dan krolofil, flavonoid, dan polifenol (Siswono, 2005 ;

Ardiansyah, 2007). BHA, BHT, PG, dan TBHQ adalah senyawa antioksidan sintetis yang sudah dipergunakan secara luas oleh masyarakat dunia, tetapi hasil penelitian Amarowicz et al. (2000) menyatakan bahwa penggunaan bahan sintetis ini dapat meningkatkan resiko penyakit karsinogenesis. Sementara itu beberapa studi

13

epidemiologi menunjukkan adanya peningkatan konsumsi antioksidan alami yang terdapat dalam buah, daun, bunga, rimpang, dan bagian-bagaian lain dari tumbuhan untuk menghindari penyakit-penyakit degeneratif (Ghiselli et al., 1998). Adanya beberapa mikronutrien pada tumbuhan seperti vitamin A, C, E, asam folat, karotenoid, antosianin, dan polifenol memiliki kemampuan menangkap radikal bebas sehingga dapat dijadikan pengganti konsumsi antioksidan sintetis (Gill et al., 2002).

2.4 Enzim Antioksidan Enzim antioksidan atau antioksidan endogenous enzimatik adalah SOD, CAT, GPx, dan glutation reduktase (GSH). SOD adalah metaloenzim yang

mengkatalis dismutasi radikal anion superoksida (O2) menjadi hidrogen peroksida (H2O2) dan oksigen (O2) di dalam mitokondria. Selanjutnya H2O2 di dalam mitokondria akan mengalami detoksifikasi oleh enzim katalase menjadi senyawa H2O dan O2, sedangkan H2O2 yang berdifusi ke dalam sitosol akan didetoksifikasi oleh enzim glutation peroksidase (Ihnat, et al., 2007). Enzim ini bersifat tidak stabil terhadap panas, cukup stabil pada kondisi basa, dan masih mempunyai aktivitas walaupun disimpan sampai lima tahun pada suhu 5oC. Menurut Haliwell dan Gutteridge (2000), aktivitas SOD tertinggi ditemukan di hati, kelenjar adrenalin, ginjal, darah, limfa, pankreas, otak, paru-paru, lambung, usus, ovarium, dan timus. CAT adalah enzim yang disusun oleh lebih dari 500 asam amino dan memiliki gugus forfirin atau dikenal sebagai hemoprotein. Enzim ini mengkatalis

14

senyawa hidrogen peroksida (H2O2) menjadi oksigen (O2) dan air (H2O). Menurut Haliwell dan Gutteridge (2000), aktivitas CAT optimal pada pH 7 dan meningkat dengan meningkatnya akumulasi H2O2. Enzim CAT mampu mengkonversi 40 juta molekul hidrogen peroksida menjadi molekul air dan oksigen setiap detiknya. Disamping itu, enzim CAT juga mampu

mendetoksifikasi senyawa formaldehid, fenol dan alkohol. CAT dengan konsentrasi yang tinggi ditemukan pada hati, darah, ginjal, otak, paru-paru, jaringan adiposa, dan kelenjar adrenal. GPx adalah selanoprotein yang terdiri atas empat sub unit protein yang mengkatalis reaksi reduksi H2O2 menjadi air (H2O). Glutation banyak ditemukan dalam hati. isoform glutation peroksidase yaitu Sampai saat ini ditemukandelapan

GPx1 (ditemukan pada sitosol, mereduksi

hidrogen peroksida), GPx2(enzim ekstraselular pada saluran pencernaan), GPx3 (enzim ekstraselular pada plasma), GPx4 (enzim yang mereduksi hidroperoksida lipid), GPx5 (enzim pada epididymal), GPx6 (enzim pada olfactory), GPx7, dan GPx8 (putative).

2.5 Senyawa Antioksidan Alami Senyawa antioksidan alami pada umumnya berupa vitamin C, vitamin E, karotenoid, senyawa fenolik, dan polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kuomarin, tokoferol, dan asam-asam organik polifungsional. Golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, katekin, flavonol, dan kalkon. Sementara turunan asam sinamat meliputi asam kafeat, asam ferulat, asam klorogenat, dan lain-lain

15

(Prakash, 2001 ; Kumalaningsih, 2006). Gromovaya et al. (2002) menyatakan bahwa dari hasil penelitiannya terhadap beberapa senyawa golongan asam karboksilat seperti asam sitrat, asam nikotinat, asam salisilat, dan asetil salisilat memiliki aktivitas antiradikal yang cukup tinggi dan pada umumnya berperan dalam mereduksi radikal hidroksil dan hidrogen peroksida. 2.5.1 Vitamin E Vitamin E ditemukan pada tahun 1922, oleh Evans dan Bishop, dengan istilah tokoferol (dari bahasa Yunani, tocos berarti kelahiran anak dan phero berarti mengasuh). Vitamin E adalah nama umum untuk semua metil-tokol, jadi istilah tokoferol bukan sinonim dari vitamin E, namun pada praktek sehari-hari, kedua istilah tersebut disinonimkan. Struktur kimia tokoferol alfa diperlihatkan pada Gambar 2.1 (Landvik et al., 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002) . Vitamin E tidak larut di dalam air tetapi larut dalam minyak dan lemak. Terdapat delapan bentuk vitamin E yaitu berupa tokoferol alfa, beta, gamma, dan delta serta empat bentuk tokotrienol homolog (alfa, beta, gamma, dan delta). Dari delapan bentuk tersebut, alfa tokoferol memiliki aktivitas biologis yang paling tinggi (Landvik et al., 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002). Sumber

vitamin E di alam banyak dijumpai pada minyak bunga matahari, minyak biji kapas, taoge, kacang-kacangan dan kentang manis (Kumalaningsih, 2006).

16

Gambar 2.1 Struktur Molekul tokoferol (Landvik et al., 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002) Fungsi vitamin E di dalam tubuh adalah melindungi asam-asam lemak tak jenuh pada membran sel, mampu meningkatkan respon imun, sebagai zat pengatur (regulasi) pada aktivasi Protein Kinase C, fungsi mitokondria, metabolisme protein dan produksi hormon. Vitamin E juga melindungi vitamin A dari

kerusakan yang terjadi di dalam tubuh. Fungsi vitamin E sangat penting bagi tubuh seperti dapat mencegah kanker, penyakit kardiovaskuler, proses penuaan, osteoporosis dan meningkatkan kinerja sistem kekebalan tubuh (Landvik et al., 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh

Ahmad et al. (2006) menyatakan bahwa vitamin E memiliki aktivitas antioksidan dalam mengurangi degradasi tirosin akibat fotosensitisasi Psoralen in vitro. Kushi et al., (1996) dan Yochum et al., (2000) melaporkan adanya hubungan terbalik antara asupan vitamin E dengan kejadian kematian karena kardiovaskuler. Sebagai antioksidan, vitamin E berfungsi melindungi senyawa-senyawa yang mudah teroksidasi, antara lain ikatan rangkap dua pada UFA (Unsaturated Fatty Acid), DNA, dan RNA dan ikatan atau gugus SH (sulfhidril) pada protein.

17

Apabila senyawa-senyawa tersebut teroksidasi, maka akan terbentuk radikal bebas, yang merupakan hasil proses peroksidasi. Radikal bebas yang terjadi akan mengoksidasi senyawa-senyawa protein, DNA, RNA, dan UFA. Vitamin E akan bertindak sebagai reduktor dan menangkap radikal bebas tersebut. Vitamin E dalam hal ini berperan sebagai scavenger. Scavenger yang lain selain vitamin E adalah vitamin C, enzim glutation reduktase, dismutase, dan peroksidase yang bersifat larut dalam air. Scavenger yang larut dalam lemak adalah vitamin E dan -karoten (Traber, 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002). Vitamin E lebih mudah diserap usus apabila terdapat lemak dan dalam kondisi tubuh yang mempermudah penyerapan lemak. Tokoferol dari makanan diserap oleh usus ditransportasikan ke hati melalui sistim limfatik dan saluran darah. Di hati, tokoferol disebarkan ke sel-sel jaringan tubuh melalui saluran darah. Di dalam plasma darah, tokoferol bergabung dengan lipoprotein, terutama VLDL ( Very Low Density Lipoprotein) (Weber and Rimbach, 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002). Sekitar 40% sampai dengan 60% tokoferol dari makanan yang dikonsumsi dapat diserap oleh usus. Peningkatan jumlah yang dikonsumsi akan menurunkan persentase yang diserap. Vitamin E disimpan terutama dalam jaringan adiposa, otot dan hati. Dalam keadaan normal, kadar vitamin E dalam plasma darah berkisar antara 0,5 mg/ml sampai dengan 1,2 mg/ml (Landvik et al., 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002). Asam lemak tidak jenuh ganda (PUFA/ Poly Unsaturated Fatty Acid), dapat menurunkan penyerapan dan penggunaan vitamin E. Hal ini berkaitan

18

kemungkinan dengan kecenderungan vitamin E bersifat mudah teroksidasi. Oleh karena itu, kebutuhan vitamin E akan bertambah seiring dengan semakin bertambahnya konsumsi PUFA. Dengan demikian, peningkatan konsumsi PUFA yang tidak diikuti dengan peningkatan asupan vitamin E akan menimbulkan penurunan secara gradual -tokoferol dalam plasma (Kumalaningsih, 2006). Di dalam hati, -tokoferol diikat oleh -TTP (-tokoferol transfer protein). Setelah menjalankan fungsinya sebagai antioksidan, tokoferol dapat teroksidasi menjadi tokoferil (tokoferol bentuk radikal) bentuk radikal ini dapat direduksi kembali menjadi tokoferol oleh kerja sinergi dari antioksidan yang lain, misalnya vitamin C dan glutation. Vitamin E diekskresikan dari tubuh bersama dengan empedu melalui feses, sebagian lagi melalui urin setelah diubah lebih dahulu menjadi asam tokoferonat dan tokoferonalakton yang dapat berkonjugasi dengan glukoronat (Traber, 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002). 2.5.2 Vitamin C Vitamin C adalah vitamin yang larut di dalam air dan sangat banyak dijumpai pada tanaman sebagai L-asam askorbat dan sumber vitamin C di alam adalah buah-buahan dan sayur-sayuran. Vitamin ini sangat labil terhadap suhu dan oksigen. Struktur kimia vitamin C disajikan pada Gambar 2.2 (Padayatty et al., 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002). Fungsi vitamin C adalah membantu penyerapan zat besi di dalam tubuh, menghambat produksi nitrosamin (zat pemicu kanker), memperbaiki sistem kekebalan tubuh, menjaga kesehatan gigi, gusi, pembuluh-pembuluh kapiler, mencegah oksidasi lemak dan membantu penyembuhan luka (Carr dan Frei, 2002

19

di dalam Cadenas dan Packer, 2002 ; Kumalaningsih, 2006). Vitamin C terbukti juga dapat meningkatkan kadar hemoglobin pada tikus putih apabila diberikan sebesar 14,4 mg per 200 g berat badan per hari (Wahyuni, 2007).

Gambar 2.2 Struktur Molekul Asam Askorbat (Padayatty et al., 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002) Vitamin C merupakan bagian dari sistem pertahanan tubuh terhadap senyawa oksigen reaktif dalam plasma dan sel. Vitamin C mampu bereaksi

dengan radikal bebas kemudian mengubahnya menjadi radikal askorbil yang nantinya segera berubah menjadi dehidroaskorbat (Zakaria et al., 1996). Vitamin C berperan menekan risiko kanker saluran pencernaan, terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh Zakaria et al. (2000) yang menunjukkan adanya peningkatan kemampuan proliferasi sel B dan sel T pada konsumsi buah dan sayuran selama 30 hari. Temuan ini mengindikasikan bahwa asupan sayuran dan buah-buahan dalam jumlah memadai dapat mengurangi resiko penyakit kanker. Pada umumnya penggunaan vitamin C sebagai antioksidan

dikombinasikan dengan sumber antioksidan lain seperti vitamin E, buah-buahan dan sayur-sayuran yang mengandung pigmen antosianin, klorofil dan golongan

20

senyawa flavonoid. Penelitian yang dilakukan oleh Jeng et al. (1996) menyatakan bahwa kombinasi konsumsi vitamin C dan E ( 1 g vitamin C dan 400 mg vitamin E all-rac--tocoferil asetat) selama 14 hari dapat meningkatkan produksi IL-1 sebesar 1,8 kali dan TNF- sebesar 1,5 kali. Sementara bagi kelompok yang diberi konsumsi vitamin C saja hasilnya tidak memberikan efek yang signifikan. Dilaporkan pula bahwa produksi sitokin pada 40 orang meningkat setelah diberi suplementasi 1 g vitamin C dan 400 mg vitamin E all-rad- tokoferol selama waktu 28 hari. Vitamin C atau asam askorbat disintesis dari glukosa di dalam hati hewan yang tergolong mamalia. Manusia tidak bisa mensintesis vitamin C karena tidak memiliki enzim glunolakton oksidase yang dapat mensisntesis asam askorbat dari glukosa. Oleh sebab itulah manusia harus menyuplai vitamin C dari luar tubuh yaitu dari konsumsi makanan dan minumannya. Karena sifatnya yang larut dalam air, vitamin C mudah diserap oleh tubuh dan mudah pula dikeluarkan apabila asupan berlebih (Carr dan Frei, 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002). Vitamin C atau asam askorbat mendonorkan dua elektron yang berasal dari ikatan rangkap antara karbon kedua dan ketiganya. Senyawa reaktif yang diberi elektron oleh vitamin C kemudian berubah menjadi senyawa yang stabil. Vitamin C kemudian berubah menjadi bentuk radikal semidehidroaskorbat atau radikal askorbil yang tidak reaktif. Senyawa ini dapat larut di dalam air sehingga mudah mengeluarkannya dari dalam tubuh. Berdasarkan mekanisme donor

elektron yang dilakukan oleh vitamin C inilah maka vitamin C berfungsi sebagai

21

antioksidan yang tergolong scavenger (Landvik et al., 2002 dan Padayatty et al., 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002). 2.5.3 Karotenoid Karotenoid adalah suatu kelompok pigmen berwarna kuning, oranye, atau merah oranye, memiliki sifat larut dalam lemak atau pelarut organik tetapi tidak larut di dalam air. Senyawa ini sensitif terhadap alkali, udara (O2), sinar, dan

suhu yang tinggi. Terdapat sekitar 700 jenis karotenoid yang dibagi menjadi dua kelas yaitu xanthophyll dan karoten. Senyawa karotenoid yang populer adalah beta karoten. Senyawa ini dapat diubah menjadi vitamin A di dalam tubuh (Deming et al., 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002). Fungsi biologis karotenoid adalah sebagai antioksidan, regulasi

komunikasi intraseluler, regulasi diferensiasi sel dan apoptosis, meningkatkan respon imun, dan membantu penghambatan mutagenesis dan transformasi malignan di dalam sel (Palozza et al., 2001 dan Sumantran et al., 2000). Hasil studi epidemiologi menyatakan bahwa asupan karotenoid berhubungan dengan pencegahan beberapa penyakit kronis dan resiko terjadinya kanker paru pada kelompok pekerja asbestos dan perokok (Deming et al., 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002). Pada kondisi tertentu, vitamin A (beta karoten) berperan sebagai sparing effect vitamin E. Bila tekanan dalam tubuh tinggi, vitamin E diangkut darah melalui LDL dan HDL, namun bila tekanan oksigen rendah, vitamin E digantikan oleh beta karoten (Suryohudoyo, 1995). Sistem kerja seperti ini sangat

menguntungkan karena kedua senyawa tersebut mampu berperan sebagai

22

antioksidan sehingga dapat mempertahankan status antioksidan endogen secara bergantian. Senyawa karotenoid tersebar luas dalam tanaman. Senyawa ini terdapat dalam kloroplast daun atau batang tanaman yang berwarna hijau. Karotenoid juga banyak dijumpai pada umbi dan buah-buahan. Sumber karotenoid adalah wortel, jeruk, pisang, pepaya, semangka, dan tomat. Gambar 2.3 menunjukkan struktur kimia karotenoid (Anonim, 2010b).

Gambar 2.3 Struktur Molekul Karotenoid (Anonim, 2010b)

2.5.4 Senyawa fenolik (polifenol) Polifenol adalah kelompok zat kimia yang ditemukan sangat luas pada tanaman. Zat ini memiliki ciri khas yakni memiliki banyak gugus fenol pada molekulnya, dan berperan dalam memberi warna pada tumbuhan seperti warna daun saat musim gugur. Dari sejumlah penelitian pada tanaman obat dilaporkan

23

bahwa banyak tanaman obat yang mengandung polifenol dalam jumlah besar. Efek antioksidan terutama disebabkan karena adanya senyawa fenol seperti flavonoid dan asam fenolat. Biasanya senyawa-senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan adalah senyawa fenol yang mempunyai gugus hidroksi yang tersubstitusi pada posisi ortho dan para terhadap gugus OH dan OR (Okawa et al., 2001). Senyawa polifenol yang khas terdapat pada teh adalah Sementara itu

epigallocatechin gallate (EGCG) dan epicatechin gallate (ECG).

senyawa polifenol pada rimpang kunyit disebut kurkumin (Gambar 2.4), pada jahe disebut zingerol, dan pada kulit buah-buahan adalah tannin (Anonim, 2010c).

Gambar 2.4 Senyawa Kurkumin (Anonim, 2010c) Senyawa polifenol dapat berupa golongan asam-asam fenolat, polimer fenolat, dan flavonoid. Asam-asam fenolat membentuk bermacam-macam kelompok senyawa yang termasuk hidroksibenzoat dan asam hidroksisinamat. Polimer fenolat tersusun dari senyawa yang memiliki berat molekul besar seperti tannin. Ada dua jenis tanin yaitu: hydrolysable tannin dan condensed tannin. Hydrolysable tannin adalah senyawa tanin yang dapat dihidrolisis dengan asam, alkali atau enzim menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana seperti gula dan asam tanat (asam galat dan elagat) (Hagerman, 2002).

24

Galotanin adalah contoh hydrolysable tannin, yang mana molekulnya tersusun dari asam galat dan gula, sedangkan elagitanin adalah hydrolysable tannin yang molekulnya tersusun dari asam elagat dan gula (Gambar 2.5). Condensed tannin juga disebut proanthosianidin merupakan tanin yang tersusun dari flavonoid seperti katekin atau epikatekin, contohnya prosianidin B-2 yang disajikan pada Gambar 2.6 (Hagerman, 2002).

Gambar 2.5 Struktur Molekul Galotanin (Hydrolysable Tannin) (Hagerman, 2002)

Gambar 2.6 Struktur Molekul Prosianidin B-2 (Condensed Tannin) (Hagerman, 2002)

25

Flavoniod merupakan senyawa yang sangat banyak dijumpai pada tanaman atau merupakan golongan senyawa polifenol yang paling banyak terdapat pada tanaman. Struktur dasar dari flavonoid disajikan pada Gambar 2.7 (Fuhrman dan Aviram, 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002). Antosianin dan antoxantin juga termasuk kelompok flavonoid. Antosianin adalah pigmen

tanaman yang bertanggungjawab pada munculnya warna merah, biru, dan ungu, sedangkan antoxantin adalah pigmen yang tidak berwarna, berwarna putih atau putih kekuningan. Senyawa antioksidan alami polifenol ini adalah multifungsional dan dapat beraksi sebagai (1) pereduksi, (2) penangkap radikal bebas, (3) pengkelat logam, dan (4) peredam terbentuknya singlet oksigen. Aktivitas antioksidan flavonoid tergantung pada struktur molekulnya terutama gugus prenil (CH3)2C=CH-CH2-. Gugus prenil flavonoid dikembangkan untuk pencegahan atau terapi terhadap penyakit-penyakit yang diasosiasikan dengan radikal bebas (Birt et al., 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Cai et al. (2004) menyatakan bahwa kandungan senyawa fenolik dari 112 tanaman obat Cina memiliki koefisien korelasi positif dan sangat kuat (R2 = 96,4%) dengan aktivitas antioksidannya sehingga disimpulkan bahwa senyawa fenolik memberikan kontribusi yang signifikan pada kapasitas antioksidan tanaman obat. Klopotek et al. (2005) menyatakan bahwa kandungan vitamin C dan senyawa fenolik pada buah strawberi yang sudah mengalami pengolahan (prosesing) mengalami penurunan yang cukup signifikan. Hal ini mengakibatkan aktivitas antioksidan pada produk segar lebih tinggi dibandingkan dengan produk

26

olahan. Penelitian yang dilakukan oleh Indriati et al. (2002) menyatakan bahwa buah jambu mete yang mengalami penundaan pengolahan mengakibatkan penurunan senyawa polifenol yang dapat menurunkan aktivitas antioksidannya. Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Kobayashi et al. (2008) menyatakan bahwa kandungan senyawa fenolik dan aktivitas antioksidan yang dianalisis dari buah pawpaw mengalami penurunan selama proses pematangan.

Struktur Flavonoid: Senyawa Fenolik terdiri dari tiga cincin benzene dengan group hidroksil (OH)
1. Hilangkan OH pada (1): flavon
Tanpa gula, molekul disebut aglikon
2. Ganti (OH) pada (1) dengan cincin ke tiga: isoflavon 3. Ganti O pada (2) dengan H: antosianin 4. Ganti OH pada (3) dengan glukosa; hilangkan OH pada (4); hilangkan OH pada (1): glukosida

Gambar 2.7 Struktur Dasar Molekul Flavonoid (Birt et al., 2001) Senyawa flavonoid khususnya senyawa quersetin selain berfungsi sebagai antioksidan untuk mencegah penyakit degeneratif dan kronis, juga memiliki

kapasitas melindungi jaringan otot jantung (myocardial) dari iskemia dan luka reperfusi sehingga memiliki potensi sebagai cardioprotective effect pada tikus putih (Ikizler et al., 2007).

27

2.6 Kapasitas Antioksidan Kapasitas atau aktivitas antioksidan menggambarkan kemampuan suatu senyawa yang mengandung antioksidan untuk menghambat laju reaksi pembentukan radikal bebas. Penentuan kapasitas antioksidan yang terdapat dalam tumbuhan pada umumnya menggunakan spektrofotometer. Eksplorasi bahan-

bahan alam terutama senyawa bioaktif yang terdapat pada tumbuh-tumbuhan dan mikroorganisme yang hidup di darat maupun di air secara terus menerus diteliti untuk mendapatkan senyawa antioksidan yang berfungsi untuk menjaga kesehatan tubuh manusia (Shahidi, 1997 ; Prakash, 2001). Reaksi yang umum terjadi pada mekanisme penangkapan radikal bebas oleh antioksidan digolongkan menjadi dua yaitu mekanisme Hidrogen Atom Transfer (HAT) dan Electron Transfer (ET). Reraksi HAT pada umumnya terjadi akibat peroksidasi lemak yaitu antara radikal (X*) dengan antioksidan (AH) seperti pada reaksi di bawah ini : X* + AH ----------> XH + A (1)

Sementara itu reaksi ET terjadi akibat reaksi reduksi oksidasi (redoks) antara radikal (X*) dengan antioksidan (AH) yang menghasilkan produk stabil (XH) dan air (H2O). Produk inilah yang dapat mempengaruhi warna menjadi memudar. Tahapan reaksinya disajikan pada reaksi di bawah ini : X* + AH -----------> X- + AH*+ AH*+ ---------> A* + H3O+ X- + H3O+ -------> XH + H2O
H2O

(2) (3) (4)

28

2.6.1 Pengukuran kapasitas antioksidan in vitro Beberapa metode pengukuran kapasitas antioksidan secara in vitro yang digunakan dewasa ini adalah beta karoten bleaching, 1,1-Diphenyl-2-

Picrylhydrazyl (DPPH Radical Scavenging) method, Thiobarbituric AcidReactive-Substances (TBARS) assay, Rancimat assay, Oxygen Radical

Absorbance Capacity (ORAC) assay, Total Radical-Trapping Antioxidant Parameter (TRAP) dan Ferric Reducing/Antioxidant Power (FRAP) assay, Trolox Equivalent Antioxidant Capacity (TEAC) method, Peroxyl Radical Scavenging Capacity (PSC) dan Total Oxyradical Scavenging Capacity (TOCS) method dan Folin-Ciocalteau Total Phenolic assay, dan lain-lain (Mermelstein, 2009). Menurut Prior et al. (2005), metode analisis yang didasari atas reaksi HAT adalah ORAC, TRAP, dan TOCS, sedangkan metode analisis berdasarkan reaksi ET adalah FRAP, TEAC, dan DPPH. Klopotek et al. (2005) menyatakan bahwa metode FRAP assay dan TEAC assay yang digunakan untuk mengukur perubahan aktivitas antioksidan buah strawberi segar dan olahannya memberikan hasil yang tidak jauh berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh Gill et al. (2002) menghasilkan bahwa aktivitas antioksidan pada buah plum menggunakan FRAP assay lebih tinggi (40,4 mg sampai dengan 127,2 mg ekivalen vitamin C) dibandingkan dengan pengukuran menggunakan DPPH Radical Scavenging Method (27,4 mg sampai dengan 61,1 mg ekivalen vitamin C). Penelitian lain menunjukkan bahwa analisis aktivitas antioksidan menggunakan Total Phenolic assay dan FRAP assay memiliki hubungan positif

29

yang sangat kuat (R2 = 94,8%) pada daun, batang, dan ekstrak buah tanaman Momordica charantia L. (Kubola dan Siriamornpun, 2008). 2.6.2 Pengukuran kapasitas antioksidan in vivo Wolfe dan Liu (2007) menyatakan bahwa di samping analisis in vitro, perlu melakukan analisis kapasitas antioksidan pada hewan coba atau manusia untuk mendapatkan efikasi aktual antioksidan tersebut di dalam tubuh. Tetapi dikatakan pula bahwa penelitian ini memerlukan waktu dan biaya yang cukup besar dan sulit mengetahui perbedaan pengaruh spesifik dari antioksidan dengan asupan pangan sehari-hari. Beberapa penelitian mengenai kapasitas antioksidan secara in vivo dilakukan menggunakan mencit, tikus, dan manusia. Prangdimurti et al. (2006), menyatakan bahwa terjadi peningkatan aktivitas SOD dan CAT pada hati tikus Sprague Dawley yang diberi asupan ekstrak daun suji. Jawi et al. (2008)

melakukan penelitian mengenai aktivitas antioksidan pada ubi jalar ungu menggunakan mencit jantan galur Swiss dan menghasilkan bahwa ekstrak ubi jalar ungu dapat meningkatkan kapasitas antioksidan pada hati mencit tersebut. Hasil penelitian Puspawati (2009) juga menyatakan bahwa asupan sorgum dan jewawut yang kaya antioksidan dapat meningkatkan aktivitas SOD, CAT, dan GPx pada hati tikus Sprague Dawley. Penelitian yang dilakukan oleh Kutlu et al. (2009) pada tikus hiperkolesterolemia yang disuplementasi dengan apricot cernel oil, memberikan hasil yang signifikan terhadap peningkatan aktivitas enzim GPx dan CAT pada hatinya.

30

2.6.3 Pengukuran kapasitas antioksidan dengan kultur sel Wolfe dan Liu (2007) mengembangkan metode kultur sel yang dikenal dengan Cellular Antioxidant Activity (CAA) assay untuk menguji kapasitas antioksidan di dalam sel. Metode ini dapat menjelaskan mekanisme biologis seperti distribusi dan penyerapan antioksidan oleh sel serta mekanisme penghambatan atau peredaman radikal bebas di dalam sel. Pengukuran aktivitas antioksidan pada beberapa ekstrak buah-buahan menggunakan CAA assay dilakukan oleh Wolfe et al. (2008). Penelitian ini menunjukkan bahwa blueberi memiliki nilai CAA yang paling tinggi diikuti oleh buah pome (delima), blackberi, strawberi, rasberi, cranberi, dan apel. Di samping itu, Wolfe dan Liu (2008) juga melakukan penelitian pengukuran aktivitas antioksidan pada beberapa ekstrak fitokimia dan mendapatkan hasil bahwa senyawa kuersetin memiliki nilai CAA Assay yang paling tinggi, kemudian diikuti kaemferol, epigalokatekin galat, myrsetin, dan luteolin.

2.7 Tinjauan Umum Bunga Kamboja Tanaman Kamboja atau dikenal dengan Frangipani (Plumeria sp.) merupakan jenis tumbuhan berbunga yang berasal dari Amerika Tengah dan Afrika. Tanaman ini ditemukan oleh Charles Plumier, seorang botanis Perancis (Anonim, 2010a). Kamboja merupakan jenis tanaman tropis yang tumbuh subur di dataran rendah sampai ketinggian tanah 700 m di atas permukaan laut. Ciri khas tanaman ini mudah tumbuh dan berkembang biak serta tidak memerlukan perawatan khusus. Tanaman Kamboja dapat bertahan hidup sampai ratusan tahun

31

karena merupakan tanaman sekulen yaitu jenis tanaman yang dapat menyimpan air pada seluruh bagian mulai dari akar, batang, daun, dan bunganya. Dewasa ini terutama di daerah Bali, kamboja merupakan salah satu maskot tanaman penghias halaman rumah, kantor, dan taman umum. Bunga Kamboja saat ini tidak saja berwarna putih dan kuning tetapi ada jenis persilangan baru berwarna pink, oranye, merah, dan merah tua. Tanaman Kamboja dengan warna bunga putih dan kuning termasuk dalam genus dan spesies Plumeria alba, sedangkan kamboja dengan warna bunga orange, pink, merah, dan merah tua termasuk dalam Plumeria rubra (Gilman dan Watson, 1994). Tanaman Kamboja menyimpan banyak manfaat, mulai dari akar, batang, getah, daun, kulit batang dan bunganya. Akar kamboja digunakan untuk mengobati kencing nanah (gonorrhoe), daunnya dapat mengobati bisul bernanah, kulit batang untuk menyembuhkan tumit pecah-pecah. Getah Kamboja bermanfaat sebagai pengurang rasa sakit akibat gigi berlubang, mengobati gusi bengkak serta dapat mematangkan bisul (Anon., 2007). Sedangkan air rebusan bunga Kamboja kering berkhasiat untuk menurunkan demam, sebagai obat batuk dan membantu melancarkan pencernaan (Anonim, 2006). Selain itu air rebusan Bunga Kamboja juga dapat digunakan untuk mengobati kudis dan sakit kulit (Anonim, 2010). Menurut Amin (2010), bunga Kamboja kering dijadikan bahan campuran pada proses pembuatan minuman herbal di Korea, Jepang dan Vietnam. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wrasiati et al. (2008), ekstrak air dengan suhu 90oC dari bunga Kamboja Cendana kering memiliki total polifenol sebesar 18,7 % dan aktivitas antioksidan sebesar 7,44 %, sedangkan ekstrak air

32

bunga Kamboja Lokal kering memiliki total polifenol dan aktivitas antioksidan yang lebih rendah yaitu sebesar 12,4 % dan 6,22 %. Kandungan lain yang penting bagi kesehatan adalah kadar serat sebesar 20,33 %, total asam sebesar 6,02 %, dan kadar sari sebesar 38 % .

2.8 Ekstraksi Ekstraksi adalah proses pemisahan suatu bahan dari campurannya. Pada umumnya ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut yang didasarkan pada kelarutan komponen terhadap komponen lain dalam campuran (Anon., 2000). Bahan yang akan diekstrak biasanya berupa bahan kering yang telah dihancurkan, biasanya berbentuk bubuk atau simplisia (Sembiring, 2007). Bahan-bahan aktif seperti senyawa antimikroba dan antioksidan yang terdapat pada tumbuhan pada umumnya diekstrak dengan pelarut. Pada proses ekstraksi dengan pelarut, jumlah dan jenis senyawa yang masuk ke dalam cairan pelarut sangat ditentukan oleh jenis pelarut yang digunakan dan meliputi dua fase yaitu fase pembilasan dan fase ekstraksi. Pada fase pembilasan, pelarut membilas komponen-komponen isi sel yang telah pecah pada proses penghancuran sebelumnya. Pada fase ekstraksi, mula-mula terjadi pembengkakan dinding sel dan pelonggaran kerangka selulosa dinding sel sehingga pori-pori dinding sel menjadi melebar yang menyebabkan pelarut dapat dengan leluasa masuk ke dalam sel. Bahan isi sel kemudian terlarut dalam pelarut sesuai dengan tingkat

kelarutannya lalu berdifusi keluar akibat adanya gaya yang ditimbulkan perbedaan konsentrasi bahan terlarut yang terdapat di dalam dan di luar sel (Voigt, 1995).

33

Menurut Harborne (1987), Proses pengekstraksian komponen kimia dalam sel tanaman yaitu pelarut organik akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dalam pelarut organik di luar sel, maka larutan terpekat akan berdifusi keluar sel dan proses ini akan berulang terus sampai terjadi keseimbangan antara konsentrasi cairan zat aktif di dalam dan di luar sel. 2.8.1 Tujuan dan kondisi ekstraksi Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik semua komponen kimia yang terdapat dalam simplisia. Secara umum, terdapat empat situasi dalam menentukan tujuan ekstraksi menurut Anonim, 1986 dan Harborne, 1987 yaitu : (1) Senyawa kimia telah diketahui identitasnya untuk diekstraksi dari organisme. Dalam kasus ini, prosedur yang telah dipublikasikan dapat diikuti dan dibuat modifikasi yang sesuai untuk mengembangkan proses atau menyesuaikan dengan kebutuhan pemakai. (2) Bahan diperiksa untuk menemukan kelompok senyawa kimia tertentu, misalnya alkaloid, flavanoid atau saponin, meskipun struktur kimia sebetulnya dari senyawa ini bahkan keberadaannya belum diketahui. Dalam situasi seperti ini, metode umum yang dapat digunakan untuk senyawa kimia yang diminati dapat diperoleh dari pustaka. Hal ini diikuti dengan uji kimia atau kromatografik yang sesuai untuk kelompok senyawa kimia tertentu (3) Organisme (tanaman atau hewan) digunakan dalam pengobatan tradisional, dan biasanya dibuat dengan cara, misalnya Tradisional Chinese Medicine (TCM) seringkali membutuhkan herba yang dididihkan dalam air untuk diberikan sebagai

34

obat. Proses ini harus ditiru sedekat mungkin jika ekstrak akan melalui kajian ilmiah biologi atau kimia lebih lanjut, khususnya jika tujuannya untuk memvalidasi penggunaan obat tradisional. (4) Sifat senyawa yang akan diisolasi belum ditentukan sebelumnya dengan cara apapun. Situasi ini (utamanya dalam program skrining) dapat timbul jika tujuannya adalah untuk menguji organisme, baik yang dipilih secara acak atau didasarkan pada penggunaan tradisional untuk mengetahui adanya senyawa dengan aktivitas biologi khusus 2.8.2 Metode ekstraksi Beberapa metode ekstraksi dengan pelarut yang digunakan untuk mendapatkan senyawa aktif pada tanaman adalah metode maserasi, perkolasi, soxhletasi, refluks, destilasi uap air, rotavapor, ekstraksi cair-cair, dan kromatografi lapis tipis. (1) Maserasi Penyarian zat aktif yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari yang sesuai selama beberapa jam sampai tiga hari pada temperatur kamar terlindung dari cahaya, cairan penyari akan masuk ke dalam sel melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan penyari dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Selama proses maserasi dilakukan pengadukan dan penggantian cairan penyari setiap hari. Endapan yang diperoleh dipisahkan dan filtratnya dipekatkan (Sudjadi, 1986).

35

(2) Perkolasi Penyarian zat aktif yang dilakukan dengan cara serbuk simplisia dimaserasi selama tiga jam, kemudian simplisia dipindahkan ke dalam bejana silinder yang bagian bawahnya diberi sekat berpori, cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui simplisia tersebut, cairan penyari akan melarutkan zat aktif dalam sel-sel simplisia yang dilalui sampai keadan jenuh. Gerakan ke bawah disebabkan oleh karena gravitasi, kohesi, dan berat cairan di atas dikurangi gaya kapiler yang menahan gerakan ke bawah. Perkolat yang diperoleh dikumpulkan, lalu dipekatkan (Sudjadi, 1986). (3) Soxhletasi Penarikan komponen kimia yang dilakukan dengan cara serbuk simplisia ditempatkan dalam klonsong yang telah dilapisi kertas saring sedemikian rupa, cairan penyari dipanaskan dalam labu alas bulat sehingga menguap dan dikondensasikan oleh kondensor bola menjadi molekul-molekul cairan penyari yang jatuh ke dalam klonsong menyari zat aktif di dalam simplisia dan jika cairan penyari telah mencapai permukaan sifon, seluruh cairan akan turun kembali ke labu alas bulat melalui pipa kapiler hingga terjadi sirkulasi. Ekstraksi sempurna ditandai bila cairan di sifon tidak berwarna, tidak tampak noda jika di KLT, atau sirkulasi telah mencapai 20-25 kali. Ekstrak yang diperoleh dikumpulkan dan dipekatkan (Sudjadi, 1986). (4) Refluks Penarikan komponen kimia yang dilakukan dengan cara sampel dimasukkan ke dalam labu alas bulat bersama-sama dengan cairan penyari lalu

36

dipanaskan, uap-uap cairan penyari terkondensasi pada kondensor bola menjadi molekul-molekul cairan penyari yang akan turun kembali menuju labu alas bulat, akan menyari kembali sampel yang berada pada labu alas bulat, demikian seterusnya berlangsung secara berkesinambungan sampai penyarian sempurna, penggantian pelarut dilakukan sebanyak tiga kali setiap 3 jam sampai 4 jam. Filtrat yang diperoleh kemudian dikumpulkan dan dipekatkan (Sudjadi, 1986). (5) Destilasi uap air Penyarian minyak menguap dengan cara simplisia dan air ditempatkan dalam labu berbeda. Air dipanaskan dan akan menguap, uap air akan masuk ke dalam labu sampel sambil mengekstraksi minyak menguap yang terdapat dalam simplisia, uap air dan minyak menguap yang telah terekstraksi menuju kondensor dan akan terkondensasi, lalu akan melewati pipa alonga, campuran air dan minyak menguap akan masuk ke dalam corong pisah, dan akan memisah antara air dan minyak atsiri (Anon., 2000). (6) Rotavapor Proses pemisahan ekstrak dari cairan penyarinya dengan pemanasan yang dipercepat oleh putaran dari labu alas bulat, cairan penyari dapat menguap sekitar 5-10 C di bawah titik didih pelarutnya disebabkan oleh karena adanya penurunan tekanan. Dengan bantuan pompa vakum, uap larutan penyari akan menguap naik ke kondensor dan mengalami kondensasi menjadi molekul-molekul cairan pelarut murni yang ditampung dalam labu alas bulat penampung (Sudjadi, 1986).

37

(7) Ekstraksi cair-cair Ekstraksi cair-cair merupakan pemisahan komponen kimia di antara dua fase pelarut yang tidak saling bercampur di mana sebagian komponen larut pada fase pertama dan sebagian larut pada fase kedua, lalu kedua fase yang mengandung zat terdispersi dikocok dan didiamkan sampai terjadi pemisahan sempurna dan terbentuk dua lapisan fase cair. Komponen kimia akan terpisah ke dalam kedua fase tersebut sesuai dengan tingkat kepolarannya dengan perbandingan konsentrasi yang tetap (Harborne, 1987). (8) Kromatografi lapis tipis Pemisahan komponen kimia berdasarkan prinsip adsorbsi dan partisi, yang ditentukan oleh fase diam (adsorben) dan fase gerak (eluen). Komponen kimia bergerak naik mengikuti fase gerak karena daya serap adsorben terhadap komponen-komponen kimia tidak sama sehingga komponen kimia dapat bergerak dengan kecepatan yang berbeda berdasarkan tingkat kepolarannya, hal inilah yang menyebabkan terjadinya pemisahanantara senyawa yang satu dengan yang lainnya (Sudjadi, 1986). Pada umumnya senyawa aktif pada tanaman diperoleh dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut. Senyawa aktif yang sebagian besar berupa polifenol memiliki spektrum luas dengan sifat kelarutan pada suatu pelarut yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh gugus hidroksil yang dimiliki oleh senyawa tersebut berbeda jumlah dan posisinya. Dengan demikian, ekstraksi menggunakan berbagai pelarut akan menghasilkan komponen polifenol dan keaktifan yang berbeda (Pambayun et al., 2007).

38

Menurut Cowan (1999), senyawa polifenol yang terdapat pada tumbuhan pada umumnya diekstrak dengan metanol dan etanol. Sementara itu beberapa penelitian yang berhubungan dengan senyawa polifenol dan aktivitas antioksidan menggunakan pelarut air dan dikolrometan (Septiana et al., 2002), pelarut etil asetat dan kloroform (Pambayun et al., 2007), campuran pelarut metanol, air dan asam asetat (Unver et al., 2009), etil asetat, heksan dan eter (Kuncahyo dan Sunardi, 2007). Proses ekstraksi bahan tumbuhan meliputi dua fase yaitu fase pembilasan dan fase ekstraksi. Pada fase pembilasan, pelarut membilas komponen-komponen isi sel yang telah pecah pada proses penghancuran sebelumnya. Pada fase

ekstraksi, mula-mula terjadi pembengkakan dinding sel dan pelonggaran kerangka selulosa dinding sel sehingga pori-pori dinding sel menjadi melebar yang menyebabkan pelarut dapat dengan leluasa masuk ke dalam sel. Bahan isi sel kemudian terlarut dalam pelarut sesuai dengan tingkat kelarutannya lalu berdifusi keluar akibat adanya gaya yang ditimbulkan perbedaan konsentrasi bahan terlarut yang terdapat di dalam dan di luar sel (Voigt, 1995). Pada Tabel 2.1 ditunjukkan jenis-jenis pelarut yang digunakan untuk mengekstrak berbagai jenis senyawa bioaktif pada tumbuhan. Cowan (1999) menyatakan bahwa etanol dan metanol merupakan pelarut yang paling sering digunakan untuk mengekstrak senyawa antimikroba dan antioksidan dari tumbuhan karena seyawa-senyawa tersebut umumnya merupakan senyawa aromatik dan organik jenuh.

39

Menurut Al-Farsi et al. (2005), perbedaan pelarut yang digunakan pada proses ekstraksi berpengaruh terhadap kandungan fenol dan aktivitas antioksidan tanaman Phoenix dactylifera. Pada penelitian tersebut, pelarut yang dibandingkan adalah air, fosfat bufer, metanol, dan aseton dan pelarut yang menghasilkan ekstrak dengan kandungan fenol tertinggi adalah ekstrak metanol yaitu sebesar 343 mg GAE/100 g dan aktivitas antioksidan tertinggi terdapat pada ekstrak buffer fosfat yaitu sebesar 9986 mol TE/g. Cai et al. (2004) juga menyatakan bahwa ekstrak air dan metanol dari 112 tanaman obat Cina menghasilkan total fenol dan aktivitas antioksidan yang berbeda-beda. Beberapa tanaman yang

diekstrak dengan air memiliki total fenol dan aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang diekstrak dengan pelarut etanol atau metanol. Hodzic et al. (2009) menyatakan bahwa ekstraksi dengan air pada suhu 40oC dari beberapa serealia seperti oat, barley, jagung dan gandum menghasilkan total fenol dan aktivitas antioksidan cukup tinggi. Hasil penelitian Septiana et al. (2002) menunjukkan bahwa ekstrak diklorometana jahe memiliki total fenol dan aktivitas antioksidan yang lebih besar dibandingkan dengan ekstrak airnya. Kuncahyo dan Sunardi (2007) juga

menyatakan bahwa ekstrak fraksi eter dari belimbing wuluh memiliki aktivitas antioksidan yang lebih besar dibandingkan dengan fraksi airnya. Moselhy dan Junbi (2010) meneliti tentang aktivitas antioksidan bubuk Cinnamon yang diekstrak dengan pelarut air dan etanol. Kedua ekstrak tersebut mengandung senyawa aktif golongan polifenol yang cukup tinggi dan mampu

40

menurunkan kadar MDA, meningkatkan aktivitas enzim SOD dan CAT pada hati tikus yang diinduksi dengan CCl4. Tabel 2.1 Jenis-jenis Pelarut yang Digunakan untuk Mengekstrak Berbagai Jenis Senyawa Aktif dari Tumbuhan
Senyawa aktif air Polifenol Tannin Antosianin Flavon Flavonol Terpenoid Polipeptida Alkaloid Kuomarin Etanol metanol Pelarut kloroform dikloroMetanol eter Aseton

Sumber: Cowan (1999)

Anda mungkin juga menyukai