Anda di halaman 1dari 13

MENUMBUHKAN KEMANDIRIAN PADA ANAK KASUS : IH (inisial), seorang wanita 34 tahun baru 2 tahun menikah dengan duda 36 tahun,

dengan 1 anak laki-laki berusia 10 tahun. Permasalahan yang dihadapi adalah anak tersebut selama ini terlalu dimanjakan oleh suami dan mantan istrinya, sehingga anak tersebut tidak dapat mandiri dan terlalu bergantung pada orang lain, seperti halnya berpakaian, makan, mandi dan untuk cebok setelah buang air kecil dan besar belum dapat dilakukannya sendiri. Tidur juga masih berkumpul dengan ayahnya, meskipun kamar untuk anak sudah disiapkan. Padahal anak tersebut memiliki IQ di atas rata-rata dan menjadi juara I di kelas serta memiliki fisik yang sempurna. IH sungguh prihatin dengan keadaan ini, karena jika di rumah ada IH dan suaminya atau pembantu yang dapat membantu anak tersebut untuk melakukan aktivitas tersebut. Tetapi seringkali di sekolah, anak tersebut masih buang air kecil dan besar di celana karena dia merasa tidak bisa cebok sendiri. Tentunya hal ini mengganggu aktivitas belajar dan sering diolok-olok temannya. IH sering berusaha mengajarkan pada anak bagaimana mengurus diri sendiri, karena dilihat dari usianya seharusnya hal tersebut sudah dapat dilakukannya sendiri dan IH sering malu, bila ada saudara atau teman yang datang dan melihat bahwa mereka seolah-olah masih memiliki anak balita sementara tubuh anak tersebut sudah besar. IH juga memberi penjelasan dengan baik-baik pada anak tersebut, tetapi anak tersebut selalu menangis sehingga suaminya tidak tega dan mengatakan IH tidak berperasaan. IH sudah memberi penjelasan pada suaminya bahwa hal itu dilakukan demi kebaikan anak sendiri, karena tidak mungkin mereka dapat mendampinginya setiap saat, dan ada hal-hal yang seharusnya dapat dilakukan secara mandiri oleh anak tanpa ketergantungan pada orang lain. Hal ini pula yang menyebabkan beberapa kali pembantu mereka keluar, karena tidak tahan harus mengurus anak berumur 10 tahun yang seolah-olah masih berumur 2 tahun. Di hadapan ayahnya dia selalu bersikap seperti anak kecil, yang penurut dan perasa. Tetapi terhadap orang lain, seperti pembantu dan saudara lainnya anak ini sering bertingkah laku dan berucap kasar dengan nada membentak-bentak. Dan hal ini membuat keluarga baik dari pihak suami maupun IH sendiri, tidak ada yang suka dengan anak ini. Kalau melihat kakak atau teman dalam menghadapi anaknya dapat bersikap sedikit keras atau tegas, tetapi IH baru

bicara baik-baik, seolah-olah dia ini ibu tiri yang jahat (Rubrik Tanya Jawab http://assunnah.or.id) PEMBAHASAN Orangtua mana yang tidak mau melihat anaknya tumbuh menjadi anak yang mandiri. Tampaknya memang itulah salah satu tujuan yang ingin dicapai orangtua dalam mendidik anak-anaknya. Sikap mandiri sudah dapat dibiasakan sejak anak masih kecil, seperti memakai pakaian sendiri, menalikan sepatu dan bermacam pekerjaan kecil sehari-hari lainnya. Kedengarannya mudah, namun dalam prakteknya pembiasaan ini banyak hambatannya. Tidak jarang orangtua merasa tidak tega atau kurang sabar melihat anaknya yang berusaha menalikan sepatunya selama beberapa menit, namun belum juga memperlihatkan keberhasilan. Atau langsung memberi segudang nasehat, lengkap dengan cara pemecahan yang harus dilakukan, ketika anak selesai menceritakan pertengkarannya dengan teman sebangku. Memang masalah yang dihadapi anak sehari-hari dapat dengan mudah diatasi dengan adanya campur tangan orangtua. Namun cara ini tentunya tidak akan membantu anak untuk menjadi mandiri. Ia akan terbiasa "lari" kepada orangtua apabila menghadapi persoalan, dengan perkataan lain ia terbiasa tergantung pada orang lain, untuk hal-hal yang kecil sekalipun. A. Pengertian Anak Mandiri Pengertian anak mandiri adalah anak yang mampu memenuhi kebutuhannya, baik berupa kebutuhan naluri maupun kebutuhan fisik, oleh dirinya sendiri secara bertanggung jawab tanpa bergantung pada orang lain. Bertanggung jawab dalam hal ini berarti mengaitkan kebutuhannya dengan kebutuhan orang lain dalam lingkungannya yang sama-sama harus dipenuhi. Kemandirian sangat erat terkait dengan anak sebagai individu yang mempunyai konsep diri, penghargaan terhadap diri sendiri (self esteem), dan mengatur diri sendiri (self regulation). Anak memahami tuntutan lingkungan terhadap dirinya, dan menyesuaikan tingkah lakunya. Secara umum kemandirian bisa diukur melalui bagaimana anak bertingkah laku secara fisik. Namun, tidak hanya itu, kemandirian juga bisa berwujud pada perilaku emosional dan sosialnya. Contoh sederhana, anak usia 3-4 tahun yang sudah bisa menggunakan alat makan, seharusnya bisa makan sendiri, ini adalah bentuk kemandirian secara fisik. Anak yang bisa masuk ke kelas dengan nyaman karena mampu mengontrol
2

dirinya adalah bentuk kemandirian emosional. Contoh kemandirian sosial yaitu apabila anak mampu berhubungan dengan orang lain secara independen sebagai individu, dan tidak selalu hanya berinteraksi dengan orangtua atau pengasuhnya. Sebenarnya, sejak usia dini naluri setiap anak sudah menunjukkan perilaku dasar mandiri. Misalnya, pada saat masih bayi, mereka belajar untuk tengkurap, merangkak, berdiri, dan berjalan sendiri. Dalam masa itu mereka berusaha sekuat tenaga untuk bisa walaupun sering gagal dan menangis. Hal itu merupakan perilaku adaptif sesuai dengan usia anak untuk menjadi manusia yang mandiri. Hanya saja, sering kali lingkungan kurang tanggap dan kondusif terhadap proses menuju kemandirian ini sehingga anak mendapat perlakuan yang salah. Misalnya, acapkali orangtua merasa tidak tega atau kurang sabar melihat anaknya yang berusaha menautkan tali sepatunya selama beberapa saat, namun belum juga berhasil, lalu segera membantu menyelesaikan masalah tersebut. Tanpa disadari bahwa sikap semacam ini menghentikan proses menuju kemandirian yang sedang diperjuangkan sang anak. Akibatnya, anak akan terbiasa mencari orangtuanya apabila menghadapi persoalan, dan mulai tergantung pada orang lain, untuk hal-hal yang kecil sekalipun. Anak-anak yang tidak mandiri akan memberi pengaruh negatif terhadap perkembangan kepribadiannya sendiri. Apabila hal ini tidak segera diatasi, anak akan mengalami kesulitan pada perkembangan selanjutnya. Anak akan mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Terlebih, anak yang tidak mandiri juga akan menyusahkan orang lain. Anak-anak yang tidak mandiri cenderung tidak percaya diri dan tidak mampu mengambil keputusan dengan baik. Sedangkan bentuk ketergantungan kepada orang lain dapat berupa; misalnya mulai dari persiapan berangkat sekolah, ketika di lingkungan sekolah, mengerjakan pekerjaan rumah, sampai dalam pola belajarnya. Dalam persiapan berangkat sekolah, misalnya, anak selalu ingin dimandikan orang lain, dibantu berpakaian, minta disuapi, disiapkan buku dan peralatan sekolah oleh orang lain, termasuk harus selalu diantar ke sekolah. Ketika belajar di rumah, mereka mungkin mau, asalkan semua dilayani; misalnya anak akan menyuruh orang lain untuk mengambilkan pensil, buku, serutan dan sebagainya. Kemandirian anak usia dini berbeda dengan kemandirian remaja ataupun orang dewasa. Jika definisi mandiri untuk remaja dan orang dewasa adalah kemampuan seseorang untuk bertanggung jawab atas apa yang dilakukan tanpa membebani orang lain, sedangkan untuk anak usia dini adalah kemampuan yang disesuaikan dengan tugas perkembangan. Adapun
3

tugas-tugas perkembangan untuk anak usia dini adalah belajar berjalan, belajar makan, berlatih berbicara, koordinasi tubuh, kontak perasaan dengan lingkungan, pembentukan pengertian, dan belajar moral. Apabila seorang anak usia dini telah mampu melakukan tugas perkambangan, ia telah memenuhi syarat kemandirian. Tetapi, untuk membentuk kemandirian anak usia dini itu gampang-gampang susah. Hal ini tergantung dari orangtua anak dalam memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan psikologis anak. Tentu saja ini merupakan tugas orangtua untuk selalu mendampingi anaknya, sebab orangtua adalah lingkungan yang paling dekat dan bersentuhan langsung dengan anak. Peran orangtua atau lingkungan terhadap tumbuhnya kemandirian pada anak sejak usia dini merupakan suatu hal yang penting. Hal ini mengingat bahwa kemandirian pada anak tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Anak perlu dukungan, seperti sikap positif dari orangtua dan latihan-latihan ketrampilan menuju kemandiriannya. Semakin dini usia anak untuk berlatih mandiri dalam melakukan tugas-tugas perkembangannya, diharapkan nilai-nilai serta ketrampilan mandiri akan lebih mudah dikuasai dan dapat tertanam kuat dalam diri anak. Untuk menjadi pribadi mandiri, memang diperlukan suatu proses atau usaha yang dimulai dari melakukan tugas-tugas yang sederhana sampai akhirnya dapat menguasai ketrampilan-ketrampilan yang lebih kompleks atau lebih menantang, yang membutuhkan tingkat penguasaan motorik dan mental yang lebih tinggi. Dalam proses untuk membantu anak menjadi pribadi mandiri itulah diperlukan sikap bijaksana orangtua atau lingkungan agar anak dapat terus termotivasi dalam meningkatkan kemandiriannya. B. Kelebihan Anak Mandiri Jika anak tumbuh menjadi pribadi mandiri berarti anak tersebut memiliki sejumlah kelebihan, di antaranya:
1. Tidak perlu bergantung sepenuhnya pada orang lain hanya untuk melakukan kegiatan

fisik maupun pengambilan keputusan. Berarti, mampu menyelesaikan tugas sekaligus mengemban tanggung jawabnya tanpa mengandalkan bantuan orang lain.
2. Tidak mudah panik bila menghadapi situasi baru/berbeda sebab sudah terbiasa

mengerjakan segala sesuatunya sendiri.


3. Tumbuh menjadi individu kreatif karena banyak mencetuskan ide baru. 4. Tidak mudah frustrasi setiap kali mengalami benturan atau menemui kesulitan karena

senantiasa tertantang untuk mencoba memecahkan persoalannya sendiri.


4

5. Tumbuh menjadi pribadi yang disukai dalam pergaulan berkat kemandirian dan kematangan yang ditunjukkannya. Contohnya, mampu dengan cepat menyelesaikan tugas kelompok tanpa merecoki teman-teman anggota kelompoknya.
6. Rasa percaya dirinya berkembang optimal karena setiap kali berhasil menguasai

kemampuan tertentu, maka nilai positif dalam diri anak akan bertambah. Perlu diingat, pembentukan self esteem antara lain didapat melalui penguasaan keterampilan. Pribadi mandiri mampu mengembangkan apa yang menjadi nilai positif dalam dirinya. 7. Keterampilan motoriknya berkembang dengan baik mengingat anak terbiasa melakukan segala sesuatunya sendiri. Contoh sederhanya, ia terampil menulis karena terbiasa menggunakan jari-jarinya untuk mengerjakan tugasnya secara mandiri. C. Hal yang Perlu Dihindari untuk Kemandirian Anak Beberapa hal umum yang perlu dihindari agar proses menuju kemandirian anak dapat berlangsung sesuai yang diharapkan adalah: 1. Kekhawatiran yang berlebihan terhadap anak. Saat anak ingin memegang gelas, sendok, atau peralatan makan, sebenarnya sudah menjadi petunjuk gejala mandiri. Sayangnya, orangtua atau pengasuh kadangkala suka melarang anak melakukan hal tersebut. Banyak alasan atas larangan itu, misalnya, karena khawatir benda yang dipegang anak akan jatuh. Tanpa disadari, larangan itu justru menghambat kesempatan anak untuk belajar mandiri. 2. Overprotektif. Tidak sedikit orangtua yang takut bila anaknya yang berusia batita melakukan hal-hal tertentu. Saat anak ingin naik-turun tangga sendiri, kerap tidak diperbolehkan, bahkan langsung digendong. Akibatnya, anak menjadi penakut dan tak mampu mengontrol diri sendiri. Tidak ada salahnya memperbolehkan anak naik-turun tangga sendiri, tentunya dengan diawasi dan dijaga oleh orangtua maupun pengasuhnya. Setiap anak mampu mengukur, seberapa jauh ia dapat mengontrol diri sendiri. Saat berada di ketinggian tertentu, anak mempunyai insting dasar untuk bertahan dan tidak melompat. Biarkan anak melakukan hal yang diinginkannya, tetapi tetap harus diawasi.

3. Kasih sayang yang berlebihan. Apapun keinginan anak dipenuhi dan dilayani. Curahan kasih sayang dengan menjadikan anak sebagai tuan kecil dalam rumah merupakan penyebab anak menjadi tidak mandiri dan manja. Tetapi, tidak ada kata terlambat untuk melatih anak menjadi mandiri. Asalkan ada kesempatan bagi anak untuk menunjukkan perilaku mandirinya. Hanya saja, akan semakin sulit manakala usia anak makin bertambah karena sebelumnya anak selalu bergantung pada orangtua dan pengasuhnya. Anak akan menuntut untuk terus dilayani, diperhatikan, hingga akhirnya sulit diubah. D. Penyebab Anak Tidak Mandiri Terdapat beberapa penyebab anak tidak dapat hidup secara mandiri, antara lain:
1. Penguatan oleh orangtua

a. Anak belajar memanipulasi orang dewasa dengan bertingkah laku seperti bayi, tidak mandiri, mencari perhatian, lucu, bersembunyi dan lari. Tingkah laku seperti bayi tersebut seringkali berhasil menarik perhatian orang dewasa.
b. Ada orangtua yang secara tidak sadar menghendaki anak mereka "tidak tumbuh".

Mereka menginginkan anak mereka tetap kekanak-kanakan dan bergantung pada mereka. Kondisi ini mengakibatkan orangtua mempertahankan ketidakmandirian anak.
c. Beberapa orangtua terlalu melindungi anak dengan cinta yang terlalu berlebihan.

Mereka tidak membiarkan anak mereka terpisah terlalu jauh karena beranggapan lingkungan luar sangat buruk.
2. Rasa bersalah

Ada orangtua yang membiarkan anak merengek karena di bawah kesadarannya orangtua memiliki rasa bersalah, misalnya karena, tidak cukup mencintai anak atau sering berpisah dengan anak atau karena anak sakit/cacat.
3. Orangtua yang permisif

Jika orangtua ragu memberikan batasan dan bertindak tegas, maka anak akan terus menerus merengek dan memaksa sampai orangtua menyerah dan memenuhi tuntutan anak. Orangtua seperti ini sering merasa ketakutan anak tidak menyukai mereka jika mereka terlalu keras.

4. Mencari perhatian atau menunjukkan kekuatan a. Ada anak yang merengek atau menangis untuk memperoleh perhatian orangtua. b. Anak yang merasa dikontrol berlebihan oleh orangtua juga akan menggunakan

cara itu sebagai balasan dan perlawanan terhadap orangtua mereka. c. Anak egois melihat orang lain hanya dalam konteks bagaimana mereka dapat memanfaatkannya. Karena terpaku pada kepentingan dirinya, anak egois akan menjadi mudah marah pada hal kecil yang dianggap tidak adil. 5. Merasa kurang Anak yang merasa diabaikan atau merasa kekurangan (karena cacat, miskin dsb), hidup dalam perasaan iri terhadap kebebasan atau kesenangan anak lain. Anak-anak tersebut mengeluh, merengek dan memperlihatkan toleransi yang rendah terhadap frustrasi. Penangkal bagi anak ini adalah dengan memberikan perhatian khusus dari orangtua, misalnya orangtua menyediakan waktu hanya berduaan dengan anaknya. E. Tugas-Tugas Sederhana yang Dapat Dilatih pada Anak 1. Mengenakan baju. Memasuki usia 4 tahun, anak sudah mampu memakai baju sendiri. Bila mengenakan kaus, ia pun sudah dapat membedakan mana bagian depan dan mana bagian belakang, sehingga tidak lagi terbolak-balik. Bahkan, ia mulai terampil mengancingkan kemejanya.
2. Mengenakan sepatu.

Awalnya, pilihkan sepatu berperekat. Selanjutnya bimbing ia agar mampu mengenakan sepatu bertali sederhana. Proses mengikatkan tali sepatu sekaligus merupakan ajang latihan bagi kemampuan motorik halusnya. 3. Makan. Memasuki usia 4 tahun anak mampu makan sendiri dan menggunakan peralatan makan dengan benar. Seyogyanya ia juga sudah paham mengenai disiplin waktu makan sekaligus apa saja aturan di meja makan. Contohnya, tidak boleh menghambur-hamburkan makanan, mengunyah sambil mengeluarkan bebunyian, duduk bermalas-malasan, makan di sembarang tempat atau sambil berjalan-jalan seenaknya. Selain itu, anak juga mestinya sudah mampu mengambil makanan untuk dirinya saat di meja makan. Seiring bertambahnya usia, tingkatkan keterampilannya dengan memberi pengetahuan tentang kebiasaan makan sesuai adat di keluarga besar.
7

Misalnya saja, kebiasaan makan tanpa menggunakan alat atau langsung dengan tangan. Orangtua tak ada salahnya mengajarkan kebiasaan itu. Dengan mendapat pengetahuan dan kepercayaan untuk melakukannya, ini akan menumbuhkan rasa percaya diri anak. Hasilnya, kelak ia bakal mampu menyesuaikan diri dengan etiket makan di manapun. 4. Aktivitas di kamar mandi. Mandi, buang air besar, buang air kecil dan membersihkan sesudahnya adalah aktivitas bantu diri di kamar mandi yang sudah dapat dilakukan anak usia prasekolah. Sebelumnya, anak sudah dapat dilatih untuk bisa mencuci muka dan tangannya. Namun dengan alasan kebersihan, tak ada salahnya orangtua sesekali mengontrol cara mandi dan membersihkan diri anak. Khusus untuk anak perempuan, ingatkan untuk membasuh kemaluannya dari arah depan ke belakang dan bukan sebaliknya, terutama setelah buang air besar. Jangan lupa, jelaskan alasannya dengan bahasa sederhana, yakni agar kotoran dan kuman yang mungkin tertinggal di anus tidak terbawa ke vagina. Tahapan berikutnya, bimbing juga anak untuk mengeringkan alat kelaminnya dengan tisu atau handuk kecil yang bersih agar tidak lembap. Jika sudah, bimbing ia untuk mengenakan kembali celananya dan merapikan penampilannya. Saat memakai celana, mintalah anak untuk berpegangan pada dinding kamar mandi agar tidak terjatuh akibat ketidakseimbangan tubuhnya. F. Terlambat Memandirikan Anak Bila keterampilan bantu diri ini belum dikuasai di usia prasekolah, sebaiknya orangtua segera mengubah sikap. Mungkin karena selama ini anak tidak diberi kesempatan untuk melatih dirinya. Jadi, segera ciptakan tugas-tugas sederhana dan bimbinglah dia saat melakukan tugasnya. Sangat mungkin proses belajar bantu diri yang baru dimulai di usia ini makan waktu lebih lama. Apalagi jika anak sudah terbiasa mendapat pelayanan penuh dari orangtua, pembantu atau pengasuh, karena motivasi anak harus dibangun lebih dulu. Namun, berbekal kemauan dan kesabaran, cara-cara membantu diri dapat diajarkan. Lakukan secara perlahan dan bertahap dari aktivitas yang paling mudah, seperti menaruh piring di tempat cucian, sampai yang kompleks seperti mandi sendiri. Sertakan pula contoh di setiap latihan agar motivasinya tumbuh dan anak benar-benar memahaminya sebelum masuk ke langkah berikut.

Kuncinya, lebih baik terlambat daripada tidak. Tanpa keterampilan bantu diri, anak akan mengalami banyak hambatan. Beberapa hal yang dapat diterapkan untuk melatih anak menjadi mandiri, antara lain : 1. Tumbuhkan rasa percaya diri. Rasa percaya diri memegang peranan penting. Rasa itu dapat tumbuh jika anak diberi kepercayaan untuk melakukan hal yang mampu dia kerjakan sendiri. Misalnya, saat bayi sudah bisa memegang botol sendiri, bantu dia supaya benar-benar bisa melakukan. 2. Pahami risiko anak belajar. Jangan takut rumah kotor. Itu risiko yang harus dihadapi saat anak belajar makan atau berjalan. Plastik besar yang diletakkan di bawah meja makan dapat memudahkan Anda saat akan melakukan pembersihan. 3. Beri kepercayaan. Hal terbesar yang dapat menghambat rasa percaya diri pada anak adalah kekhawatiran dan ketakutan orang tua. Perasaan takut dan khawatir sering kali membuat orang tua mengerjakan pekerjaan anak yang sebenarnya bisa mereka lakukan sendiri. Jika menginginkan anak Anda mandiri maka konsekuensinya harus benar-benar member kepercayaan. Tentu saja, semuanya sesuai dengan ukuran usia. 4. Komunikasi terbuka. Sediakan waktu untuk berkomunikasi secara terbuka. Bila anak Anda tertutup, pancing dengan pertanyaan ringan tentang kegiatannya hari itu. Jangan langsung melarang bila Anda tidak setuju dengan kegiatannya. Tanyakan dulu apa alas an si anak. Kalau buah hati bertanya tentang suatu hal, beri penjelasan yang mudah dimengerti. 5. Kebiasaan. Salah satu peranan orang tua dalam kehidupan sehari-hari adalah membentuk kebiasaan. Kalau anak sudah terbiasa dimanja dan selalu dilayani, dia akan menjadi anak yang selalu tergantung kepada orang lain. 6. Disiplin. Kemandirian berkaitan erat dengan disiplin. Sebelum seorang anak dapat mendisiplinkan dirinya sendiri, dia terlebih dahulu harus didisiplinkan oleh orang tuanya. Syarat utama dalam hal ini adalah pengawasan dan bimbingan yang konsisten dan konsekuen. Jika Anda bekerja, yakini betul bahwa pengasuh anak konsisten dan terampil dalam memberlakukan disiplin belajar yang Anda terapkan.

7. Beri kesempatan memilih Anak yang terbiasa berhadapan dengan situasi atau hal-hal yang sudah ditentukan oleh orang lain, akan malas untuk melakukan pilihan sendiri. Sebaliknya bila ia terbiasa dihadapkan pada beberapa pilihan, ia akan terlatih untuk membuat keputusan sendiri bagi dirinya. Misalnya, sebelum menentukan menu di hari itu, ibu memberi beberapa alternatif masakan yang dapat dipilih anak untuk makan siangnya. Demikian pula dalam memilih pakaian yang akan dipakai untuk pergi ke pesta ulang tahun temannya, misalnya. Kebiasaan untuk membuat keputusan - keputusan sendiri dalam lingkup kecil sejak dini akan memudahkan untuk kelak menentukan serta memutuskan sendiri hal-hal dalam kehidupannya. 8. Hargailah usahanya Hargailah sekecil apapun usaha yang diperlihatkan anak untuk mengatasi sendiri kesulitan yang ia hadapi. Orangtua biasanya tidak sabar menghadapi anak yang membutuhkan waktu lama untuk membuka sendiri kaleng permennya. Terutama bila saat itu ibu sedang sibuk di dapur, misalnya. Untuk itu sebaiknya orangtua memberi kesempatan padanya untuk mencoba dan tidak langsung turun tangan untuk membantu membukakannya. Jelaskan juga padanya bahwa untuk membuka kaleng akan lebih mudah kalau menggunakan ujung sendok, misalnya. Kesempatan yang anda berikan ini akan dirasakan anak sebagai penghargaan atas usahanya, sehingga akan mendorongnya untuk melakukan sendiri hal-hal kecil seperti itu. 9. Hindari banyak bertanya Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan orangtua, yang sebenarnya dimaksudkan untuk menunjukkan perhatian pada si anak, dapat diartikan sebagai sikap yang terlalu banyak mau tahu. Karena itu hindari kesan cerewet. Misalnya, anak yang baru kembali dari sekolah, akan kesal bila diserang dengan pertanyaan - pertanyaan seperti, "Belajar apa saja di sekolah?", dan "Kenapa seragamnya kotor? Pasti kamu berkelahi lagi di sekolah!" dan seterusnya. Sebaliknya, anak akan senang dan merasa diterima apabila disambut dengan kalimat pendek : "Halo anak ibu sudah pulang sekolah!" Sehingga kalaupun ada hal-hal yang ingin ia ceritakan, dengan sendirinya anak akan menceritakan pada orangtua, tanpa harus di dorong-dorong.

10

10. Jangan langsung menjawab pertanyaan Meskipun salah tugas orangtua adalah memberi informasi serta pengetahuan yang benar kepada anak, namun sebaiknya orang tua tidak langsung menjawab pertanyaanpertanyaan yang diajukan. Sebaliknya, berikan kesempatan padanya untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dan tugas Andalah untuk mengkoreksinya apabila salah menjawab atau memberi penghargaan kalau ia benar. Kesempatan ini akan melatihnya untuk mencari alternatif-alternatif dari suatu pemecahan masalah. Misalnya, "Bu, kenapa sih, kita harus mandi dua kali sehari? " Biarkan anak memberi beberapa jawaban sesuai dengan apa yang ia ketahui. Dengan demikian pun anak terlatih untuk tidak begitu saja menerima jawaban orangtua, yang akan diterima mereka sebagai satu jawaban yang baku. 11. Dorong untuk melihat alternatif Sebaiknya anak pun tahu bahwa untuk mengatasi suatu masalah, orangtua bukanlah satusatunya tempat untuk bertanya. Masih banyak sumber-sumber lain di luar rumah yang dapat membantu untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Untuk itu, cara yang dapat dilakukan orangtua adalah dengan memberitahu sumber lain yang tepat untuk dimintakan tolong, untuk mengatasi suatu masalah tertentu. Dengan demikian anak tidak akan hanya tergantung pada orangtua, yang bukan tidak mungkin kelak justru akan menyulitkan dirinya sendiri . Misalnya, ketika si anak datang pada orangtua dan mengeluh bahwa sepedanya mengeluarkan bunyi bila dikendarai. Anda dapat memberi jawaban : "Coba,ya, nanti kita periksa ke bengkel sepeda." 12. Jangan patahkan semangatnya Tak jarang orangtua ingin menghindarkan anak dari rasa kecewa dengan mengatakan "mustahil" terhadap apa yang sedang diupayakan anak. Sebenarnya apabila anak sudah mau memperlihatkan keinginan untuk mandiri, dorong ia untuk terus melakukanya. Jangan sekali-kali anda membuatnya kehilangan motivasi atau harapannya mengenai sesuatu yang ingin dicapainya. Jika anak minta ijin Anda, "Bu, Andi mau pulang sekolah ikut mobil antar jemput, bolehkan? " Tindakan untuk menjawab : "Wah, kalau Andi mau naik mobil antar jemput, kan Andi harus bangun pagi dan sampai di rumah lebih siang. Lebih baik tidak usah deh, ya" seperti itu tentunya akan membuat anak kehilangan motivasi untuk mandiri. Sebaliknya ibu berkata "Andi mau naik mobil antar jemput? Wah, kedengarannya menyenangkan, ya. Coba Andi ceritakan pada ibu kenapa andi mau naik mobil antar jemput." Dengan cara ini, paling tidak anak mengetahui bahwa orangtua

11

sebenarnya mendukung untuk bersikap mandiri. Meskipun akhirnya, dengan alasanalasan yang Anda ajukan, keinginannya tersebut belum dapat di penuhi. PENYELESAIAN KASUS : Posisi sebagai ibu tiri memang agak sensitif ketika harus melakukan perbaikan atas perilaku anak padahal anak maupun orangtua kandungnya sendiri tidak menganggapnya sebagai masalah. Dalam hal ini memang akan dibutuhkan kesabaran dan kehati-hatian dalam berbuat sehingga tindakan ibu tidak menimbulkan perselisihan yang membuat ibu justru jadi mendapat cap yang tidak enak dari anggota keluarga. Anak umur 10 tahun belum mampu membersihkan diri sendiri memang merupakan masalah. Hal tersebut menunjukkan perkembangan kematangan dan kemandirian yang lambat. Apalagi masalahnya bukan dari segi kecerdasannya tapi karena pola asuh yang membuatnya tidak dapat berperilaku mandiri. Ketidakmandirian anak ini jika tidak mengalami perubahan dalam pola pendidikannya maka beresiko membahayakan perkembangan emosinya dan kemampuannya memiliki keterampilan hidup ketika dewasa. Padahal penelitian membuktikan bahwa kebahagiaan dan kesuksesan hidup bukan dipengaruhi semata karena kecerdasan intelektual tapi dipengaruhi oleh kecerdasan emosi. Namun merubah perilaku anak dibutuhkan lingkungan yang konsisten, terutama dari kedua orang tuanya. Oleh karena itu, sebaiknya sebelum merubah perilaku anak maka maka hal pertama yang harus dilakukan adalah mendapat dukungan dari suami. Awalnya, harus membuka kesadaran suami untuk dapat melihat anaknya dari sudut pandang ibu. Dalam hal ini ibu juga perlu memahami suami. Cinta suami yang berlebihan sehingga memanjakan anak mungkin juga disebabkan oleh perasaan bersalahnya atas kegagalan rumah tangga sebelumnya. Hal ini memang cenderung terjadi pada orangtua yang pernah mengalami kegagalan dalam rumah tangga, demi mengatasi rasa bersalahnya pada anak maka tanpa disadari mereka memberikan cinta yang berlebihan kepada anaknya dengan cara yang salah. Maka, perlihatkan kepada suami akan resiko dari pola asuhnya pada anaknya saat ini. Mungkin dengan cara memberikan artikel, bacaan atau contoh nyata dari anak yang tidak mandiri atau terlalu dimanja. Bahkan mungkin dapat mendengarkan langsung pendapat ahli dengan mengajak berkonsultasi kepada psikolog anak.

12

Sumber : Jurnal Medan. (2011). Memandirikan Anak. Disadur dari Balitaanda.com 10 April 2011 Jurnal Medan. (2011). Tantangan Hidup Membuat Anak Mandiri. Disadur dari Perkembangananak.com 10 April 2011 Widiati, Yeti. (2002). Ringkasan dan Terjemahan dari Buku "How to Help Children with Common Problems" berjudul Penyebab Anak Tidak Mandiri. Diunduh dari http://groups.yahoo.com 2 Mei 2011 W, Rr.Anita. (2005). Anak Belum Dapat Mandiri. Diunduh dari http://assunnah.or.id 2 Mei 2011 Hermawan, Sani B. (2010). Bagaimana Supaya Anak Balita Mampu Mandiri. Diunduh dari http://keluargasehat.wordpress.com 2 Mei 2011 SD 2 YPK BONTANG KALTIM. (2008). Mendidik Anak Mandiri. Diunduh dari http://www.sd2ypkbontang.sch.id 2 Mei 2011 Simanjuntak, Lisbet. (2009). Menanamkan Kemandirian Pada Anak Sejak Usia Dini. Diunduh dari http://bpplsp-reg-1.go.id 2 Mei 2011

13

Anda mungkin juga menyukai