Anda di halaman 1dari 17

PENGEMBANGAN KREATIVITAS ANAK MELALUI PROSES PEMBELAJARAN PADA KELOMPOK BERMAIN (Studi Kasus pada Kelompok Bermain Bunga

Nusantara PKBM Jayagiri)

A. Latar Belakang Masalah Anggapan bahwa pendidikan baru bisa dimulai setelah usia sekolah dasar yaitu usia tujuh tahun ternyata tidaklah benar. Bahkan pendidikan yang dimulai pada usia TK (4 - 6 tahun) pun sebenarnya sudah terlambat. Hasil penelitian di bidang neurologi yang dilakukan Benyamin S. Bloom, seorang ahli pendidikan dari Universitas Chicago, Amerika Serikat (Diktentis, 2003: 1), mengemukakan bahwa pertumbuhan sel jaringan otak pada anak usia 0 - 4 tahun mencapai 50%, hingga usia 8 tahun mencapai 80%. Artinya bila pada usia tersebut otak anak tidak mendapatkan rangsangan yang maksimal maka otak anak tidak akan berkembang secara optimal. Pada dasawarsa kedua yaitu usia 18 tahun perkembangan jaringan otak telah mencapai 100%. Oleh sebab itu masa kanak-kanak dari usia 0 - 8 tahun disebut masa emas (Golden Age) yang hanya terjadi satu kali dalam perkembangan kehidupan manusia sehingga sangatlah penting untuk merangsang pertumbuhan otak anak dengan memberikan perhatian terhadap kesehatan anak, penyediaan gizi yang cukup, dan pelayanan pendidikan. Data memperlihatkan bahwa layanan pendidikan anak usia dini di Indonesia masih termasuk sangat memprihatinkan. Sampai dengan tahun 2001 (Jalal, 2003: 20) jumlah anak usia 0 - 6 tahun di Indonesia yang telah mendapatkan layanan pendidikan baru sekitar 28% (7.347.240 anak). Khusus untuk anak usia 4 - 6 tahun, masih terdapat sekitar 10,2 juta (83,8%) yang belum mendapatkan layanan pendidikan. Masih banyaknya jumlah anak usia

dini yang belum mendapatkan layanan pendidikan tersebut disebabkan terbatasnya jumlah lembaga yang memberikan layanan pendidikan bagi anak usia dini. Layanan pendidikan kepada anak-anak usia dini merupakan dasar yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak selanjutnya hingga dewasa. Hal ini diperkuat oleh Hurlock (1991: 27) bahwa tahun-tahun awal kehidupan anak merupakan dasar yang cenderung bertahan dan mempengaruhi sikap dan perilaku anak sepanjang hidupnya. Kreativitas merupakan salah satu potensi yang dimiliki anak yang perlu dikembangkan sejak usia dini. Setiap anak memiliki bakat kreatif dan ditinjau dari segi pendidikan, bakat kreatif dapat dikembangkan dan karena itu perlu dipupuk sejak dini. Bila bakat kreatif anak tidak dipupuk maka bakat tersebut tidak akan berkembang, bahkan menjadi bakat yang terpendam yang tidak dapat diwujudkan. Melalui proses pembelajaran dengan kegiatan yang menyenangkan bagi anak-anak yaitu melalui bermain, diharapkan dapat merangsang dan memupuk kreativitas anak sesuai dengan potensi yang dimilikinya untuk pengembangan diri sejak usia dini. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Mulyasa (2005: 164) bahwa: Proses pembelajaran pada hakekatnya untuk mengembangkan aktivitas dan kreativitas peserta didik, melalui berbagai interaksi dan pengalaman belajar. Dalam proses pembelajaran di kelompok bermain, kreativitas anak dirangsang dan dieksplorasi melalui kegiatan bermain sambil belajar sebab bermain merupakan sifat alami anak. Diungkapkan oleh Munandar (2004: 94) bahwa penelitian menunjukkan hubungan yang erat antara sikap bermain dan kreativitas. Namun, jelas Froebel (Patmonodewo, 2003: 7), bermain tanpa bimbingan dan arahan serta perencanaan lingkungan di mana anak belajar akan membawa anak pada cara belajar yang salah atau proses belajar tidak akan

terjadi. Ia mengisyaratkan bahwa dalam proses pembelajaran, pendidik bertanggung jawab dalam membimbing dan mengarahkan anak agar menjadi kreatif. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana proses pembelajaran untuk mengembangkan kreativitas

anak pada Kelompok Bermain Bunga Nusantara PKBM Jayagiri? 2. Bagaimana bentuk kreativitas anak yang dikembangkan dalam

Kelompok Bermain Bunga Nusantara PKBM Jayagiri? 3. Apakah faktor pendukung dan penghambat kreativitas anak pada

Kelompok Bermain Bunga Nusantara PKBM Jayagiri? C. Kajian Teori 1. Pembelajaran Bagi Anak Usia Dini Berdasarkan definisi Konsensus Knowles dalam Mappa (1994: 12) pembelajaran merupakan suatu proses di dalam mana perilaku diubah, dibenarkan atau dikendalikan. Sementara itu Abdulhak (2000: 25) menjelaskan bahwa proses pembelajaran adalah interaksi edukatif antara peserta didik dengan komponen-komponen pembelajaran lainnya. Pembelajaran di kelompok bermain jelas sangat berbeda dengan di sekolah, dimana pembelajaran dilakukan dalam suasana bermain yang menyenangkan. Anak-anak usia dini dapat saja diberikan materi pelajaran, diajari membaca, menulis, dan berhitung. Bahkan bukan hanya itu saja, mereka bisa saja diajari tentang sejarah, geografi, dan lain-lainnya. Jerome Bruner menyatakan, setiap materi dapat diajarkan kepada setiap kelompok umur dengan cara-cara yang sesuai dengan perkembangannya. Kuncinya adalah pada permainan atau bermain (Supriadi, 2002: 40).

Permainan atau bermain adalah kata kunci pada pendidikan anak usia dini. Ia sebagai media sekaligus sebagai substansi pendidikan itu sendiri. Dunia anak adalah dunia bermain, dan belajar dilakukan dengan atau sambil bermain yang melibatkan semua indra anak. Supriadi (2002: 40) menjelaskan bahwa Bruner dan Donalson dari telaahnya menemukan bahwa sebagian pembelajaran terpenting dalam kehidupan diperoleh dari masa kanak-kanak yang paling awal, dan pembelajaran itu sebagian besar diperoleh dari bermain. Bermain bagi anak adalah kegiatan yang serius tetapi menyenangkan. Menurut Conny R. Semiawan (Jalal, 2002: 16) melalui bermain, semua aspek perkembangan anak dapat ditingkatkan. Dengan bermain secara bebas anak dapat berekspresi dan bereksplorasi untuk memperkuat hal-hal yang sudah diketahui dan menemukan hal-hal baru. Melalui permainan, anak-anak juga dapat mengembangkan semua potensinya secara optimal, baik potensi fisik maupun mental intelektual dan spiritual. Oleh karena itu, bermain bagi anak usia dini merupakan jembatan bagi berkembangnya semua aspek. 2. Konsep Kreativitas Supriadi (2001: 7) menyimpulkan bahwa pada intinya kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata, yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya. Keberhasilan kreativitas menurut Amabile (Munandar, 2004: 77) adalah persimpangan (intersection) antara keterampilan anak dalam bidang tertentu (domain skills), keterampilan berpikir dan bekerja kreatif, dan motivasi intrinsik. Persimpangan kreativitas tersebut - yang disebut dengan teori persimpangan kreativitas (creativity intersection) - dapat digambarkan seperti berikut ini:

Gambar 1. Teori Persimpangan Kreativitas Sumber: T.M. Amabile (Munandar, 2004. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat) Ciri-ciri kreativitas dapat ditinjau dari dua aspek yaitu: a. Aspek Kognitif. Ciri-ciri kreativitas yang berhubungan dengan kemampuan

berpikir kreatif//divergen (ciri-ciri aptitude) yaitu: 1) keterampilan berpikir lancar (fluency); (2) keterampilan berpikir luwes/fleksibel (flexibility); (3) keterampilan berpikir orisinal (originality); (4) keterampilan memperinci (elaboration); dan (5) keterampilan menilai (evaluation). Makin kreatif seseorang, ciri-ciri tersebut makin dimiliki. (Williams dalam Munandar, 1999: 88) b. Aspek Afektif. Ciri-ciri kreativitas yang lebih berkaitan dengan sikap dan

perasaan seseorang (ciri-ciri non-aptitude) yaitu: (a) rasa ingin tahu; (b) bersifat imajinatif/fantasi; (c) merasa tertantang oleh kemajemukan; (d) sifat berani mengambil resiko; (e) sifat menghargai; (f) percaya diri; (g) keterbukaan terhadap pengalaman baru; dan (h) menonjol dalam salah satu bidang seni (Williams & Munandar, 1999).

Torrance dalam Supriadi (Adhipura, 2001: 47) mengemukakan tentang lima bentuk interaksi guru dan siswa di kelas yang dianggap mampu mengembangkan kecakapan kreatif siswa, yaitu: (1) menghormati pertanyaan yang tidak biasa; (2) menghormati gagasan yang tidak biasa serta imajinatif dari siswa; (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar atas prakarsa sendiri; (4) memberi penghargaan kepada siswa; dan (5) meluangkan waktu bagi siswa untuk belajar dan bersibuk diri tanpa suasana penilaian. Hurlock pun (1999: 11) mengemukakan beberapa faktor pendorong yang dapat meningkatkan kreativitas, yaitu: (1) waktu, (2) kesempatan menyendiri, (3) dorongan, (4) sarana, (5) lingkungan yang merangsang, (6) hubungan anak-orangtua yang tidak posesif, (7) cara mendidik anak, (8) kesempatan untuk memperoleh pengetahuan. Amabile (Munandar, 2004: 223) mengemukakan empat cara yang dapat mematikan kreativitas yaitu evaluasi, hadiah, persaingan/kompetisi antara anak, dan lingkungan yang membatasi. Sementara menurut Torrance dalam Arieti yaitu: (1) usaha terlalu dini untuk mengeliminasi fantasi; (2) pembatasan terhadap rasa ingin tahu anak; (3) terlalu menekankan peran berdasarkan perbedaan seksual; (4) terlalu banyak melarang; (5) takut dan malu; (6) penekanan yang salah kaprah terhadap keterampilan verbal tertentu; dan (7) memberikan kritik yang bersifat destruktif (Adhipura, 2001: 46). D. Pendekatan dan Metode Penelitian Pendekatan digunakan adalah pendekatan naturalistik atau disebut juga pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan sebab masalah yang diteliti memerlukan suatu pengungkapan yang bersifat deskriptif dan komprehensif. Adapun metode yang digunakan adalah metode studi kasus

E. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data adalah observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Dalam penelitian kualitatif, peneliti adalah key instrument atau alat penelitian utama untuk merekam informasi yang dibutuhkan dalam penelitian (Nasution, 2003: 9). Peneliti sebagai instrumen utama dalam mengumpulkan data menggunakan alat pengumpul data berupa lembar observasi, pedoman wawancara, dan dokumentasi. F. Subyek Penelitian Subyek penelitian sebanyak tiga anak sebagai sumber data utama. Untuk keperluan triangulasi dalam upaya mengecek kebenaran data yang telah diperoleh maka dibutuhkan informan yang relevan sebagai sumber data pendukung yaitu tutor sebanyak dua orang, pengelola,.dan orangtua anak yang menjadi subyek penelitian sebanyak tiga orang. G. Langkah-Langkah Pengumpulan Data Langkah-langkah pengumpulan data yang ditempuh dalam penelitian ini mengacu pada pendapat Moleong (2004: 127-148) yang dilakukan melalui tahap pralapangan, tahap pekerjaan lapangan, dan tahap analisis data H. Pengolahan dan Analisis Data Prosedur analisis data dalam penelitian ini mengikuti apa yang dikemukakan oleh Nasution (2003: 129-130) yaitu: (1) reduksi, (2) display data, dan (3) mengambil kesimpulan dan verifikasi. I. Pemeriksaan Keabsahan Penelitian Untuk memperoleh tingkat kepercayaan dalam penelitian kualitatif terhadap kebenaran hasil penelitian yang diperoleh maka harus memenuhi beberapa kriteria seperti

yang dijelaskan oleh Nasution (2003: 114) dan Moleong (2004: 324) yaitu (1) kredibilitas/kepercayaan (validitas internal), (2) transferabilitas/keteralihan (validitas eksternal), (3) dependabilitas/ kebergantungan (reliabilitas), dan (4)

konfirmabilitas/kepastian (objektivitas). J. Pembahasan 1. Proses Pembelajaran untuk Mengembangkan Kreativitas Anak

Isi program pengasuhan dipadukan dalam program permainan yang utuh yang mencakup: 1. Pembentukan perilaku melalui pembiasaan yang meliputi moral, agama,

disiplin, perasaan/emosi dan kemampuan bermasyarakat yang dilakukan melalui pembiasaan dalam kegiatan sehari-hari di kelompok bermain 2. Pengembangan kemampuan dasar yang meliputi kemampuan berbahasa,

kognitif (daya pikir), daya cipta, keterampilan dan jasmani Bila melihat materi-materi pembelajaran yang ada maka nampak jelas bahwa kreativitas tidak tercantum sebagai mata pelajaran tersendiri. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Munandar (2004: 17) bahwa kreativitas tidak harus dilihat terpisah dari mata pelajaran lainnya. Kreativitas hendaknya meresap dalam seluruh kurikulum dan iklim kelas dan dikaitkan dengan semua kegiatan di dalam kelas dan setiap saat. Pembelajaran dilaksanakan sebanyak tiga kali seminggu mulai pukul 8.00 hingga pukul 10.00. Setiap harinya kegiatan terbagi dalam empat sesi yaitu (a) kegiatan pembukaan selama 30 menit, (b) kegiatan inti selama 45 menit dengan kegiatan mewarnai, mencampur warna, bernyanyi, meronce, menggunting pola, mencap, menulis, menyusun

puzzle, membentuk dari plastisin/playdough, dll (c) istirahat dan makan selama 30 menit, dan (d) kegiatan penutup selama 15 menit. Inti kegiatan ini adalah memberikan kesempatan kepada anak didik untuk bereksplorasi, bereksperimen, meningkatkan perhatian dan konsentrasi, inisiatif, kreativitas, kemandirian dan disiplin, sesuai dengan usia dan kemampuan anak. Metode pembelajaran yang digunakan tutor diantaranya metode pemberian tugas, demonstrasi, bercakap-cakap, bercerita, bernyanyi, latihan pembiasaan, dan metode karya wisata. Metode bercerita jarang sekali dilakukan sementara metode proyek & bermain peran tak pernah dilakukan, sementara kedua metode tersebut sangat menunjang dalam pengembangan kreativitas anak. Kreativitas anak yang dikembangkan selama proses pembelajaran berlangsung mencakup kedua aspek kreativitas yaitu aspek kognitif atau kemampuan berpikir kreatif/divergen maupun aspek afektif/sikap kreatif. Memiliki ciri-ciri berpikir kreatif memang belumlah menjamin perwujudan kreativitas seseorang sebab ciri-ciri afektif juga sangat esensial dalam menentukan prestasi kreatif. Menurut Munandar (1999: 88) kedua ciri kreativitas tersebut diperlukan agar perilaku kreatif dapat terwujud. Meskipun kedua aspek kreativitas tersebut dikembangkan selama proses pembelajaran berlangsung namun ciri antaraspek kreativitas tersebut tidak dikembangkan secara seimbang. Dalam aspek kognitif, tutor lebih banyak merangsang keterampilan berpikir lancar anak (1) daripada keterampilan berpikir lainnya dengan sering mengajukan pertanyaan. Pertanyaan yang diajukan pun lebih banyak mengasah kemampuan berpikir konvergen yaitu kemampuan berpikir yang mengarah kepada satu jawaban yang tepat terhadap suatu masalah. Padahal untuk meningkatkan kreativitas anak dalam aspek kognisi,

tutor hendaknya mengembangkan kemampuan berpikir divergen anak yaitu menuntut anak untuk memberikan jawaban yang bervariasi terhadap suatu masalah. Hal tersebut dapat ditempuh dengan mengajukan pertanyaan terbuka daripada pertanyaan yang menuntut satu jawaban (berpikir konvergen). Menurut Munandar ((1999: 86) salah satu cara untuk merangsang daya pikir kreatif anak adalah dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menantang. Keterampilan menilai (5) tidak pernah sekalipun diberikan rangsangan selama peneliti mengadakan pengamatan sementara diketahui bahwa anak-anak biasanya kritis. Namun berdasarkan wawancara dengan tutor, terungkap bahwa biasanya anak akan memberikan suatu penilaian terhadap sesuatu yang tidak sama dengan apa yang selama ini mereka alami atau ketahui. Pada kreativitas aspek afektif, tutor lebih banyak merangsang sifat berani mengambil resiko (d) dan percaya diri (f). Tutor lebih banyak mengajukan pertanyaan kepada anak daripada memancing anak untuk mengajukan pertanyaan yang merupakan kreativitas aspek afektif butir (a) rasa ingin tahu. Sementara menurut Munandar (1999: 95) dalam kegiatan pembelajaran, tutor dapat membuat kombinasi antara proses berpikir dan proses afektif. Contohnya, kombinasi antara berpikir lancar (1) dan rasa ingin tahu anak (a) seperti anak diminta menyebut dalam waktu singkat benda-benda yang ada di dalam kelas yang bentuknya bulat atau anak diminta menjajaki lingkungan kelompok bermain untuk mencari tanaman yang berbunga. Kegiatan yang paling disenangi anak adalah menggambar bebas,

mencap/menstempel, membentuk, dan mewarnai. Dapat dijelaskan bahwa dalam melakukan kegiatan-kegiatan tersebut anak dapat bebas mengekspresikan dirinya tanpa dibatasi aturan-aturan tertentu yang harus diikuti. Salah satu hal yang dapat merangsang

10

bakat kreatif anak adalah kebebasan yang diberikan kepadanya (Hawadi, 2001: 115). Berbeda ketika anak mengerjakan kegiatan seperti meronce, menempel, melipat, dan mengikuti titik-titik. Meskipun tutor memberikan tugas-tugas seperti menggunting, mewarnai, mengenal huruf atau angka, atau materi pelajaran lainnya namun belajar dilakukan dengan atau sambil bermain yang melibatkan semua indra anak. Hal ini telah sejalan dengan pendapat para ahli bahwa materi pelajaran bisa saja diberikan pada anak namun kuncinya adalah pada permainan atau bermain (Supriadi, 2002: 40). Pun Semiawan menjelaskan (Jalal: 2002: 16) bahwa bermain bagi anak usia dini merupakan jembatan bagi berkembangnya semua aspek, sarana untuk dapat berekspresi dan bereksplorasi untuk memperkuat hal-hal yang sudah diketahui dan menemukan hal-hal baru, dapat mengembangkan semua potensinya secara optimal baik fisik, mental intelektual maupun spiritual. Pelaksanaan evaluasi dilakukan oleh tutor dgn menggunakan teknik pengamatan dan portofolio dgn tidak secara terjadwal dan secara khusus, akan tetapi evaluasi dilaksanakan selama proses pembelajaran berlangsung secara berkesinambungan dan menyeluruh sehingga anak tidak menyadari bahwa ia sedang dinilai. Cara penilaian seperti ini dapat mengembangkan kreativitas anak sebab anak dapat merasa bebas dan lepas dari tekanan bahwa ia sedang diawasi dan dinilai. Hal ini sejalan dengan pendapat Amabile bahwa penilaian mungkin merupakan pembunuh kreativitas paling besar (Munandar, 2004: 113) oleh sebab itu perlu dilakukan strategi dimana anak tidak merasa sedang dinilai dan diawasi. 2. Bentuk Kreativitas Anak yang Dikembangkan

11

Anak yang menjadi subyek penelitian ini menunjukkan bahwa mereka memiliki karakteristik-karakteristik yang merupakan ciri-ciri orang kreatif. Hal ini sejalan dengan pendapat para ahli bahwa pada dasarnya setiap anak memiliki bakat kreatif, tak seorang pun yang sama sekali tidak memiliki kreativitas hanya tingkat dimilikinya bakat kreatif tersebut yang berbeda (Supriadi, 2001: 16). Ciri kreativitas tersebut mencakup kedua aspek kreativitas yaitu aspek kognitif atau kemampuan berpikir kreatif/divergen dan aspek afektif/sikap kreatif. Kemajuan perkembangan yang dicapai oleh anak menunjukkan kenyataan yang menggembirakan bila dibandingkan sebelum anak mengikuti pembelajaran di kelompok bermain. Anak lebih berani dan mandiri seperti memakai baju sendiri dan gosok gigi sehingga tidak terlalu tergantung dengan orangtuanya. Anak lebih dapat mengekplorasi mainannya. Begitu pun anak lebih percaya diri, dapat bersosialisasi dengan baik dengan teman-temannya, dapat berbicara dan mengungkapkan pikirannya dengan lebih lancar, dan tidak takut menghadapi orang atau situasi baru. Kesemua perilaku di atas merupakan ciriciri yang dapat mewujudkan kreativitas. Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Hurlock (1999: 8) bahwa anak yang mengikuti pendidikan anak usia dini menunjukkan kreativitas yang lebih besar pada usia itu daripada anak yang tidak mendapatkan pendidikan. Ini sebagian karena lingkungan pendidikan anak memperkenalkan kreativitas yang terstruktur dan evaluatif dibandingkan lingkungan rumah. Dari hasil penelitian yang dilakukan maka dapat dikatakan bahwa ketiga anak yang menjadi subyek penelitian menampilkan ciri-ciri kreativitas. Hal ini sejalan dengan pendapat para ahli bahwa pada dasarnya setiap anak memiliki bakat kreatif, tak seorang pun yang sama sekali tidak memiliki kreativitas hanya tingkat dimilikinya bakat kreatif tersebut

12

yang berbeda (Supriadi, 2001: 16). Akan tetapi terdapat seorang anak yang memiliki ciri kreativitas yang lebih menonjol dibanding responden lainnya, baik pada aspek kognitif maupun aspek afektif. Hanya dengannyalah perbincangan dapat berkembang sebab ia dengan sangat lancar menjawab pertanyaan peneliti dan bahkan bercerita panjang lebar tanpa diminta. Bila dilihat dari sikap orangtua anak, maka orangtuanya memang lebih banyak memberikan kebebasan kepada anak dibandingkan orangtua responden lainnya dengan bersikap sabar dan tidak otoriter kepada anak. Hal ini memperkuat teori-teori dimana kreativitas dikonsepsikan sebagai bertentangan dengan sifat otoriter (Gowan: 1967), dan bahwa kreativitas dapat berkembang dalam suasana non-otoriter, yang memungkinkan anak untuk berpikir dan menyatakan diri secara bebas (Rogers, dalam Vernon: 1982), serta penelitian Munandar mengenai hubungan antara latar belakang keluarga dan kinerja anak menunjukkan bahwa sehubungan dengan sikap orangtua dalam pendidikan, data menunjukkan bahwa perhatian merupakan determinan yang positif dari kinerja kreatif seorang anak, akan tetapi bahwa pendekatan otoriter mempunyai dampak sebaliknya terhadap kinerja anak (Munandar, 2004: 84). Di sisi lain, terkadang anak tersebut enggan atau bahkan tidak mau melakukan tugas yang diberikan oleh tutor sehingga perlu mendapatkan dorongan terlebih dahulu. Peneliti menganalisis bahwa anak tersebut merasa bosan dan merasa kurang tertantang dengan kegiatan yang ada. Hal ini didukung oleh kepustakaan bahwa anak berbakat (kreativitas merupakan salah satu syarat keberbakatan) bisa merasa bosan di sekolah dalam hal ini kelompok bermain karena pelajaran yang diberikan kurang menarik atau kurang memberikan tantangan (Freeman dalam Munandar, 1982: 58).

13

3. Faktor Pendukung dan Penghambat Kreativitas Anak


NO FAKTOR PENDUKUNG PENGHAMBAT

1.

Sikap Tutor

2.

Strategi Mengajar

3.

Sarana Pembelajaran -

4.

Pengaturan Ruang/Fisik -

5. 6. Teman Orangtua

Sabar, Pengertia telaten, dan ramah serta n tutor tentang konsep menerima anak sebagai kreativitas masih kurang pribadi yang unik dan berbeda. Terdapat Penekanan metode pembelajaran yang pada bermain sambil belajar jarang atau bahkan tidak dan bukan pada penilaian, digunakan. metode pembelajaran bermacam-macam dan berganti-ganti, memberi tugas yang bervariasi, dan menghargai hasil karya anak. Jenis alat permainan yang tergolong Tersedian alat permainan kreatif ya bermacam-macam alat masih kurang. permainan Tak ada penambahan alat permainan baru untuk waktu yang lama. Permaina n yang rusak tidak segera diganti. Terdapat permainan yang hanya disimpan dalam laci. Pengada an bahan belajar butuh waktu lama. Penataan ruang kelas yang terbuka Dinding dan diubah dalam kurun ruang kelas terkesan waktu tertentu. kosong dan tidak menarik. Tampilan Ruang dinding ruang bermain yang kelas tidak dipenuhi menarik. produk hasil karya anak. Alat permainan tidak ditata dengan rapi dan menarik.

14

Turut masuk di dalam kelas dan kebebasan membantu anak pada saat Mengharg istirahat/makan. ai dan menerima anak Tidak Menunjan sabar dengan anak g dan mendorong kegiatan Terlalu anak memanjakan Menyedia kan cukup sarana Memberi -

bersahabat

Sikap

memusuhi

Sikap

K. Kesimpulan 1. Pengembangan kreativitas anak berlangsung dalam suasana bermain sambil belajar dan tidak dilihat secara terpisah dari mata pelajaran lainnya akan tetapi meresap ke dalam sendi-sendi kegiatan di dalam kelas dan setiap saat. Tutor menggunakan metode pemberian tugas, demonstrasi, bercerita, karya wisata, pembiasaan, bernyanyi, latihan, dan bercakap-cakap dgn kegiatan seperti menjahit, menggunting, mewarnai, menggambar, meronce, dan lain-lainnya menunjang pengembangan kreativitas anak. Tutor melakukan evaluasi selama proses pembelajaran berlangsung secara

berkesinambungan dan menyeluruh dengan menggunakan teknik pengamatan dan portofolio sehingga anak bebas dari tekanan bahwa ia sedang diawasi, hal mana akan berdampak pada kreativitas anak. 2. Kreativitas anak yang dikembangkan mencakup aspek kognitif atau kemampuan berpikir kreatif/divergen maupun aspek afektif atau sikap kreatif. Pada dasarnya anak memperlihatkan ciri kreativitas tertentu meskipun ciri yang diperlihatkan tidak selalu sama dan berada pada tingkat yang berbeda pula.

15

3. Faktor pendukung dan penghambat kreativitas anak dapat bersumber dari sikap dan strategi mengajar tutor, sarana pembelajaran, pengaturan ruang/fisik, teman, maupun

orangtua anak.

DAFTAR PUSTAKA Abdulhak, I. (2000). Metodologi Pembelajaran Orang Dewasa. Bandung: Andira. Adhipura, A. A. N. (2001). Pengembangan Model Layanan Bimbingan Berbasis Nilai Budaya Lokal untuk Meningkatkan Kreativitas Anak. Tesis Magister pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan. Direktorat Tenaga Teknis. (2003). Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia 0 6 Tahun. Jakarta: Ditjen PLSP Depdiknas. Hawadi, R. A. (2001). Psikologi Perkembangan Anak. Mengenal Sifat, Bakat, dan Kemampuan Anak. Jakarta: PT Grasindo. Hurlock, E.B. (1991). Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga. Jalal, F. (2002). Meningkatkan Kesadaran Masyarakat Akan Pentingnya PADU. Buletin PADU Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. 03. 9 18. _______ (2003). Perluasan Layanan Pendidikan Anak Usia Dini. Buletin PADU Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. 03. 9 18. Mappa, S. & Basleman, A. (1994). Teori Belajar Orang Dewasa. Jakarta: Depdikbud. Moleong, L. J. (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mulyasa, E. (2005). Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Munandar, S.C.U. (1982). Pemanduan Anak Berbakat Suatu Studi Penjajakan. Jakarta: Penerbit CV. Rajawali __________ (1999). Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah Petunjuk bagi Orangtua dan Guru. Jakarta: PT. Grasindo __________ (2004). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Penerbit PT Rineka Cipta.

16

Nasution, S. (2003). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: PT. Tarsito. Patmonodewo, S. (2003). Pendidikan Anak Prasekolah. Jakarta: PT Rineka Cipta. Supriadi, D. (2001). Kreativitas Kebudayaan & Perkembangan Iptek. Bandung: Alfabeta. __________ (2002). Memetakan Kembali Pendekatan Pembelajaran Pendidikan Anak Dini Usia. Buletin PADU Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. 03. 36 42.

17

Anda mungkin juga menyukai