Anda di halaman 1dari 21

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fertilisasi merupakan suatu proses dimana sperma bertemu dengan ovum atau bisa dikatakan peleburan antara spermatozoa dengan ovum. Peleburan ini akan diikuti oleh pembelahan telur pada sel tunggal mulai dari cleavage hingga proses diferensiasi atau organogenesis. Zigot akan membelah dan membelah kembali setelah fertilisasi tanpa penambahan sitoplasma, pada semua ukuran mungkin bertambah karena adanya penyerapan air, tetapi total bahan (berat zigot) akan berkurang. Proses pembelahan sel tanpa pertumbuhan disebut cleavage. Pembelahan awal akan menghasilkan embrio dengan dua sel, kemudian diikuti pembelahan selanjutnya yang menghasilkan 4 sel, 8 sel, 16 sel, 32 sel, dan seterusnya. Embrio dengan 16 sampai 32 sel disebut morula. Ikan Nilem (Osteochillus hasselti) dipilih sebagai preparat dalam praktikum kali ini merupakan perwakilan dari classis Pisces. Ikan Nilem digunakan dalam praktikum kali ini dapat dipelihara di akuarium dan produk telur yang dihasilkan oleh setiap induk betina yang masak kelamin cukup banyak yaitu 20.000 butir. Ikan Nilem hidup di air tawar dan banyak dibudidayakan masyarakat sehingga mudah untuk mendapatkannya. Pembelahan segmentasi pada Ikan Nilem memerlukan waktu yang relative pendek, sehingga akan mudah pada saat melakukan pengamatan. Percobaan fertilisasi dan perkembangan embrio pada Ikan Nilem dilakukan dengan perlakuan berbeda-beda diantaranya tingkat pengenceran dan jeda waktu pengamatan yang berbeda. Hal ini dilakukan untuk mengetahui

konsentrasi sperma yang sesuai agar dapat membuahi sel telur hingga terjadinya fertilisasi. Tingkat pengenceran milt yang dilakukan juga bervariasi bertujuan untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan oleh spermatozoa untuk menembus dinding ovum. Perlakuan waktu yang dilakukan berbeda-beda bertujuan untuk mengetahui tahapan perkembangan yang terjadi dalam setiap waktunya.

B. Tujuan

Tujuan dari praktikum kali ini adalah untuk dapat melakukan pembuahan, mengetahui pewaktuan setiap tahapan proses pembuahan dan menentukan ratio spermatozoa dan ovum dalam pembuahan.

II.

TINJAUAN PUSTAKA

Pembuahan atau fertilisasi adalah peleburan dua gamet yang dapat berupa nukleus atau sel-sel bernukleus untuk membentuk sel tunggal (zigot) atau peleburan nukleus. Fertilisasi biasanya melibatkan penggabungan sitoplasma (plasmogami) dan penyatuan bahan nukleus (kariogami). Zigot akan melakukan meosis dan membentuk ciri fundamental dari kebanyakan siklus seksual eukariota serta pada dasarnya gamet-gamet yang melebur adalah haploid (Carlson, 1999). Fertilisasi dapat terjadi dengan dua cara, yaitu fertilisasi eksternal dan fertilisasi internal. Fertilisasi eksternal biasanya dialami oleh hewan-hewan aquatik, hal ini terjadi karena fertilisasi terjadi di luar tubuh induknya. Fertilisasi internal biasa ditemukan pada hewan-hewan darat, hal ini terjadi karena fertilisasi terjadi didalam tubuh induk betina. Proses fertilisasi internal yakni, sperma masuk kedalam organ reproduksi betina dan kemudian sperma dan ovum bertemu di dalam rahim (Gilbert, 1991). Sperma adalah sel yang diproduksi oleh organ kelamin jantan dan bertugas membawa informasi genetik jantan ke sel telur dalam tubuh betina. Spermatozoa berbeda dari telur yang merupakan sel terbesar dalam tubuh organisme adalah gamet jantan yang sangat kecil ukurannya dan mungkin terkecil. Spermatozoa secara struktur telah teradaptasi untuk melaksanakan dua fungsi utamanya yaitu menghantarkan satu set gen haploidnya ke telur dan mengaktifkan program perkembangan dalam sel telur (Sistina, 2008) Struktur sel sperma terdiri kepala (berisi akrosom, nukleus, dan sentriol), leher, dan ekor. Sebagian besar spesies, kepala yang mengandung nucleus haploid

ditudungi oleh badan khusus, yaitu akrososm yang mengandung enzim untuk membantu sperma menembus sel telur. Bagian belakang kepala sel sperma mengandung sejumlah besar mitokondria (atau sebuah mitokondria yang besar, pada beberapa spesies) yang menyediakan ATP untuk pergerakan ekor, yang berupa sebuah flagella. Bentuk sperma mamalia bervariasi dari spesies ke spesies, dengan kepala berbentuk koma tipis, berbentuk oval (seperti pada sperma manusia), atau berbentuk hampir bulat (Campbell et. al., 2004) Ovum atau sel telur merupakan sel telur yang bersifat haploid dan belum dibuahi yang umumnya adalah sel nonmotil yang berukuran besar. Produksi ovum atau sel telur dimulai dengan mitosis sel germinal primordial yang menghasilkan oogonia diploid (2n = 4). Masing-masing oogonium berkembang menjadi oosit primer yang juga bersifat diploid. Oosit primer kemudian mengalami tahap profase meiosis pertama yang menghasilkan oosit sekunder dan badan polar pertama yang bersifat haploid. Oosit sekunder kemudian mengalami pembelahan meiosis kedua yang dirangsang oleh fertilisasi sehingga menghasilkan ovum atau sel telur dan badan polar kedua yang bersifat haploid (Campbell et. al., 2004) Sel telur mempunyai dua sistem pertahanan untuk mencegah

spermatozoa lain masuk, yaitu zona pelusida dan selaput vitelin. Sistem pertahanan zona pelusida adalah kemampuan mengadakan perubahan pada zona pelusida, sebagai respon terhadap melekatnya spermatozoa pada selaput vitelin. Ruang perivitelin ini makin lama makin meluas dan perluasannya dimulai dari tempat spermatozoa masuk ke dalam sitoplasma sel telur. Sistem pertahanan pada permukaan selaput vitelin dalam arti, bahwa selaput ini hanya mengadakan respon atau reaksi terhadap spermatozoa pertama yang masuk ke dalam sitoplasma sel

telur, setelah itu sistem ini tidak lagi memberi reaksi. Spermatozoa lainnya yang kebetulan dapat lolos dan menembus zona pelusida tidak dapat masuk ke dalam sitoplasma sel telur, karena ada sistem pertahanan selaput vitelin, yang menampung spermatozoa tersebut dalam ruang perivitelin (Sukra, 2000). Urutan proses utama selama fertilisasi (pembuahan) (Soeminto, 2000): 1. Kontak dan pengenalan sperma-telur untuk memastikan sperma-telur dari spesies yang sama, 2. Pengaturan masuknya sperma ke dalam telur untuk pencegahan polispermi, 3. Fusi materi genetik dari sperma dan telur, 4. Aktivasi metabolisme telur untuk mengawali perkembangan. Tahapan dalam pengenalan sperma dan telur (Soeminto, 2000): 1. Telur mengeluarkan kemoatraktant pada spesies tertentu, 2. Eksositosis vesikula akrosom, 3. Ikatan antara sperma dengan bungkus ekstraseluler telur, 4. Sperma menembus bungkus telur, 5. Fusi membran sel telur dan membran sel sperma. Perkembangan embrio pada ikan Nilem (Osteochilus hasselti) dimulai setelah telur terbuahi oleh inti spermatozoon yang semula haploid, menjadi inti zigot yang diploid. Zigot inilah yang memiliki kemampuan untuk melakukan pembelahan segmentasi melalui proses mitosis yang cepat. Zigot yang bersegmensegmen menjadi bagian yang kecil (cleavage), bermula dari satu sel kemudian membelah menjadi 2 sel, 4 sel, 8 sel, 16 sel, hingga tahap 32 sel yang disebut dengan fase morula (Djuhanda, 1981). Menurut Effendie (1997) Tahap-tahap perkembangan embrio ikan yaitu termasuk meroblastic. Pembelahan telur

telolecithal dinamakan meroblastic karena kuning telunya tidak ikut membelah. Jadi yang membelah pada telur telolecithal hanya keping protolasmanya saja yang terdapat di kutub anima. Pembelahan pertamanya meridian, diiuti oleh pembelahan kedua tegak lurus pada bidang pembelahan pertama. Pembelahan ketiga tidak sama untuk beberapa spesies ikan. Pembelahan ini sebenarnya ada dua yang prosesnya berjalan bersama-sama dan memotong bidang pembelahan kedua di sebelah kiri dan kanan bidang pembelahan pertama. Bidang pembelahannya ada yang kedua-duanya sejajar dengan bidang pembelahan pertama dan ada pula yang tidak. Dari hasil pembelahan yang ketiga ini ialah stadium delapan sel. Pembelahan berikutnya yaitu pembelahan yang keempat terdiri dari dua pembelahan yang berjalan bersama-sama, sejajar atau tidak dan terletak di sebelah kanan dan kiri bidang pembelahan kedua. Apabila pembelahan yang keempat sudah selesai terbentuklah stadium 16 sel yang terdiri dari satu lapis, empat buah sel yang terletak di tengah-tengah dinamakan sel pusat. Pada pembelahan yang kelima, sel-sel pusat tidak membelah vertikal seperti pada pembelahan-pembelahan sebelumnya atau pembelahan sel batas, melainkan sejajar dengan permukaan. Dengan selesainya pembelahan yang kelima maka terbentuklah stadium 32 sel dengan sel pusat yang terdiri dari dua lapis sel. Pada pembelahan berikutnya sudah tercampu aduk dan susuah diikuti dimana syncronisasi pembelahan mitosis sudah hilang. Alur pembelahan zigot yaitu pembelahan pertama secara meridional, alur pembelahan kedua juga meridional. Pembelahan ketiga alurnya secara ekuatorial, alur pembelahan keempat secara meridional kembali dan alur pembelahan kelima secara ekuatorial (Martin, 1985).

Sel-sel yang terus membelah pada fase morula melakukan penataan dengan cara melekuk dan menggulung. Suatu sel bola terbentuk. Hal ini disebut blastula. Dan rongga yang terdapat ditengahnya disebut dengan blastosoel. Proses blastulasi pada pembelahan kemudian dilanjutkan proses gastrulasi. Proses

gastrulasi adalah suatu fase perkembangan embrio yang didalamnya terbentuk archenteron (rongga yang berdinding ganda). Fase ini lebih tepat bila disebut sebagai proses yang memulai terbentuknya lapisan germinalis. Lapisan

germinalis diantaranya yakni ektoderma, endoderma dan mesoderma menuju ke fase diferensiasi sel (Storer, 1985).

III.

MATERI DAN METODE

A. Materi

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah baskom inkubasi 2 buah, piring kecil, spuit injeksi tanpa jarum 1 ml dan 10 ml, beaker glass 100 ml, cawan petri, saringan teh, mikroskop, haemocytometer, sendok kecil, glass object, pipet plastik, pipet tetes, baki. Bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah ikan nilem jantan dan betina, ovaprim, label, tissue, larutan Ringer, dan air.

B. Metode 1. Ikan Nilem (Osteochillus hasselti

dan ) distripping.

2. Milt dari Ikan Nilem jantan diambil dengan spuit injeksi dan diletakkan di piring. 3. Telur dari Ikan Nilem betina diambil dengan menggunakan sendok dan diletakkan dalam saringan teh. 4. Fertilisasi dilakukan dengan cara: Campurkan milt pada pengenceran 100 x dan telur Semprotkan air untuk aktivator sperma. Goyang selama 5 menit (waktu yang telah ditentukan). Pindah ke baskom pemeliharaan.

5. Diamati perubahan selnya: Saat praktikum:

- % telur yang terbuahi - telur pada setiap tahapan perkembangan dari 10 telur yang daiamati dari setiap perlakuan. - Dokumentasikan setiap tahap perkembangan. Saat pengamatan: - % larva (semua kelompok). - Mengukur diameter telur dan kepala sperma. Praktikan Kelompok 1 1. Kurang lebih 300 butir telur dari induk betina ovulasi distriping ke dalam mangkuk. 2. Dicampurkan dengan 1 ml milt yang telah diencerkan P. 100x. 3. Ditambah 10 ml air sumur. 4. Dicampur agar homogen. 5. Setelah dibiarkan selama 1 menit dan dicuci dengan air sumur. 6. Diinkubasi dalam baskom berisi air 3 liter. 7. Dibuat ulangan 3 kali. Praktikan Kelompok 2 1. Kurang lebih 300 butir telur dari induk betina ovulasi distriping ke dalam mangkuk. 2. Dicampurkan dengan 1 ml milt yang telah diencerkan P. 100 x. 3. Ditambah 10 ml air sumur. 4. Dicampur agar homogen. 5. Setelah dibiarkan selama 2 menit, disaring dan dicuci dengan air sumur. 6. Diinkubasi dalam baskom berisi air 3 liter.

7. Dibuat ulangan 3 kali. Praktikan Kelompok 3 1. Kurang lebih 300 butir telur dari induk betina ovulasi distriping ke dalam mangkuk. 2. Dicampurkan dengan 1 ml milt yang telah diencerkan P. 100 x. 3. Ditambah 10 ml air sumur. 4. Diaduk, agar homogen. 5. Setelah dibiarkan selama 3 menit, disaring dan dicuci dengan air sumur. 6. Diinkubasi dalam baskom berisi air 3 liter. 7. Dibuat ulangan 3 kali. Menghitung rasio ovum spermatozoa pada pembuahan ikan Nilem Praktikan Kelompok 4 dan 5 1. 300 butir telur hasil striping dicampur dengan 10 ml milt yang diencerkan dengan jumlah larutan ringer berbeda (1000 x, 10000 x), lalu dihitung presentasi telur terbuahi. Konsentrasi I : 1 ml milt P. 100 x dicampur 9 ml larutan ringer = P.1000 x Konsentrasi II : 1 ml milt P.1000 x dicampur 9 ml larutan ringer = P. 10000 x 2. Dibiarkan selama 5 menit dan diinkubasi masing-masing didalam baskom berisi 3 liter air sumur. 3. Diulang setiap 3 kali perlakuan.

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Table 1. Presentase telur terbuahi pada jeda waktu 1, 2, dan 3 menit dihitung dari saat pecampuran telur dan milt. Jeda waktu 1 menit 2 menit 3 menit Presentase telur terbuahi 100 % 75 % 100 %

Tabel 2. Persentase telur setiap tahap perkembangan selama waktu pengamatan pada jeda waktu 1 menit. Perlakuan Waktu pengamatan Tingkat pengenceran 1000x 5 kedua 5' pertama Tahap perkembangan Terbuahi Terbuahi yolk rusak Terbuahi 10 pertama Hylock Rusak 10 kedua Terbuahi % Telur pada setiap tahap perkembangan 100 80 20 20 90 20 10 100

hylock Hylock 1 sel 10 ketiga Rusak Terbuahi Rusak 1 sel 10 keempat 2 sel Terbuahi 1 sel 10 kelima 2 sel Terbuahi

10 30 60 10 90 70 40 10 30 50 10 100

Tabel 3. Persentase telur setiap tahap perkembangan selama waktu pengamatan pada jeda waktu 2 menit. Perlakuan Waktu pengamatan Tahap perkembangan % Telur pada setiap tahap perkembangan

Tingkat pengenceran 1000x

5' pertama 5 kedua 10 pertama

Hylock Rusak

30 10 80 60

10 kedua hylock 10 ketiga Hylock

rusak Rusak 4 sel 10 keempat 2 sel Hylock 4 sel 2 sel 10 kelima Hylock Rusak

10 10 10 10 60 10 10 60 20

Tabel 4. Persentase telur setiap tahap perkembangan selama waktu pengamatan pada jeda waktu 3 menit. Perlakuan Waktu pengamatan Tingkat pengenceran 1000x 5' pertama 5 kedua 10 pertama Tahap perkembangan Hylock Hylock 1 sel 1 sel 10 kedua hylock Hylock 10 ketiga 1 sel 10 keempat 1 sel 40 30 10 20 % Telur pada setiap tahap perkembangan 10 20 10 30

Hylock 10 kelima 1 sel

40 60

Tabel 5. Persentase telur setiap tahap perkembangan selama waktu pengamatan pada perlakuan tingkat pengenceran 1000 x. Perlakuan Waktu pengamatan Tahap perkembangan % Telur pada setiap tahap perkembangan

Tingkat pengenceran 1000x

5' pertama 5 kedua 10 pertama

Belum ada Hylock Hylock 2 sel

100 60 40 50 50 80 20 40 40 20 20 60 20

10 kedua

2 sel 4 sel

10 ketiga

Hylock 2 sel

10 keempat

1 sel 2 sel rusak

10 kelima

Hylock 4 sel 8 sel

Tabel 6. Persentase telur setiap tahap perkembangan selama waktu pengamatan pada perlakuan tingkat pengenceran 10000 x. Perlakuan Waktu pengamatan Tahap perkembangan % Telur pada setiap tahap perkembangan

Tingkat pengenceran 1000x

5' pertama 5 kedua

Hylock Hylock Hylock

10 30 20 20 10 30 10 40 10 30 30 10

10 pertama 1 sel 2 sel 10 kedua 1 sel 10 ketiga 10 keempat 1 sel 1 sel 4sel 10 kelima 2 sel 1 sel 8 sel

Tabel 7. Konsentrasi spermatozoa per ml pada berbagai pengenceran Tingkat pengenceran 100 x 1000x 10000x Jumah spermatozza / ml 7,8 x 10 8 7,8 x 10 9 7,8 x 10 10

Tabel 8. Presentase larva yang menetas dari masing-masing perlakuan. Perlakuan Jeda waktu Tingkat pengenceran % larva 0 0

Gambar tahap perembangan 1 sel

Perhitungan Diketahui : d telur (4x) = = d sperma (40x) = = 4 r2 telur r telur =

Rasio telur : sperma

=1

diameter kepala sperma =1 : 4 x 3,14 x ()2

=1

=1

B. Pembahasan

Berdasarkan hasil praktikum kelompok 3 setelah pencampuran milt dan sel telur dalam jeda waktu 3 menit, pada 5 menit pertama telur belum mengalami perkembangan tapi terbuahi semua, kelompok 1 juga sama sedangkan kelompok 2 dengan jeda 2 menit telur yang terbuahi 75%. Lima menit kedua telur sudah mengalami hylock sebesar 10 %, pada kelompok 1 sama sudah ada hylock sebesar 20% sedangkan pada kelompok 2 belum ada perkembangan. Sepuluh menit pertama sudah muncul 1 sel sebanyak 10% dan hylock sebesar 20%, pada kelompok 1 dan 2 tahap perkembangan 1 sel belum muncul. Sepuluh menit kedua masih 1 sel sebesar 30% dan hylock 10%, untuk kelompok 1 dan 2 masih hylock yang terbentuk. Sepuluh menit ketiga tahap perkembangannya masih hylock sebesar 20% dan 1 sel sebanyak 40%, untuk kelompok 1 sudah terbentuk 1 sel sebesar 10% sedangkan kelompok 2 belum ada. Sepuluh menit keempat hylock 30% dan 1 sel 40%, kelompok 1 menghasilkan 2 sel dan kelompok 2 mendapatkan 4 sel dan 2 sel. Sepuluh menit ke lima menghasilkan 60% hylock, kelompok 1 mendapatkan 1 sel dan 2 sel sedangkan kelompok 2 menghasilkan 4 sel dan 2 sel. Berdasarkan data yang diperoleh setelah inkubasi selama 24 jam, tidak ada larva ikan yang hidup.

Grafik presentase telur yang terbuahi


150

Jumlah telur yang terbuahi (%)

100 50 0 1 2 3

jeda waktu (menit)

Grafik diatas menunjukkan bahwa pola yang dihasilkan adalah pola acak, karena telur yang terbuahi antara kelompok 1,2 dan 3 tidak sama atau tidak beraturan. Kelompok 1 telur yang terbuahi 100%, kelompok 2 adalah 75% dan kelompok 3 adalah 100%. Pengamatan selain perbedaan jeda waktu ada perbedaan pengenceran. Perbedaan pengenceran dilakukan pada kelompok 4 dan 5. Pengenceran yang dilakukan adalah 1000x dan 10000x. lima menit pertama kelompok 4 belum ada tanda-tanda perkembangan, sedangkan kelompok 5 sudah muncul hylock 10%. Lima menit kedua kelompok 4 mendapatkan hylock 100%, sedangkan kelompok 5 hanya 30 %. Sepuluh menit pertama kelompok 4 menghasilkan 2 sel sebesar 40% dan hylock 60%, sedangkan kelompok 5 mendapatkan 1 sel sebesar 20% dan hylock 20%. Sepuluh menit kedua kelompok 4 mendapatkan 2 sel sebesar 50% dan 4 sel 50%, sedangkan kelompok 5 mendapatkan 1 sel sebesar 30% dan 2 sel sebanyak 10%. Sepuluh menit ketiga, kelompok 4 mendapatkan hylock 80% dan 2 sel 20%, sedangkan kelompok 5 menghasilkan 1 sel sebesar 10%. Sepuluh menit keempat kelompok 4 menghasilkan 1sel 40% dan 2 sel 40%, sedangkan kelompok 5 mendapatkan 4 sel 10% dan 1 sel 40%. Sepuluh menit kelima kelompok 4 mendapatkan hylock 20%, 4 sel 60% dan 8 sel 20%, sedangkan kelompok 5 menghasilkan 2 sel 30%, 1 sel 30% dan 8 sel 10%. Perlakuan yang dilakukan dengan tingkat pengenceran dan jeda waktu yang berbeda-beda diperoleh rata-rata banyaknya telur yang terbuahi oleh sperma tidak dapat menetas menjadi larva ikan. Menurt Balinsky (1960), hal ini disebabkan karena:

1. Ikan dalam keadaan stress akibat faktor lingkungan yang kurang mendukung, misalnya media dan tempat pemijahan yang kurang bersih, suasana yang kurang tenang, kandungan O2 yang rendah atau faktor cahaya. 2. Ikan yang digunakan belum matang kelamin, sehingga meskipun sudah di hipfisasi dengan hormon ovaprin tetap tidak akan memijah karena kandungan hormon gonadotropin dalam kelenjar hipofisisnya sedikit. 3. Penyuntikan ikan resipen yang tidak hati-hati sehingga kemungkinan terjadi kerusakan pada sisik ikan, maka ikan tidak akan memijah walaupun sudah diinduksi hormon ovaprin. 4. Lemahnya sperma, sifat pergerakan sperma menentukan kemampuan untuk melakukan pembuahan. Gerakan yang terlalu lembut dan arahnya tidak menentu akan mempersulit proses pembuahan. Sperma juga mudah sekali tergantung oleh suasana lingkungan, suhu medium yang terlalu tinggi. Sebaliknya, perubahan pH akan merusak pertumbuhan kemampuan untuk membuahi. Menurut Effendie (1997), kualitas air sangat mempengaruhi pembelahan sel (penetasan telur), terutama yaitu suhu air media.

V.

KESIMPULAN

Balinsky. 1960. Embryology. Saunders Company, London. Campbell, N A., Jane B dan Lawrence G M. 2004. Biologi. Erlangga, Jakarta. Carlson, B M. 1999. Human Embryology and Developmental Biology. Mosby, NewYork. Djuhanda, Tatang. 1981. Embriologi Perbandingan. Armico, Bandung.Gilbert, S F. 1991. Developmental Biology. Sinauer Associates Inc., Sunderland. Effendie, M. I. 2002. Biologi Perikanan. Pustaka Nusantara, Bogor. Martin, H. J. 1985. Essential Reproduction. Blank Well Scientific Publication, London. Soeminto. 2000. Purwokerto. Embriologi Vertebrata. Fakultas Biologi UNSOED,

Sistina, Y. 2008. Biologi Reproduksi. Fakultas Biologi Unsoed, Purwokerto. Storer, T. 1985. America. Element of Zoology. Mc Graw Hill Book Company Inc.,

Sukra, Y. 2000. Wawasan Ilmu Pengetahuan Embrio : Benih Masa Depan. Diretorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Bogor.

Anda mungkin juga menyukai