Anda di halaman 1dari 1

Menampakkan Aurat kepada non Muhrim: Haram!

Tanpa membahas apakah menampakkan aurat itu masuk dalam kategori porno atau tidak, juga tanpa memandang apakah aurat yang ditampakkan hanya sebatas betis, leher, rambut, telinga atau yang lebih serem lagi, yang jelas aksi menampakkan aurat didepan non muhrim diharamkan oleh Islam. Begitu juga memandang aurat non muhrim, juga diharamkan oleh Islam tanpa melihat apakah ia terbangkitkan nafsunya atau tidak. Rasulullah sebagai orang yang paling kuat menahan hawa nafsu, beliau masih memalingkan mukanya tatkala memandang asma memakai pakaian yang memperlihatkan lekukan tubuhnya. Bahkan beliau pernah memegang danmemalingkan kepala Al Fadhl bin Abbas tatkala Al Fadhl terpesona oleh kecantikan seorang wanita yang sedang bicara dengan Rasulullah. Rasulullah juga mengingatkan Ali ra dengan sabdanya:
Lirikan mata merupakan anak panah yang beracun dari syaithan. Barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada-Ku, maka Aku akan menggantinya dengan iman yang sempurna hingga ia dapat merasakan arti kemanisannya dalam hati.(HR.Thabarany dan Al-Hakim) Jalan Menyalurkan Keinginan: Nikah! Diharamkannya wanita maupun lelaki memamerkan tubuhnya didepan umum dan diharamkannya melihat aurat baik laki-laki maupun wanita tidak menunjukkan bahwa Islam mengebiri keinginan-keinginan manusia, bahkan sebetulnya Islam memberikan jalan yang khas bagi manusia untuk menyalurkan aspirasinya dengan aturan aturan yang akan membahagiakan manusia. Rasulullah bersabda: Satu-satunya cara untuk memuaskan nafsu syahwat yang benar menurut Islam adalah Nikah. Dan biasanya, sebelum nikah ada khitbah. Menurut Sayyid Sabiq, "Khitbah itu merupakan permintaan seorang laki-laki untuk menikahi seorang wanita dengan cara yang dikenal di tengah masyarakat." (lihat Fiqh As Sunnah jilid II. hal. 20). Laki-laki yang mengkhitbah seorang wanita menunjukkan adanya kesungguhan untuk menikahi wanita tersebut. Permintaan ini ditujukannya

kepada wali si wanita. Jadi, diketahui oleh wali si wanita itu. Sedangkan yang menentukan diterima atau tidaknya khitbah itu adalah si wanita, kecuali apabila ia menyerahkan keputusannya kepada walinya. Allah mensyari'atkan khitbah sebelum dilangsungkan akad nikah agar keduanya saling mengenal dan memulai rumah tangga dengan yakin akan keadaan masing-masing (lihat Fiqh As Sunnah, II, hal 20). Jadi, masa khitbah inilah tempat untuk saling memahami karakteristik masing-masing. Satu hal yang penting diingat, walaupun sudah khitbah, aturan-aturan pergaulan harus tetap dilaksanakan. Rentang waktu dari khitbah sampai menikah tidak ditetapkan secara tegas dalam Al-Quran dan sunnah, tetapi sebaiknya secepat mungkin.

Anda mungkin juga menyukai