Anda di halaman 1dari 11

PALATOSCHISIS (Cleft Palate) (Cleft Lips) Celah Bibir dan (Cleft Palate) Celah Langit-langit adalah suatu kelainan

bawaan yang terjadi pada bibir bagian atas serta langit-langit lunak dan langit-langit keras mulut. Celah bibir (biasa disebut secara Bibir sumbing) adalah suatu ketidaksempurnaan pada penyambungan bibir bagian atas, yang biasanya berlokasi tepat dibawah hidung. Cleft palate atau palatoschisis merupakan kelainan kongenital pada wajah dimana atap/langitan dari mulut yaitu palatum tidak berkembang secara normal selama masa kehamilan, mengakibatkan terbukanya (cleft) palatum yang tidak menyatu sampai ke daerah cavitas nasalis, sehingga terdapat hubungan antara rongga hidung dan mulut.

PENDAHULUAN Kepala dan leher dibentuk oleh beberapa tonjolan dan lengkungan, antara lain processus frontonasalis, processus nasalis medialis dan lateralis, processus maxillaries, dan processus mandibularis. Kegagalan penyatuan processus maxilla dan processus nasalis medial akan menimbulkan celah pada bibir (labioschisis) yang terjadi unilateral atau bilateral. Bila processus nasalis medialis, bagian yang membentuk dua segmen antara maxilla, gagal menyatu maka terjadi celah pada atap mulut atau langitan yang disebut palatoschisis. Cleft palate atau palatoschisis merupakan kelainan kongenital pada wajah dimana atap/langitan dari mulut yaitu palatum tidak berkembang secara normal selama masa kehamilan, mengakibatkan terbukanya (cleft) palatum yang tidak menyatu sampai ke daerah cavitas nasalis, sehingga terdapat hubungan antara rongga hidung dan mulut. Oleh karena itu, pada palatoschisis, anak biasanya pada waktu minum sering tersedak dan suaranya sengau. Cleft palate dapat terjadi pada bagian apa saja dari palatum, termasuk bagian depan dari langitan mulut yaitu hard palate atau bagian belakang dari langitan mulut yang lunak yaitu soft palate.

Cleft palate mempunyai banyak sekali implikasi fungsional dan estetika bagi pasien dalam interaksi social mereka terutama kemampuan mereka untuk berkomunikasi secara efektif dan penampilan wajah mereka. Koreksi sebaiknya sebelum anak mulai bicara untuk mencegah terganggunya perkembangan bicara. Penyuluhan bagi ibu si anak sangat penting, terutama tentang cara memberikan minum agar gizi anak memadai saat anak akan menjalani bedah rekonstruksi. Kelainan bawaan ini sebaiknya ditangani oleh tim ahli yang antara lain terdiri atas ahli bedah, dokter spesialis anak, ahli ortodonsi yang akan mengikuti

perkembangan rahang dengan giginya, dan ahli logopedi yang mengawasi dan membimbing kemampuan bicara.

EMBRIOLOGI Jaringan-jaringan wajah, termasuk didalamnya bibir dan palatum berasal dari migrasi, penetrasi, dan penyatuan mesenkimal dari sel-sel cranioneural kepala. Ketiga penonjolan utama pada wajah (hidung, bibir, palatum) secara embriologi berasal dari penyatuan processus fasialis bilateral.

Embriogenesis palatum dapat dibagi dalam dua fase terpisah yaitu pembentukan palatum primer yang akan diikuti dengan pembentukan palatum sekunder. Pertumbuhan palatum dimulai kira-kira pada hari ke-35 kehamilan atau minggu ke-4 kehamilan yang ditandai dengan pembentukan processus fasialis. Penyatuan processus nasalis medialis dengan processus maxillaries, dilanjutkan dengan penyatuan processus nasalis lateralis dengan processus nasalis medialis, menyempurnakan pembentukan palatum primer. Kegagalan atau kerusakan yang terjadi pada proses penyatuan processus ini menyebabkan terbentuknya celah pada palatum primer.

Pembentukan palatum sekunder dimulai setelah palatum primer terbentuk sempurna, kira-kira minggu ke-9 kehamilan. Palatum sekunder terbentuk dari sisi bilateral yang berkembang dari bagian medial dari processsus maxillaries. Kemudian kedua sisi ini akan bertemu di midline dengan terangkatnya sisi ini. Ketika sisi tersebut berkembang kearah superior, proses penyatuan dimulai. Kegagalan penyatuan ini akan menyebabkan terbentuknya celah pada palatum sekunder.

ANATOMI Palatum terdiri atas palatum durum dan palatum molle (velum) yang bersama-sama membentuk atap rongga mulut dan lantai rongga hidung. Processus palatine os maxilla dan lamina horizontal dari os palatine membentuk palatum durum. Palatum molle merupakan suatu jaringan fibromuskuler yang dibentuk oleh beberapa otot yang melekat pada bagian posterior palatum durum. Terdapat enam otot yang melekat pada palatum durum yaitu m. levator veli palatine, m. constrictor pharyngeus superior, m.uvula, m.palatopharyngeus, m.palatoglosus dan m.tensor veli palatini.

Ketiga otot yang mempunyai konstribusi terbesar terhadap fungsi velopharyngeal adalah m.uvula, m.levator veli palatine, dan m.constriktor pharyngeus superior. M.uvula

berperan dalam mengangkat bagian terbesar velum selama konstraksi otot ini. M.levator veli palatine mendorong velum kearah superior dan posterior untuk melekatkan velum kedinding faring posterior. Pergerakan dinding faring ke medial, dilakukan oleh m.constriktor pharyngeus superior yang membentuk velum kearah dinding posterior faring untuk membentuk sfingter yang kuat. M.palatopharyngeus berfungsi menggerakkan palatum kearah bawah dan kearah medial. M.palatoglossus terutama sebagai depressor palatum, yang berperan dalam pembentukan venom nasal dengan membiarkan aliran udara yang terkontrol melalui rongga hidung. Otot yang terakhir adalah m.tensor veli palatine. Otot ini tidak berperan dalam pergerakan palatum. Fungsi utama otot ini menyerupai fungsi m.tensor timpani yaitu menjamin ventilasi dan drainase dari tuba auditiva.

Suplai darahnya terutama berasal dari a.palatina mayor yang masuk melalui foramen palatine mayor. Sedangkan a.palatina minor dan m.palatina minor lewat melalui foramen palatine minor. Innervasi palatum berasal dari n.trigeminus cabang maxilla yang membentuk pleksus yang menginervasi otot-otot palatum. Selain itu, palatum juga mendapat innervasi dari nervus cranial VII dan IX yang berjalan disebelah posterior dari pleksus.

INSIDEN Insidens dari berbagai tipe cleft di laporkan oleh Veau. Insidens secara keseluruhan dari cleft di laporkan oleh Fogh Andersen yakni 1 dari 655 kelahiran dan oleh Ivy yakni 1 dari 762 kelahiran, dimana lebih sering dijumpai pada laki-laki dibandingkan perempuan. Peningkatan resiko palatoschisis bertambah seiring dengan meningkatnya usia maternal dan adanya riwayat keluarga yang menderita penyakit bawaan yang sama. Faktor etnik juga mempengaruhi angaka kejadian palatoschisis. Palatoschisis paling sering ditemukan pada ras Asia dibandingkan ras Afrika. Insiden palatoschisis pada ras Asia sekitar 2,1/1000, 1/1000 pada ras kulit putih, dan 0,41/1000 pada ras kulit hitam. Menurut data tahun 2004, di Indonesia ditemukan sekitar 5.009 kasus cleft palate dari total seluruh penduduk . Palatoschisis yang tanpa labioschisis memiliki rasio yang relatif konstan yaitu 0,45-0,5/1000 kelahiran. Tipe yang paling sering adalah uvula bifida dengan insiden sekitar 2% dari populasi. Setelah itu diikuti oleh palatoschisis komplit unilateral kiri.

ETIOLOGI Pada tahun 1963, Falconer mengemukakan suatu teori bahwa etiologi palatoschisis bersifat multifaktorial dimana pembentukan celah pada palatum berhubungan dengan faktor herediter dan faktor lingkungan yang terlibat dalam pertumbuhan dan perkembangan processus.

1.Faktor herediter

Sekitar 25% pasien yang menderita palatoschisis memiliki riwayat keluarga yang menderita penyakit yang sama. Orang tua dengan palatoschisis mempunyai resiko lebih tinggi untuk memiliki anak dengan palatoschisis. Jika hanya salah satu orang tua yang menderita palatoschisis, maka kemungkinan anaknya menderita palatoschisis adalah sekitar 4%. Jika kedua orangtuanya tidak menderita palatoschisis, tetapi memiliki anak tunggal dengan palatoschisis maka resiko generasi berikutnya menderita penyakit yang sama juga sekitar 4%. Dugaan mengenai hal ini ditunjang kenyataan, telah berhasil diisolasi suatu X-linked gen, yaitu Xq13-21 pada lokus 6p24.3 pada pasien sumbing bibir dan langitan. Kenyataan lain yang menunjang, bahwa demikian banyak kelainan / sindrom disertai celah bibir dan langitan (khususnya jenis bilateral), melibatkan anomali skeletal, maupun defek lahir lainnya.

2. Faktor lingkungan Obat-obatan yang dikonsumsi selama kehamilan, seperti fenitoin, retinoid (golongan vitamin A), dan steroid beresiko menimbulkan palatoschisis pada bayi. Infeksi selama kehamilan semester pertama seperti infeksi rubella dan cytomegalovirus, dihubungkan dengan terbentuknya celah. Alkohol, keadaan yang menyebabkan hipoksia, merokok, dan defisiensi makanan (seperti defisiensi asam folat) dapat menyebabkan palatoschisis.

PATOFISIOLOGI Pasien dengan palatoschisis mengalami gangguan perkembangan wajah, inkompetensi velopharyngeal, perkembangan bicara yang abnormal, dan gangguan fungsi tuba eustachi. Kesemuanya memberikan gejala patologis mencakup kesulitan dalam intake makanan dan nutrisi, infeksi telinga tengah yang rekuren, ketulian, perkembangan bicara yang abnormal, dan gangguan pada pertumbuhan wajah. Adanya hubungan antara rongga mulut dan hidung

menyebabkan

berkurangnya

kemampuan

untuk

mengisap

pada

bayi.

Insersi yang abnormal dari m.tensor veli palatine menyebabkan tidak sempurnanya pengosongan pada telinga tengah. Infeksi telinga yang rekuren telah dihubungkan dengan timbulnya ketulian yang memperburuk cara bicara pada pasien dengan palatoschisis. Mekanisme velopharyngeal yang utuh penting dalam menghasilkan suara non nasal dan sebagai modulator aliran udara dalam pembentukan fonem lainnya yang membutuhkan nasal coupling. (Manipulasi anatomi yang kompleks dan sulit dari mekanisme ini, jika tidak sukses dilakukan pada awal perkembangan bicara, dapat menyebabkan berkurangnya pengucapan normal).

KLASIFIKASI Palatoschisis dapat berbentuk sebagai palatoschisis tanpa labioschisis atau disertai dengan labioschisis. Palatoschisis sendiri dapat diklasifikasikan lebih jauh sebagai celah hanya pada palatum molle, atau hanya berupa celah pada submukosa. Celah pada keseluruhan palatum terbagi atas dua yaitu komplit (total), yang mencakup palatum durum dan palatum molle, dimulai dari foramen insisivum ke posterior, dan inkomplit (subtotal). Palatoschisis juga dapat bersifat unilateral atau bilateral.

Veau membagi cleft menjadi 4 kategori yaitu 1. Cleft palatum molle 2. Cleft palatum molle dan palatum durum 3. Cleft lip dan palatum unilateral komplit 4. Cleft lip dan palatum bilateral komplit Klasifikasi Jalur-Y untuk cleft lip dan palate berdasarkan modifikasi Millard dari Kernohan. Lingkaran kecil mengindikasikan foramen insisivum; segitiga mengidikasikan ujung nasal dan dasar nasal.

PENATALAKSANAAN Penanganan kecacatan pada celah bibir dan celah langit-langit tidaklah sederhana, melibatkan berbagai unsur antara lain, ahli Bedah Plastik, ahli ortodonti, ahli THT untuk mencegah menangani timbulnya otitis media dan kontrol pendengaran, dan anestesiologis. Speech therapist untuk fungsi bicara. Setiap spesialisasi punya peran yang tidak tumpangtindih tapi saling saling melengkapi dalam menangani penderita CLP secara paripurna.

1. Terapi Non-bedah Palatoschisis merupakan suatu masalah pembedahan, sehingga tidak ada terapi medis khusus untuk keadaan ini. Akan tetapi, komplikasi dari palatoschisis yakni permasalahan dari intake makanan, obstruksi jalan nafas, dan otitis media membutuhkan penanganan medis terlebih dahulu sebelum diperbaiki.

Perawatan

Umum

Pada

Cleft

Palatum

Pada periode neonatal beberapa hal yang ditekankan dalam pengobatan pada bayi dengan cleft palate yakni:

a. Intake makanan Intake makanan pada anak-anak dengan cleft palate biasanya mengalami kesulitan karena ketidakmampuan untuk menghisap, meskipun bayi tersebut dapat melakukan gerakan menghisap. Kemampuan menelan seharusnya tidak berpengaruh, nutrisi yang adekuat mungkin bisa diberikan bila susu dan makanan lunak jika lewat bagian posterior dari cavum oris. pada bayi yang masih disusui, sebaiknya susu diberikan melalui alat lain/ dot khusus yang tidak perlu dihisap oleh bayi, dimana ketika dibalik susu dapat memancar keluar sendiri dengan jumlah yang optimal artinya tidak terlalu besar sehingga membuat pasien menjadi tersedak atau terlalu kecil sehingga membuat asupan nutrisi menjadi tidak cukup. Botol susu dibuatkan lubang yang besar sehingga susu dapat mengalir ke dalam bagian belakang mulut dan mencegah regurgitasi ke hidung. Pada usia 1-2 minggu dapat dipasangkan obturator untuk menutup celah pada palatum, agar dapat menghisap susu, atau dengan sendok dengan posisi setengah duduk untuk mencegah susu melewati langit-langit yang terbelah atau memakai dot lubang kearah bawah ataupun dengan memakai dot yang memiliki selang yang panjang untuk mencegah aspirasi. b. Pemeliharaan jalan nafas Pernafasan dapat menjadi masalah anak dengan cleft, terutama jika dagu dengan retroposisi

(dagu pendek, mikrognatik, rahang rendah (undershot jaw), fungsi muskulus genioglossus hilang dan lidah jatuh kebelakang, sehingga menyebabkan obstruksi parsial atau total saat inspirasi (The Pierre Robin Sindrom) c. Gangguan telinga tengah Otitis media merupakan komplikasi yang biasa terjadi pada cleft palate dan sering terjadi pada anak-anak yang tidak dioperasi, sehingga otitis supuratif rekuren sering menjadi masalah. Komplikasi primer dari efusi telinga tengah yang menetap adalah hilangnya pendengaran. Masalah ini harus mendapat perhatian yang serius sehingga komplikasi hilangnya pendengaran tidak terjadi, terutama pada anak yang mempunyai resiko mengalami gangguan bicara karena cleft palatum. Pengobatan yang paling utama adalah insisi untuk ventilasi dari telinga tengah sehingga masalah gangguan bicara karena tuli konduktif dapat dicegah.

2. Terapi bedah Terapi pembedahan pada palatoschisis bukanlah merupakan suatu kasus emergensi, dilakukan pada usia antara 12-18 bulan. Pada usia tersebut akan memberikan hasil fungsi bicara yang optimal karena memberi kesempatan jaringan pasca operasi sampai matang pada proses penyembuhan luka sehingga sebelum penderita mulai bicara dengan demikian soft palate dapat berfungsi dengan baik.Ada beberapa teknik dasar pembedahan yang bisa digunakan untuk memperbaiki celah palatum, yaitu:

1. Teknik von Langenbeck Teknik ini pertama kali diperkenalkan oleh von Langenbeck yang merupakan teknik operasi tertua yang masih digunakan sampai saat ini. Teknik ini menggunakan teknik flap bipedikel mukoperiosteal pada palatum durum dan palatum molle. Untuk memperbaiki kelainan yang ada, dasar flap ini disebelah anterior dan posterior diperluas ke medial untuk menutup celah palatum. 2. Teknik V-Y push-back Teknik V-Y push-back mencakup dua flap unipedikel dengan satu atau dua flap palatum unipedikel dengan dasarnya disebelah anterior. Flap anterior dimajukan dan diputar ke medial sedangkan flap posterior dipindahkan ke belakang dengan teknik V to Y akan menambah panjang palatum yang diperbaiki.

3. Teknik double opposing Z-plasty Teknik ini diperkenalkan oleh Furlow untuk memperpanjang palatum molle dan membuat suatu fungsi dari m.levator. 4. Teknik Schweckendiek Teknik ini diperkenalkan oleh Schweckendiek pada tahun 1950, pada teknik ini, palatum molle ditutup (pada umur 4 bulan) dan di ikuti dengan penutupan palatum durum ketika si anak mendekati usia 18 bulan. 5. Teknik palatoplasty two-flap Diperkenalkan oleh Bardach dan Salyer (1984). Teknik ini mencakup pembuatan dua flap pedikel dengan dasarnya di posterior yang meluas sampai keseluruh bagian alveolar. Flap ini kemudian diputar dan dimajukan ke medial untuk memperbaiki kelainan yang ada. Speech terapi mulai diperlukan setelah operasi palatoplasty yakni pada usia 2-4 tahun untuk melatih bicara benar dan miminimalkan timbulnya suara sengau karena setelah operasi suara sengau masih dapat terjadi suara sengau karena anak sudah terbiasa melafalkan suara yang salah, sudah ada mekanisme kompensasi memposisikan lidah pada posisi yang salah. Bila setelah palatoplasty dan speech terapi masih didapatkan suara sengau maka dilakukan pharyngoplasty untuk memperkecil suara nasal (nasal escape) biasanya dilakukan pada usia 4-6 tahun. Pada usia anak 8-9 tahun ahli ortodonti memperbaiki lengkung alveolus sebagai persiapan tindakan alveolar bone graft dan usia 9-10 tahun spesialis bedah plastic melakukan operasi bone graft pada celah tulang alveolus seiring pertumbuhan gigi caninus. Perawatan setelah dilakukan operasi, segera setelah sadar penderita diperbolehkan minum dan makanan cair sampai tiga minggu dan selanjutnya dianjurkan makan makanan biasa. Jaga hygiene oral bila anak sudah mengerti. Bila anak yang masih kecil, biasakan setelah makan makanan cair dilanjutkan dengan minum air putih. Berikan antibiotik selama tiga hari. Pada orangtua pasien juga bisa diberikan edukasi berupa, posisi tidur pasien harusnya dimiringkan/tengkurap untuk mencegah aspirasi bila terjadi perdarahan, tidak boleh makan/minum yang terlalu panas ataupun terlalu dingin yang akan menyebabkan vasodilatasi dan tidak boleh menghisap /menyedot selama satu bulan post operasi untuk menghindari jebolnya daerah post operasi.

KOMPLIKASI Anak dengan palatoschisis berpotensi untuk menderita flu, otitis media, tuli, gangguan bicara, dan kelainan pertumbuhan gigi. Selain itu dapat menyebabkan gangguan psikososial. Komplikasi post operatif yang biasa timbul yakni:

a. Obstruksi jalan nafas

Seperti disebutkan sebelumnya, obstruksi jalan nafas post operatif merupakan komplikasi yang paling penting pada periode segera setelah dilakukan operasi. Keadaan ini timbul sebagai hasil dari prolaps dari lidah ke orofaring saat pasien masih ditidurkan oleh ahli anastesi. Penempatan Intraoperatif dari traksi sutura lidah membantu dalam menangani kondisi ini. Obstruksi jalan nafas bisa juga menjadi masalah yang berlarut-larut karena perubahan pada dinamika jalan nafas, terutama pada anak-anak dengan madibula yang kecil. Pada beberapa instansi, pembuatan dan pemliharaan dari trakeotomi perlu sampai perbaikan palatum telah sempurna.

b. Perdarahan

Perdarahan intraoperatif merupakan komplikasi yang potensil terjadi. Karena kayanya darah yang diberikan pada paltum, Intraoperative hemorrhage is a potential complication. Because of the rich blood supply to the palate, perdarahan yang berarti mengharukan untuk dilakukannya transfuse. Hal ini bisa berbahaya pada bayi, yakni pada meraka yang total volume darahnya rendah. Penilaian preoperative dari jumlah hemoglobin dan hitung trombosit sangat penting. Injeksi epinefrin sebelum di lakukan insisi dan penggunaa intraoperatif dari oxymetazoline hydrochloride capat mengurangi kehilangan darah yang bisa terjadi. Untuk menjaga dari kehilangan darah post operatif, area palatum yang mengandung mucosa seharusnya diberikan avitene atau agen hemostatik lainnya.

c. Fistel palatum Fistel palatum bisa timbul sebagai komplikasi pada periode segera setelah dilakukan operasi, atau hal tersebut dapat menjadi permasalahan yang tertunda. Suatu fistel pada palatum dapat timbul dimanapun sepanjang sisi cleft. Insidennya telah dilapornya cukup tinggi yakni

sebanyak 34%, dan berat-ringannya cleft telah dikemukanan bahwa hal tersebut berhubungan dengan resiko timbulnya fistula. Fistel cleft palate post operatif bisa ditangani dengan dua cara. Pada pasien yang tanpa disertai dengan gejala, prosthesis gigi bisa digunakan untuk menutup defek yang ada dengan hasil yang baik. Pasien dengan gejala diharuskan untuk terapi pembedahan. Sedikitnya supply darah, terutama supply ke anterior merupakan alasan utama gagalnya penutupan dari fistula. Oleh karena itu, penutupan fistula anterior maupun posterior yang persisten seharusnya di coba tidak lebih dari 6-12 bulan setelah operasi, ketika supply darah telah memiliki kesempatan untuk mengstabilkan dirinya. Saat ini, banyak centre menunggu sampai pasien menjadi lebih tua (paling tidak 10 tahun) sebelum mencoba untuk memperbaiki fistula. Jika metode penutupan sederhana gagal, flap jaringan seperti flap lidah anterior bisa dibutuhkan untuk melakukan penutupan.

d. Midface abnormalities Penanganan Cleft palate pada beberapa instansi telah fokus pada intervensi pembedahan terlebih dahulu. Salah satu efek negatifnya adalah retriksi dari pertumbuhan maksilla pada beberapa persen pasien. Palatum yang diperbaiki pada usia dini bisa menyebabkan berkurangnya demensi anterior dan posteriornya, yakni penyempitan batang gigi, atau tingginya yang abnormal. Kontrofersi yang cukup besar ada pada topik ini karena penyebab dari hipoplasia, apakah hal tersebut merupakan perbaikan ataupun efek dari cleft tersebut pada pertumbuhan primer dan sekunder pada wajah, ini tidak jelas. Sebanyak 25% pasien dengan cleft palate unilateral yang telah dilakukan perbaikan bisa membutuhkan bedah orthognathic. LeFort I osteotomies dapat digunakan untuk memperbaiki hipoplasia midface yang menghasilkan suatu maloklusi dan deformitas dagu.

e. Wound expansion Wound expansion juga merupakan akibat dari ketegangan yang berlebih. Bila hal ini terjadi, anak dibiarkan berkembang hingga tahap akhir dari rekonstruksi langitan, dimana pada saat tersebut perbaikan jaringan parut dapat dilakukan tanpa membutuhkan anestesi yang terpisah.

f. Wound infection Wound infection merupakan komplikasi yang cukup jarang terjadi karena wajah memiliki pasokan darah yang cukup besar. Hal ini dapat terjadi akibat kontaminasi pascaoperasi, trauma yang tak disengaja dari anak yang aktif dimana sensasi pada bibirnya dapat berkurang pascaoperasi, dan inflamasi lokal yang dapat terjadi akibat simpul yang terbenam.

g. Malposisi Premaksilar Malposisi Premaksilar seperti kemiringan atau retrusion, yang dapat terjadi setelah operasi.

h. Whistle deformity Whistle deformity merupakan defisiensi vermilion dan mungkin berhubungan dengan retraksi sepanjang garis koreksi bibir. Hal ini dapat dihindari dengan penggunaan total dari segmen lateral otot orbikularis.

i. Abnormalitas atau asimetri tebal bibir Hal ini dapat dihindari dengan pengukuran intraoperatif yang tepat dari jarak anatomis yang penting lengkung.

PROGNOSIS Meskipun telah dilakukan koreksi anatomis, anak tetap menderita gangguan bicara sehingga diperlukan terapi bicara yang bisa diperoleh disekolah, tetapi jika anak berbicara lambat atau hati-hati maka akan terdengar seperti anak normal.

Anda mungkin juga menyukai