Anda di halaman 1dari 7

Bioskop, Konsumsi, Siasat Muhammad Zamzam Fauzanafi Mahasiswa Angkatan I Kelas Riset Audiens Rumah Sinema -Siasat adalah

seni orang lemahMichel de Certeau Pada Awalnya Adalah Hidup Di Indonesia tempat pertunjukan film disebut Bioskop. Kata bioskop berasal dari bahasa Inggris bioscope (bios dari bahasa Yunani, berarti hidup) karena gerak dari gambar yang dipertunjukannya terlihat seperti hidup (Mc.Luhan, 1965:284). Bioskop pertama di Indonesia diselenggrakan pada tahun 1900 di sebuah rumah di Tanah Abang Kebondjae (Menage), Batavia (Jakarta). Meskipun sebelumnya masyarakat Batavia sudah mengenal apa yang disebut pertunjukan gambar idoep, yaitu berupa pertunjukan rangkaian foto, akan tetapi pertunjukan gambar idoep di Kebondjae tersebut benarbenar bergerak dan hidup. Oleh karena itu muncul anggapan bahwa pertunjukan film di bioskop, karena ia begitu hidup, mampu menggerakkan orang untuk berfantasi, atau bahkan bergerak merespon apa yang ia tonton. Pada pertunjukan bioskop pertama di dunia, tahun 1985 di Grand Caf Boulevard de Capucines Paris, dikisahkan bahwa banyak penonton yang pingsan, menjerit, dan mencoba menghindar dari terjangan kereta atau banjir yang seolah keluar dari layar. Namun ternyata kisah yang selalu diulang-ulang itu hanyalah upaya para jurnalis untuk mendramatisasi kondisi para penonton dalam hubungannya dengan kemunculan sebuah media baru, yaitu film (Branston, 2000:21). Kehebohan yang terjadi pada pertunjukan bioskop pertama kali tersebut terbukti hanya mitos sebab sebuah reportase memberitakan bahwa pada saat pertunjukan yang diadakan oleh Lumiere bersaudara itu, Sebagaimana lazimnya orang-orang yang berjejer dalam sebuah warung (caf), saya sulit untuk bergeser tempat duduk saya sambil memikirkan kecelakaan kereta api... (Christie, 1994:15 via Branston, 2000:21). Meskipun kisah tentang pertunjukan film pertama yang mempunyai kekuatan dahsyat untuk menggerakkan penontonnya terlalu dibesar-besarkan, namun kemunculan bioskop dan pertunjukan film di dalamnya tetap dianggap sebagai sebuah gerak maju dunia teknologi dan media. Oleh karena itu kemunculan dan perkembangan bioskop di Indonesia (Hindia) berkaitan erat dengan politik kolonial pada awal abad 20, yang disebut Zaman Etis. Semboyan dari zaman baru ini adalah kemajuan lewat ungkapan-ungkapan vooruitgang, opheffing (kemajuan), ontwikkeling (perkembangan), opvoeding (pendidikan) yang dijejerkan bersama kata-kata bervoedering van welvaart (memajukan kesejahteraan). Dengan kata lain, semangat zaman etis, adalah semangat kemajuan menuju modernitas seperti yang dipahami sebagai gerak menuju peradaban Barat (Shiraishi, 1997:35). Modernitas bukanlah konsep yang sederhana atau sekedar periodisasi. Ia begitu licin. Namun, apabila kita menempatkan istilah itu hanya dalam periodisasi dan mencoba melacaknya ke belakang, ia mengacu pada transformasi sosial, ekonomi, dan

kebudayaan, yang muncul dari revolusi politik di Prancis dan Amerika, dan revolusi industri di Eropa di akhir abad ke delapan belas. Modern(isme)itas dihubungkan pula dengan ambisi dan gerakan para intelektual rasionalis yang kemudian dikenal, dengan segala kontradiksinya, sebagai pencerahan. Lebih luas dari itu, selayaknya sebuah gerak perubahan, modernitas mewujud dalam kemunculan media massa, pencarian pada masa depan yang lebih demokratis yang berbeda dengan stabilitas feodal di masa lalu. Pencerahan kemudian memberi penekanan pada konsep tentang kemajuan, produktivitas, dan individualisme yang tidak lepas dari perkembangan kapitalisme. Namun di akhir abad 1990-an, dalam sebuah gerak yang ingin menghubungkan publik, yang memberi penekanan pada rasionalitas pencerahan, dengan kesenangan dari praktik konsumsi yang bersifat privat, terjadi penekanan pada modernitas fundamental, yaitu budaya konsumsi (Branston, 2000:3-4). Dunia produksi, yang berasal dari pendekatan Marxis, sedang dan telah diimajiulangkan. Menjadi seorang individu yang rasional dan berpikiran bebas berarti belajar berada dalam pengalaman berangkat bekerja dan pulang ke rumah dalam balutan mode perkotaan dan menuju ke aktivitas penuh kesenangan yang terkomersialisasi. Salah satu aktivitas penuh kesenangan itu adalah menonton film di bioskop (Slater, 1997:24 via Branston, 2000:4). Berikutnya adalah Konsumsi Selama ini, jumlah produksi dan pendanaan film memang seringkali dijadikan ukuran gerak maju dunia perbioskopan, namun yang tak kalah penting adalah kemajuan dalam praktik-praktik pertunjukan dan konsumsi film di bioskop. Bila Hollywood dijadikan sebagai titik acuan kemajuan perfilman dunia, acuan itu tidak hanya menyangkut pendanaan dan produksi film besar-besaran di studio-studio modern, akan tetapi meliputi praktik-praktik pertunjukan film. Terutama dengan kehadiran Picture Palace di tahun 1920-an sebagai tempat untuk pamer dan berlagak. Picture Palace yang berada di lokasi dengan populasi penduduk sekitar 100.000 jiwa lebih dirancang untuk mengakomodasi 1.500 orang dengan bangunannya yang mentereng, dilengkapi dengan orkestra yang terdiri dari 100 orang pemain di sebuah ruangan luas dengan ribuan bola lampu dalam tiga warna yang berbeda. Sehingga pertunjukan film bisu dengan live-music bisa dimeriahkan dengan motif cahaya yang bisa berganti. Para pengunjung juga bisa mengunakan ruang istirahat yang nyaman dengan lukisan dan kaca-kaca, ruang untuk merokok dan barisan pelayan, AC yang menyejukkan, dan tentu saja ruang pertunjukan yang gelap yang menjamin privacy. Tempat penuh impian ini juga memperoleh keuntungan dari produk-produk tambahan. Penonton dimanjakan dengan makanan, pertama-tama permen, lalu popcorn yang begitu populer di tahun 1930-an. Bioskop telah membuat popcorn (yang dicampur garam Mortons yang menciptakan rasa haus) dan Coca-Cola (sebagai penawarnya) menjadi ritual penting dalam menonton film di bioskop (Barnston, 2000:152-153). Sementara itu, di Jakarta pada tahun 1951 diresmikan bioskop Metropole yang berkapasitas 1.700 tempat duduk, berteknologi ventilasi blower & exhanster, bertingkat tiga dengan ruang dansa dan kolam renang di lantai paling atas (Antariksa, 2003:28). Pada tahun 1955, bioskop Indra di Yogyakarta mulai mengembangkan kompleks bioskopnya dengan toko dan restoran. Di Indonesia, awal masa Orde Baru dianggap sebagai masa yang menawarkan kemajuan di dunia perbioskopan, baik dari segi jumlah produksi film nasional ataupun

bentuk dan fasilitas konsumsi pertunjukan Bioskop. Kemajuan ini mencapai puncaknya pada tahun 1990-an. Pada tahun itu produksi film nasional sebanyak 112 judul. Sementara sejak tahun 1987 bioskop dengan konsep sinepleks, yaitu gedung bioskop dengan lebih dari satu layar, semakin marak (KOMPAS, 21/6/1998, hlm. 3). Sineplekssinepleks ini biasanya berada di kompleks pertokoan, pusat perbelanjaan atau mal yang selalu menjadi tempat nongkrong anak-anak muda dan kiblat konsumsi terkini masyarakat perkotaan. Di sekitar sineplekk-sinepleks itu tersedia swalayan, restoran fastfood, game-center, dll. Sinepleks tidak hanya menjamur di kota besar, tetapi juga menerobos masuk sampai kota kecamatan sebagai akibat dari era baru kebijakan pemerintah yang memberikan tax holiday dengan cara pengembalian pajak tontonan kepada bioskop depan. Akibatnya pada tahun 1990 bioskop di Indonesia mencapai puncak kejayaan dengan jumlah layar 3.048 buah, sementara sebelumnya, pada tahun 1987, di seluruh Indonesia baru ada 2.306 layar (ibid.). Persoalan kenikmatan mengkonsumi bioskop ini, tentu saja, harus berhadapan dengan aspek-apek kelas dan gender. Bioskop adalah salah satu dari sedikit institusi yang menawarkan kenyamanan, keamanan, dan kehormatan pada para pekerja rendahan. Selain itu, kesenangan konsumsi ini juga memiliki dimensi etnik dan ras. Pada awal kemunculan bioskop di Indonesia (Hindia), dikenal kelas-kelas dalam pertunjukan bioskop. Kelas 1 dan kelas 2 biasa diperuntukkan bagi orang Eropa, Tionghoa, dan India. Sementara kelas 3, yang kemudian disebut kelas kambing diperuntukkan bagi orang Islam dan pribumi. Perhatian kita pada praktik konsumi film beserta seluruh kesenangan yang ditawarkan oleh bioskop secara tidak langsung adalah koreksi terhadap pendekatan tekstual. Bagaimanapun penonton tidak semata-mata digerakkan oleh teks, akan tetapi juga oleh kecenderungan untuk menikmati film sebagai bagian dari keseluruhan seting tempat film itu diputar yang terkait dengan kesenangan, juga gangguan. Dalam hal ini praktik menonton film memiliki hubungan erat dengan komoditas modern, aktivitas, dan struktur kebudayaan yang lain (Barnston, 2000:154). Kondisi pemutaran film yang berbeda-beda ikut mengubah film di hadapan penonton. Citra-citra yang ditampilkan lewat film tidak lagi dalam kontrol si produsen film, akan tetapi dikontrol oleh kondisi fisik, sumber daya, dan komitmen si pemutar film, dalam hal ini pengelola bioskop. Memang dalam kenyataan sehari-hari, produksi sebagai suatu aktivitas yang terasionalisasi, ekspansionis, tersentralisasi, dan spektakular sering dikonfrontasikan dengan bentuk produksi yang berbeda, yaitu konsumsi. Konsumsi dicirikan dengan tipu-daya, fragmentasi, pelanggaran, sifat-sifat klandestin, aktivitas yang tenang tapi tak mengenal lelah, yang tidak bisa kita temukan dalam produk yang dikonsumsi, tetapi dalam seni atau cara memakai produk-produk itu (De Certeau, 1984:31). Saat ini, ketika produk dan komoditas lain, sepeti televisi, VCD, DVD, atau home theater menawarkan bentuk kenikmatan baru (privacy yang lebih terjamin, efektif, murah, dll.) dalam menonton film, bioskop kehilangan daya tariknya. Banyak bioskop harus menggulung layarnya, terutama bioskop-bioskop kelas dua (dan, tentu saja, kelas tiga) yang berada di luar jaringan monopoli distribusi film. Bioskop-bioskop yang biasanya sudah usang ini terpaksa hanya bisa memutar film-film usang juga. Namun demikian, bioskop-bioskop kelas dua seperti ini masih ada yang bertahan. Bagaimana mereka bisa bertahan, dan bagaimana praktik konsumsi penontonnya, kesenangan seperti

apa yang bisa diraih dari bioskop-bioskop semacam ini? Ikutilah kisah berikut ... Kisah Sebuah Bioskop Kelas Dua di Yogyakarta #Bagian Pertama: Hidup-Mati Bioskop di Yogyakarta Pada masa awal berdirinya, sekitar tahun 1946, bioskop ini dianggap sebagai salah satu bioskop kelas satu di Yogyakarta. Sebagai bioskop kelas satu, ia jarang memutar film-film Indonesia yang kurang mendatangkan keuntungan. Selain itu bioskop ini dianggap mewah karena memiliki ruang yang lapang sehingga penonton tidak saling berhimpitan, memiliki blower dan exhanster, meskipun belum memiliki lampu gedung yang bisa diatur perpindahan gelap terangnya (Antariksa, 2003: 25, 30). Sekitar akhir tahun 1980-an, seiring dengan kejayaan industri bioskop nasional, di Yogyakarta muncul bioskop-bioskop yang lebih mewah, beberapa bioskop berkibar di bawah bendera (monopoli) 21 dan menggunakan konsep sinepleks. Bioskop ini kemudian turun menjadi bioskop kelas dua, yang lebih sering memutar film Indonesia yang disebutsebut termasuk ke dalam kategori film panas. Sebenarnya tidak ada yang benar-benar panas di dalam gedung bioskop itu, selain memang ruangannya terasa panas karena tidak ada AC yang terpasang. Kursi dari kayu jati dengan alas duduk rotan yang menjadi ukuran kemewahan pada masa-masa sebelumnya, kalah dengan kursi empuk berlapis kulit atau kain yang bebas dari gigitan bangsat (kutu) dan serudukan tikus. Namun ketika pada akhir tahun 1998 banyak bioskop tidak lagi beroperasi karena ditinggal penonton, terbakar (Empire 21 dan Regent 21 di Yogyakarta), atau dibakar saat terjadi kerusuhan (seperti pada Peristiwa 14 Mei 1998 di Jakarta dan Solo menelan korban sekitar 30 layar bioskop), bioskop ini masih bertahan hingga sekarang. Jika pada tahun 1994 layar bioskop yang beroperasi di Indonesia masih 2.292 buah dengan sekitar 350 layar di antaranya masuk grup bendera 21, maka pada 1998 yang beroperasi tinggal 1.143 layar (D. Marjono, KOMPAS, 21/6/1998, hlm. 3). Sementara itu, di Yogyakarta dari sekitar 20 layar, kini hanya beroperasi 3 layar saja. Salah satunya adalah bioskop ini. #Bagian Kedua: Siasat Sang Pengelola Bioskop Bila pejabat (tamu) pemerintah lewat, atau selama bulan puasa, bioskop yang terlihat kotor dan renta ini tidak memasang gambar-gambar atau poster-posternya yang dianggap panas. Namun demikian, pengunjung bioskop itu tidak pernah benar-benar sepi. Setiap hari rata-rata 20 orang datang dan membeli tiket seharga Rp 2.500. Untuk bioskop dengan kapasitas 300 tempat duduk, jumlah itu tidak bisa dikatakan banyak. Hanya cukup buat menggaji karyawan! kata si pengelola bioskop ketika ditanya berapa rata-rata uang yang didapat dalam setiap kali pemutaran. Untuk bertahan hidup, bioskop ini biasanya memutar kembali film-film panas lama buatan Indonesia, Hongkong (Cina), film-film Hollywood yang sudah usang, atau film-film panas baru dan murah buatan studio-studio kelas dua dari Korea. Untuk menarik perhatian penonton bioskop, kadang-kadang pengelola bioskop membuat sedikit tipuan. Mereka mendaur-ulang poster-poster lama, ditambah guntingan-guntingan gambar artis seksi dari majalah atau kalender, menjadi poster baru yang lebih menampilkan gambar-gambar panas. Kadang-kadang mereka menempelkan gambar artis terkenal dengan bikini atau pakaian seksi pada poster itu, padahal artis tersebut tidak

pernah muncul di film yang akan diputar. Bahkan mereka mengaku pernah mengganti judul filmnya dengan judul yang dianggap lebih panas. Namun, yang paling menarik, kadang mereka menutup gambar si artis tepat di bagian-bagian sensitif (misalkan dada) dengan kertas atau spidol hitam, untuk menampilkan kesan bahwa dalam poster tersebut si artis tersebut benar-benar telanjang sehingga perlu disensor. Padahal, bila kertas penutup itu dibuka, si artis sama sekali tidak telanjang. Si pengelola bioskop rupanya ingin mencoba sedikit bermain gestalt untuk mempermainkan persepi penonton. Di India, siasat yang hampir serupa dilakukan oleh distributor dan bioskop yang termasuk ke dalam kategori Sirkuit-B. Secara kualitatif, Sirkuit-B adalah final frontier dari industri film, selepas mereka tidak ada lagi pasar di sana. Film menyentuh segmen ini setelah perputaran di lingkaran distribusi dan bioskop yang lebih menguntungkan benar-benar selesai. Secara geografis distributor dan bioskop Sirkuit-B hanya berada di kota-kota kecil dengan harga tiket yang murah (Srinivas, 2003). Sirkuit B, atau bioskop kelas 2 (kelas tiga?), adalah label untuk segmen distribusi dan bioskop yang dicirikan dengan investasi tingkat rendah. Selain itu, dalam segmen ini terjadi intervensi yang berulang-ulang dari pihak distributor atau bioskop yang menghasilkan de-standarisasi status film sebagai produk industri (ibid.). Suatu saat sang pengelola bioskop kelas dua ini tergoda pula dengan kesuksesan pemutaran film Ada Apa Dengan Cinta? (AADC) di bioskop-bioskop kelas satu. Setengah nekat, mereka mencoba memotong jalur distribusi dengan langsung mendatangi sang produser film AADC. Namun ia pulang dengan tangan hampa karena harus membeli film itu dengan harga ratusan juta. Sebuah harga yang sangat sulit mereka penuhi. Harusnya Mira Lesmana peduli juga dengan bioskop-bioskop kecil seperti kita kata sang pengelola. #Bagian 3: Apa yang Dikonsumsi Penonton? Penonton bioskop ini sebagian besar adalah laki-laki. Kalaupun ada perempuan, biasanya ia berpasangan dengan laki-laki (rata-rata pasangan itu bukan pasangan remaja). Jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah terlihat, seorang atau sekelompok perempuan mengunjungi bioskop ini. Bila loket mulai dibuka, para penonton itu biasanya langsung berebut membeli tiket. Dengan jumlah penonton yang tidak terlalu banyak, mereka tentu tidak akan kehabisan tiket. Namun, entah kenapa sepertinya mereka ingin cepat-cepat masuk ke dalam ruang pertunjukan yang tidak bisa dikatakan nyaman itu. 3 buah kipas angin yang menempel di langit-langit penuh sarang laba-laba, tentu tidak bisa mengusir udara panas di dalam gedung bioskop. Kepulan asap rokok semakin membuat napas terasa sesak. Belum lagi kursi yang terasa gatal dan keras di pantat. Bila tidak hati-hati, tikus-tikus yang bergerak bebas di bawah kursi bisa saja menggigit kaki kita. Tanpa harus menunggu lama, biasanya film utama langsung diputar. Gambargambar yang bergerak di layar nampak sudah usang dan beberapa sedikit rusak. Adeganadegan panas yang terpampang pada poster di luar, jarang muncul di layar. Kalaupun muncul, tentu sudah disensor. Lalu apa yang membuat para penonton ini bertahan? Bila para penonton ini berharap bisa menonton adegan-adegan vulgar, bukankah VCD berlabel XXX saat ini sangat mudah didapatkan dan ditonton? Para pengamat film dengan kacamata psikoanalisa, mungkin akan menganggap para penonton laki-laki ini sedang menunggu-menunggu kemunculan sosok perempuan dalam

film tersebut sebagai obyek pengintipan (voyeurism) dan fetishism. Atau mungkin mereka menikmati ketegangan ketika menunggu munculnya adegan-adegan panas di layar bioskop. Seolah mereka tahu bahwa hasrat itu tidak akan terpenuhkan, maka untuk itu mereka bertahan. Seperti halnya dalam perjudian, kenikmatan itu muncul bersama dengan ketegangan. Atau mereka memang sedang mengalihkan fungsi dari tontonan itu tanpa harus meninggalkan tontonan itu sebab, sebagai sebuah siasat, praktik konsumsi adalah perhitungan-perhitungan di luar perhitungan kepantasan dan ketepatan (baik secara spasial atau institusional). Prosedur-prosedur konsumsi memelihara perbedaannya di dalam ruang yang diorganisasi oleh para penghuninya (De Certeu, 1984:32). Dalam konteks penonton bioskop kelas dua ini, terdapat siasat-siasat dan praktik konsumsi yang berbeda-beda yang sangat sulit dikenali. Namun kehadiran para penonton tersebut di bioskop kelas dua yang usang dan memutar film usang, ketika bioskop-bioskop di Indonesia kehilangan penontonnya sangat penting untuk dicermati. Siapakah mereka? Apa yang mereka konsumsi di sana? Siasat seperti apakah yang tengah mereka praktikkan? Sementara di sekitar mereka produk dan komoditi lain terus beradu kekuatan dalam menawarkan kesenangan. Mungkin mereka adalah orang-orang lemah dalam hingar-bingar praktik konsumsi modern. Pada Akhirnya Adalah Siasat Tulisan ini bukanlah upaya untuk meromantisir dan menangisi terpuruknya industri perfilman Indonesia. Bukan pula upaya mengucap mantra-mantra kebangkitan film Indonesia. Tulisan ini adalah upaya untuk mengenali bentuk-bentuk lain dari produksi (industri) dan konsumsi bioskop. Sejak kehadirannya di dunia, juga di Indonesia, bioskop dianggap sebagai salah satu pintu masuk menuju Zaman Modern. Praktik menonton film, bersama dengan penggunaan bahasa Belanda, kebiasaan mengunjungi restoran, minum limun, dan menikmati musik adalah lambang-lambang modernitas di Indonesia (Hindia) pada awal abad XX (Shiraishi, 1990:40). Modernitas yang berarti perkembangan di bawah pengawasan Belanda dan modernitas seperti yang ditunjukan Belanda di Hindia dan dipahami sebagai peradaban Barat (ibid.:36). Sementara itu di Barat (Eropa), ketika masyarakat Eropa baru saja keluar dari pengalaman mengerikan yang diciptakan oleh Nazi Jerman, mereka kemudian harus berhadapan dengan dominasi Hollywood yang diciptakan oleh Amerika. Respon kritis terhadap perkembangan industri film Hollywood di Eropa muncul dari sekelompok ilmuwan sosial dalam naungan Mazhab Frankfurt. Dengan mengkombinasikan pendekatan Marxian dengan Freudian, mereka mengkritisi kemunculan kebudayaan industri sebagai bagian dari pengelabuan massa. Kehadiran film dan bioskop selalu dipandang secara ideologis memiliki efek narkotis bagi penontonnya. Di Indonesia, pada sekitar tahun 1960-an, kita pernah mengenal kelompok atau organisasi yang melakukan aksi pengganyangan dan pemboikotan film imperialis Amerika Serikat karena dianggap cabul, apatis, avonturis, dan defaitis. Menonton film-film buatan Amerika yang banyak bercerita tentang kisah percintaan, seks, dan kesenangan dianggap bisa melenakan dan melarikan masyarakat dari kenyataan hidup sehari-hari. Dewasa ini, respon terhadap keburukan bioskop lebih banyak muncul dalam kerangka agama. Bioskop disejajarkan diskotik, pelacuran, tempat-

tempat hiburan malam yang menebarkan kemaksiatan sehingga perlu dirusak hingga dibakar. Cara pandang demikian, kurang lebih, muncul ketika penonton film hanya dilihat secara monolitik. Penonton tidak lebih hanyalah anak-anak atau segerombolan ternak yang perlu dilindungi dari pengaruh-pangaruh buruk media. Sebagai anak-anak atau ternak mereka dianggap tidak akan bisa mengendalikan hasrat dan keinginan mereka bila mereka diming-imingi kesenangan , kenikmatan, dan kemaksiatan lewat layar film. Sementara itu, teori-teori ilmu sosial kontemporer yang mencoba menempatkan film sebagai teks hanya memberi ruang bagi para penonton yang dianggap pintar dan terdidik yang mempunyai kemampuan untuk menafsirkan pesan-pesan yang disuguhkan. Teori identifikasi tetap menempatkan penonton sebagai sosok lemah yang tersedot ke dalam teks, atau mereka menggunakan teks untuk berlari dari kenyataan. Upaya-upaya untuk memahami bioskop sepertinya harus didorong ke arah pandangan mengikat film, teks, institusi yang memproduksi dan mengedarkannya, dengan bentuk-bentuk kebudayaan lain, komoditas dan kesenangan. Kita perlu melihat bioskop dalam konteks budaya konsumsi sebagai kunci dari sejarah dan perkembangan modernitas kapitalis. Dalam konteks kisah bioskop kelas dua di atas, kita perlu memikirkan kembali mitos-mitos bioskop sebagai ruang bagi praktik-praktik produksi yang terasionalisasi, terstandarisasi, ekspansionis, tersentralisasi, spektakular, dan ruang bagi praktik konsumsi modern yang hanya digerakkan oleh kelompok terpelajar dan kelas atas. Meskipun pada awal kemunculannya di Indonesia (Hindia), memang hanya kelas atasmenengah (Eropa dan Timur Jauh), atau pribumi yang terpelajar saja yang masuk dalam sirkuit konsumsi bioskop. Tetapi, kita juga perlu memperhitungkan para pekerja dan buruh (yang bergaji rendah) di perkotaan sebagai pengunjung setia bioskop-bioskop kelas dua. Bagaimana bioskop hadir bagi mereka sebagai bagian dari lanskap kota, tempat beristirahat sejenak untuk para pekerja ketika mereka berjalan pulang ke rumah, sebagai pelepas kepenatan setelah bekerja di rumah (bagi ibu rumah tangga) dan sebagai karakter para imigran (Charney and Schwartz, 1995). Selain itu, dalam konteks budaya konsumi, kehadiran (kemajuan dan kemunduran) bioskop perlu pula disandingkan dengan kehadiran obyek-obyek visual lain yang dominan di perkotaan, seperti mal dan department store. Bukankah praktik window shopping di mal kurang lebih sama dengan menancapkan pandangan pada suatu komoditas dalam sebuah scene, di antara padat dan cepatnya lalu lintas? Dan bukankah produk-produk di jendela toko-toko itu juga di-display dengan set yang filmis dan teatrikal? Rupanya kita perlu melihat hubungan antara film, bioskop, penonton, dan lebih luas dari sekedar industri, konsumsi, dan modernitas. Bukan dalam cara pandang monolitik dan universal, melainkan dengan melihatnya dalam dialek-dialek yang beraneka dan siasat-siasat di mana perbedaan dikelola dan segala kemungkinan menjadi lebih terbuka.

Anda mungkin juga menyukai