Anda di halaman 1dari 3

Indonesia dan Perdagangan Narkoba di Asia Tenggara Oleh Lelly Andriasanti Pasca kecelakaan Tugu Tani, media masa

nasional nampaknya kian gencar memberitakan peredaran narkoba di tanah air. Penangkapan jaringan pengedar internasional dan penggunaan narkoba di kalangan pilot hanyalah segelintir kasus yang terungkap. Faktanya tentu jauh lebih besar. Menurut data BNN, terdapat 3,8 juta jiwa pengguna narkoba di Indonesia. Jumlah tersebut diprediksi akan terus meningkat hingga 2,8 persen pada tahun ini. Selain selisih harga yang lebih menguntungkan, populasi penduduk Indonesia tentu menjadi magnet tersendiri bagi jaringan pengedar obat-obat terlarang internasional. Saat ini saja, Indonesia menduduki urutan ketiga di dunia sebagai pasar terbesar barang haram ini. Faktor lain yang mempermudah peredaran narkoba di tanah air tidak lepas dari luas wilayah Indonesia yang rentan. Jaringan pengedar umumnya memanfaatkan lintasan yang lemah pengawasan seperti Nunukan dan Entikong untuk jalur perbatasan darat, serta Batam dan Aceh untuk jalur laut. Sedangkan jalur udara, pengawasan cenderung lemah pada waktu-waktu penerbangan di pagi hari yang masih lengang. Tidak hanya itu, posisi geografi Indonesia yang strategis juga menjadi daya pikat tersendiri bagi aktivitas kriminal transnasional ini. Sebelum 1998, Indonesia masih terbatas sebagai tempat transit dari Asia Tenggara menuju Eropa. Status Indonesia kini menjadi target pasar perdagangan narkoba bagi negara-negara tetangganya. Indikasi ini ditunjukan dengan serbuan narkoba dari Malaysia, Vietnam, dan kawasan Segitiga Emas (Golden Triangle): Myanmar, Laos, dan Thailand. Belajar dari Amerika Latin Besarnya pasar Asia Tenggara telah membuat produksi obat-obat terlarang tumbuh dengan cepat. Pernyataan Bartil Lintner (1998) dalam Far Eastern Economic Review nyatanya masih berlaku hingga kini. Di tengah krisis, setidaknya ada satu bisnis yang masih bergemuruh, yakni perdagangan narkotika di kawasan Segitiga Emas. Mengingat sebagian besar negara-negara di Asia Tenggara mengidap masalah sosial-ekonomi, penanggulangan perdagangan narkoba menjadi tidak mudah. Kemiskinan dan korupsi ditengarai sebagai faktor pendorong suburnya distribusi peredaran obat-obat terlarang. Akibatnya, sistem hukum dan administrasi menjadi rusak. Dilihat dari gejala tersebut, tidak menutup kemungkinan apa yang terjadi di Amerika Latin akan terjadi pula di kawasan ini. Di kebanyakan negara Amerika Latin, efek negatif yang diakibatkan perdagangan narkoba telah menyebar ke seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat. Produksi obat-obat terlarang tidak hanya menghilangkan produktivitas ekonomi, tapi juga mengancam keselamatan publik dan menghancurkan hubungan sosial. Masalah kesehatan, degradasi lingkungan, dan tertutupnya prestasi keja dan pendidikan menjadi problematika yang menyusul di belakangnya. Namun demikian, perdagangan narkoba merupakan sumber mata pencaharian bagi kebanyakan negara Hispanik. Produksi besar-besaran di Kolombia, Peru, dan Bolivia telah membantu dalam mengurangi kemiskinan lokal. Korupsi pun dianggap dapat diterima, bahkan diharapkan seluruh

kalangan. Sebut saja Kolombia, instabilitas domestik yang disebabkan kemiskinan dan korupsi telah membuat kartel-kartel obat terlarang dianggap lebih berkuasa dibandingkan negara. Dalam hal ini, AS sebagai target pasar segera melancarkan war on drugs. Bantuan ekonomi dan militer kerap diberikan ke negara-negara produsen dan transit. Bukannya membaik, situasi yang terjadi malah menjadi lebih buruk. Bantuan militer khususnya, tidak membuat aparat yang berwenang menjadi lebih professional dan bertanggung jawab. Pelanggaran HAM justru terjadi di mana-mana. Demi Kemanusiaan Pesatnya perdagangan narkoba bukanlah tanpa upaya mitigasi. Pada tingkat regional, kerjasama dalam kontrol obat terlarang telah dimulai ASEAN sejak 1972 dengan mengadakan pertemuan kelompok ahli yang kini bernama ASEAN Senior Officials on Drug Matters (ASOD). Dalam kerangka integrasi komunitas ASEAN, terciptanya kawasan Asia Tenggara yang bebas dari perdagangan narkoba menjadi ambisi tersendiri yang hendak dikejar pada 2015. Akan tetapi, mungkinkah idealisme ini tercapai jika komitmen dan rasa ke-Asia Tenggara-an harus menunggu stimulus dari negara-negara inisiator? Ataukah harus bergantung pada skala prioritas yang ditetapkan kepememimpinan ASEAN? Sudah menjadi sifat alami negara untuk mempertahankan ego dan kedigdayaan. Akhirnya, ASEAN dipandang sebagai wahana pertarungan ide dan gengsi nasionalistis belaka. Selain itu, masih menjangkitnya mental follower di antara negara-negara di luar pendiri ASEAN merupakan penyebab upaya penanggulangan narkoba menjadi jalan di tempat. Sejauh ini, Indonesia lebih condong mengedepankan komunitas politik dan keamanan ASEAN yang diinisiasinya. Cetak biru Komunitas Politik dan Keamanan memang mengupayakan pembatasan perdagangan narkoba melalui penegakan hukum. Namun, penanggulangan peredaran narkoba berbasis pemberdayaan masyarakat juga tidak kalah penting. Sayangnya, misi yang tertuang dalam Komunitas Sosial Budaya ASEAN harus menunggu stimulasi dari Vietnam sebagai inisiator. Padahal, narkoba bukanlah masalah satu negara saja. Spillover effect yang ditimbulkan telah menjadikannya sebagai masalah kemanusiaan yang harus ditanggulangi secara bersama-sama. Dengan jumlah penduduk yang tergolong besar, Indonesia memiliki modal material untuk menghidupkan kembali semangat komunitas sosial budaya. Paling tidak, Indonesia memilki 49.000 komunitas di dunia maya yang jumlahnya jauh lebih fantastis dalam aktivitas real di masyarakat. Perlu diingat, eksistensi sporadis komunitas di Indonesia terkait erat dengan pengalamannya dalam berdemokrasi. Tanpa demokrasi, tidak akan ada kontrol sipil. Tanpa Kontrol sipil, tidak akan ada penghormatan terhadap HAM. Mengingat kesamaan nilai-nilai komunal semua negara Asia Tenggara, Indonesia dapat berpartisipasi aktif dalam membatasi peredaran narkoba. Partisipasi tidak sebatas pada level birokrasi semata, tapi juga melibatkan masyarakat sebagai bentuk diplomasi people to people. Setidaknya, diplomasi antar masyarakat mampu mengurangi rasa kekhawatiran negara-negara tetangga akan suatu bentuk intervensi.

Dengan dasar asumsi bahwa setiap komunitas punya mekanisme pemecahan masalahnya sendiri, pendekatan yang digunakan sudah seharusnya dari, oleh, dan untuk masyarakat ASEAN sendiri. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa mekanisme artifisial yang didesain pihak asing tidaklah lebih handal. Karena itu, hal yang perlu ditekankan bukan demi kepentingan nasional salah satu negara saja, tetapi demi nila-nilai kemanusiaan. Lelly Andriasanti, peneliti Megawati Institute.

Anda mungkin juga menyukai