Anda di halaman 1dari 3

Catatan yang Tertinggal :selaksa kisah Ramadhan di Kampus UGM 1432 H Ramadhan di Kampus UGM 1432 H memang telah

berlalu, tapi kuharap jalinan persaudaraan di antara kita ini tak akan pernah ikut berlalu. Kuharap, cita-cita dan impian yang pernah sama-sama tersemat dalam lubuk hati kita ini tak akan pernah ikut tersapu dari hatimu. Pun kuharap, perjuangan dan kebersamaan yang pernah menemani sekian banyak hari-hari kita ini, tak akan pernah lekang oleh waktu. Cerita ini bermula dari sebuah sms dari Ketua SKI kami, yang isinya adalah permintaan kesediaan untuk menjadi salah seorang tim konseptor RDK bersama 1432 H. Tak terlalu lama berfikir, saya pun mengiyakannya. Apalagi, dalam benak saya ketika itu saya hanya akan menjadi tim konseptor an sich, meski ternyata realitanya tak sesederhana itu juga. Tak berapa lama kemudian, diadakanlah syuro Puskom-FSLDIK di taman Fakultas Kehutanan untuk membahas rencana RDK bersama 1432 H yang tergolong merupakan sebuah inisiasi baru ini. Namun, karena ada kuliah, saya pun tidak bisa datang ke sana. Setelah itu, ada lagi Workshop Tim RDK di Farmasi, dan saya mengikutinya meski hanya setengah hari. Dalam workshop tersebutlah, benih-benih kepanitiaan RDK mulai tumbuh. Ketua RDK dipilih, syuro awal disepakati, dan segera semuanya berjalan hingga seterusnya.... Inilah awal kisah kami, RDK UGM 1432 H, bermula. Syuro-syuro awal untuk membahas masalah analisis sosial dilakukan, akar masalah ditemukan, dan kami pun mulai membentuk formasi kepanitiaan. Sekretaris Umum, akhirnya menjadi amanah yang harus saya pertanggungjawabkan. Tak banyak yang cukup menarik untuk dikisahkan. Yang pasti, saya mendapatkan begitu banyak bahan pembelajaran. Mungkin yang paling terasa adalah, bagaimana air mata ini bisa menjadi senantiasa mengalir tanpa henti, dan tak jarang hanya karena satu dua hal sepele yang terlalu saya rasakan. Subhanallah, tapi justru disanalah letak keindahannya. Belajar memahami karakter-karakter yang sekian banyaknya, belajar untuk bisa menempatkan diri dalam situasi serunyam apapun, belajar untuk menjadi manusia yang lebih tenang dan berpikir dingin, juga belajar untuk tersenyum seberat apapun beban yang dirasakan. Belajar untuk menetralisir semua stimulus negatif dan melipatgandakan stimulus positif. Sepanjang sejarah umat manusia, kiranya tak ada yang lebih menarik untuk dipelajari kecuali manusia itu sendiri. Ilmu pengetahuan yang senantiasa dikembangkan oleh manusia sejak zaman peradaban kuno pun pada hakikatnya adalah studi tentang manusia sendiri, dalam kaitannya dengan berbagai hal di sekitarnya. Dan ketika RDK ini berlalu, apa yang paling sering masih hinggap dalam benak saya ? Juga tak lain adalah tentang manusia-manusia, jiwa-jiwa yang berada di dalamnya. Bukan tentang surat-menyurat, bukan tentang sekian banyak data-data, juga bukan tentang proposal-proposal dan hal-hal administratif lainnya yang menyita sebagian besar waktu saya. Pengembangan sumber daya manusia, atau yang mungkin orang-orang sebut Human Research Development, adalah salah satu poin penting dalam sebuah kelompok tujuan bersama, entah itu organisasi, lembaga, ataupun kepanitiaan. Hal itu menjadi sebuah masalah strategis yang harus ditangani secara maksimal dan sungguh-sungguh. Perlu adanya alokasi waktu tersendiri, dan individu tersendiri yang memang memiliki kompetensi untuk menanganinya. Sangat terasa, betapa

compang-camping RDK dalam hal ini. Tidak adanya sistem Open Recruitment yang standar, follow up panitia baru yang terlambat, tidak meratanya distribusi pekerjaan, kurangnya penjagaan dari panitia inti, dan entah berapa banyak hal lagi. Deretan nama-nama yang pada awalnya berjumlah 187 orang, di akhir kepanitiaan hanya tinggal tersisa 94 orang. Itulah mengapa seharusnya sejak awal, kita perlu menjalin kedekatan dan menumbuhkan sense of belonging dalam tiap diri mereka. Dengan adanya kedekatan itu, pendistribusian job dapat berjalan sesuai dengan kapasitas dan kompetensi tiap individunya, karena telah ada yang kita ketahui tentang diri mereka. Langkah awal itu, hendaknya mulai dibangun sejak Open Recruitment, yang dapat terwakili dengan proses wawancara. Proses wawancara, moment pertama interaksi kita dengan mereka sekaligus cara mengetahui seberapa besar komitmen mereka, yang sayangnya juga terelipsis dalam sistem Open Recruitment kita. Itulah yang kemudian saya pikir, merupakan hal yang terlupa dalam barisan RDK. Banyak kita baru menyadarinya di pertengahan Ramadhan, setelah melihat betapa kita tak memiliki sumber daya yang dapat diberdayakan. 187 nama yang tertera hanyalah sekedar data-data tanpa entitas yang selalu siap berjuang bersama kita. Terlalu sibuk memikirkan bagaimana acara menjadi besarkah kita hingga melupakan bagaimana agar orang-orang yang ada di dalamnya ikut menjadi semakin besar pula ? Entahlah... Saya menyesal ? Ya, sedikit banyak, kadang merasa bersalah juga. Mungkin saya masih suka larut dalam masalah dan aktivitas saya sendiri hingga melupakan hal sestrategis itu. Manajemen pemberdayaan sumber daya manusia kita kurang optimal. Dan kalau biasanya RDK digunakan sebagai media untuk menyerap mahasiswa-mahasiswa baru, kali ini pun hal itu tidak bisa terjadi. Memang, ada faktor situasi dan kondisi juga dalam hal ini. RDK yang diadakan pada masa liburan, berarti pula bahwa para mahasiswa baru belum memasuki dunia kampus sehingga memang cukup wajar bila mereka belum dapat ikut serta merasakan gegap gempita kepanitiaan RDK. Hanya saya, suatu waktu selepas RDK, saya sempat membaca sebuah catatan dari seorang pembesar RDK entah berapa tahun sebelumnya dan beliau menyebutkan di sana, RDK tahun ini kita memiliki target 100 maba terjaring sebagai panitia. Subhanallah. Menangis rasanya. Tapi, tak ada gunanya menyesalkan cerita yang telah terjadi ini, kecuali untuk menjadikannya bahan evaluasi dan rekomendasi. Terlepas dari itu, RDK ternyata juga memberikan efek samping bagi saya. Nyaris tiga bulan lamanya selalu berada di sekretariat RDK, yang juga berarti sekretariat JS- membuat saya merasa mendapatkan rumah kedua. Ia membuat saya mengenal lebih banyak dari organisasi yang selama hampir empat semester ini menjadi bagian hidup saya. Nyaris setiap hari berada di sana, membuat saya tidak hanya mengenal betapa nyaman atau betapa berantakannya ruangan itu semata, tetapi juga membuat saya mengenal dinamika orang-orang yang berada di sana. Permasalahan apa yang tengah terjadi, ada apa dengan A, ada apa dengan B, mengapa seperti ini, mengapa seperti itu, sejak kapan, lantas bagaimana, dan sekian banyak hal lainnya. Saya berjalan bersama dinamika kehidupan orang-orang yang ada. Hingga pada akhirnya, kini seringkali muncul satu kerinduan di tengah waktu yang tersisa, kerinduan untuk singgah di sana, menyempatkan diri menengoknya, dan kembali merasakan indahnya dinamika kehidupan orang-orang yang menyertainya. Tentu saja, ini hanyalah sebuah catatan yang tertinggal dalam hati dan benak saya. Sepeti juga RDK yang meninggalkan sekian banyak hal untuk saya. Pelajaran-pelajaran berharga, pengalaman yang tak ada duanya, rekan-rekan yang luar biasa, hingga kontak-kontak dari sekian manusia antah berantah yang sempat memenuhi phonebook. Warna-warni yang meliputi diri-

dirimu, air mata yang sempat mengalir entah karenamu-karenaku-atau karena kita, perasaan jengah dan lelah yang kadang hinggap, semangat yang kadang hendak lenyap, nasehat-nasehatmu yang membasahi padang kegersangan jiwa, juga kuncup-kuncup bunga penuh kasih yang telah mekar di hati-hati kita, semua itu kugoreskan kembali, menyatu dalam selaksa kisah Ramadhan di Kampus 1432 H... Ingatlah, suatu waktu nanti, ketika kita bertemu kembali, mungkin kita telah begitu jauh berbeda. Tapi ingatlah, ingatlah dan katakan meski hanya dalam hatimu, bahwa kita pernah bersama, berjuang bersama-sama, berdiri bersama-sama, bermimpi bersama-sama, dan berlelah bersama-sama dalam bingkai sebuah kisah indah bernama RDK. Ini aku, masih sebagai seorang bocah kecil yang tak tahu apa-apa, yang gelasnya tak pernah penuh dan selalu ingin kau isi dengan berbagai hal baru. Kalian, yang menguatkanku untuk kembali berdiri tegak meniti jalan ini ketika aku jatuh. Kalian, yang mendamaikan jiwaku ketika aku merasa resah, jerih, dan payah. Kalian, yang meneteskan embun kesejukan ketika hatiku terasa begitu gersang dan jauh dari-Nya. Kalian, yang mengingatkanku bahwa harus ada iringan rasa syukur ketika aku tersenyum dan tertawa. Ukhuwah ini, mengalir lembut, menyenangkan, bersinar, jernih, dan ceria. Meski, terkadang juga bermanifestasi menjadi luh yang mengalir lembut, menyesakkan, berderai, jerih, dan badai.

Anda mungkin juga menyukai