2 0 0 9
Penerbit
The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) Jl. Tebet Timur I No. 4, Jakarta Selatan Phone : 021-93821173, Fax : 021- 8356641 e-mail : indonesia_lrc@yahoo.com website:www.mitrahukum.org
Didukung oleh
HIVOS Jl. Brawijaya III No. 8, Kebayoran Baru Jakarta Selatan INDONESIA
Perpustakaan Nasional RI, Data Katalog dalam Terbitan (KDT) Buku Saku untuk Kebebasan Beragama Memahami Kebijakan Administrasi Kependudukan Jakarta, ILRC, Oktober 2009 Cetakan; 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 halaman x + 57, ukuran kertas 10,5 x 15 cm ISBN 978-979-xxxxx-x-x
Kata Pengantar
Buku saku paralegal ini berkaitan dengan permasalahan-permasalahan yang ditemui oleh komunitas agama minoritas di dalam kehidupan seharihari. The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) melihat Para penulis mencoba menyajikan pemahaman tentang hak atas kebebasan beragama secara sederhana dan dengan bahasa yang diharapkan mudah dipahami oleh pembacanya. Di dalam buku saku paralegal ini dibahas tentang jaminan hak atas kebebasan beragama, administrasi kependudukan dan juga bentuk-bentuk diskriminasi. ILRC menyusun buku saku paralegal ini sebagai bagian komitmen untuk melakukan diseminasi pemahaman atas kebebasan beragama berdasarkan konstitusi, UU No.12 Tahun 2005 tentang
pengesahan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (Sipol), dan aturan hukum lainnya yang terkait dengan kebebasan beragama. Kami berharap buku saku ini dapat digunakan oleh paralegal di komunitas agama minoritas, atau pun siapa saja yang tertarik dengan kebebasan beragama. Paralegal di komunitas agama minoritas diharapkan mampu memahami dasar-dasar kebebasan beragama dan pemahaman prosedural pengaduan pelanggaran hak atas kebebasan beragama tersebut, sehingga ketika ada permasalahan yang berkaitan dengan kebebasan beragama, paralegal tersebut tidak perlu menunggu advokat. Kami juga melihat buku saku ini sebagai panduan (self-help) kepada komunitas untuk mengetahui prosedur pengaduan permasalahan kebebasan beragama, dan pemahaman praktis berkaitan dengan keterampilan advokasi. Sejatinya, seorang paralegal mempunyai pemahaman teknis praktis advokasi dan pemahaman dasar kebebasan beragama, pemahaman tersebut bisa dipergunakan oleh paralegal ketika dia berhadapan dengan pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan kebebasan beragama. Kami mengucapkan terima kasih kepada HIVOS
yang mendukung penerbitan buku saku ini, dan juga kepada para penulis serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas kontribusinya dalam penyusunan buku saku ini.
Daftar Isi
KATA PENGANTAR Bagian Pertama PENGERTIAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN Bagian Kedua PENCATATAN KELAHIRAN DAN KEMATIAN Bagian Ketiga KARTU KELUARGA DAN KARTU TANDA PENDUDUK Bagian Keempat PENCATATAN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN DAFTAR PUSTAKA DAFTAR ALAMAT PROFIL ILRC
Bagian Pertama
tingkat nasional dengan jumlah pemeluk sekitar 10 juta orang. Akibat politik pembatasan enam agama yang diakui negara, penghayat kepercayaan mengalami tindakan diskriminatif dalam pelayanan publik, khususnya pelayanan administrasi kependudukan. Tindakan diskriminatif ini menyebabkan pemenuhan hak-hak dasar penghayat baik hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial dan budaya dilanggar. UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) dan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23/2006 menjamin hak seorang/kelompok penganut Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa untuk mendapatkan hak-hak administrasi kependudukan seperti pencantuman kepercayaan dalam KTP, akta kelahiran, perkawinan dan dokumen kematian yang dijamin dalam UU No. 23/2006 tentang Adminduk. Ada juga payung hukum lain yakni Peraturan Presiden (Perpres) No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil. Dengan peraturan perundang-undangan tersebut, penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa tidak boleh didiskriminasi. Mereka berhak mendapatkan perlindungan dan pelayanan administrasi kependudukan tanpa diskriminasi. Dalam rangka sosialisasi UU Adminduk, Indonesian Legal Resource Center (ILRC) menerbitkan buku saku Adminduk, sebagai panduan warganegara khususnya para penghayat kepercayaan dalam upaya mendapatkan hak-hak mereka.
Kewajiban apakah yang dimiliki warganegara/ penduduk dalam sistem administrasi kependudukan?
Setiap penduduk WAJIB melaporkan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialaminya kepada instansi pelaksana. Sebab, setiap kejadian/peristiwa penting yang dialami --seperti kelahiran, kematian, dan perkawinan-akan membawa akibat terhadap penerbitan atau perubahan Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan atau surat keterangan kependudukan lain yang meliputi pindah datang, perubahan alamat, atau status tinggal terbatas menjadi tinggal tetap.
Meliputi apa sajakah pelayanan pencatatan sipil? Pelayanan pencatatan sipil meliputi pencatatan peristiwa penting, yaitu: 1. Kelahiran; 2. Kematian; 3. Lahir mati; 4. Perkawinan; 5. perceraian; 6. Pengakuan anak; 7. Pengesahan anak; 8. Pengangkatan anak; 9. Perubahan nama; 10. Perubahan status kewarganegaraan; 11. Pembatalan perkawinan; 12. Pembatalan perceraian; dan 13. Peristiwa penting lainnya.
Kewajiban Dalam mengurus dokumen kependudukan, warganegara mengalami kesulitan berkaitan dengan ketidakjelasan waktu penerbitan dokumen. Adakah ketentuan mengenai jangka waktu penerbitan dan bagaimana jika dilanggar ?
1. Instansi Pelaksana atau Pejabat yang diberi kewenangan, sesuai tanggung jawabnya, wajib menerbitkan dokumen Pendaftaran Penduduk sejak tanggal dipenuhinya persyara-tan. Aturan waktu penerbitannya adalah: a. KK atau KTP paling lambat 14 (empat belas) hari; b. Surat Keterangan Pindah paling lambat 14 (empat belas) hari; c. Surat Keterangan Pindah Datang paling lambat 14 (empat belas) hari; d. Surat Kerangan Pindah ke Luar Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari; e. Surat Keterangan Datang dari Luar Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari; f. Surat Keterangan Tempat Tinggal untuk Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas paling lambat 14 (empat belas) hari; g. Surat Keterangan Kelahiran paling lambat 14 (empat belas) hari; h. Surat Keterangan Lahir Mati paling lambat 14 (empat belas) hari; i. Surat Keterangan Kematian paling lambat 3 (tiga) hari;
j. Surat Keterangan Pembatalan Perkawinan paling lambat 7 (tujuh) hari; atau k. Surat Keterangan Pembatalan Perceraian paling lambat 7 (tujuh) hari; 2. Perwakilan Republik Indonesia wajib menerbitkan Surat Keterangan Kependudukan sejak tanggal dipenuhinya persyaratan, yaitu sebagai berikut: a. Surat Keterangan Perceraian paling lambat 7 (tujuh) hari; b. Surat Keterangan Pengangkatan Anak paling lambat 7 (tujuh) hari; atau c. Surat Keterangan Pelepasan Kewarganegaraan Indonesia paling lambat 7 (tujuh) hari; 3. Pejabat Pencatatan Sipil dan Pejabat pada Perwakilan Republik Indonesia yang ditunjuk sebagai pembantu pencatat sipil wajib mencatat pada register akta Pencatatan Sipil dan menerbitkan kutipan akta Pencatatan Sipil paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal dipenuhinya semua persyaratan. Dalam hal Pejabat pada Instansi Pelaksana melakukan tindakan atau sengaja melakukan tindakan yang memperlambat pengurusan Dokumen Kependudukan dalam batas waktu yang ditentukan dalam UndangUndang ini dikenakan sanksi berupa denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Apakah terdapat sanksi bagi penduduk yang melakukan pelanggaran administrasi kependudukan?
Ya, berupa sanksi administratif dan sanksi pidana. setiap penduduk dikenai sanksi administratif berupa denda apabila melampaui batas waktu pelaporan Peristiwa Kependudukan dan batas waktu pelaporan peristiwa penting. Sanksi berupa denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan Penduduk Orang Asing paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). Sedangkan sanksi pidana dijatuhkan bagi pelanggaran tindak pidana administrasi kependudukan.
Bagian Kedua
PENCATATAN KELAHIRAN
Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraannya. (Pasal 53 ayat 2 UU HAM)
sumber - http://humasbatam.com/wp-content/uploads/2009/08/IMG_7633.jpg
Hak pertama anak setelah dilahirkan adalah identitas yang meliputi nama, orangtua (silsilah keturunan) dan kewarganegaraan yang dituangkan dalam bentuk akta kelahiran. Hak ini akan menentukan pengakuan, pemenuhan dan perlindungan anak yang lainnya, seperti hak keperdataan (waris, dan nafkah), akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Hak atas akta kelahiran dijamin dalam UU 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan dan
UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Faktanya, saat ini masih banyak anak Indonesia yang identitasnya tidak tercatat dalam akta kelahiran. Dengan tidak tercatatnya identitas seorang anak dalam akta kelahiran, maka secara hukum keberadaannya dianggap tidak ada. Kondisi ini tidak hanya karena ketidaktahuan masyarakat akan arti penting akta kelahiran, biaya yang tidak terjangkau dan prosedur yang panjang, namun karena sikap diskriminatif terhadap mereka, yang dipandang sebagai "yang lain" atau berbeda dari kelompok mayoritas. Di Indonesia, pencatatan kelahiran secara tidak langsung merupakan turunan dari pencatatan perkawinan. Persoalannya, terdapat perkawinan yang tidak bisa dicatatkan di catatan sipil karena interpretasi undang-undang yang berbeda, seperti kasus yang dialami para Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Mereka tidak bisa memiliki dokumen perkawinan dari negara, karena kepercayaan mereka tidak diakui negara. Akibatnya, anak-anak yang lahir mengalami kesulitan untuk mendapatkan akta kelahiran. Jika bisa mendapatkan akta kelahiran maka status anak
dianggap bukan berasal dari perkawinan yang sah (anak luar kawin) dan hanya memiliki nama ibu dalam akta. Walhasil, si anak hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya dalam hal hak waris, hak nafkah dan lain-lain. Maka, mereka yang berasal dari luar nilai-nilai, moral, dan ideologi yang dominan di negeri ini, mengalami berbagai diskriminasi dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan lahirnya UU Adminduk, dengan dijaminnya pencatatan perkawinan bagi para penghayat, maka setiap anak yang lahir dari pasangan penghayat dengan sendirinya berhak mendapatkan akta kelahiran. Berikut informasi terkait dengan pendaftaran kelahiran. Kapan peristiwa kelahiran dilaporkan ?
UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, menegaskan setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana di tempat terjadinya peristiwa kelahiran paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran. Sedangkan untuk kelahiran mati dilaporkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak lahir mati. Pembatasan jangka waktu pelaporan ini akan menentukan jenis akta kelahiran yang dikeluarkan dan prosedur pembuatannya. Misalkan untuk pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu 1 (satu) tahun dilaksanakan berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri.
Untuk memperoleh Pelayanan Pelaporan Kelahiran harus memenuhi persyaratan berikut ini: 1. Surat Pengantar RT/RW 2. Surat Keterangan kelahiran dari Rumah Sakit/Dokter/Bidan/Pilot/Nachkoda 3. Surat Tanda Bukti Perkawinan Orang Tua (Akta Perkawinan) 4. Fotocopy Kartu Keluarga / Kartu Tanda Penduduk Orang Tua yang dilegalisir Lurah 5. Surat Keterangan Tamu/KIPEM bagi yang bukan Penduduk Propinsi DKI Jakarta 6. Surat Keterangan Pendaftaran Penduduk Tetap (SKPPT) bagi Penduduk WNA 7. Surat Keterangan Pendaftaran Penduduk Sementara (SKPPS) bagi Orang Asing Penduduk Sementara Sedangkan akta kelahiran adalah akta otentik yang dikeluarkan oleh Catatan Sipil, dan salah satu syarat untuk membuatnya adalah Surat Pelaporan Kelahiran dari Kelurahan. Dalam hal ini akta kelahiran-lah yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna menurut hukum atas identitas seseorang.
Apa bedanya antara surat pelaporan kelahiran (kenal lahir) dan akta kelahiran?
Surat pelaporan kelahiran atau biasa disebut kenal lahir dikeluarkan oleh Kantor Kelurahan/Desa. Bayi yang dilaporkan kelahirannya akan terdaftar dalam Kartu Keluarga dan diberi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai dasar untuk memperoleh pelayanan masyarakat lainnya. Sebagai hasil pelaporan kelahiran, diterbitkan Kartu Keluarga dan Akta Kelahiran.
Bagaimana untuk akta kelahiran bagi anak-anak yang tidak diketahui orangtuanya?
Untuk anak-anak yang tidak diketahui orangtua dan asal-usulnya seperti anak-anak yang dibuang, maka pencatatan kelahirannya didasarkan pada laporan orang yang menemukan dilengkapi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari kepolisian.
Berapa biaya pembuatan akta kelahiran ? Menurut UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya(Pasal 27 ayat 1), dan Pembuatan akta Kelahiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenai biaya (Pasal 28 ayat 1). Dalam konteks HAM, negara menjadi pihak yang berkewajiban memenuhi dan bukan sekedar membuat atau mencetak akta kelahiran. Dengan demikian, ketentuan tidak dikenai biaya dalam pasal tersebut di atas menghilangkan prilaku korup yang dilakukan oleh para pihak dalam proses penerbitan akta kelahiran. Namun ketentuan dalam UU Perlindungan Anak tidak sinkron dan sinergis dengan ketentuan dalam UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang kemudian diubah dengan UU No. 34 Tahun 2000 dan terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2009-- dan ditindaklanjuti dengan PP 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. Peraturan perundang-undangan ini memberikan wewenang kepada Pemerintah Daerah untuk memungut retribusi penggantian biaya cetak KTP dan akta Catatan Sipil (Capil), termasuk akta kelahiran. Sehingga biaya pembuatan akta kelahiran akan berbeda antara satu daerah dengan daerah lain. Sebagai contoh, Kota CILEGON melalui Peraturan Daerah (Perda) No. 7 Tahun 2003 tentang Biaya Penggantian Cetak Akta dan KTP, menetapkan biaya pembuatan akta kelahiran Rp7.500 per akta. Sedangkan Rembang melalui Peraturan Daerah Kabupaten Rembang No. 4 Tahun 2008, menyebutkan
biaya dan denda pembuatan akta kelahiran untuk usia 1 - 60 hari gratis, 2 - 4 bulan didenda Rp10.000, 4 - 6 bulan sebesar Rp20.000, 6 - 8 bulan sebesar Rp50.000, 8 - 10 bulan sebesar Rp75.000, dan 10 bulan sampai di atas 12 bulan sebesar Rp100.000. Kota Denpasar melalui Perda No. 15 Tahun 2002 menetapkan Biaya Pencatatan dan Penertiban Kutipan Akta Kelahiran, yaitu anak pertama dan anak kedua sebesar Rp15.000, serta anak ketiga dan seterusnya sebesar Rp25.000,Namun terdapat sejumlah daerah yang telah mengratiskan biaya pembuatan akta kelahiran seperti Kebumen, Pare-Pare, dan Tanggamus Lampung. Untuk menghindari pungutan liar, ada beberapa tips yang perlu Anda perhatikan: (i) bayarlah sesuai tarif yang diumumkan; (ii) mintalah kuitansi tanda pembayaran; (iii) penuhi persyaratan dan prosedur; dan (iv) tidak memenuhi permintaan uang dari petugas.
Bagian Ketiga
Kebijakan enam agama yang diakui negara, telah menyebabkan warganegara yang tidak menganut salah satunya, terpaksa menerima pengisian kolom agama yang tidak sesuai dengan keyakinannya. Walhasil para Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME, dipaksa untuk menerima identitas agama yang tidak mereka anut. Hal ini mempengaruhi pemenuhan hak-hak lain seperti pemakaman dan pendidikan yang akan disesuaikan dengan identitas keagamaan seseorang. Sedangkan bagi mereka yang menolak identitas dari enam agama yang diakui, menyebabkan ia
tidak memiliki identitas. Padahal KK dan KTP menjadi syarat dari setiap tindakan administrasi dan hukum di Indonesia. Akibatnya, mereka akan kehilangan hak-hak dasar sebagai warganegara. Pasal 64 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2006 tentang Adminduk menyatakan Keterangan tentang agama bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan. Ketentuan ini menjadi dasar bagi para penghayat untuk mendapatkan pelayanan administrasi kependudukan, termasuk KK dan KTP dengan kolom agama tidak diisi
KK memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, nama orang tua. KK menjadi dasar untuk penerbitan KTP, dan menjadi dasar bagi pemenuhan hak warganegara yang lainnya dan bagi Pemerintah menjadi dasar untuk pengambilan keputusan/kebijakan.
Kartu Keluarga
Apa yang dimaksud dengan Kartu Keluarga (KK), dan apa urgensi dokumen tersebut bagi warganegara?
KK adalah kartu identitas keluarga yang memuat data tentang susunan, hubungan dan jumlah anggota keluarga. KK wajib dimiliki oleh setiap keluarga. KK dicetak rangkap 3 yang masing-masing dipegang oleh Kepala Keluarga, Ketua RT dan Kantor Kelurahan
kelurahan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja. Setiap melaporkan perubahan ke Kantor Kelurahan, harus membawa 2 (dua) lembar Kartu Keluarga yaitu yang disimpan oleh Kepala Keluarga dan oleh Ketua RT. Dari hasil perlaporan tersebut akan diterbitkan Kartu Keluarga baru.
WARGA
KELURAHAN
Pengantar RT/RW Kartu Keluarga lama Surat ket.pindah SKPPT bagi WNA SKPPB bagi pendatang baru Catat dalam buku Induk dan cantumkan nomor Kartu Keluarga Serahkan Blanko Kartu Keluarga
Bagaimana pelaksanaan pencantuman kolom agama bagi agama yang tidak diakui atau bagi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME ?
Pada awal berlakunya UU Adminduk, penerbitan KK bagi penghayat kepercayaan masih mendapatkan penolakan, baik karena belum tersosialisasikannya UU No. 23 Tahun 2006 dan PP No.37 tahun 2007, maupun ketidaksiapan infrastruktur dokumen kependudukan. Sehingga terdapat perbedaan di setiap kota/kabupaten. Ada yang menolak dalam artian harus mengikuti salah satu agama yang diakui, dikosongkan, (), tanda strip (-) atau ditulis lain-lain. Berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 470/1989/MD tanggal 19 Mei 2008 kepada Gubernur dan Bupati/Walikota, maka di kolom agama pada KK/KTP bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, namun tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan. Surat Edaran ini menegaskan kembali ketentuan dalam UU Adminduk. Sedangkan untuk penghayat yang dalam KTP/KKnya belum tertulis Penghayat, dan berkehendak untuk mengubahnya, maka dapat mengajukan permohonan yang dilengkapi dengan Surat Pernyataan Sebagai Penghayat. Surat pernyataan tersebut akan dijadikan dasar bagi petugas untuk melakukan pemutakhiran data.
end
Sedangkan untuk Instansi Pelaksana yang telah menggunakan sistem komputerisasi atau aplikasi program komputer yang belum memungkinkan pengosongan penulisan Penghayat Kepercayaan, tetapi harus mengikuti salah satu agama yang diakui, maka untuk SEMENTARA WAKTU dapat dikeluarkan SURAT KETERANGAN dengan status Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
WARGA
Kartu Keluarga Pengantar RT/RW Kartu Keluarga lama SKPPT bagi WNA SKPPB bagi pendatang baru SBKRI, Ganti nama Akte Kelahiran
KELURAHAN
Terima dan teliti berkas, cek NIK Isi surat bukti/ Daftar pemohon KTP dan catat dalam buku induk KTP Tandatangani daftar/ surat bukti permohonan KTP Terima retribusi
SUKU DINAS
Terima, teliti dan catat jumlah pemohon KTP Proses pembuatan KTP
KTP print
end
Penerbitan KTP bagi WNI dilaksanakan di desa/kelurahan, kecamatan atau unit kerja yang mengelola pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil di kabupaten/kota sesuai dengan kewenangan yang didelegasikan kepada pejabat yang bersangkutan. Sementara bagi penduduk Orang Asing Tinggal Tetap, pelayanan KTP dilakukan oleh unit kerja yang mengelola pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil di kabupaten/kota.
Untuk memperoleh Kartu Tanda Penduduk (KTP) baru harus melengkapi syarat-syarat berikut : 1. Surat Pengantar dari RT/RW 2. Foto Copy Kartu Keluarga 3. Pas Foto terbaru berukuran 2 x 3 cm sebanyak 3 lembar 4. SKPPB bagi pendatang baru dari luar DKI Jakarta 5. Foto copy Akta Kelahiran 6. SKPPT bagi WNA 7. Bukti Pembayaran Keterlambatan Pembuatan KTP Sedangkan Untuk memperpanjang Kartu Tanda Penduduk yang sudah habis masa berlakunya harus melengkapi syarat-syarat berikut : 1. 2. 3. 4. KTP lama yang sudah habis masa berlakunya Fotocopy Kartu Keluarga Pas foto 2 x 3 cm sebanyak 3 lembar Surat Keterangan lapor kehilangan KTP dari Kepolisian bagi yang kehilangan KTP 5. Bukti Pembayaran Keterlambatan Perpanjangan KTP
Bagaimana pelaksanaan pencantuman kolom agama bagi agama yang tidak diakui atau bagi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME ?
Pada awal berlakunya UU Adminduk, penerbitan KTP bagi penghayat kepercayaan masih mendapatkan penolakan, baik karena belum tersosialisasikannya UU No. 23 Tahun 2006 dan PP No. 37 Tahun 2007, maupun karena ketidaksiapan infrastruktur dokumen kependudukan. Sehingga terdapat perbedaan di setiap kota/kabupaten. Ada yang menolak dalam arti harus mengikuti salah satu agama yang diakui, dikosongkan, (), tanda strip (-) ataupun ditulis lain-lain. Berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 470/1989/MD tanggal 19 Mei 2008 kepada Gubernur dan Bupati/Walikota, maka di kolom agama pada KTP bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, namun tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan. Surat Edaran ini menegaskan kembali ketentuan dalam UU Adminduk. Sedangkan untuk penghayat yang dalam KTP/KK-nya belum tertulis Penghayat, dan berkehendak untuk mengubahnya, maka dapat mengajukan permohonan yang dilengkapi dengan Surat Pernyataan Sebagai Penghayat. Surat pernyataan tersebut akan dijadikan dasar bagi petugas untuk melakukan pemutakhiran data.
Sedangkan untuk instansi pelaksana yang telah menggunakan sistem komputerisasi atau aplikasi program komputer yang belum memungkinkan pengosongan penulisan Penghayat Kepercayaan, tetapi harus mengikuti salah satu agama yang diakui. Maka untuk SEMENTARA WAKTU dapat dikeluarkan surat keterangan dengan status Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Bagian Keempat
aturan ini dipagari pula Ketetapan MPR No. IV Tahun 1978. Atas dasar ini perkawinan ajaran penghayat tak dianggap sah oleh negara. Apa yang dialami oleh pasangan Asep dan Rela adalah gambaran tindakan diskriminatif terhadap para penghayat kepercayaan atau mereka yang memiliki keyakinan di luar enam agama yang diakui oleh negara. Padahal Perkawinan adalah suatu hak asasi yang dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) Perubahan II UUD 1945. Lahirnya UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan PP No. 37 Tahun 2007 tentang Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan UU Adminduk, memberikan jalan bagi pencatatan perkawinan pasangan penghayat kepercayaan. Sehingga diharapkan tidak ada lagi Asep dan Rela lain yang tidak tercatat perkawinannya karena ketidakmampuan negara dalam melindungi dan memenuhi hak warga negara. Berikut informasi terkait pendaftaran perkawinan dan perceraian yang bisa dijadikan panduan untuk pasangan penghayat atau minoritas agama di Indonesia.
Syarat-syarat apakah yang harus dipenuhi setiap orang untuk melangsungkan perkawinan?
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya Pasal 6 dan 7, mengatur syarat-syarat melangsungkan perkawinan. Pengaturan syarat-syarat ini diantaranya bertujuan untuk melindungi kepentingan perempuan dari perkawinan paksa dan perkawinan di bawah umur. Adapun syarat-syarat tersebut adalah : 1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. 2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk
menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin. 3. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Dalam hal penyimpangan terhadap ketentuan usia tersebut dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.
d. berhubungan sepersusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan dan bibi/paman sesusuan; e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang; f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Misalkan masih terikat perkawinan atau perkawinan antar saudara sepupu yang dilarang dalam hukum adat tertentu.
11. Surat Tanda Melapor Diri (STMD) dari Kepolisian bagi WNA 12. Surat dari Kedutaan / Konsul / Perwakilan Negara Asing yang bersangkutan (bagi WNA) 13. SKK dari Imigrasi (bagi WNA)
kepercayaan. Surat perkawinan penghayat inilah yang kemudian menjadi syarat utama pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil (KCS)
Bagaimana tatacara pencatatan perkawinan bagi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa?
Pencatatan perkawinan bagi penghayat kepercayaan adalah SAMA dengan agama yang lain yaitu dengan membawa syarat-syarat sebagaimana disebutkan di atas. Untuk membuktikan telah terjadi perkawinan, maka perkawinan penghayat kepercayaan dilakukan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan yang ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan. Pemuka penghayat kepercayaan akan mengisi dan menandatangani surat perkawinan penghayat
Bagaimana dengan penghayat kepercayaan/ masyarakat adat yang tidak memiliki organisasi formal dan berada di wilayah terpencil?
Memang ada keresahan di kalangan masyarakat adat bahwa pencatatan perkawinan mereka tetap tidak terlindungi karena kepercayaan dan komunitas adat mereka tidak berbentuk organisasi formal. Ketentuan bahwa pemuka penghayat ditunjuk oleh organisasi penghayat dan mendapat persetujuan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata tidak mudah bagi mereka. Untuk kondisi tersebut dalam Perpres No. 25 Tahun 2008 terdapat celah, yaitu pengertian organisasi dapat ditunjukkan melalui Surat Keterangan Tanda Komunitas yang merupakan pengakuan resmi negara terhadap adanya organisasi adat di suatu wilayah. Sedangkan untuk Pemuka Penghayat Kepercayaan dari komunitas adat dapat didaftarkan ketika terjadi pendataan kependudukan.
menerbitkan kutipan akta perkawinan Penghayat Kepercayaan. (4) Kutipan akta perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan kepada masingmasing suami dan istri.
Apa yang dilakukan Kantor Catatan Sipil (KCS) terhadap permohonan pencatatan perkawinan?
Pejabat Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana akan mencatat perkawinan dengan tata cara: (1) menyerahkan formulir pencatatan perkawinan kepada pasangan suami istri; (2) melakukan verifikasi dan validasi terhadap data yang tercantum dalam formulir pencatatan perkawinan; dan (3) mencatat pada register akta perkawinan dan
Pencatatan Perceraian
Dalam hal apa perceraian dapat dilakukan/diizinkan?
Perkawinan diharapkan akan abadi dan langgeng, namun jika terjadi hal-hal yang menyebabkan tujuan perkawinan yaitu keluarga yang bahagia tidak tercapai, maka perceraian dapat diizinkan. UU Perkawinan mengatur perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan sebagai berikut: 1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; 2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selarna 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain; 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri; 6. Antar suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga
perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian. Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh Pegawai Pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sehingga jika putusan perceraian di pengadilan tidak segera dicatatkan, maka belum mempunyai kekuatan hukum dan akan menyulitkan suami/isteri dalam mengambil tindakan hukum lainnya. Misalkan untuk menikah kembali.
DAFTAR PUSTAKA
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Perkawinan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak PP No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan http://www.kependudukancapil.go.id/ http://www.adminduk.depdagri.go.id/
DAFTAR ALAMAT
1. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta Jalan Letjen. S. Parman No. 7 Jakarta Barat, Telp. 5662400, 5666242 Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kotamadya Jakarta Utara, Jalan Berdikari No. 2 Jakarta Utara, Telp. 4357508, 42930358 Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kotamadya Jakarta Barat, Jalan Meruya Utara No.5 Kembangan (disamping MAKRO), Telp 58902657 Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kotamadya Jakarta Timur, Jalan Cipinang Baru Raya No. 16 Jakarta Timur . Telp. 4603844,48703401,4895725 Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kotamadya Jakarta Pusat, Jalan Tanah Abang I Jakarta Pusat, Telp. 3852857 Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kotamadya Jakarta Selatan, Jalan Radio V No. 1 Jakarta Selatan, Telp. 72801284-85
2.
3.
4.
5.
6.
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Surabaya Jl. Manyar Kertoarjo No.6 Telp. (031) 5911110 - 5911101 - 5911102 - 591109 5927205 SURABAYA 8. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Bogor Jl. Dr. Semeru No. 19 Bogor Telepon : (0251) 8321 558 - (0251) 8361 524 - (0251) 8321 075 Ext 9. Dinas Kependudukan & Catatan Sipil Kota Denpasar Jl. Surapati no. 4 - Denpasar, Telp (0361) 237501 10. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kuningan Jalan RE Martadinata - Ancaran 45551, Telp (0232) 873969
7.
PROFIL THE INDONESIAN LEGAL RESOURCE CENTER (ILRC) Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia
Latar Belakang The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) adalah organisasi non pemerintah yang konsen pada reformasi pendidikan hukum. Pada masa transisi menuju demokrasi, Indonesia menghadapi masalah korupsi, minimnya jaminan hak azasi manusia (HAM) di tingkat legislasi, dan lemahnya penegakan hukum. Masalah penegakan hukum membutuhkan juga budaya hukum yang kuat di masyarakat. Faktanya kesadaran hak di tingkat masyarakat sipil masih lemah begitu juga kapasitas untuk mengakses hak tersebut. Ketika instrumen untuk mengakses hak di tingkat masyarakat ter-sedia, tetapi tidak dilindungi oleh negara seperti hukum adat tidak dilindungi, negara mengabaikan usulan lokal untuk menyediakan bantuan hukum. Peran Perguruan Tinggi khususnya fakultas hukum sebagai bagian dari masyarakat sipil men-jadi penting untuk menyediakan lulusan fakultas hukum hukum yang berkualitas dan mengambil bagian di berbagai profesi yang ada, seperti biro-krasi, institusi-institusi negara, peradilan, akade-misi dan organisasi-organisasi masyarakat sipil. Mereka juga mempunyai posisi yang legitimate untuk memimpin pembaharuan hukum. Di dalam hal ini, kami memandang pendidikan hukum mempunyai peranan penting untk membangun budaya hukum dan kesadaran hak masyarakat sipil.
30
Memahami Kebijakan Administrasi Kependudukan
Pendirian The Indonesia Legal Resource Center (ILRC) merupakan bagian keprihatinan kami atas pendidikan hukum yang tidak responsif terhadap permasalahan keadilan sosial. Pendidikan hukum di Perguruan Tinggi cenderung membuat lulusan fakultas hukum menjadi profit oriented lawyer dan mengabaikan pemasalahan keadilan sosial. Walaupun Perguruan Tinggi mempunyai instrument/institusi untuk menyediakan bantuan hukum secara cuma-cuma untuk masyarakat miskin, tetapi mereka melakukannya untuk maksud-maksud yang berbeda. Masalah-masalah yang terjadi diantaranya: (1) Lemahnya paradigma yang berpihak kepada masyarakat miskin, keadilan sosial dan HAM; (2) Komersialisasi Perguruan Tinggi dan lemahnya pendanaan maupun sumber daya manusia di Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) dan Pusat Hak Azasi Manusia (HAM); (3) Pendidikan Hukum tidak mampu berperan, ketika terjadi konflik hukum oleh karena perbedaan norma antara hukum yang hidup di masyarakat dan hukum negara. Karena masalah tersebut, maka ILRC bermaksud untuk mengambil bagian di dalam reformasi pendidikan hukum.