Anda di halaman 1dari 6

Dalam Matius 11:18-19, Yesus menanggapi para lawannya yang berargumentasi bahwa Yohanes Pembaptis menerapkan gaya hidup

asketis, sementara Yesus terlalu banyak bersenang-senang. Dalam kalimat terakhir, Yesus mengklaim bahwa tindakannya merupakan representasi perilaku sang Perempuan bernama Hikmat. Di bagian lain, Yesus digambarkan dengan gaya bahasa yang mengingatkan kita pada Amsal 8, contoh dalam Kolose 1:15-17. Walau nas ini tidak mengutip dari Amsal, orang-orang yang akrab dengan PL seperti Paulus misalnya, pasti mampu memahami bahwa teks ini menempatkan Yesus di posisi Hikmat. Di ayat ini Paulus mengundang sebuah perbandingan : Hikmat adalah yang sulung di dalam Amsal 8; Yesus adalah yang sulung di dalam Kolose. Hikmat berperan sebagai agen penciptaan Ilahi dalam Amsal; dalam Kolose, Kristuslah yang berperan. Pesan yang disampaikan sangat jelas, Yesus adalah Hikmat itu sendiri. Wahyu memberikan kesaksian lainnya seputar koneksi sosok Hikmat dengan Yesus dalam Wahyu 3:14, Inilah firman dari Amin, Saksi yang setia dan benar, permulaan dari ciptaan Allah . Klausa terakhir dari nas ini menggemakan ide-ide yang terkandung dalam Amsal 8:22-30. Frasa ini boleh jadi mewakili makna dari kata Ibrani dalam Amsal 8:30 yang sulit diterjemahkan, yaitu arsitek atau anak kesayangan penciptaan. Alusi ini memang tersirat secara halus, namun dapat dicermati : Yesus menempati posisi perempuan bernama Hikmat. Bagian pendahuluan Injil Yohanes yang terkenal itupun dipenuhi dengan gaung kebahasaan yang mengingatkan kita pada puisi perempuan bernama HIkmat (Amsal 8). Sang Firman Allah (Sang Logos) yang adalah Allah itu sendiri (Yoh 1:1), dan tentu saja Yesus adalah Sang Firman, dan asosiasi ini dijalin melalui gaya bahasa yang mengingatkan kita pada sosok Perempuan bernama Hikmat PERINGATAN : PERLAKUKAN SEBAGAI PUISI Peringatan ini dimaksudkan sebagai pencegahan bagi sebuah kesalahpahaman mendasar mengenai relasi antara Kristus dan Hikmat yang telah mengakibatkan konsekuensi-konsekuensi teologis yang destruktif. Kita harus mengingat kualitas metaforis yang dikandung Amsal 8 serta relasinya dengan nasnas PB. Yang dimaksud di sini bukanlah bahwa Sang Perempuan bernama Hikmat itu adalah sebuah metafora belaka. Metafora adalah sebuah kendaraan makna yang sangat dahsyat. Ia memperbandingkan dua hal yang sebenarnya berbeda dan memiliki kemiripan terbatas hanya dalam beberapa hal saja. Metafora seharusnya membuat para pembacanya terkejut; akibatnya mereka diarahkan untuk memperhatikan dan bertanya-tanya bagaimana menemukan kaitan keduanya. Allah adalah Bapaku dan Ayahku . Apa benar? Tuhan tidak bisa disamakan dengan ayah kita. Tapi, perbandingan ini mampu menunjukkan manfaatnya bila kita mengajukan pertanyaan : Dalam cara bagaimanakah Allah mirip seperti ayah saya? Kita dapat mengingat bagaimana ayah mampu menyediakan kebutuhan kita, lahirian maupun batiniah. Betapa besarnya kasih sayang yang ia wujudkan, betapa ia rela mengorbankan nyawanya demi keluarganya. Bahkan mereka yang harus

berhadapan dengan sosok-sosok ayah yang jahat pun masih memiliki gambaran mengenai sosok ayah yang baik, dan menolong untuk memahami metafora Allah sebagai Bapa dan Ayah. Amsal 8 mengaitkan Tuhan dengan seorang perempuan bernama Hikmat. Metafora ini mengajarkan kepada kita kekayaan pemahaman tentang jati diri Allah serta relasi kita denganNya. Tapi, Allah bukan perempuan bernama Hikmat. Kita tidak boleh menggunakan metafora ini sebagai dasar untuk mengajarkan bahwa Tuhan berjenis kelamin perempuan. Kita harus mengingat semua ini ketika melihat bahwa di dalam PB Yesus mengaitkan diriNya sendiri dengan Hikmat. Sossok Perempuan bernama Hikmat bukan wujud prainkarnasi dari oknum kedua Allah Tritunggal. Bahasa tentang Yesus menjadi yang sulung dari segala ciptaan tidak boleh kita pahami secara harfiah, seakan-akan Yesus adalah makhluk ciptaan. Pengasosiasian antara Yesus dan perempuan bernama Hikmat di dalam PB adalah salah satu cara dahsyat untuk menyatakan bahwa Yesus adalah pewujudan hikmat Allah. SEKALI LAGI, SOAL PILIHAN Kita memang harus memahami perihal pilihan antara dua perempuan tersebut dalam konteks purba asalinya. Ini adalah pilihan antara Yahwe dengan ilah, terutama Baal. Tapi, setelah membaca PB, kita diperkenalkan dengan Yesus yang adalah Hikmat Allah, berarti kita sedang merangkul perempuan bernama Hikmat, sebuah relasi dengan Yesus Kristus. Apakah sosok Perempuan bebal tidak lagi menjadi ancaman bagi ibadah kepada Yahwe? Tentu sosok ini masih berbahaya, muncul dalam wujud-wujud yang berbeda. Penyembahan berhala pada hakikatnya adalah tindakan menempatkan bagian apapun dari ciptaan dan menempatkannya pada posisi pencita (Rm 1:21-23). Dalam PL, umat Allah seringkali menyimpang menyembah ilah-ilah palsu. Dewa-dewi ini hanyalah sesuatu yang kosong, tidak ada, tidak berada. Tapi, ada petunjuk yang hadir bahwa ilah-ilah ini memiliki kuasa. (Kel 12:12; 7:1-13). Ketika berbalik ke PB, ktia memperoleh pemahaman yang lebih jelas, tidak hanya tentang Allah, tapi kekuatan-kekuatan kegelapan yang ada dalam semesta ini. Yang menjadi representasi Perempuan Bebal di zaman modern ini mungkin hal-hal atau orang yang kita anggap lebih penting dari Yesus; uang, kekuasaan, kenikmatan, adiksi. Ilah-ilah ini hadir dalam sebuah kuasa supranatural yang direpresentasikan sebagai sebuah keebradaan berpribadi yang dikenal dengan Setan atau Iblis. BAYANG-BAYANG PEREMPUAN BERNAMA HIKMAT Kita telah mengamati bahwa orang dapat dengan mudah mengisolasikan amsal-amsal tertentu dalam bagian kedua dari kitab ini dan memperlakukannya sebagai nasihat-nasihat berorientasi manusiawi yang didasarkan pada pengalaman, contoh Amsal 10:1-2, 4-5. Kadang-kadang muncul penyebutan tentang Allah seperti dalam Amsal 10:3, Tuhan tidak membiarkan orang benar menderita kelaparan, tetapi keinginan orang fasik ditolakNya.

Kebanyakan perkataan terpisah dan ringkas dalam Amsal 10-31 kelihatannya tidak memiliki khas wahyu khusus dan tidak memberikan petunjuk tentang bagaimana nas-nas ini punya kaitan dengan Yahwe. Nas-nas ini kelihatannya tidak lebih dari pengamatan akurat sekaligus nasihat orang bijak tentang mencapai keberhasilan dalam dunia. Amsal 10:1-6 adalah contoh pertama pada bagian kedua ini. Tapi, kita dapat melihat bahwa sebenarnya tidak mungkin kita bisa memandang masing-masing amsal di dalam bagian akhir kitab ini sebagai ajaran yang bersifat murni sekuler. Keseluruhan kitab ini murni teologi. Pengamatan amsali merupakan thermometer yang mengukur relasi seseorang dengna Perempuan Hikmat, yang adalah Yahwe, dan sebuah perintah atau nasihat di dalamnya adalah perintah atau nasihat yang secara implisit datang dari sang Perempuan itu sendiri. Anak yang bijak mendatangkan sukacita kepada ayahnya, tetapi anak yang bebal adalah kedukaan bagi ibunya. Ini mengandung arahan implisit. Ia tidak memberikan perintah, namun efek dari amsal ini mengarahkan pada perenungan relasi kita dengan orang tua masing-masing. Mungkin kita coba bernalar : bila saya bisa mendatangkan kebahagiaan bagi orang tua, maka saya adalah orang berhikmat. Sebagai orang Kristen, perilaku ini menunjukkan bahwa saya ada dalam posisi selaras dengan Dia yang adalah kekayaan hikmat Allah, yaitu Kristus. Atau bisa juga : bila saya mendatangkan kedukaan bagi orang tua saya, maka saya berada di dalam pelukan Perempuan Bebal. Bila kesimpulan ini kita tarik dalam dunia metaforis di mana cinta kepada Perempuan bernama Hikmat dan Perempuan Bebal justru saling bersaing; bila saya tergolong anak bebal, berarti saya memiliki hati seorang penzina. Di dalam kacamata PB, berarti saya bersekutu dengan Iblis.

BAGIAN KETIGA : MENGIKUTI TEMA-TEMA DI DALAM KITAB AMSAL 10 BAGAIMANA MEMPELAJARI TEMA-TEMA KITAB AMSAL? MASALAH DUIT

Kitab Amsal membombardir pembacanya dengan nasihat-nasihat singkat padat tentang berbagai topik. Para pembaca kitab Amsal yang berwawasan luas dan para pembaca pemula pun bisa ditenggelamkan oleh keragaman topik serta kumpulan amsal yang kelihatannya tersusun secara acak ini. Kitab Amsal memiliki banyak perkataan-perkataan yang sama atau nyaris sama (Ams 19:5 dan 19:9). Kondisi ini mengindikasikan sebuah proses perkembangan yang panjang yang berasal dari berbagai sumber. Para editor akhir buku ini tidak merasa tertarik menyusun kitab ini ke dalam pengaturan yang bisa diterima oleh nalar dunia Barat modern. Bukan sesuatu yang luar biasa bagi seorang bijak zaman purba untuk mendalami kitab ini sehingga ia mampu mengingat amsal yang relevan demi mengaplikasikannya. Tapi, kita justru akan lebih tertolong bila memilih sebuah tema atau topik tertentu yang dibahas kitab ini, menemukan amsal-amsal yang relevan dengan topik tersebut, lalu mengelompokkannya dan membahasnya sebagai sebuah kelompok amsal. Cara pemahaman ini adalah akibat dari pola pikir yang kita akrabi. Kita lebih menyukai hal-hal yang terorganisasi dan disajikan secara sistematis. Sementara kita mendalami sebuah topik, kita harus

berhati-hati agar kita berupaya membuat kitab itu menyampaikan pesan umum yang terlalu seragam atau harmonis. Ktia tidak perlu kaget bila menemukan amsal bertema sama yang justru tampak saling bertentangan satu dengan yang lain. Pengaplikasian sebuah amsal selalu bergantung pada kondisi dan orang yang terlibat dalamnya. Topik bahasan di sini adalah uang. Uang dalam wujud koin baru muncul pada akhir masa PL. Koin adalah buah inovasi kekaisaran Persia yang berhasil menguasai semua wilayah TImur dekat, termasuk Palestina, mulai paruh akhir abad 6 SM hingga 333 SM saat dimulainya masa kekuasaan Yunani di bawah Aleksander Agung. Walaupun begitu, sejak awam mula masa bersejarah, orang telah menggunakan berbagai barang, benda berharga, kawanan ternak, serta komoditas-komoditas lainnya sebagai alat penukar. Berdasarkan banyaknya jumlah amsal yang mengusung tema kekayaan dan kemiskinan, kita dapat menyimpulkan bahwa tema ini merupakan tema paling penting di dalam kitab ini. Tema-tema penting lainnnya adalah relasii yang pantas dengan wanita, penggunaan kata-kata berhikmat, serta perihal hikmat sendiri. Ada dua keuntungan yang dimunculkan oleh studi tematis seperti ini. Pertama, studi ini memungkinkan semua pembaca kitab untuk melibatkan diri dengan keseluruhan teks, berinteraksi dengannya dalam level yang lebih dalam, dan sekaligus mempelajari prinsip-prinsip penavigasian hidup yang penting. Kedua, studi ini menyediakan dasar bagi rangkaian pelajaran-pelajaran atau khotbah-khotbah menarik mengenai berbagai tema yang dibahas oleh Kitab Amsal. Tapi, dalam pemanfaatan dua keuntungan ini, kita harus waspada agar studi-studi ini tidak turun derajat menjadi uraian tentang prinsip moral dan praktis belaka, membaca teks amsal di luar konteks teologinya. PROSEDURNYA Langkah pertama yang kita ambil adalah membaca keseluruhan kitab serta menandai ayat-ayat yang punya kaitan dengan topik yang hendak kita bahasa, yang dalam kasus kita adalah kekayaan dan kemiskinan. Walaupun ada nas-nas tertentu yang jelas relevan dengan tema, nas-nas lain biasanya menuntut kita untuk memutuskan sendiri. Contoh dalam Amsal 17:1, Lebih baik sekerat roti yang kering disertai dengan ketenteraman, daripada makanan daging serumah disertai dengan perbantahan. Pesta makan daging serumah selalu menuntut pengeluaran materiil yang besar, sementara sekerat roti yang mengering bisa dengan mudah didapatkan. Sementara menelusuri kitab Amsal, jumlah ayat-ayat relevan yang saya temukan justru lebih banyak dari yang saya sangka sebelumnya. Saya menyusun daftar referensi supaya bisa mempelajari secara bersama, juga supaya bisa mengingat di mana nas-nas itu muncul. Kadang amsal-amsal dimunculkan secara berpasangan atau dalam kelompok-kelompok besar. Langkah selanjutkan adalah mengetikkan amsal-amsal yang relevan dan membaca nas-nas tersebut secara bersama-sama selama beberapa hari berturut-turut. Ketika berusaha memahami, saya mulai dimampukan melihat bahwa amsal-amsal ini juga cocok dimasukkan ke kategori umum. Saya juga memperhatikan bahwa kadang amsal-amsal terlihat saling berlawanan. Contoh :

Berkat Tuhanlah yang menjadikan kaya, susah payah tidak akan menambahinya. (Ams 10:22) Lebih baik orang miskin yang bersih kelakuannya daripada orang yang berliku-liku jalannya, sekalipun ia kaya. (Ams 28:6) Langkah terakhir, ketika kita mengaplikasikan hikmat dari kitab ini dalam kehidupan ktia, kita mutlak harus mengarahkan pandangan melampaui nas-nas yang kita pelajari untuk mencari tahu bagaimana pengajaran dari nas-nas tersebut cocok dengan pengajaran bagian lain dari Kitab Amsal, PL, dan Alkitab secara keseluruhan. Kita perlu mempelajari pengajaran PB mengenai kekayaan dan kemiskinan sambil bertanya pada diri sendiri apakah nas-nas Amsal tersebut mengantisipasi Yesus dalam cara tertentu. AMSAL-AMSAL TENTANG KEKAYAAN DAN KEMISKINAN Setelah mempelajari nas-nas itu, saya memutuskan membagi ajaran-ajaran Kitab Amsal mengenai kekayaan dan kemiskinan dalam 7 kategori berikut : 1. Allah memberkati orang benar dengan kekayaan. Pada zaman modern, Amsal kerap dikritik karena dianggap memihak orang kaya dan mengabaikan orang miskin. Pembacaan seperti ini terlalu menyederhanakan ajaran kitab ini. Ktia tidak dapat menyangkali bahwa kitab Amsal memang menegaskan bahwa Allah memberkati umatNya dengan berkat materiil. Amsal 3:9-10, konteksnya jelas menunjukkan ciri budaya agraris, namun prinsipnya dapat dengan mudah diaplikasikan dalam ranah kehidupan lainnya. Amsal ini menyampaikan klaim bahwa ada relasi antara nilai-nilai kerohanian dengan kekayaan seseorang, dan orang tersebut boleh saja mengharapkan penambahan materiil bila ia menghormati Tuhan dengan kekayaannya. Kita melihat bahwa kekayaan adalah konsekuensi hikmat, yang dipersonifikasi menjadi seorang wanita yang memiliki berbagai karunia (Ams 3:15-16). Bagaimana mungkin Hikmat bisa lebih berharga dari permata? Ingat sosok Salomo muda, yang membuat Allah sangat berkenan karena ia meminta hikmat dari segala hal. Hasilnya Allah memberikan hikmat, kekayaan, kemuliaan, panjang umur (1Raj 3:12-13). Hikmat mampu memberikan permata. Dalam kitab Amsal, seperti dalam kehidupan Salomo, hikmat memang mendatangkan upah materiil. Keuntungan dari memiliki kekayaan bagi orang berhikmat : kekayaan membuat rintangan-rintangan kehidupan lebih mudah dinavigasikan (Ams 10:15). Sejauh ini kita telah memperoleh contoh-contoh yang cukup untuk menunjukkan bahwa Amsal mengaitkan hikmat dengan kekayaan. Tapi, ceritanya belum berakhir sampai sini. Seperti akan kita lihat kemudian, orang berhikmat bukan satu-satunya yang memiliki uang. 2. Tingkah laku bebal bermuara pada kemiskinan. Ajaran ini kelihatan jelas dalam kontras yang ditarik antara orang-orang yang bekerja keras dan orangorang yang malas. Dalam kitab Amsal, kemalasan dipandang sebagai wujud puncak perilaku bebal, dan Amsal memberikan olok-olok pada orang malas (Ams 26:13-15).

Amsal-amsal ini menggunakan hiperbola untuk mengolok-olok orang malas. Amsal yang pertama menuduh bahwa orang malas membuat-buat alasan agar tidak perlu keluar rumah dan bekerja. Amsal yang kedua menampilkan tentang kecenderungan si pemalas untuk menghabiskan terlalu banyak waktu di tempat tidur. Amsal yang terakhir memunculkan gambaran tentang orang yang bahkan tidak mau mengeluarkan energi untuk memenuhi kebutuhan mereka yang mendasar. Perilaku ini bermuara pada kemiskinan, dalam kehidupan secara umum maupun dalam upaya keseharian untuk mencari makan (Ams 10:4-5). Gambaran humoris tentang sosok si bebal ini dimaksudkan untuk memotivasi orang yang sedang berjalan di jalan yang salah. Walaupun kemalasan kerap dikutip sebagai penyebab kemiskinan, Amsal juga menyebutkan alasan lainnya. Salah satunya adalah gaya hidup berfoya-foya seperti yang digambarkan oleh Amsal 21:17, Orang yang suka bersenang-senang akan berkekurangan, orang yang gemar kepada minyak dan anggur tidak akan menjadi kaya. Penyebab kemiskinan lainnya adalah penindasan terhadap orang yang tidak berpunya, terutama oleh orang-orang yang telah menjadi kaya (Ams 22:16). Apakah ini berarti sikap pelit tergolong salah satu jalan menuju kekayaan, jawaban Amsal 11:24 adalah tidak, Ada yang menyebar harta, tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa, namun selalu berkekurangan. Dengan memparafrasekan puisi terkenal dalam Pengkhotbah 3:1-8, ada waktu untuk memberi dan ada waktu untuk menabung. Orang orang yang tidak mengindahkan amsal ini, memiliki prospek untuk bergabung dengan si pemalas sebagai kandidat-kandidat kemiskinan. 3. Kekayaan orang bebal tidak akan bertahan Kenyataan hidup tidaklah terbatas pada dua gambaran sederhana di atas. Ada banyak orang bebal yang kaya raya dan orang miskin yang justru berhikmat. Dalam Mazmur 73, kita dapat menyaksikan betapa pertanyaan ini juga mengganggu benak orang berhikmat. Walau kitab Amsal tidak menggumuli masalah ini secara mendalam, kitab ini tetap mengakui bahwa kekayaan adalah sesuatu yang fana dan mudah disalahgunakan. Nasihat-nasihatnya pada hakikatnya diakarkan pada kesadaran bahwa orang bebal justru menjadi kaya, orang malas bisa saja mewarisi banyak uang dari orang tua mereka yang pekerja keras 4. 5. 6. 7. Kemiskinan adalah buah dari ketidakadilan dan penindasan Orang-orang yang memiliki uang harus bersikap murah hati Hikmat lebih baik daripada kekayaan Kekayaan hanya memiliki nilai terbatas.

Anda mungkin juga menyukai