Anda di halaman 1dari 20

PEWACANAAN RADIKALISME, TERORISME, DAN PLURALISME DI HARIAN KOMPAS: MEMBANGUN DIALOG ATAU ISOLASI?

Diajukan untuk Memenuhi Nilai Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Media dan Terorisme Semester Genap Tahun Ajaran 2010/2011

Oleh : Anggalia Putri Permatasari (1006743424)

Program Studi Pascasarjana Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia 2011
1

I. 1.1

Pendahuluan Latar Belakang

Saat ini, tidak dapat dipungkiri bahwa terorisme di Indonesia identik dengan Islam radikal atau radikalisme Islam. Perspektif ini tercermin antara lain di dalam pemberitaan berbagai media cetak nasional arus utama di mana terdapat asosiasi yang kuat di antara radikalisme dan terorisme. Dalam berbagai pemberitaan di media cetak, istilah kelompok radikal dan radikalisme selalu diletakkan dalam konteks negatif, bahkan cenderung direpresentasikan sebagai sebuah penyebab langsung (immediate cause) dari terorisme yang berlangsung di negeri ini. Presiden Indonesia bahkan telah menyatakan radikalisme dan terorisme sebagai ancaman keamanan dalam negeri, sebagaimana dimuat dalam salah satu prestige press terdepan Indonesia, harian Kompas, baru-baru ini.1 Berkaitan dengan hal ini, Shofwan al-Banna bahkan menyatakan bahwa Indonesia telah melakukan sekuritisasi tidak hanya terhadap terorisme, tetapi juga radikalisme.2 Mencermati hal di atas, dapat dikatakan bahwa propaganda untuk mengkonstruksi radikalisme sebagai determinan terorisme tengah berlangsung. Di dalam pewacanaan Kompas, radikalisme selalu dikaitkan dengan intoleransi dan ekstrimitas yang berbatasan dengan (dan mendorong terjadinya) kekerasan. Sementara itu, pluralisme direpresentasikan sebagai sebuah ideologi atau setidaknya cara pandang yang menyertakan unsur dialogis di mana perangkulan dan pelibatan (engagement) lebih dipilih daripada pengucilan atau isolasi. Akan tetapi, di dalam pemberitaan Kompas mengenai terorisme dan radikalisme, penulis berpandangan bahwa unsur dialogis ini justru tidak tampak. Dari pengamatan awal yang dilakukan, penulis mendapatkan kesan bahwa radikalisme secara terberi dipandang sebagai akar masalah sementara pluralisme dipandang sebagai sebuah antidote, padahal pluralisme itu sendiri merupakan konsep yang mengandung banyak perdebatan dan pertentangan makna. 3 Hal ini menimbulkan pertanyaan di dalam diri penulis mengenai mungkin-tidaknya terbangun dialog yang berkualitas di antara unsur-unsur masyarakat yang mengusung pluralisme dan unsur-unsur masyarakat yang selama ini dianggap radikal di dalam satu manifestasi ruang publik di negeri ini. Unsur dialogis dalam pemberitaan media cetak menjadi penting dalam rangka perlawanan terhadap terorisme karena perang narasi melalui media saat ini merupakan salah

Presiden: Cegah Terorisme dan Radikalisme, Kompas, 19 April 2011. Shofwan Al-Banna Choiruzzad, Global War On Terror, Securitization And Human Security: Indonesias Case , 2010, diunduh dari http://ritsumei.academia.edu/ShofwanAlBannaChoiruzzad/Papers. 3 Secara reflektif, penulis sendiri merasakan resistensi kognitif terhadap konsep pluralisme ini, kemungkinan besar karena penulis pernah menjalani mentoring agama Islam dari SMA hingga bangku kuliah. Refleksi ini mengantarkan penulis untuk mengadopsi asumsi bahwa manusia, khususnya audiens media massa, adalah motivated reasoners.
2

satu elemen penting kontraterorisme. Untuk dapat mempengaruhi tataran naratif kelompok sasaran, narasi yang diajukan tidak boleh terlihat sebagai propaganda. Dengan demikian, intertekstualitas menjadi syarat bagi setiap media cetak yang ingin berpartisipasi dalam perang narasi. Berangkat dari hal tersebut, penulis mengangkat topik pewacanaan radikalisme, terorisme, dan pluralisme di harian Kompas untuk mengkaji ada tidaknya peluang untuk membangun dialog di dalam ruang publik tersebut. Dalam melakukan kajian ini, penulis mengadopsi pendekatan self-reflective study di mana penulis secara sadar merefleksikan dan mendialogisasi nilai-nilai yang penulis anut, mulai dari pemilihan topik, analisis data, diskusi, hingga penarikan kesimpulan. 1.2 Tujuan Makalah Secara umum, makalah ini bertujuan untuk: 1. Mengkaji narasi di dalam pemberitaan Kompas mengenai radikalisme, terorisme, dan pluralisme (RTP). 2. Mengkaji pewacanaan pluralisme dalam pemberitaan Kompas, khususnya kandungan dialogis di dalamnya, dan 3. Mengkaji perdebatan serta pertentangan makna di seputar konsep tersebut. 1.3 Pertanyaan Penelitian Beranjak dari tujuan-tujuan yang telah dinyatakan di atas, di dalam kajian ini penulis mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah radikalisme, terorisme, dan pluralisme direpresentasikan, diasosiasikan, dan dihubungkan satu sama lain di dalam harian Kompas? 2. Seperti apakah wacana yang dominan dalam pemberitaan Kompas mengenai pluralisme? 3. Bagaimanakah perdebatan dan pertentangan makna di seputar konsep pluralisme? 1.4 Metodologi Dalam mengkaji permasalahan, penulis menggunakan metode analisis wacana melalui analisis frame dan analisis isi. Secara rinci, alur pengkajian dalam makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Mengkaji isi berita-berita Kompas yang memuat kata radikalisme, terorisme, dan pluralism.
3

a. b.

Fokus kajian: representasi, asumsi, intertekstualitas, speech function. Data: 31 artikel yang memuat ketiga kata kunci (RTP) yang dimuat di Kompas, cetak dan daring. Berita tertua tertanggal 7 Desember 2009, terbaru tanggal 21 Mei 2011. Mencakup news report, opini, dan jajak pendapat.

2. Mengkaji wacana dalam Forum Kompas (daring) mengenai isu radikalisme, terorisme, dan pluralisme. a. b. Fokus kajian: representasi, intertekstualitas Data: Empat thread diskusi forum yang memuat ketiga kata kunci (RTP).

4. Mengkaji wacana pluralisme yang dimuat di Kompas a. Fokus kajian: representasi, asumsi nilai, intertekstualitas, evaluasi, legitimasi b. Data: Artikel-artikel yang khusus membicarakan pluralisme, yaitu artikel tentang kematian Gus Dur, Bapak Pluralisme dan beberapa artikel lain tentang pluralisme. 5. Mengkaji problematika istilah pluralisme: the other voices: a. Fokus kajian: representasi, evaluasi b. Data: Artikel Hizbut Tahrir Indonesia, Bahaya Pluralisme. I. 2.1 Kerangka Teori Narasi, Teks, dan Berita Yang menjadi fokus kajian dalam makalah ini adalah narasi atau the story being told di dalam berita. Tataran naratif adalah salah satu dari lima tataran yang menentukan kekuatan dan kelangsungan jejaring teror dan jejaring yang melawannya (kontrateror) dalam sebuah netwar.4 Apa yang disajikan secara terus-menerus oleh media massa dapat mempengaruhi tataran naratif audiens sehingga hal ini menjadi penting untuk diteliti. Narasi dapat dikaji melalui analisis diskursus, yang memfokuskan diri pada teks, yaitu contoh aktual dari penggunaan bahasa, baik yang bersifat tertulis dan tercetak maupun yang bersifat visual.5 Dalam konteks makalah ini, istilah teks mengacu pada artikel-artikel yang dimuat dalam harian Kompas, cetak dan daring, yang mencakup: 1) artikel berita, 2) artikel opini, dan 4) artikel dalam Forum Kompas. Sementara itu, istilah diskursus mengacu pada cara merepresentasikan

David Rosenfeld dan John Arquilla, What Next for Networks and Netwars? h. 326. Norman Fairclough, Analysing Discourse: Textual Analysis for Social Research (London and New York: Routledge), h.3.
5

sesuatu yang tengah dikaji6, yang merupakan dunia mental dari pemikiran, perasaan, kepercayaan, dan dunia sosial.7 Analisis tekstual menjadi penting dalam sebuah kajian sosial, khususnya dalam konteks studi media dan terorisme karena teks merupakan elemen penting dalam peristiwa sosial dan memiliki efek kausal yang dapat mendatangkan perubahan dalam hal pengetahuan, kepercayaan, sikap, nilai-nilai, bahkan identitas seseorang. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa berbagai perubahan ini dimediasi oleh apa yang disebut Fairclough sebagai proses penciptaan makna sehingga sebuah teks yang sama dapat menimbulkan efek yang berbeda dalam diri penafsir yang berbeda.8 Berita adalah salah satu bentuk teks yang berisikan proses pembuatan cerita (pembangunan narasi) dari berbagai peristiwa yang terhubung satu sama lain secara logis dan kronologis. Berita memaksakan sebuah tatanan naratif tertentu pada diri audiensnya. Menurut Fairclough, proses pembuatan berita itu sendiri bersifat sangat interpretatif dan konstruktif. 9 2.2 Teks dan Ideologi Salah satu efek kausal adari teks adalah apa yang disebut sebagai efek ideologis, yaitu kemampuan teks untuk menanamkan, mempertahankan atau mengubah ideologi. 10 Fairclough memandang ideologi sebagai modalitas kekuasaan, yaitu representasi dari berbagai aspek dunia yang dapat berkontribusi pada pendirian, pemertahanan, dan perubahan hubungan sosial, baik hubungan kekuasaan, dominasi, hingga eksploitasi. 11 Dalam pembahasan makalah ini, penulis akan mencoba mengidentifikasi representasi ideologi dari berbagai artikel Kompas mengenai RTP yang berkontribusi pada proses mencapai atau mempertahankan hegemoni makna atas pembacanya. Upaya mencapai atau mempertahankan hegemoni ini mensyaratkan upaya merepresentasikan sesuatu yang bersifat partikular (identitas, kepentingan, maupun representasi lainnya) sebagai sesuatu yang bersifat universal. 12 Dalam kajian tentang proses penciptaan makna (dan efek kausal dari sebuah teks), Fairclough menyatakan bahwa terdapat tiga elemen analitik yang perlu dikaji secara terpisah, yaitu proses penghasilan teks, teks itu sendiri, dan proses penerimaan (resepsi) teks. 13 Dalam

6 7

Ibid., h. 26. Ibid., h. 124. 8 Ibid., h. 8. 9 Fairclough, op.cit., h. 84-85. 10 Ibid., h. 9. 11 Ibid. 12 Ibid., h. 41. 13 Ibid., h.10.

konteks studi ini, proses penghasilan teks berkaitan dengan identitas dan intensi penulis artikel Kompas, yaitu wartawan atau reporter harian tersebut sementara proses penerimaan teks berkaitan dengan interpretasi para pembaca mengenai artikel-artikel tersebut.
14

Makalah ini

akan memfokuskan kajian pada teks itu sendiri (elemen analitik kedua). Sementara itu, elemen analitik ketiga akan dikaji melalui studi mengenai komentar para pembaca artikel Kompas yang termuat di dalam Forum Kompas. Meskipun membahas sisi resepsi teks, studi ini tidak akan ditujukan untuk menentukan efek kausal dari teks (artikel-artikel kompas) yang menjadi fokus kajian, kecuali secara terbatas dalam bentuk efek yang mungkin dihasilkan karena efek terhadap audiens adalah bagian dari unsur analisis isi yang dikemukakan Holsti. 15 2.3 Framing Pemberitaan Pemberitaan yang terus-menerus mengenai sesuatu hal dapat menimbulkan derajat kesadaran massa yang tinggi yang berlangsung dalam jangka waktu lama. Salah satu hal yang menentukan bagaimana sebuah berita dicerna dan diterima oleh pembacanya adalah framing. Menurut Norris et al., framing dapat menjalankan fungsi-fungsi berikut:16 1. Agenda-setting (apa yang mempengaruhi kepentingan audiens) 2. Cognitive priming (mengidentifikasi dan menjelaskan sumber ancaman keamanan) 3. Evaluation (menawarkan rekomendasi atau solusi kebijakan tertentu) Menurut Entman, framing dalam pemberitaan hadir dalam dua level, yaitu prinsip-prinsip yang disimpan secara mental untuk memproses informasi (skemata pemrosesan informasi) dan karakteristik-karakteristik teks berita. Framing pemberitaan terdapat dalam kata-kata kunci, metafora, konsep-konsep, simbol-simbol, dan gambar-gambar visual yang ditekankan dalam sebuah pemberitaan. Framing membuat sebuah gagasan tertentu lebih tampak dalam sebuah teks pemberitaan melalui pengulangan, penempatan, dan asosiasi-asosiasi yang saling menguatkan.17 Menurut Entman pula, media menyusun pemberitaan dalam cara yang dianggap akan menimbulkan reaksi yang menguntungkan (favorable) di kalangan audiensnya. Sebaliknya, reaksi publik juga mempengaruhi retorika dan aksi para elit politik yang menjadi sponsor utama dari framing pemberitaan.18 Ketika sebuah frame sepenuhnya mendominasi sebuah narasi, maka mayoritas audiens akan sampai pada pemahaman yang sama dan sebangun. Selain itu,

Ibid., h. 12. Philip Seib dan Dana M. Janbek, Global Terrorism and New Media: The Post-Al Qaeda Generation (London and New York: Routledge, 2001), h. 45. 16 Pippa Norris, Montague Kern, dan Marion Just, Framing Terrorism, h. 11. 17 Robert M. Entman, Framing U.S. Coverage of International News: Contrasts in Narratives of the KAL and Iran Air Incidents. 1991. Journal of communication 41 (4) Autumn, p.2. 18 Ibid.
15

14

frame yang dominan paling mungkin mempengaruhi keluaran politik. 19 Menurut Pintak, frame menyampaikan pemaknaan yang dominan mengenai sesuatu hal yang diberitakan dan mencerminkan hubungan kekuasaan di masyarakat secara umum. 20 Hubungan antara framing, elit politik, dan keluaran politik dapat dilihat dalam Bagan 1 berikut:
Political Elites (Frame Sponsors) Media

Frames in texts Political Outcomes


Agenda-setting Cognitive priming Evaluation

Policy Process Public Reaction

Audiences schemata of information processing

Bagan 1. Teori Framing Sumber: Entman 1991; Pintak 2006; Norris et.al. 2009, dikompilasi oleh penulis

2.4 Ruang Publik, Media Cetak, dan Propaganda Menurut Habermas, ruang publik adalah: A zone of connection between social systems and he lifeworld, the domain of everyday living, in which people can deliberate on matters of social and political concerns as citizens, and in principle influence policy decisions.21 Mengacu pada definisi Habermas di atas, ekspektasi bahwa media massa, khususnya surat kabar, dapat berperan sebagai ruang publik untuk mendorong kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan terorisme dan penanganannya mungkin terdengar terlalu naif karena, sebagaimana argumen Fairclough, ruang publik dalam masyarakat kontemporercenderung tersandera oleh media massa yang seringkali tidak beranjak dari konfrontasi dan polemik menuju rekonsiliasi dan konsensus. Selain itu, jurnalis cenderung mengumpulkan pandangan dari audiens (sebagaimana yang dimuat dalam forum pembaca), dalam cara yang

19 20

Ibid., h. 6. Lawrence Pintak, U.S. Coverage of Islam, h. 38. 21 Ibid., h. 44.

memfragmentasi mereka sehingga tidak ada kemungkinan membuka dialog.

22

Akan tetapi,

seiring dengan berkembangnya teknologi komunikasi dan informasi, terutama dalam bentuk media cetak daring yang disertai dengan forum interaktif (misalnya forum Kompas), konsep ruang publik dari media cetak ini kembali relevan untuk dikaji. Propaganda Menurut Wilcox, propaganda adalah upaya sadar atau tidak sadar dari sang propagandis untuk memajukan kepentingan mereka melalui manipulasi opini, persepsi, dan perilaku dari kelompok sasaran.23 Di dalam makalah ini, pewacanaan radikalisme RTP di Kompas mencerminkan sebuah propaganda untuk tujuan tertentu. Untuk dapat berhasil mencapai tujuannya, yakni mengubah perilaku sasaran, propaganda tidak boleh terlihat sebagai propaganda karena pada dasarnya tidak ada satu orang pun yang senang mengetahui bahwa dirinya telah dimanipulasi. Propaganda juga semakin sulit dilakukan karena audiens media cetak bukanlah kertas kosong yang dapat diisi semaunya, melainkan motivated reasoners yang menjalankan motivated reasoning, yaitu sebuah proses pemrosesan informasi di mana sikapsikap terdahulu yang diarahkan oleh nilai-nilai mempengaruhi penerimaan akan suatu pesan, kecuali jika pesan tersebut diciptakan untuk dapat beresonansi secara politis dan kultural dengan audiens (Malone 1988).24 Berdasarkan uraian teoretik di atas, makalah ini menganut asumsi-asumsi sebagai berikut (dapat dilihat pula dalam Bagan 3): a. Isi dan framing media massa mencerminkan preferensi audiensnya. Mereka memberitakan apa yang ingin dibaca atau diketahui para konsumennya dan tidak menampilkan apa yang mereka anggap bertentangan dengan preferensi konsumennya. b. Media massa juga dijadikan medium oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki agenda untuk mempengaruhi atau membentuk opini audiens media massa tersebut (propaganda) dan hal ini tercermin dalam isi serta framing yang diadopsi media massa tersebut. c. Audiens media cetak merupakan motivated reasoners. Hal ini membuat propaganda melalui media cetak menjadi tidak mudah untuk dilakukan.
Media frames news according to preferences of its audiences (Entman 1991)

Media is also used as a medium Ibid., h. 44-45. to disseminate sponsored frames Davir R. Wilcox, The Theory of Propaganda (Routlegde, 2008), h. 17. 24 (Entman 1991) Nathalie Frensley dan Nelson Michaud, Public Diplomacy and Motivated Reasoning: Framing Effects on Canadian Media Coverage of U.S. Foreign Policy Statements, Foreign Policy Analysis (2006) 2, h. 202
22 23

Media audiences are motivated reasoners (Frensley and Michaud 2006)

II. 3.1

Pembahasan Pewacanaan Radikalisme, Terorisme, dan Pluralisme dalam Pemberitaan Kompas Di dalam pemberitaan Kompas, peletakkan kata radikalisme atau radikalisme agama

yang digandengkan dengan kata terorism, yaitu dalam klausa radikalisme agama dan terorisme telah menjadi sesuatu yang diterima begitu saja. Dengan konstruksi seperti itu, keduanya memang tidak dipersamakan, tetapi di antara keduanya kemudian terbangun asosiasi yang sangat kuat. Secara eksplisit, dalam salah satu berita, radikalisme dinyatakan sebagai sesuatu yang berpotensi memunculkan terorisme. Meminjam istilah Pintak, dapat dikatakan bahwa istilah kelompok radikal (Islam) dan teroris terhubung secara intrinsik dalam pemberitaan Kompas. Pintak menyebut hal ini sebagai the label of primary potency yang secara seketika menarik perhatian audiens dan mempertahankannya. 25 Selain dihubungkan secara intrinsik dengan terorisme, radikalisme juga direpresentasikan sebagai sesuatu yang menyimpang dan mengancam keutuhan negara, persatuan, dan ideologi Pancasila. Dalam sebuah berita lain, dinyatakan bahwa radikalisme mengingkari karakter bangsa Indonesia yang bersifat pluralis. Dalam berita yang lain, di dalam satu klausa, kelompok radikal secara langsung dipertentangkan dengan mereka yang mempertahankan budaya Indonesia. Pemilihan kata sifat menyimpang, mengancam, dan mengingkari secara gamblang menunjukkan asumsi nilai tertentu, bahkan telah berada pada ranah evaluatif. Dalam contoh yang lain, nominalisasi Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika untuk mengatasi radikalisme

25

Lawrence Pintak, U.S. Coverage of Islam, h. 39.

agama di Indonesia menegaskan radikalisme sebagai sesuatu yang negatif dan tidak diinginkan. Pemberitaan Kompas banyak mengandung kutipan langsung dari tokoh-tokoh (principal) yang menggunakan istilah-istilah di atas sehingga pandangan tertentu di atas lebih bergema dalam teks berita tersebut. Di dalam salah satu artikel opini yang dimuat Kompas, kembali ditegaskan bahwa radikalisme agama adalah ancaman dan penghambat jalannya demokrasi. Satu hal yang menarik dalam artikel tersebut adalah representasi kelompok radikal sebagai kelompok yang tidak mengakui keberagaman keyakinan dan menginginkan tafsir tunggal serta kelompok yang mengatasnamakan agama untuk memerangi agama lain, termasuk melenyapkan pemeluknya. Di dalam artikel opini yang cukup keras tersebut, nyaris tidak ada unsur dialog maupun intertekstualitas. Definisi radikalisme, baik yang dikutip secara langsung maupun tidak langsung, menekankan radikalisme sebagai sesuatu yang negatif. 26 Rendahnya intertekstualitas dalam artikel-artikel yang dimuat di Kompas, baik yang berbentuk berita maupun opini, menunjukkan rendahnya orientasi terhadap perbedaan yang rendah mengenai RTP. Sementara itu, kata pluralisme dalam berbagai kalimat digandengkan dengan berbagai istilah yang beresonansi secara positif di masyarakat seperti kebebasan agama, toleransi agama, kebersamaan, penghormatan nilai-nilai, kehidupan masyarakat yang damai, demokrasi nasionalisme, dan patriotisme. Selain pluralisme direpresentasikan sebagai agensi yang dipandang dapat mengatasi (mengikis, memupus) radikalisme (nominalisasi) dan karena radikalisme adalah salah satu sebab yang memunculkan terorisme, pluralisme ditawarkan sebagai antidote keduanya. Dalam salah satu artikel opini, dinyatakan bahwa Tidak ada cara lain untuk memberantas radikalisme agama di Indonesia selain dengan menegakkan pluralisme, di mana pluralisme diasosiasikan dengan kebebasan berkeyakinan, pengakuan atas keragaman tafsir, dan pengakuan terhadap fitrah manusia untuk memilih agama yang dianutnya (agenda-setting). Di dalam artikel yang sama, tidak dihadirkan pandangan-pandangan lain tentang makna pluralisme, khususnya dari kelompok masyarakat yang menentangnya, yang dibalut dengan nada netral. Pandangan MUI yang menyatakan pluralisme agama sebagai paham yang sesat digandengkan dengan kata sayangnya yang menunjukkan adanya asumsi nilai dan evaluasi dari penulis. Selain itu, latar belakang maupun alasan MUI menetapkan pluralisme sebagai paham yang sesat juga sama sekali tidak ditampilkan. Omission atau penghilangan

Padahal, istilah radikal dapat pula menunjuk pada sesuatu yang positif, yaitu sesuatu dibangun atau dijalankan dari akar. Istilah kelompok radikal dan radikalisme juga memiliki appeal tertentu di kalangan aktivis gerakan sosial sampai-sampai muncul wacana di BNPT untuk menghilangkan istilah memerangi radikalisme untuk dapat merangkul pihak-pihak yang memandang radikalisme sebagai lambang perjuangan atau pergerakan sosial.

26

10

suara-suara yang anti pluralisme ini adalah salah satu bentuk discourse closure dalam pemberitaan Kompas. Hal lain yang menarik adalah representasi pluralisme sebagai sesuatu yang identik atau setidaknya menjadi prasyarat bagi perwujudan hak beragama dan menjalankan ibadah, juga sebagai prekondisi bagi terwujudnya demokrasi. Sebagai contoh, dalam salah satu berita, pihakpihak yang antipluralisme digandengkan dengan pihak-pihak yang antidemokrasi. Keduanya adalah pihak-pihak yang harus dilawan (cognitive priming). Dalam berbagai pemberitaan direpresentasikan pula bahwa terorisme ditujukan sebagai ancaman kepada mereka yang propluralisme, dengan demikian mengkonstruksikan terorisme (dan radikalisme) sebagai ancaman keamanan dan para pendukung pluralisme sebagai objek yang harus diamankan (referent object). Cognitive priming ini juga tercermin dalam penggunaan istilah korban antipluralisme yang digandengkan dengan kata intimidasi. Kelompok-kelompok yang antipluralisme juga diidentikkan dengan anti-intelektualisme dan antidemokrasi, antiHAM dan disebut sebagai kelompok fundamentalis. Dari analisis jenis artikel yang dimuat Kompas, penulis menemukan bahwa framing dalam berbagai pemberitaan (news report) mengenai RTP sukses membangun asosiasi yang kuat (hubungan intrinsik) di antara radikalisme dan terorisme, dan pluralisme sebagai antidotnya. Framing dalam pemberitaan Kompas ini sebagian besar dilakukan melalui penggunaan istilahistilah tertentu dan pengutipan langsung dari tokoh-tokoh yang mendukung pluralisme tanpa ada penyertaan teks lain yang menentang pluralisme (intertekstualitas). Jadi, inti dari framing pemberitaan RTP ini adalah sizing yang membuat sudut pandang yang mendukung pluralisme lebih tampak dan lebih dapat diterima sebagai sesuatu yang seharusnya sementara tidak adanya intertekstualitas27 mengenai istilah pluralisme itu sendiri menunjukkan berlangsungnya discourse closure di mana perdebatan mengenai makna pluralisme ditutup dan dianggap sudah selesai. Sementara itu, berbagai artikel opini tentang RTP berperan lebih kuat dalam menjalankan speech function, yang mencakup penetapan radikalisme dan terorisme sebagai ancaman (cognitive priming) dan mengandung aspek advokasi yang amat kuat agar semua pihak menyadari dan mengadopsi pluralisme (evaluasi). Secara khusus, advokasi ditujukan kepada pemerintah Indonesia untuk menegakkan pluralisme dan menghancurkan radikalisme. 3.2 Resepsi Teks: Pewacanaan RTP dalam Forum Kompas

Penyertaan teks lain penulis temukan dalam bentuk terendah, yakni pengutipan secara tidak langsung dari pandangan kelompok yang menentang pluralisme, namun selalu dalam konteks evaluasi mereka yang propluralisme.

27

11

Bagian 3.1 lebih menekankan pada aspek analisis teks sedangkan bagian ini akan lebih ditekankan pada aspek resepsi teks, yaitu wacana RTP dalam diskusi audiens Kompas di dalam Forum Kompas (daring). Untuk tujuan ini, dipilih empat thread diskusi yang memuat ketiga kata kunci (radikalisme, terorisme, dan pluralisme) dan sekaligus, yaitu PresidenNegeriku,Problematika-Globalisasi-Dunia-didalam-ancaman- uritanisme, Ledakan-Terjadidi-Sekitar-Hotel-JW-Marriot-Mega-Kuningan, segera-ditindak! Forum Kompas adalah salah satu fitur interaktif surat kabar Kompas daring yang menurut penulis lebih memiliki modalitas sebagai ruang publik di mana audiens dapat berdeliberasi dan berkontestasi mengenai suatu isu publik tertentu. Akan tetapi, ternyata intertekstualitas yang terkandung dalam keempat thread Forum ini justru hampir tidak ada. Keempat thread yang membahas mengenai pluralisme merepresentasikannya bukan hanya sebagai sesuatu yang positif (protagonis), tetapi juga sebagai sesuatu yang sedang berada di dalam ancaman sehingga harus dipertahankan (cognitive priming). Anggota forum ini juga cenderung bersikap militan terhadap apa yang mereka representasikan sebagai musuh pluralisme, yaitu radikalisme (khususnya kelompok radikal) dan terorisme. Slogan-slogan militan seperti Negeri ini jangan mau kalah melawan TERORISME (capital in origin), Habiskan terorisme dan kelompok-kelompok radikal, Tindak tegas kriminal pengkhianat bangsa, dan FPI mendukung terorisme, harusnya segera ditindak! mendominasi Forum tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa wacana mengenai RTP dalam Forum ini konsonan dengan wacana RTP di dalam harian Kompas itu sendiri, bahkan cenderung lebih militan. Narasi mengenai RTP di Forum ini sudah bulat. Makna pluralisme, radikalisme, dan terorisme tidak lagi menjadi perdebatan, tetapi sudah dianggap selesai dan tidak ada upaya pembangunan konsensus untuk makna yang berbeda. Sebagaimana di dalam pemberitaan Kompas mengenai RTP, intertekstualitas dalam Forum ini juga rendah, bahkan lebih rendah lagi. Dari keempat thread, tidak ada other voices yang merepresentasikan pandangan yang berbeda dari pandangan dominan. Tidak ada suara yang mewakili para penentang konsep pluralisme, misalnya, atau setidaknya yang mengakui bahwa di dalam konsep ini ada perdebatan dan pertentangan makna. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa di dalam Forum ini, tidak ada deliberasi di antara pandangan-pandangan yang bertentangan (jangankan upaya pencapaian konsensus, eksplorasi perbedaan pandangan saja tidak ada) sehingga tidak dapat dikatakan berfungsi sebagai ruang publik. Konsonannya wacana Forum Kompas dengan pemberitaan Kompas mengenai RTP menunjukkan satu hal: propaganda mengenai pluralisme hanya berhasil di kalangan audiens
12

FPI-mendukung-terorisme-harusnya-

kompas yang merupakan hard-core moderates. Akan tetapi, rendahnya intertekstualitas dalam Forum ini justru merupakan kabar buruk dan mencerminkan dua kemungkinan: 1) Audiens Kompas yang pandangannya tidak serupa dengan yang ditampilkan di Forum menganggap berdebat di Forum ini adalah hal yang sia-sia karena wacananya terlalu monolitik, 2) Mereka yang menentang pluralisme (kelompok radikal) telah memiliki stigma tersendiri terhadap Kompas sehingga tidak mau membuang-buang waktu berdeliberasi di dalam Forumnya. Kedua hal ini mengurangi kredibilitas Kompas sebagai ruang publik. Jika sebuah media diragukan kredibilitasnya, pesan-pesan yang ia coba sampaikan kepada khalayak pembaca akan lebih mungkin dipandang sebagai propaganda dan oleh karenanya cenderung menjadi tidak efektif untuk merangkul mereka yang pandangan dan sikapnya dicoba dipengaruhi atau diubah. Sebagai konsekuensinya, Kompas hanya akan berfungsi efektif sebagai media propaganda untuk mengkonsolidasi mereka yang sudah moderat dan tidak efektif dalam memoderasi mereka yang radikal. 3.3 Pewacanaan Pluralisme Pewacanaan pluralisme dalam hubungannya dengan radikalisme dan terorisme telah dibahas di bagian 3.1 sehingga dalam bagian ini hanya akan dibahas sedikit saja. Di dalam artikel pemberitaan dan opini yang dimuat di Kompas yang khusus membahas pluralisme, pluralisme ditampilkan sebagai sebuah konsep kebangsaan. Di dalam pewacanaan ini, memperjuangkan pluralisme adalah bagian tak terpisahkan dari memperjuangkan keutuhan bangsa priming, dan negara Republik Indonesia. Sementara Di dalam itu, gerakan radikalisme ini, atau fundamentalisme agama adalah sesuatu yang harus terus menerus diwaspadai (cognitive dikotomi protagonis-antagonis). pemberitaan pluralisme direpresentasikan sebagai penghormatan atas perbedaan agama, suku, bangsa, dan nilai-nilai demokrasi. Gus Dur yang dikenal sebagai Bapak Pluralisme dijuluki sebagai pendekar atau pejuang pluralisme. Nilai yang secara implisit diasumsikan adalah pluralisme sebagai sesuatu yang sangat berharga sehingga perlu diperjuangkan (dan memerlukan seorang pendekar). Dalam narasi ini muncul juga wacana serangan terhadap pluralisme dalam bentuk aksi-aksi radikalisme dan tantangan dalam bentuk pengharaman pluralisme oleh MUI. Sama seperti di bagian sebelumnya, intertekstualitas dalam pewacanaan pluralisme ini sangat minimum dan selalu berada dalam konteks evaluatif, misalnya dalam kalimat berikut Anggapan bahwa pluralisme akan menjadi sinkretisme merupakan pandangan yang cenderung mengada-ada. Faktanya, pluralisme dan sinkretisme sangat tidak identik. Suara lain atau teks lain yang bertentangan dengan narasi dominan dianggap sebagai sesuatu yang mengada-ada dan hal ini
13

diperlakukan sebagai fakta, padahal sesungguhnya adalah opini. Tidak ada elaborasi mengenai latar belakang the other voices ini sehingga sekali lagi telah terjadi discourse closure. Selain itu, di dalam pemberitaan ini pluralisme dilegitimasi dengan mengacu pada fitrah manusia dan pada fungsinya untuk menjaga keutuhan bangsa. Teks mengenai pluralisme ini secara gamblang mengandung unsur ideologis yang bahkan dinyatakan secara eksplisit. Upaya memperjuangkan pluralisme adalah upaya untuk menjaga supremasi ideologi Pancasila yang hegemoninya tengah goyah karena mendapat tantangan dari kelompok-kelompok radikal. 3.4 Perdebatan dan Pertentangan Makna: The Other Voices Tidak sulit mencari suara yang menentang pluralisme. Sebagai contoh, laman pertama dari pencarian di internet dengan menggunakan mesin pencari google dengan mengetikkan kata kunci pluralisme langsung mengantarkan kita pada artikel berjudul Polemik Pluralisme di Indonesia dari wikipedia dan Bahaya Pluralisme dalam website Hizbut Tahrir Indonesia. Menariknya, artikel Bahaya Pluralisme dari HTI ini berisi rebuttal terhadap pemberitaan pluralisme di berbagai media cetak nasional, terutama pemberitaan Kompas.28 Di dalam artikel HTI ini, makna pluralisme menurut pendukungnya dijabarkan terlebih dahulu, namun kemudian dievaluasi dengan menggunakan perspektif antipluralisme yang legitimasinya berakar pada Islam. Di dalam artikel ini, pluralisme direpresentasikan sebagai gagasan yang terus disuarakan kapitalisme global yang digalang Amerika Serikat untuk menghalang kebangkitan Islam. Wacana pluralisme sebagai antidot konflik antarumat beragama ditentang dengan argumen bahwa akar konflik-konflik tersebut lebih bermotifkan ideologi dan politik, yakni dominasi kapitalisme yang diusung Barat, khususnya AS, dan bukan agama. Artikel ini juga merepresentasikan pluralisme sebagai sesuatu yang berbeda dari pluralitas yang diakui di dalam Islam. Pluralisme menurut kelompok ini berarti mengakui kebenaran agama-agama selain Islam, dan bukan hanya keberadaan mereka secara faktual. Dengan demikian, sesungguhnya makna istilah pluralisme yang diwacanakan oleh Kompas tidak konsonan dengan makna pluralisme yang dianut oleh kelompok-kelompok yang antipluralisme, misalnya HTI. Sayangnya, tidak ada dialog mengenai hal ini di dalam pemberitaan Kompas yang tidak bernada evaluatif atau mengandung judgement. Pandangan HTI ini sama dengan pandangan kelompokkelompok lain yang dilabeli kata radikal misalnya FPI, namun mungkin juga sama dengan pandangan Muslim lain yang tidak radikal, namun tidak dapat semudah itu menerima konsep pluralisme karena komitmen teologis yang dikandungnya.29

28 29

Bahaya Pluralisme, http://hizbut-tahrir.or.id/2010/01/05/bahaya-pluralisme/ Misalnya penulis.

14

III.

Diskusi dan Kesimpulan Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Kompas merupakan salah satu partisipan

dalam sebuah perang narasi atau the battle of narratives melawan apa yang dipersepsikan sebagai penyebab timbulnya terorisme, yakni radikalisme. Perang narasi ini ditujukan untuk mencapai hegemoni di tingkat naratif, sesuatu yang sangat sulit dilakukan di era proliferasi media seperti saat ini. Untuk dapat mencapai tujuan ini, narasi dan wacana yang dibangun di Kompas tidak boleh sampai dipandang semata-mata sebagai propaganda. Akan tetapi, dengan rendahnya intertekstualitas di dalam pemberitaan Kompas mengenai radikalisme, terorisme, dan pluralisme, kredibilitas Kompas sebagai ruang publik (bukan hanya sebagai medium propaganda) menjadi rendah pula. Terasa ironis bahwa pluralisme yang mensyaratkan adanya dialog itu diwacanakan secara sangat tidak dialogis di harian Kompas. Di samping itu, pluralisme sebagai panacea yang ditawarkan bersifat problematis di dalam dirinya sendiri. Dalam kata-kata Suzie Sudarman, It cant capture everybodys imagination yang dibutuhkan jika isme ini hendak ditawarkan sebagai sebuah ideologi untuk melawan radikalisme dan terorisme. Problematika ini tampak jelas jika kita membaca artikel rebuttal terhadap pemberitaan Kompas mengenai konsep pluralisme. Ironisnya, artikel kelompok radikal ini mengandung intertekstualitas yang lebih tinggi, yakni mengandung paparan pandangan mereka yang pro-pluralisme sebelum mengevaluasinya, dibandingkan dengan pemberitaan Kompas yang hanya mengasumsikannya. Hal lain yang menjadi concern penulis adalah permasalahan pelabelan pluralis versus radikal dalam kerangka protagonis-antagonis yang berpotensi semakin mendorong eksklusivitas identitas, yang pada gilirannya dapat mengarah pada polarisasi dan solidifikasi perspektif kita lawan mereka. Pendekatan perang ideologis berpotensi menimbulkan efek rally around the ism di kalangan mereka yang mungkin tidak mengidentifikasikan diri secara positif dengan kelompok radikal, tetapi mengidentifikasikan diri secara negatif dengan pluralisme. Identitas yang eksklusif ini tentunya tidak kondusif bagi perlawanan ideologis terhadap terorisme. IV. Saran Tidak mudah mengkonstruksi sebuah ideologi baru yang dapat menawan hati dan pikiran semua orang. Pendekatan perang ideologis, salah satunya melalui perang narasi, tanpa adanya unsur dialogis atau intertekstualitas hanya akan mengarah pada pelabelan upaya tersebut sebagai propaganda yang hingga saat ini masih dipersepsikan secara negatif di masyarakat.
15

Jika ingin meningkatkan efektivitasnya dalam menjalankan perang narasi, Kompas harus meningkatkan kredibilitasnya sebagai ruang publik sehingga ia tidak dipandang semata-mata sebagai medium propaganda, terlebih di tengah stigma Kompas sebagai media Kristen. Untuk meningkatkan kredibilitas ini, intertekstualitas dalam pemberitaan Kompas harus ditingkatkan, yaitu dengan menyertakan pandangan dari kelompok-kelompok yang dianggap radikal dan antipluralisme, tentu saja dalam konteks dan koridor jurnalistik yang ada. Selain itu, alternatif lain dari naked ideological battle yang menurut penulis patut dicoba adalah penekanan pada nilai-nilai positif yang hendak dipromosikan, misalnya toleransi, antikekerasan, dan penegakkan hukum, tanpa embel-embel -isme. Demonisasi pun perlu digeser dari sasaran yang begitu luas, abstrak, dan cenderung kontraproduktif seperti kelompok radikal dan radikalisme kepada suatu tindakan yang kongkrit, misalnya pelanggaran hukum, untuk mencegah solidifikasi identitas yang eksklusif.

16

DAFTAR PUSTAKA Choiruzzad, Shofwan Al-Banna. 2010. Global War On Terror, Securitization And Human Security: Indonesias Case. Dalam http://ritsumei.academia.edu/ShofwanAlBannaChoiruzzad/Papers. Entman, Robert M. 1991. Framing U.S. Coverage of International News: Contrasts in Narratives of the KAL and Iran Air Incidents. Journal of Communication 41 (4) Autumn. Fairclough, Norman. 2001. Analysing Discourse: Textual Analysis for Social Research. London and New York: Routledge. Frensley, Nathalie dan Nelson Michaud. 2006. Public Diplomacy and Motivated Reasoning: Framing Effects on Canadian Media Coverage of U.S. Foreign Policy Statements. Foreign Policy Analysis. Norris, Pippa; Montague Kern, dan Marion Just (eds). 2003. Framing Terrorism: The News Media, the Government, and the Public. Routledge. Pintak, Lawrence. 2006. U.S. Coverage of Islam. Dalam Pintak, Lawrence. 2006. Reflection in A Bloodshot Lens: America, Islam, and the War of Ideas. London: Pluto Press. Ronfeld, David dan John Arquilla. 2001 What Next for Networks and Netwars? Dalam Arquilla, John dan David Ronfeld. 2001. Networks and Netwars: The Future of Terror, Crime, and Militancy. RAND. Seib, Philip dan Dana M. Janbek. 2001. Global Terrorism and New Media: The Post-Al Qaeda Generation. London and New York: Routledge. Wilcox, Davir R. 2005. Propaganda, the Press, and Conflict. Routlegde. Bahaya Pluralisme.Dalam http://hizbut-tahrir.or.id/2010/01/05/bahaya-pluralisme/. Presiden: Cegah Terorisme dan Radikalisme. Kompas, 19 April 2011.

http://forum.kompas.com/showthread.php?31717-Presiden-Negeriku http://forum.kompas.com/showthread.php?30133-Problematika-Globalisasi-Dunia-didalamancaman-Puritanisme/page188 http://forum.kompas.com/showthread.php?22493-Ledakan-Terjadi-di-Sekitar-Hotel-JWMarriot-Mega-Kuningan/page17 http://forum.kompas.com/showthread.php?28555-FPI-mendukung-terorisme-harusnyasegera-ditindak!/page7

Basis data Berita Radikalisme, Terorisme, dan Pluralisme KOMPAS


17

1. Pluralisme Dialog Kikis Radikalisme, 23/11/2010, http://cetak.kompas.com/read/2010/11/23/04191867/dialog.kikis.radikalisme 2. Pencari Lokasi Pelatihan Militer Dituntut 13 Tahun, 22/12/2010, http://nasional.kompas.com/read/2010/12/22/03025381/ 3. Pemerintah Gamang, NII Jadi Masif, 28/04/2011, http://nasional.kompas.com/read/2011/04/28/02325413/Pemerintah.Gamang.NII.Jadi .Masif 4. Penanaman Nasionalisme Tanpa Keteladanan, 3/5/2011 5. Pemikiran Gus Dur Harus Dilanjutkan, 2/1/2010, http://nasional.kompas.com/read/2010/01/02/02563117/ 6. Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika Atasi Radikalisme Agama di Indonesia, 7/12/2009, http://www1.kompas.com/read/xml/2009/12/07/19132031/pancasila.dan.bhinneka.tu nggal.ika.atasi.radikalisme.agama.di.indonesia. 7. Jawa Barat Krisis Toleransi Beragama, 24/11/2011, http://properti.kompas.com/read/2011/01/24/17502990/Jawa.Barat.Krisis.Toleransi. Beragama 8. Abdul Waid, Radikalisme Pemerintah, 11/12/2011, http://nasional.kompas.com/read/2011/02/11/04484872/Radikalisme.Pemerintah 9. Benny Susetyo, Agama, Kekerasan, dan Negara, 4/1/2011, 10. http://nasional.kompas.com/read/2011/01/04/03575013/Agama.Kekera san.dan.Negara 11. Keterbukaan Cegah Ekstremisme, 12/8/2010, http://cetak.kompas.com/read/2010/08/12/03173281/keterbukaan.cegah.ekstremisme 12. Presiden: Cegah Terorisme-Radikalisme, 19/04/2011, http://nasional.kompas.com/read/2011/04/19/17335016/Presiden.Cegah.Terorisme.R adikalisme 13. Jalan Memupus Radikalisme, 9/5/2011, http://nasional.kompas.com/read/2011/05/09/09243372/Jalan.Memupus.Radikalisme 14. Negara Harus Kelola Pluralisme, 22/10/2010, http://nasional.kompas.com/read/2010/10/22/03283292/Negara.Harus.Kelola.Plurali sme 15. Yenny Wahid: Terorisme Harus Dilawan! 16/03/2011, http://megapolitan.kompas.com/read/2011/03/16/0728226/Yenny.Wahid.Terorisme. Harus.Dilawan. 16. Teror Beruntun terhadap Pro-Pluralisme, 16/03/2011, http://nasional.kompas.com/read/2011/03/16/1516016/Teror.Beruntun.terhadap.ProP luralisme 17. Rene L Pattiradjawane, Terorisme Jalan Baru Menghadapi Keputusasaan, 25/04/2011, http://nasional.kompas.com/read/2011/04/25/03044938/Terorisme.Jalan.Baru.Mengh adapi.Keputusasaan 18. Teuku Kemal Fasya, Pluralisme Vs Fundamentalisme, 14/02/2011, http://nasional.kompas.com/read/2011/02/14/03464829/

18

19. Terorisme Bukan Budaya Bangsa Indonesia, 29/10/2010, http://oase.kompas.com/read/2010/10/29/03034293/Terorisme.Bukan.Budaya.Bangs a.Indonesia 20. Parlemen Jerman Puji Pluralisme di Indonesia, 25/18/2010, http://internasional.kompas.com/read/2010/08/25/14122475/Parlemen.Jerman.Puji.Pl uralisme.NKRI 21. Zuhairi Misrawi, Pluralisme Pasca-Gus Dur, 4/1/2010, http://www.kompas.com/lipsus122009/gusdurread/2010/01/04/0257230/Pluralisme. PascaGus.Dur 22. Pluralisme di Indonesia Mini, 26/9/2010, http://cetak.kompas.com/read/2010/09/28/11562026/pluralisme.di.indonesia.mini 23. Bangsa Karut-marut Munculkan Terorisme, 11/3/2010 24. Kontras: Ini Ancaman untuk Penggiat HAM, 15/03/2011 Syafii Maarif: Pluralisme Harus Dijaga, http://nasional.kompas.com/read/2010/04/23/2012367/Syafii.Maarif.Pluralisme.Haru s.Dijaga 25. Akar Terorisme Dicari, 8/10/2020, http://nasional.kompas.com/read/2010/10/08/03384453/ 26. Rizieq Shihab Dijuluki NU Kereng-kereng, 22/02/2011, http://nasional.kompas.com/read/2011/02/22/18414990/Rizieq.Shihab.Dijuluki.NU. Kereng-kereng 27. Jadikan Masyarakat Antikekerasan, 21/5/2011, Kompas Cetak 28. Wibawa Negara Hilang: Pemerintah Perlu Proaktif Tangani Masalah Kerukunan Beragama, 19/5/2011, Kompas Cetak 29. Ancaman Indonesia: NKRI Merupakan Harga Mati , 16/5/2011, Kompas Cetak 30. NII Jangan Dibiarkan, 13/5/2011, Kompas Cetak 31. PancasilaTidak Menjadi Napas Bangsa, 10/5/2011, Kompas Cetak Basis Data Berita Pluralisme Teror Beruntun terhadap Pro-Pluralisme - KOMPAS.com (16/3/2011) Dampak Penolakan Negara pada Pluralisme - KOMPAS.com (11/1/2011) Tanggal Meninggalnya Gus Dur Diusulkan sebagai Hari Pluralisme (5/1/2010) Bom Ulil Ancaman kepada Tokoh Pluralis - KOMPAS.com (15/3/2011) Indonesia Masih Punya Tokoh Pluralisme - KOMPAS (12/2/2010) Budiman Sudjatmiko: PDI-P Bersikap Tegas tentang Pluralisme (25/2/2010) Pluralisme Vs Fundamentalisme - KOMPAS (14/2/2011) Negara Harus Kelola Pluralisme - KOMPAS.com (22/10/2010) Amien Rais: Gus Dur Ikon Pluralisme - KOMPAS UIN Sunan Kalijaga Mendukung Pluralisme - KOMPAS NU Gelar Halaqah Dakwah Tentang Pluralisme - KOMPAS.com (23/1/2010) Pluralisme yang Tak Dipahami - KOMPAS Doa untuk Bapak Pluralisme - KOMPAS (18/2/2010) Ramadhan dan Kesadaran Pluralis - KOMPAS (10/8/2010) Orasi Gus Dur Tekankan Pentingnya Pluralisme - KOMPAS.com (28/12/2008) Gus Dur, Simbol Indonesia yang Demokratis dan Pluralis - KOMPAS.com (30/12/2009) 17. Kekerasan Ancam Pluralisme - KOMPAS 18. Dua Kelompok Pluralis Berunjuk Rasa KOMPAS Otomotif 19. Syafii Maarif: Pluralisme Harus Dijaga - KOMPAS.com (23/4/2010) 19 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.

20. Semangat Pluralisme Beragama di Indonesia Terancam - KOMPAS (6/10/2009) 21. Kerja Sama Indonesia dan Rusia Menghadapi Pluralisme - KOMPAS.com (30/5/2009) 22. Buku Pluralisme Gus Dur Diluncurkan - KOMPAS.com (8/2/2010) 23. SBY: Gus Dur Bapak Pluralisme Indonesia - KOMPAS.com (31/12/2009) 24. Taman Budaya Tionghoa, Pluralisme Indonesia di TMII - KOMPAS.com (28/2/2010) 25. Pluralisme Ditolak - KOMPAS.com (11/12/2011) nominalisasi 26. Awas, Ancaman Pluralisme Indonesia! - KOMPAS.com (17/3/2009) 27. Menjaga Pluralisme Lintas Generasi - KOMPAS.com (14/8/2010) 28. Busyro: Pluralisme Ternodai Kelompok Kecil - KOMPAS 29. Mengukuhkan Pentingnya Pluralisme Budaya dalam Berasimilasi ...(19/1/2009) 30. Gus Dur Pejuang Pluralisme Sejati - KOMPAS 31. Pluralisme Indonesia Positif - KOMPAS (11/10/2009) 32. Pluralisme Yogyakarta Harus Dipelihara - KOMPAS.com (19/4/2008) 33. Optimistis Pluralisme Tetap Bertahan - KOMPAS.com (22/10/2010) 34. Pluralisme dan Semangat Sumpah Pemuda - KOMPAS (29/10/2009) 35. Pluralisme Kurang Dipahami - KOMPAS 36. KOMPAS.com - Pluralisme.bukan.untuk.dihindari - KOMPAS.com (20/10/2010): dalam artian kemajemukan 37. Kompas.com - Pluralisme Tetap Jadi Tugas Bersama (25/2/2010)

20

Anda mungkin juga menyukai