Anda di halaman 1dari 106

KALAMSIASI

Jurnal Ilmu Komunikasi dan Ilmu Administrasi Negara


Vol. 3, No. 1, Maret 2010

Daftar Isi
JARINGAN KOMUNIKASI KARYAWAN WATER PARK SUN CITY SIDOARJO DALAM PENYELESAIAN PEKERJAAN. Ainur Rochmaniah & Dedy Iswanto ...................................................... PENGARUH EFEKTIFITAS KOMUNIKASI ANTARPRIBADI PIMPINAN DAN BAWAHAN TERHADAP PENINGKATAN KINERJA PEGAWAI DI BALAI MONITOR SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT KELAS II SURABAYA. Didik Hariyanto & Sular....................................................................... PENGARUH RESTORATIVE JUSTICE UNTUK MEMPERKUAT KEPRIBADIAN TERSANGKA ANAK (Studi Advokasi Bagi Anak yang Ditahan dalam Satu Tahanan Bersamaan dengan Tersangka Dewasa) Noor Fatimah Mediawati....................................................................... KAJIAN EMPIRIS PELAKSANAAN SELF ASSESSMENT PAJAK DAERAH. Haryono ................................................................................................ KONVERGENSI TEKNOLOGI MEDIA DAN KOMPETENSI JURNALIS DENGAN KEBEBASAN PERS DALAM TANGGUNG JAWAB KEBENARAN INFORMASI PADA KARYA JURNALISTIK. Sri Ayu Astuti ....................................................................................... KRITIK ATAS PERAN KOMUNIKASI. Totok wahyu Abadi ............................................................................... IDENTITAS POLITIK DAN POLITIK IDENTITAS SEBUAH TEORETIS. Lusi Andriani ........................................................................................ PENDIDIKAN DAN ALIENASI KEMANUSIAAN (Sebuah Ancangan Teori untuk Analisis Praktik Pendidikan ) Mohammad Isfironi ............................................................................... 89 - 101 79 - 88 71 - 78 57 - 70 47 - 56 35 - 45 21 - 33 1 - 19

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb. Pembaca yang budiman, Alhamdulillah, Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas terbitnya Jurnal Kalamsiasi Vol. 3 No. 1 Maret 2010 ini. Semoga apa yang tersaji dalam edisi ini dapat menambah wawasan pengetahuan dalam kerangka mengasah dan meningkatkan kualitas keilmuan kita. Dalam edisi ini, Jurnal KALAMSIASI menyajikan beragam topik yang menyangkut perkembangan ilmu-ilmu sosial humanora, khususnya bidang kajian ilmu Komunikasi, administrasi publik dan kajian ilmu-ilmu sosial politik lainnya yang sejalan dengan Jurnal KALAMSIASI. Bidang kajian ilmu komunikasi Ainur Rochmaniah dan Dedy Iswanto, menelisik Jaringan Komunikasi Karyawan Water Park Sun City Sidoarjo dalam Penyelesaian Pekerjaan. Didik Hariyanto dan Sular, membahas Pengaruh Efektifitas Komunikasi Antarpribadi Pimpinan dan Bawahan Terhadap Peningkatan Kinerja Pegawai di Balai Monitor Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit Kelas II Surabaya. Sri Ayu Astuti, mengetengahkan masalah Konvergensi Teknologi Media dan Kompetensi Jurnalis dengan Kebebasan Pers dalam Tanggung Jawab Kebenaran Informasi pada Karya Jurnalistik. Totok Wahyu Abadi, menyoroti Kritik Atas Peran Komunikasi. . Bidang kajian ilmu politik Lusi Andriani, mencoba menelaah Identitas Politik dan Politik Identitas Sebuah Teoretis. Sedangkan dalam kajian Administrasi Publik ada Haryono, yang mengetengahkan Kajian Empiris Pelaksanaan Self Assessment Pajak Daerah. Selain itu ada pula tulisan Noor Fatimah Mediawati, dan Mohammad Isfironi, yang akan menambah wawasan dan memperkaya khasanah dalam pengembangan ilmu sosial dan humaniora. Akhir kata, saran dan kritik selalu kami nantikan untuk kebaikan Jurnal yang kita cintai ini dimasa-masa yang akan datang. Selamat Membaca

Wassalamualaikum wr.wb.

Penyunting

JARINGAN KOMUNIKASI KARYAWAN WATER PARK SUN CITY SIDOARJO DALAM PENYELESAIAN PEKERJAAN
Ainur Rochmaniah* Dedy Iswanto**
(*Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Jalan Majapahit 666 B Sidoarjo, eMail: ninuck_ar@yahoo.co.id; **Alumnus FISIP Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Jalan Majapahit 666 B Sidoarjo)

ABSTRACT
The study aims to explain the formed communication network in the completion of employees duty of Water Park Sun City, Sidoarjo, and identify the individuals roles in the formed communication network. Moreover, the research uses 36 respondents and sociometric and sociogram data analysis techniques. The result of the research shows that in completing their duty, employees are always in coordination with other members and a communication network formed is a wheel network pattern and all channels network. The role of each individual that is formed is click, opinion leader, bridge, liaison, and isolate. Keywords: opinion leader, bridge, liaison, dan isolate

PENDAHULUAN
Pada dasarnya suatu organisasi tidak terlepas dari kegiatan komunikasi. Schein menyatakan bahwa organisasi adalah suatu koordinasi rasional kegiatan sejumlah orang untuk mencapai beberapa tujuan umum, melalui pembagian pekerjaan dan fungsi melalui hierarki otoritas dan tanggung jawab. Dalam hal ini peran komunikasi dibutuhkan dalam rangka koordinasi itu sendiri, sehingga keefektifan komunikasi sangat menentukan, apakah koordinasi itu berjalan dengan baik atau tidak (Muhammad, 2005: 23)
1

Koordinasi dalam suatu oganisasi mutlak untuk dilakukan, hal ini dikarenakan bagian-bagian dari organisasi tidak mungkin berjalan sendiri-sendiri, bagianbagian tersebut terintegrasi dalam suatu sistem dan menjadi bagian dari sistem itu sendiri, yang bekerja secara sistematis untuk menghasilkan suatu produk atau tujuan-tujuan organisasi. Dikatakan sebagai suatu sistem, berarti ada keterkaitan serta ketergantungan diantara individu, atau bagian-bagian didalam organisasi, dalam menyelesaikan suatu tugas atau pekerjaan, sehingga bila salah

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 1 - 19

satu bagian terganggu maka akan berpengaruh pada bagian lain. Dalam kaitanya dengan koordinasi, organisasi membuat saluran-saluran komunikasi secara resmi, yang sengaja dibentuk guna kelancaran koordinasi. Saluran-saluran tersebut terwujud dalam suatu jaringan komunikasi formal, sehingga terjadi keteraturan kontak dimana setiap pesan yang mengalir harus melewati saluran-saluran resmi tersebut, dalam arti, dari mana pesan itu dibuat, melalui mana pesan itu mengalir, melewati siapa dan ditujukan kepada siapa, sudah sangat jelas, setiap individu dalam jaringan ini sudah ditentukan perananya masing-masing. Pesan dalam jaringan komunikasi formal biasanya mengalir dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas (vertikal), serta mengalir pada tingkatan yang sama dalam struktur organisasi (horisontal). Meskipun pesan itu mengalir pada saluransaluran yang tepat, yang dibuat sedemikian rupa guna kelancaran kordinasi, tetapi tidak menutup kemungkinan saluransaluran tersebut menemui kegagalan. Dengan demikian, manajemen perlu melihat jaringan komunikasi sosial lainya yang bersifat informal sebagai alat bantu yang dapat memaiankan peran dengan baik pada saat saluran dan prosedur formal justru mengalami kegagalan (Hardjana, 2000: 68). Terbentuknya jaringan komunikasi informal tidak dapat dibendung oleh organisasi, sifat hubungan-hubungan pribadi berkembang dalam jaringan ini dengan menggunakan sembarang saluran, artinya saluran-saluran serta hubungan-hubungan yang timbul tidak terkait dengan jabatan atau posisi dalam struktur organisasi, sehingga individu-individu dalam jaringan

ini bebas melakukan kontak dengan siapa saja tanpa ada batasan apapun, dan berlangsung kapanpun, baik didalam jam kerja maupun diluar jam kerja. Dalam penyelesaian pekerjaanya, karyawan sering terkait dengan pola hubungan sosial dalam suatu kelompok sosial yang terbentuk didalam organisasi yang tidak ada kaitanya dengan tugas kedinasan, hal ini semata-mata untuk memenuhi kebutuhan sosial dan emosional, yang juga sangat penting pengaruhnya dalam kehidupan organisasi.(Umar,2002:77). Water Park Sun City (WPSC) Sidoarjo adalah perusahaan yang menyediakan sarana hiburan, olah raga, dan rekreasi keluarga dengan konsep taman air, salah satu faktor penentu produksi adalah mengoptimalkan kegiatan komunikasi, guna kelancaran koordinasi dalam penyelesaian tugas atau pekerjaan, juga memberikan pelayanan yang optimal kepada para pengunjung. Hal ini sangat mutlak dilakukan karena produktivitas karyawan dapat dilihat, dinilai, dan dirasakan langsung oleh pengunjung, mengingat, interaksi langsung antara karyawan dengan pengunjung sulit untuk dihindari. Saluran-saluran komunikasi resmi yang dipakai selama ini menyerupai struktur perusahaan, dimana setiap pesan yang berkaitan dengan masalah pekerjaan, mengalir sesuai dengan garis komando dalam struktur perusahaan, dalam hal ini Manager Operasional bertindak sebagai pusat koordinasi. Pada umumnya komunikasi yang berlangsung berbentuk vertikal. Meskipun hanya terdapat tiga tingkatan dalam struktur perusahaan, sebagian besar karyawan pada tingkatan paling bawah sulit untuk memberikan feed back secara langsung

Ainur Rochmaniah & Dedy Iswanto, Jaringan Komunikasi Karyawan Water Park...

pada manager operasional. Adapun feed back tersebut dapat disampaikan secara langsung hanya pada saat dilakukanya meeting, yang pada dasarnya tidak terjadwal secara teratur (insidental). Namun demikian, sebagian dari karyawan pada tingkatan paling bawah mampu memberikan feed back secara langsung. Hal ini dikarenakan ruang kerja yang berdekatan, sehingga memungkinkan komunikasi dari atas ke bawah dapat berjalan secara langsung, dalam artian komunikasi antara manager operasional dengan karyawan pada tingkatan paling bawah dapat berlangsung tanpa harus melalui koordinator, maupun kepala divisi masing-masing. Terlepas dari saluran-saluran resmi yang dibuat perusahaan, hubungan hubungan sosial diluar struktural maupun fungsional berkembang sedemikian rupa. Hal ini ditunjukan dengan adanya suatu bentuk keakraban yang tercermin dalam setiap kegiatan komunikasi yang berlangsung, baik didalam jam kerja maupun diluar jam kerja. Ruang serta mobilitas kerja karyawan yang terbuka memungkinkan berkembangnya pola hubungan antarpersona yang efektif serta mampu menunjang dalam penyelesaian pekerjaan karyawan, karena didalam jam kerja, antar bagian dalam tingkatan ini dapat melakukan komunikasi tatap muka secara langsung tanpa ada batasan ruang. Bagianbagian ini antara lain; cleaning service (OB), Life Guard (LG), Resto, Maintenance, serta Gardener. Meskipun bagianbagian tersebut mempunyai tugas dan wewenang yang berbeda secara fungsional, disamping mampu bertanggung jawab pada bagianya masing-masing, tanpa adanya instruksi dari koordinator

atau kepala divisi maupun manager operasional, sebagian dari karyawan juga mampu bekerja sama dalam menyelesikan suatu pekerjaan diluar fungsionalnya, apakah bentuk kerja sama itu secara fisik atau sekedar tukar pendapat diantara mereka. Melihat fenomena kegiatan komunikasi antar karyawan di atas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai Jaringan Komunikasi Karyawan Water Park Sun City Sidoarjo Dalam Penyelesaian Pekerjaan. Karenanya, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana jaringan komunikasi karyawan Water Park Sun City (WPSC) Sidoarjo dalam penyelesaian pekerjaan dan bagaimana peranan tiap individu dalam jaringan komunikasi yang terbentuk?

KERANGKA TEORI
Pola Jaringan Komunikasi Karyawan Komunikasi adalah suatu proses memberikan sinyal menurut aturan tertentu sehingga dengan cara ini suatu sistem dapat didirikan, dipelihara, dan diubah. Brent D Ruben memberikan pengertian komunikasi sebagai berikut; komunikasi manusia adalah suatu proses melalui mana individu dalam hubungannya, dalam kelompok organisasi, dan dalam masyarakat menciptakan, mengirimkan, dan menggunakan informasi untuk mengkoordinasikan lingkunganya dan orang lain (Muhammad, 2005 : 3). Menurut Husain Umar (2002) proses komunikasi terdiri dari dua cara yaitu : 1). Proses secara primer. Adalah proses penyampaian pikiran dan perasaan

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 1 - 19

seseorang kepada orang lain dalam menggunakan symbol sebagai media yakni, bahasa, gambar, warna.dan sebagainya, yang secara langsung mampu menerjemahkan pikiran dan perasaan komunikator kepada komunikan. 2). Proses secara sekunder. Adalah proses penyampaian pesan dengan menggunakan alat atau sarana media kedua setelah menggunakan lambang sebagai media pertama. Wayne Pace memberikan pengertian komunikasi organisasi sebagai suatu pertunjukan dan penafsiran pesan diantara unit-unit komunikasi yang merupakan bagian dari suatu organisasi tertentu. Suatu organisasi terdiri dari unitunit komunikasi dalam hubunganhubungan hierarkis antara yang satu dengan yang lain dan berfungsi dalam suatu lingkungan. (Umar, 2002:65-66) Di dalam komunikasi organisasi terdapat komunikasi internal, yaitu pertukaran gagasan diantara para administrator dan karyawan dalam suatu perusahaan atau jabatan yang menyebabkan terwujudnya perusahaan atau jawatan tersebut dengan strukturnya yang khas (organisasi) dan pertukaran gagasan secara horizontal dan vertical dalam perusahaan atau jawatan yang menyebabkan pekerjaan berlangsung (operasi dan manejemen). (Effendi, 1984 : 122). Dimensi komunikasi internal dibagi menjadi dua yaitu: 1). Komunikasi Vertikal Yaitu komunikasi dari atas ke bawah (downward communication), dan dari bawah ke atas (Upward communication),

adalah komunikasi yang terjadi dari pimpinan kepada bawahan, serta dari bawahan kepada pimpinan. Dalam komunikasi vertikal, pimpinan memberikan intruksi, informasi, nasehat serta bimbingan pada setiap karyawan sesuai dengan tingkat kemajuan dalam kinerja maupun karirnya. Sedangkan dari bawahan. Memberikan laporan-laporan serta saransaran dan pengaduan kepada pimpinan. Komunikasi ini dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung. Dalam hal ini tidak langsung berarti pesan harus mengalir secara bertahap melalui saluransaluran resmi untuk sampai kepada komunikan. Hal ini tergantung pada bagaimana organisasi tersebut membuat sistem komunikasinya. 2). Komunikasi Horisontal Yakni komunikasi yang berlangsung dalam tingkatan yang sama dalam struktur organisasi, antara sesama karyawan, anggota staf dengan anggota staf yang lain, dan sebagainya. Komunikasi horisontal biasanya berhubungan dengan pemecahan masalah, koordinasi, penyelesaian konflik, dan desas-desus (Muhammad, 2005:72 ). 3). Komunikasi Lintas Saluran (Diagonal) Komunikasi berlangsung melintasi jalur fungsional, hubungan komunikasi tersebut terjadi pada orang-orang yang diawasi dan yang mengawasi, tetapi mereka bukan atasan atau bawahan dalam struktur organisasi. Mereka dapat mengunjungi bagian lain atau meninggalkan ruang kerja mereka hanya untuk terlibat dalam komunikasi informal. Ada tiga pola hubungan individu

Ainur Rochmaniah & Dedy Iswanto, Jaringan Komunikasi Karyawan Water Park...

dalam organisasi, seperti yang dikemukakan oleh R. Wayne Pace dan Don F Faules . (Pace : 2006). Yakni : 1). Hubungan Posisional Hubungan yang terbentuk dan ditentukan oleh struktur otoritas serta tugastugas fungsional di dalam organisasi. Hubungan yang paling umum terjadi yakni, hubungan atasan-bawahan (berkenaan dengan jabatan) 2). Hubungan Antarpersona Adalah hubungan paling intim yang terjadi antar individu dalam tingkat pribadi, antar teman, sesama sebaya, dan lain sebagainya. Kedekatan antarpersona diantara individu dalam organisasi cenderung saling memper-hatikan antar satu sama lain, daripada orang-orang lain diluar hubungan tersebut. 3). Hubungan Berurutan Informasi disampaikan ke seluruh organisasi formal oleh suatu proses; dalam proses ini orang di puncak hierarki mengirimkan pesan kepada orang kedua yang kemudian mengirimkanya lagi kepada orang ketiga. Reproduksi pesan orang pertama menjadi pesan orang kedua, dan reproduksi pesan orang kedua menjadi pesan orang ketiga (Haney: 1962). Cara penyebaran dari orang ke orang ini disebut berurutan. Untuk membahas jaringan komunikasi, banyak pakar yang memberikan pendapatnya antara lain:

komunikasi formal, yang sangat menyerupai struktur organisasi. Ada saluransaluran formal melalui mana komunikasi mengalir. Misalnya, seorang pegawai hanya dapat berkomunikasi dengan manajer umum melalui pengawasnya langsung. Prosedur komunikasi demikian melindungi administrator tingkat atas dari informasi yang tidak diperlukan dan menguatkan struktur kekuasaan. Ada juga jaringan komunikasi informal, kadang-kadang disebut grapevine. Komunikasi informal ini terjadi dari luar saluran-saluran yang telah ditentukan, dan paling sering dilakukan dalam interaksi tetap muka atau dengan telepon. Komunikasi informal ini dapat berhubungan dengan tugas atau dengan kemasyarakatan. Grapevine dapat digunakan oleh manejemen puncak untuk membuat pengumuman tidak resmi. Tiap orang dalam organisasi mempunyai peranan dalam jaringan komunikasi formal dan peranan dalam jaringan komunikasi informal, dan kedua peranan ini sangat mempengaruhi berapa banyak dan jenis informasi apakah ia akan menerimanya.

2). Stephen P Robbins .


Dimensi vertikal dan horisontal dalam komunikasi organisasi dapat digabungkan dalam bermacam-macam pola atau dengan apa yang disebut jaringan-jaringan komunikasi. Ada lima jaringan yang sudah lazim ditunjukkan atau dipakai yaitu: a). Jaringan rantai Jaringan rantai menunjukkan suatu hierarki vertikal, dimana komunikasi hanya dapat bergerak menuju ke atas atau ke bawah

1). Daniel C. Fedmen dan Hugh J. Arnold


Ada dua pola komunikasi dalam organisasi. Pola pertama adalah jaringan

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 1 - 19

Gambar 1:

d). Jaringan Lingkaran Jaringan lingkaran memungkinkan anggota-anggota saling mempengaruhi dengan anggota-anggota yang berdampingan, tetapi tidak lebih jauh. Jaringan ini menunjukan suatu hierarki tingkat tiga, tingkat didalam mana terdapat komunikasi vertikal antara atasan dan bawahan, dan komunikasi horisontal hanya pada tingkat paling rendah. Gambar 4:

b). Jaringan Y Apabila kita mengubah jaringan Y terbalik, dapat dilihat dua orang bawahan memberi laporan kepada seorang manajer yang masih mempunyai dua tingkat hierarki di atas menejer. Gambar 2:

e). Jaringan Semua Saluran Jaringan semua saluran memungkinkan tiap subjek mengadakan komunikasi secara bebas dengan ke empat orang anggota lainya. Gambar 5:

c). Jaringan Roda Apabila melihat diagram roda seolah-olah seseorang sedang berdiri diatas jaringan. Jaringan roda menunjukan seorang menejer yang mempunyai empat orang bawahan. Akan tetapi tidak ada pengaruh timbal balik antara orang-orang bawahan. Semua komunikasi disalurkan melalui menejer. Gambar 3:

Peranan-peranan Jaringan Komunikasi R. Wayne Pace dan Don F. Faules (2006:176) menjelaskan bahwa sebuah oranisasi terdiri dari orang-orang dalam berbagai jabatan. Ketika orang-orang dalam jabatan itu mulai berkomunikasi satu dengan lainya, berkembanglah

Ainur Rochmaniah & Dedy Iswanto, Jaringan Komunikasi Karyawan Water Park...

keteraturan dalam kontak dan Siapa berbicara kepada siapa lokasi setiap individu dalam pola dan jaringan yang terjadi memberi peranan pada orang tersebut. Secara singkat ada tujuh peranan jaringan komunikasi yaitu:

3). Jembatan (Bridge)


Adalah seorang anggota klik yang memiliki sejumlah kontak yang menonjol dalam kontak antar kelompok, juga menjalin kontak dengan anggota klik lainya. Sebuah jembatan berlaku sebagai pengontak langsung antara dua kelompok pegawai. Farace dkk (1977) memperkirakan bahwa penyimpangan pesan akan meningkat bila kontak dan hubungan diantara klik terutama ditangani oleh jembatan. Sebagai orang yang menyampaikan pesan dan merupakan citra sentral dalam sistem komunikasi suatu klik, sebuah jembatan rentan terhadap semua kondisi yang menyebabkan kehilangan, kerusakan dan penyimpangan informasi

1). Anggota klik


Adalah sebuah kelompok indivdu yang paling sedikit separuh dari kontaknya merupakan hubungan dengan anggota-anggota lainya. Sebuah klik terbentuk bila lebih daripada separuh komunikasi anggota-anggotanya adalah komunikasi dengan sesama anggota, bila setiap anggota dihubungkan dengan semua anggota lainya dan bila tidak ada satu hubunganpun atau seorang anggotapun yang dapat dihilangkan sehingga mengakibatkan kelompok terpecah.

4). Penghubung (Liaison)


Adalah orang yang mengaitkan atau menghubungkan dua klik atau lebih tetapi ia bukan salah satu anggota salah satu kelompok yang dihubungkan tersebut. Ross dan Harary (1955) mengemukakan bahwa bila seorang penghubung menyebabkan kemacetan maka organisasi akan dirugikan, sedangkan bila penghubung efisien, ia cenderung melancarkan aliran informasi diseluruh organisasi. Rogers dan Agarwala-Rogers (1976), menyatakan bahwa peranan penghubung harus diciptakan secara formal dalam suatu organisasi apabila penghubung ini tidak terdapat secara informal

2). Penyendiri (isolate)


Penyendiri adalah mereka yang hanya melakukan sedikit atau sama sekali tidak mengadakan kontak dengan anggota kelompok lainya. Konsep penyendiri ini relatif dan harus didefinisikan bergantung pada isi pesan. Jadi mungkin saja seorang anggota organsasi menyendiri dalam suatu jaringan yang pesan-pesanya mengenai hubungan pemerintahan dengan organisasi, tetapi menjadi seorang anggota klik sentral bila pesan-pesanya berkenaan dengan administrasi internal dari suatu divisi dalam organisasi tersebut. Beberapa anggota organisasi menjadi penyendiri bila berurusan dengan kehidupan pribadi pegawai-pegawai lainya, tetapi jelas merupakan anggota klik bila pesan-pesan berkenaan dengan perubahan dalam kebijakan dan prosedur organisasi.

5). Penjaga gawang (Gate Keeper)


Menurut Katz dan Lazarsfeld (1955) berarti mengendalikan satu bagian strategis dari suatu saluran. agar memiliki kekuatan untuk memutuskan apakah sesuatu yang mengalir melintasi saluran

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 1 - 19

akan sampai kepada kelompok tersebut atau tidak

6). Pemimpin pendapat (Opinion Leader)


Adalah orang tanpa jabatan formal dalam semua sistem sosial yang membimbing pendapat dan mempengaruhi orang-orang dalam keputusan mereka. Orang ini disebut pemimpin pendapat yang dibutuhkan karena pendapat dan pengaruh mereka. Katz dan Lazarsfeld (1955) menggambarkan seorang pemimpin pendapat sebagai suatu bentuk kepemimpinan yang nyaris tidak kelihatan dan tidak dikenali, pada tingkat orang per-orang dalam kontak biasa, maupun kontak sehari-hari.

7). Kosmopolite
Adalah orang milik seluruh dunia atau orang yang bebas dari gagasan, prasangka, atau kecintaan lokal, daerah atau nasional, seorang kosmopolite adalah individu yang melakukan kontak dengan dunia luar, dengan individu diluar organisasi. Kosmopolite menghubungkan para anggota organisasi dengan orangorang dan peristiwa-peristiwa di luar batasbatas struktur organisasi.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode analisis jaringan (network analysis) yang pada dasarnya bertujuan untuk memetakan kegiatan-kegiatan komunikasi yang melibatkan responden dalam organisasi ataupun unit kerjanya dalam penyelesaian pekerjaan sesuai dengan fungsionalnya, sehingga dapat digambarkan dalam

suatu jaringan komunikasi berikut peranan tiap individu (peran jaringan kerja komunikasi) dalam setiap jaringan komunikasi yang terbentuk. Penelitian ini dilakukan di Water Park Sun City (WPSC) Sidoarjo dengan pertimbangan bahwa, komunikasi diantara karyawan dalam menyelesaikan suatu tugas atau pekerjaanya berlangsung penuh dengan keakraban. Yang menarik, sebagian dari anggota-anggotanya mampu membantu dan berfungsi dengan baik pada divisi yang berbeda untuk menyelesaikan suatu tugas atau pekerjaan diluar wewenang dan tanggung jawabnya, baik bentuk kerjasama itu secara fisik maupun sekedar tukar pendapat dalam menyelesaikan suatu tugas atau pekerjaan tertentu. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan Water Park Sun City(WPSC) Sidoarjo yang berjumlah 36 orang. Sesuai tujuan dari penelitian ini, maka teknik sampling yang digunakan adalah total sampling, yakni seluruh populasi yang ada dijadikan sampel guna memperoleh gambaran yang utuh dari seluruh populasi yang ada. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam terhadap informan. Setelah terkumpul data diolah dan dianalisis. Proses analisis data dilakukan dengan menelaah data, mengelompokan data, menemukan apa yang sesuai dengan fokus penelitian. Untuk menggambarkan data-data tertentu digunakan tabel frekwensi, kemudian untuk menggambarkan suatu jaringan komunikasi yang terbentuk beserta peranan tiap individu dalam jaringan komunikasi, akan dianalisis secara sosiomatriks dan sosiogram.

Ainur Rochmaniah & Dedy Iswanto, Jaringan Komunikasi Karyawan Water Park...

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Distribusi pilihan pasangan hubungan komunikasi karyawan dalam penyelesaian pekerjaan
Untuk mempermudah analisis data, pilihan pasangan hubungan komunikasi karyawan akan disajikan dalam bentuk sosiomatriks dan sosiogram.
Tabel 1
Memilih 1 2 3 Jml 5 25 6 % 13,9% 69,4% 16,7% Dipilih 0 1 2 3 4 5 7 JML Jml 6 13 6 3 4 2 2 36 % 16,7% 36,1% 16,7% 8,3% 11,1% 5,5% 5,5% 100%

atau 16,7%, dipilih oleh 3 orang, jumlahnya sebanyak 3 responden atau 8,3%, dipilih oleh 4 orang, jumlahnya sebanyak 4 responden atau 11,1%, dipilih oleh 5 orang, jumlahnya sebanyak 2 responden atau 5,5%, dan dipilih oleh 7 orang, jumlahnya sebanyak 2 reponden atau 5,5%. Pada dasarnya dalam pemilihan pasangan hubungan komunikasinya, responden lebih didasari oleh rasa percaya responden, bahwa pasangan hubungan komunikasinya tersebut mampu membantu penyelesaian permasalahan yang dihadapinya (dalam penyelesaian pekerjaan).

2. Arah hubungan komunikasi dalam penyelesaian pekerjaan


Tabel 2
No 1 2 Hub. Komunikasi Satu arah ( hanya memilih ) Dua arah ( saling memilih ) JUMLAH Jml 40 17 57 % 70,2% 29,8% 100%

JML

36

100%

Sumber: Sosiogram jaringan komunikasi karyawan

Berdasarkan tabel, diketahui bahwa responden yang memilih 1 orang sebagai pasangan hubungan komunikasinya, hanya terdapat 5 orang responden atau 13,9%, sedangkan yang memilih 2 orang sebagai pasangan hubungan komunikasinya, sebanyak 25 orang responden atau 69,4%, sementara responden yang memilih 3 orang sebagai pasangan hubungan komunikasinya yakni sebanyak 6 responden atau 16,7%. Responden yang tidak dipilih sama sekali oleh responden lain sebagai pasangan hubungan komunikasi, sebanyak 6 responden atau 16,7%, dipilih oleh 1 orang jumlahnya sebanyak 13 responden atau 36,1%, dipilih oleh 2 orang, jumlahnya sebanyak 6 responden

Sumber: Sosiogram jaringan komunikasi karyawan

Dari data yang diperoleh ditemukan 57 hubungan komunikasi, diantaranya 40 hubungan komunikasi atau 70,2% bersifat hanya memilih, tetapi tidak dipilih oleh pasangan komunikasinya, sedangkan 17 pasangan komunikasi lainya atau 29,8% bersifat saling memilih satu sama lain dalam penyelesaian pekerjaanya.

3. Motif Pemilihan Pasangan Hubungan Komunikasi Karyawan Dalam penyelesaian Pekerjaan.


Dalam menentukan motif (alasan yang melatarbelakangi pemilihan pasa-

10

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 1 - 19

ngan hubungan komunikasi karyawan) jawaban, responden akan diklasifikasikan sesuai dengan sifat dari hubungan yang terbentuk, antara lain: a. Hubungan Antarpersona, yakni jika antar individu yang saling berhubungan, mempunyai kedekatan emosional antar satu sama lain, menyampaikan apa yang terjadi dalam lingkungan pribadi mereka melalui penyingkapan diri (self-disclosure), bersikap tulus satu sama lain dengan menunjukan sikap menerima secara verbal maupun non verbal, menyampaikan pemahaman yang positif, hangat kepada satu sama lain dengan memberikan respons-respons yang relevan dan penuh pengertian. b. Hubungan Posisional, yakni hubungan yang ditentukan oleh struktur otoritas dan tugas-tugas fungsional anggota organisasi, antara lain, hubungan atasan dengan bawahan atau sebaliknya (secara langsung), serta hubungan antar anggota dalam satu divisi atau bagian yang sama.

Penyelesaian pekerjaan pada tiap individu dalam menjalankan fungsionalnya, tidak terlepas dari peran serta individu yang lain, dalam pemilihan pasangan hubungan komunikasinya, ditemukan beberapa hal yang melatar belakangi atau yang menjadi motif dalam pemilihan hubungan komunikasi karyawan, antara lain, yang pertama dikarenakan alasan hubungan posisional, yang kedua yakni, dikarenakan hubungan antarpersona, dan yang ketiga bermotif ganda, yakni hubungan posisional dan antarpersona. Jumlah motif pemilihan pasangan hubungan komunikasi karyawan dalam penyelesaian pekerjaanya, dapat dianalisis dalam tabel frekwensi berikut. Adapun motif disini ditujukan pada pilihan pertama responden, dimana menyangkut tingkat ketergantungan yang cukup tinggi terhadap pasangan komunikasinya tersebut dalam penyelesaian pekerjaanya. Tabel 3 menunjukkan bahwa motif hubungan posisional, ditemukan pada 7 pasangan hubungan komunikasi atau 19,5%, diantaranya adalah pasangan

Tabel 3
NO 1 MOTIF HUBUNGAN Posisional PASANGAN KOMUNIKASI (3-1), (4-1),(5-1),(21-19),(23-19), (35-36),(36-37). 2 3 Antarpersona Posisional + antarpersona (19-17),(22-25),(27-17) (1-2),(2-1),(6-2), (7-4), (8-10), (9-10), (10-9), (11-10),(12-16), (13-16), (14-16),(15-16),(16-12), (17-18),(18-17),(20-19), (24-19), (25-3),(26-3),(28-5),(29-28), (30-5), (31-30), (32-5), (33-5), (34-5). JUMLAH 36 36 100% 3 26 8,3% 72,2% JUMLAH 7 % 19,5%

Sumber : Sosiogram jaringan komunikasi karyawan

Ainur Rochmaniah & Dedy Iswanto, Jaringan Komunikasi Karyawan Water Park...

11

responden No (3-1),(4-1),(5-1), yakni komunikasi vertikal yang terjadi antara seorang bawahan dengan atasan (downward communication), dan pasangan responden No (21-19),(23-19) yakni komunikasi antar anggota (horisontal), sedangkan 2 orang responden lainya, saling memilih dalam penyelesaian pekerjaanya, yakni responden No 35 dan 36 yang bertugas pada bagian yang sama. Pasangan hubungan komunikasi dengan motif hubungan antarpersona terdiri dari 3 pasangan hubungan komunikasi lintas saluran, yakni pasangan responden Nomor (7-2),(19-27),(22-25) dan (27-17), dimana 4 orang responden hanya memilih tetapi tidak dipilih oleh pasangan hubungan komunikasinya Pada hubungan dengan motif ganda ( Posisional + Antarpersona ), ditemukan 26 pasangan hubungan komunikasi atau 72,2%, dimana 4 pasangan diantaranya saling memilih sebagai pilihan pertamanya didalam penyelesaian pekerjaan, yakni pasangan responden No (1-2),(9-10),(1216), dan (17-18). Jadi dalam penyelesaian pekerjaanya, mayoritas karyawan WPSC dalam menjalankan fungsionalnya, terkait dengan hubungan antarpersona.

4. Jaringan komunikasi yang terbentuk pada Karyawan WPSC dalam penyelesaian pekerjaan
Jika melihat pola jaringan yang terbentuk pada beberapa klik, antara lain klik B, E, F dan klik G, maka jaringan yang terbentuk adalah jaringan Roda. Hal ini didasarkan atas pilihan pasangan hubungan komunikasi semua anggotaanggotanya dari masing-masing klik, yang terpusat pada salah satu anggotanya

didalam kliknya masing-masing. Tetapi aksesibilitas anggota masing-masing klik tersebut dalam kegiatan komunikasinya yang berkaitan dengan penyelesaian pekerjaan tidak terbatas, dalam arti, tiaptiap anggota pada masing-masing klik mampu melakukan kontak yang lebih dengan sebagian anggota lainya. Misalnya, klik B beranggotakan 5 orang, keempat anggotanya masing-masing memilih responden nomor 19 sebagai pasangan hubungan komunikasinya, sehingga menjadikan responden nomor 19 sebagai pusat koordinasi, dimana tingkat ketergantungan anggota lainya kapada responden nomor 19 cukup tinggi. Tetapi pada kenyataanya mereka juga dapat saling mempengaruhi satu sama lain. Hal ini ditunjukan dengan adanya kontak yang lebih pada masing-masing anggota dengan anggota atau sebagian anggota lainya dalam jaringan komunikasi yang terbentuk. Sehingga pola jaringan Roda yang terbentuk hampir menyerupai pola jaringan Semua Saluran. Dengan terbentuknya pola jaringan seperti ini, aksesibilitas anggota dalam mengirim dan menerima pesan/informasi cukup terbuka, tetapi tetap saja tingkat ketergantungan karyawan dalam penyele-saian pekerjaannya, masih banyak tergan-tung pada anggota klik yang berperan sentral sebagai pemimpin pendapat (Opoinion Leader) baik formal maupun tanpa jabatan formal. Sehingga anggota-anggotanya sulit untuk mengambil keputusan atau inisiatif sendiri, ketika terjadi suatu permasalahan dalam penyelesaian pekerjaanya. Pada jaringan Roda yang terbentuk, terjadi kelebihan beban pesan dan pekerjaan pada individu yang berperan sentral sehingga dapat mempengaruhi

12

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 1 - 19

kinerja individu yang berperan sentral itu sendiri. Kurangnya kemandirian karyawan terjadi pada pola jaringan seperti ini, anggota dalam jaringan ini sulit mengambil inisiatif atau langkah-langkah yang cepat dan tepat ketika mendapatkan suatu permasalahan dalam penyelesaian pekerjaanya, karena masih tergantung penuh pada pimpinan maupun peran opinion leader. Sebaiknya menajemen lebih meningkatkan lagi kemampuan SDM karyawan, dengan memberikan pelatihanpelatihan atau kursus-kursus tambahan pada bidang kerja masing-masing. Sehingga karyawan mampu mengambil keputusan sendiri dalam suatu permasalahan tertentu, ketika pimpinan sulit untuk ditemui atau dalam keadaan tertentu ketika terjadi kemacetan atau gangguan komunikasi antara karyawan dengan atasan. Disamping itu juga terbentuk jaringan semua saluran yaitu pada Klik C (No. 17, 18 dan 27), seluruh anggota-anggotanya saling mempengaruhi antar satu sama lain dalam penyelesaian pekerjaanya, meskipun tidak ada hubungan posisional antara responden nomor 27 dengan anggota lainya, ternyata dalam jaringan ini, diantara anggota-anggotanya mampu bertukar peran fungsional. Jaringan ini terbentuk karena hubungan antarpersona yang cukup erat diantara ketiganya. Jaringan Semua Saluran ini juga terbentuk pada klik A dan klik D. Dalam jaringan ini pemecahan suatu permasalahan akan lamban, hal ini karena tidak ada pengaruh yang dominan dari salah satu anggotanya. Tetapi aksesibilitas karyawan dalam menerima dan menyampaikan pesan, tidak terbatas (dapat menggunakan semua saluran).

5. Peran Individu Dalam Jaringan Komunikasi


a. Klik Dalam jaringan komunikasi karyawan, terdapat 7 klik dalam kegiatan komunikasi karyawan WPSC berkaitan dengan penyelesaian pekerjaan, diantaranya dengan anggota-anggotanya sebagai berikut :
Tabel 4.7
No 1 2 3 4 5 6 7 Klik Klik A Klik B Klik C Klik D Klik E Klik F Klik G Anggota 1, 2, 6 19, 20, 21, 23, 24 17, 18, 27 3, 22, 25 8, 9, 10, 11 12, 13, 14, 15, 16 5, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34 31 Jml 3 5 3 3 4 5 8 31 % 8.33% 13,88% 8,33% 8,33% 11.1% 13,88% 22,2% 86,1%

Jumlah

Sumber : Sosiogram jaringan komunikasi karyawan

Keterangan 1). Klik A Pada tabel di atas klik A beranggotakan 3 orang yang terbentuk karena hubungan posisional maupun hubungan antarpersona diantara anggotanya. 2). Klik B Klik B Beranggotakan 5 orang responden dari bagian yang sama dan saling memahami tugas dan tanggung jawab sesuai dengan fungsionalnya, Klik ini terbentuk terkait dengan hubungan antarpersona dan posisional (karena mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sama).

Ainur Rochmaniah & Dedy Iswanto, Jaringan Komunikasi Karyawan Water Park...

13

3). Klik C Klik C menunjukan adanya 3 orang responden, pola jaringanya membentuk jaringan lingkaran dan terjadi komunikasi lintas saluran didalamnya (beda divisi/unit kerja) yakni antara responden nomor 27 dengan kedua responden lainya. 4). Klik D Klik D beranggotakan 3 orang responden, yang menunjukan satu orang atasan dan dua orang bawahan. Diantara responden nomor 22 dan 25 tidak terdapat hubungan posisional didalamnya, hubungan yang timbul lebih dikarenakan hubungan antarpersona yang terbentuk diantara keduanya. 5). Klik E Klik E terbentuk dari anggota-anggota dalam satu bagian yang sama, yang menunjukan nomor 10 sebagai seorang jembatan (bridge) sekaligus pemimpin pendapat (opinion leader) dalam kliknya. 6). Klik F Klik F terdiri dari 5 orang anggota dalam bagian yang sama, jika dilihat pola jaringanya, hampir membentuk pola jaringan semua saluran, terjadi lebih dari satu kontak diantara anggota tetapi tidak memenuhi keseluruhan anggota. Komu-nikasi horisontal yang terjadi diantara anggota dikarenakan alasan formal, yakni dalam tugas dan tanggung jawab yang sama, serta sebagian dari mereka juga terkait hubungan antarpersona yang cukup erat.

7). Klik G Klik G memiliki anggota paling banyak dibanding dengan klik-klik yang lain yakni 7 orang responden. sebagai atasan adalah responden nomor 5 yang juga bertindak sebagai pusat koordinasi dari anggotanya

b. Isolate (Penyendiri)
Dalam jaringan komunikasi yang terbentuk, ditemukan 3 orang responden yang berperan sebagai isolate, yakni responden nomor 4, 26, dan 36 dapat dikatakan bahwa dalam penyelesaian pekerjaanya ketiga responden tersebut berperan sebagai isolate, hal ini dikarenakan anggota dalam bagian atau divisinya jumlahnya terbatas yakni tidak lebih dari dua orang dan dikarenakan jabatan fungsionalnya didalam jam kerja, ketiga responden tersebut tidak memungkinkan untuk meninggalkan ruang kerjanya, sehingga komunikasi dengan karyawan lainya sangatlah terbatas.

c. Pemimpin Pendapat (Opinion Leader)


Dalam Jaringan Komunikasi yang terbentuk ditemukan beberapa Opinion Leader tanpa jabatan formal, dalam hal ini yakni responden yang dipilih paling banyak oleh anggotanya dalam rangka penyelesaian pekerjaan yang akan dianalisis pada tiap-tiap klik sebagai berikut: 1). Klik A Pada klik A tidak ditemukan seorang pemimpin pendapat, kecuali responden nomor 1 yang memegang peran sentral sebagai pusat koordinasi karyawan (Pemimpin Pendapat

14

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 1 - 19

Formal). Adapun komunikasi yang terjadi diantara mereka dalam penyelesaian pekerjaan, dapat saling mempengaruhi, tetapi lebih didominasi oleh responden nomor 1, hal ini dikarenakan otritas kekuasaanya sebagai manajer operasional. 2). Klik B Dalam penyelesaian pekerjaanya anggota-anggota dari klik B menjadikan responden nomor 19 sebagai pemimpin pendapat mereka. Disamping dikarenakan kompetensinya dalam bidang pekerjaanya diantara 4 orang responden yang memilih nomor 19, dua diantara pemilih memiliki motif hubungan antarpersona dengan responden nomor 19, yakni responden nomor 20 dan 24. 3). Klik C Klik C tidak mempunyai pemimpin pendapat, ketiga anggotanya saling mempengaruhi dalam penyelesaian pekerjaanya tetapi lebih didominasi oleh responden nomor 17. Walaupun satu diantara anggotanya berlainan tugas dan bagian, klik ini ternyata sangat solid, hal ini dibuktikan dengan kemampuan mereka dalam bertukar peran fungsional satu sama lain 4). Klik D Responden nomor 3 mempunyai dua peran sekaligus dalam klik ini yakni sebagai pemimpin pendapat formal dan informal, sabagai pemimpin pendapat formal responden nomor 3 adalah seorang pimpinan resmi dari kedua anggotanya.

5). Klik E Klik E mempunyai seorang pemimpin pendapat yakni responden nomor 10, yang dipilih oleh ketiga anggotanya. Responden nomor 10 dipilih karena pengalaman pada bidang kerjanya serta hubungan antarpersona yang terjalin diantara mereka. 6). Klik F Kegiatan komunikasi dalam klik ini lebih menonjol, kelima anggotanya memilih lebih dari satu orang sebagai pasangan hubungan komunikasinya, hal ini menunjukan koordinasi yang maksimal diantara mereka yang dilatarbelakangi juga oleh hubungan antarpersona diantara anggotanya. Responden nomor 16 bertindak sebagai pemimpin pendapatnya, yakni dipilih oleh ke empat orang anggotanya, karena kompetensinya serta hubungan antarpersona yang terjalin. 7). Klik G Klik ini beranggotakan paling banyak dibandingkan dengan klik yang lain, yakni 8 orang responden. Ditemukan 2 orang responden sebagai pemimipin pendapat, antara lain responden nomor 5 serta responden nomor 28. Responden nomor 5 adalah pimpinan dalam jabatan formal dan informal yang dipilih oleh 6 orang anggotanya, satu diantaranya yakni responden nomor 35 ( bukan anggota klik ), responden nomor 5 dipilih karena karena alasan formal (koordinasi dengan atasan langsung) serta hubungan antarpersona diantara mereka. Sedangkan responden

Ainur Rochmaniah & Dedy Iswanto, Jaringan Komunikasi Karyawan Water Park...

15

Gambar 6 Sosiogram Jaringan komunikasi karyawan dalam Penyelesaian Pekerjaan

nomor 28 berperan sebagai pemimpin pendapat tanpa jabatan formal, dipilih oleh 5 orang responden, yakni nomor 5,26,29,32,dan 34 dengan alasan formal dan hubungan antarpersona, tetapi seorang responden yakni nomor 26, bukanlah anggota klik, motif hubunganya semata-mata karena hubungan antarpersona diantara keduanya. Yang menarik kedua responden yang berperan sebagai pemimpin pendapat yakni responden nomor 5 dan 28 terjadi hubungan timbal balik atau saling memilih sebagai pasangan hubungan komunikasi dalam penyelesaian pekerjaanya, karena alasan formal dan hubungan antarpersona diantara keduanya, sehingga koordinasi yang cukup maksimal terbentuk dalam klik ini.

d. Jembatan (Bridge)
Seperti diketahui bahwa jembatan adalah seorang anggota klik yang memiliki sejumlah kontak antar kelompok, juga menjalin kontak dengan anggota kliknya, dan berlaku sebagai pengontak langsung yang mampu menghubungkan kliknya dengan klik yang lain. Dari data sosiogram menunjukan bahwa terdapat peran jembatan pada tiap-tiap klik, jika dilihat dari distribusi pemilihan pasangan hubungan komunikasinya dengan anggota klik lainya. Pada umumnya seluruh anggota dari tiap-tiap klik adalah karyawan dalam satu bagian, kecuali pada klik-klik tertentu. Jika dinilai dari perspektif pola hubungan yang terjadi, sesuai dengan permasalahan yang diteliti, maka peran jembatan dapat dibedakan menjai dua yakni:

16

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 1 - 19

1). Peran Jembatan dengan Pola Hubungan Posisional Adalah peran jembatan yang dibuat dan ditentukan secara formal yang berfungsi mengalirkan informasi dari dalam kliknya kepada klik lain, dalam hal ini ditemukan tiga orang responden yang berperan sebagai jembatan, diantaranya adalah responden nomor 3,4 dan 5, yang secara posisional menduduki jabatan sebagai kepala bagian atau divisi dimana pada pilihan pasangan hubungan komunikasinya berdimensi vertikal yakni dengan responden nomor 1. adapun pesan yang dialirkan adalah masalah penyelesaian pekerjaan yang berkaitan dengan dirinya sendiri maupun permasalahan yang dihadapi oleh anak buahnya, 2). Peran Jembatan dengan Pola Hubungan Antarpersona Adalah peran Jembatan yang dilatarbelakangi oleh hubungan Antarpersona yang mengakibatkan mengalirnya pesan-pesan yang lebih bersifat pribadi yang muncul melalui penyingkapan diri (Self-disclosure), hubungan ini timbul semata-mata untuk memenuhi kebutuhan sosial maupun emosional karyawan. Adapun pesan yang mengalir lebih beragam, tidak hanya menyangkut masalah perusahaan saja, dan kebutuhan informasi yang sulit didapat pada saluran resmi, akan lebih muda didapat pada saluran dengan pola hubungan seperti ini. Responden yang berperan seperti yang dimaksud diatas adalah responden nomor 5,10, 12, 16, 28, mereka ini dikenal ramah dan

mudah bergaul dengan karyawan lainya.

e. Penghubung (Liaison)
Dalam jaringan komunikasi yang terbentuk, ditemukan beberapa responden yang berperan sebagai penghubung. Adapun peran penghubung dalam hal ini dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian sesuai dengan sifatnya, yakni formal dan informal. Untuk penghubung formal yakni peran yang dengan sengaja dibentuk oleh perusahaan, sementara penghubung informal terbentuk diluar otoritas perusahaan, seperti dijelaskan sebagai berikut : 1) Penghubung Formal

Ditemukan dua orang responden yang bertindak sebagai penghubung formal, yakni responden nomor 1 dan 3. seperti diketahui responden nomor 1 adalah seorang manajer operasional yang memegang pucuk pimpinan yang mengharuskanya berkoordinasi dengan bawahanya dan menghubungkanya satu sama lain, sehingga responden nomor 1 menjadi pusat koordinasi dan penyebaran pesan secara langsung kepada karyawan satu tingkat dibawahnya (yang bertindak sebagai kepala divisi/ koordinator) yakni responden nomor 2,3,4 dan 5. 2) Penghubung Informal

Sebagai penghubung informal dalam hal ini adalah responden nomor 7, 17 dan 35. peran penghubung pada responden nomor 7 ditunjukan pada perananya yang mampu menghubungkan antara klik B melalui responden nomor 19 dengan klik A, melalui responden nomor 2, peran penghubung pada responden

Ainur Rochmaniah & Dedy Iswanto, Jaringan Komunikasi Karyawan Water Park...

17

nomor 17 ditunjukan pada perananya yang mampu menghubungkan klik B melalui responden nomor 19 dengan klik D melalui responden nomor 3 yakni antara bawahan dengan atasan. Sulitnya mendapatkan feed back yang sesuai, menjadikan responden nomor 19 melakukan komunikasi keatasnya melalui responden nomor 17 agar didapat feed back yang sesuai. Sedangkan peran penghubung pada responden nomor 35 ditunjukan pada peranananya yang mampu menghubungkan klik A melalui responden nomor 2 dengan klik G melalui responden nomor 5, kegiatan komunikasi yang berlangsung dalam hal ini pada dasarnya dikarenakan hubungan antarpersona yang terjalin diantara mereka, sehinga pada kedua klik yang dihubungkan mampu saling menyerap informasi melalui responden nomor 35. adapun pesan yang mengalir pada saluran ini sangat beragam (tidak terbatas pada masalah perusahaan).

SIMPULAN
Hasil analisis data yang diperoleh, menunjukan bahwa, dalam penyelesaian pekerjaanya, karyawan selalu berkoordinasi dengan anggota yang lainya. Hal ini menunjukan bahwa kerjasama selalu dibutuhkan dalam penyelesaian pekerjaan. Hubungan komunikasi yang mencerminkan suatu koordinasi atau kerjasama tidak terlepas dari peran hubungan antarpersona yang cukup erat dan terjalin pada mayoritas karyawan, sehingga memudahkan mereka dalam berkomunikasi dalam artian tidak ada suatu bebanpun pada karyawan dalam kegiatan komunikasi mereka dengan anggota yang lainya.

Jaringan komunikasi yang terbentuk adalah pola jaringan roda dan jaringan semua saluran, dimana semua jaringan komunikasi yang terbentuk tidak satupun komunikasi yang berlangsung menggunakan prosedur formal, baik dari segi media yang digunakan maupun cara penyampaian pesanya. Adapun cara mereka berkomunikasi adalah layaknya suatu obrolan biasa dengan penggunaan bahasa sehari-hari (tidak baku) Pada dasarnya setiap jaringan komunikasi yang terbentuk mencerminkan suatu bentuk kerjasama maupun koordinasi diantara karyawan, dengan wujud kerjasama secara fisik maupun sekedar tukar pendapat diantara mereka. Adapun dalam penelitian ini ditemukan 3 orang responden (anggota Klik C) yang mampu bertukar peran fungsional meskipun tidak ada instruksi dari atasanya. Sementara itu ke 33 responden lainya bentuk kerjasamanya hanya terbatas pada arahan-arahan atau sekedar tukar pendapat dengan pasangan hubungan komunikasinya.

SARAN
Pertama, pada jaringan roda yang terbentuk, terjadi kelebihan beban pesan dan pekerjaan pada individu yang berperan sentral sehingga dapat mempengaruhi kinerja individu yang berperan sentral itu sendiri. Kurangnya kemandirian karyawan terjadi pada pola jaringan seperti ini, anggota-anggota dalam jaringan ini sulit mengambil inisiatif atau langkah-langkah yang cepat dan tepat ketika mendapatkan suatu permasalahan dalam penyelesaian pekerjaanya, karena masih tergantung penuh pada pimpinan maupun peran opinion leader. Sebaiknya menajemen

18

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 1 - 19

lebih meningkatkan lagi kemampuan SDM karyawan, dengan memberikan pelatihanpelatihan atau kursus-kursus tambahan pada bidang kerja masing-masing. Sehingga karyawan mampu mengambil keputusan tersendiri dalam sustu permasalahan tertentu, ketika pimpinan sulit untuk ditemui atau dalam keadaan tetentu ketika terjadi kemacetan atau gangguan komunikasi antara karyawan dengan atasan Kedua, pada jaringan semua saluran, anggota-anggota dalam jaringan ini pada dasarnya saling mempengaruhi dalam penyelesaian pekerjaanya, tetapi dengan tidak ditemukanya peran sentral salah satu anggotanya, baik sebagai pimpinan formal maupun informal, maka dalam pemecahan suatu permasalahan akan lamban, hal ini dikarenakan tidak ada pengaruh yang dominan dari salah satu anggotanya. Anggota-anggota pada jaringan ini diharapkan dapat menilai segala sesuatunya secara proporsional, sehingga dalam pemecahan suatu masalah didalam jaringanya, tidak akan terjadi perdebatan yang tidak perlu. Ketiga, meningkatkan hubungan komunikasi antara atasan dan bawahan pada masing-masing divisi, khususnya pada divisi OB (Office Boy) dengan atasanya (general Affair), hal ini dikarenakan, selama ini komunikasi yang berlangsung dari bawah-keatas harus melalui seorang penghubung informal, untuk mendapatkan feed back yang dinginkan. Sebaiknya manajemen membentuk peran penghubung formal agar aliran informasi dapat terkontrol, juga mengintensifkan kegiatan komunikasi antara bawahan dengan atasan, dengan sering diadakan meeting atau acara-acara

yang lebih informal, misalnya kegiatan olah raga, atau rekreasi bersama, untuk membentuk suatu keakraban satu sama lain yang memungkinkan dapat membantu keefektifan komunikasi dalam organisasi. Keempat, pada umumnya hubungan antarpersona diantara karyawan dalam kondisi yang baik, tugas manajemen adalah menjaga dan meningkatkan kondisi kehidupan sosial tersebut, guna menciptakan suasana yang kondusif dan hubungan yang harmonis diantara karyawan, yakni dengan mengupayakan sikap yang saling terbuka antara atasan dengan bawahan maupun sesama karyawan pada tingkatan yang sama. Kelima, manajemen dapat memanfaatkan peran individu dalam jaringan komunikasi yang terbentuk, yakni peran pemimpin pendapat informal, peran jembatan, dan peran penghubung informal, jika pada suatu saat saluran-saluran komunikasi formal menemui kegagalan atau tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 1993. Prosedur penelitian, Suatu pendekatan Praktek, Jakarta : Rineka Cipta. Hardjana, Andre. 2000. Audit komunikasi, Teori dan Praktek, Jakarta: PT. Grasindo Jhon,F Falues and Wayne Pace. 2006. Komunikasi Organisasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Moleong, J Lexy. 2006. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Ainur Rochmaniah & Dedy Iswanto, Jaringan Komunikasi Karyawan Water Park...

19

Muhammad, Arni. 2005. Komunikasi Organisasi, Jakarta: PT. Bumi Aksara. Onong Uchjana, Effendi. 2005. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Rakhmat, Jalaluddin. 2002. Metode penelitian Komunikasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Santoso, Slamet. 1995. Dinamika Kelompok, Jakarta: Bumi Aksara

Soekanto, Soerjono. 1999. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Suparman, IA, 1987. Penganter Sosiometri, Jakarta: Karunika Umar, Husain. 2002. Metode Riset Komunikasi Organisasi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Rochmania, Ainur. 2009. Pola arus Informasi Pemulung di TPA Supit, Urang Malang. Jurnal Kalamsiasi, Vol.2, No.2, September 2009.

20

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010

PENGARUH EFEKTIVITAS KOMUNIKASI ANTARPRIBADI PIMPINAN DAN BAWAHAN TERHADAP PENINGKATAN KINERJA PEGAWAI DI BALAI MONITOR SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT KELAS II SURABAYA
Didik Hariyanto* Sular**
(*Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Sidoarjo Jalan Majapahit 666 B Sidoarjo, email: didik_kalila@gmail.com) (**Staf Balai Monitor Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit Kelas II Surabaya)

ABSTRACT
Interpersonal communication is communication form that is face to face, so that we can see feedback directly. Quantitative research aims to describe the influence of interpersonal communication effectiveness of the leadership with subordinates to increase employee performance in the Central Monitoring of Radio Frequency Spectrum and Satellite Orbit Class II Surabaya. By using the Product Moment analysis, the results of research show: 1) effective interpersona communication between leadership and employees can improve employees performance, and 2) interpersonal communication activities have a good role in shaping better attitudes or behaviors. Keywords: interpersonal communication, effectiveness leadership, improve employees performance

PENDAHULUAN
Komunikasi adalah proses timbal balik (2 arah) antara sumber pesan atau informasi dengan penerima pesan. Dalam kehidupan manusia, baik sebagai makhluk pribadi maupun sosial, komunikasi termasuk hal yang wajar dalam pola tindakan manusia. Komunikasi antar manusia sudah mulai berlangsung sejak manusia dilahirkan dan dilakukan hampir sewajar dan seleluasa bernafas. Begitu terbiasanya komunikasi di dalam kehidupan kita, setiap saat dan dimana saja kita bergelut
21

dengannya sehingga dilukiskan komunikasi adalah ubiquitous (serba ada, berada dimanapun, dan kapanpun juga). Oleh karenanya kita sering tidak menyadari arti penting komunikasi dalam kehidupan, baru kemudian apabila kita harus menyampaikan informasi, membujuk atau menyelesaikan masalah, kita baru sadar bahwa komunikasi mempunyai peran yang penting dalam kehidupan manusia. Komunikasi selalu ada dan mempunyai peran yang penting dalam segala aspek kehidupan manusia. Setiap saat

22

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 21 - 33

manusia berfikir, bertindak dan belajar menggunakan komunikasi. Kegiatan komunikasi yang dilakukan dapat terjadi dalam berbagai macam situasi atau tingkatan, yaitu intrapribadi, antarpribadi, kelompok dan massa. Sebagian besar kegiatan komunikasi yang dilakukan oleh manusia berlangsung dalam situasi atau tingkatan komuniksai antarpribadi. Komunikasi antarpribadi seperti bentuk perilaku yang lain, dapat sangat efektf dan juga dapat pula sangat tidak efektif tergantung bagaimaan dua orang berkomunikasi menyampaikan pesan. Tingkatan komunikasi antarpribadi dapat ditemui dalam konteks kehidupan dua orang, keluarga kelompok maupun organisasi. Organisasi, dalam hal ini suatu perusahaan baik berskala besar, menengah maupun kecil, tidak dapat berdiri tanpa komunikasi. Komunikasi merupakan suatu cara untuk menghubungi orang-orang lain dengan perantara ide-ide, fakta-fakta, pikiran-pikiran dan nilai-nilai. Komunikasi antarpribadi merupakan jembatan pengertian di antara orang-orang. Sehingga mereka dapat membagi apa yang mereka rasakan dan ketahui. Apabila tidak ada komunikasi, pegawai-pegawai tidak dapat mengetahui apa yang sedang dikerjakan oleh teman-teman mereka, manajemen tidak dapat memberikan instruksi-instruksi. Koordinasi pekerjaan adalah mustahil, kerjasama juga tidak akan berjalan dengan baik, karena orang-orang tidak dapat mengkomunikasikan, memberitahukan kebutuhan dan perasaan mereka kepada orang lain. Melihat fenomena komunikasi di atas maka komunikasi antarpribadi sebagai salah satu bagian dari komunikasi secara

umum mempunyai peranan yang penting dalam menentukan keefektifan orangorang bekerjasama dan mengkoordinasikan usaha-usaha mereka untuk mencapai tujuan. Singkatnya ada hubungan yang langsung antara komunikasi antarpribadi pimpinan dalam meningkatkan kinerja pegawai. Meningkatnya kinerja pegawai merupakan sesuatu yang diinginkan oleh setiap organisasi atau perusahaan. Dengan kinerja yang baik organisasi atau perusahaan dapat mencapai tujuan secara maksimal. Termotivasinya pegawai untuk meningkatkan kinerjanya tergantung akan kemampuan dan pemahaman tentang suatu tugas yang dapat dikerjakan oleh pegawai untuk mencapai keefektifan dan keefisienan di dalam melaksanakan tugas kerjanya. Akan tetapi, soal kinerja ini masih merupakan kendala besar di kalangan masyarakat Indonesia, termasuk di kalangan pekerja. Tidak jarang beberapa pemogokan atau kasus unjuk rasa yang melibatkan para pegawai pada umumnya karena tersumbatnya informasi dan komunikasi antara pegawai dengan pimpinan perusahaan. Sebagai pimpinan perusahaan, seorang dituntut untuk mampu membimbing, menggerakkan, mempengaruhi, mengkoordinir serta mengadakan kontrol atau pengawasan terhadap orang-orang atau kelompoknya, kearah tujuan usaha yang ditetapkan dan telah direncanakan sebelumnya. Adapun bentuk usaha atau dorongan yang bisa diberikan oleh pimpinan dalam upaya meningkatkan kinerja pegawai adalah dengan memberikan hakhak yang semestinya diterima oleh pegawai, baik itu berupa pemberian upah

Didik Hariyanto & Sular, Pengaruh Efektifitas Komunikasi Antarpribadi...

23

yang sesuai, tunjangan makan, tunjangan kesehatan serta memberikan penghargaan berupa bonus dan lain-lain. Di samping itu hubungan yang baik antara pimpinan perusahaan dengan pegawai sangat dibutuhkan, terjalinnya suatu komunikasi yang baik secara tidak langsung akan berdampak positif bagi kemajuan perusahaan. Masalah penting yang sering dihadapi oleh lembaga-lembaga organisasi pemerintah, ekonomi dan bisnis saat ini adalah masalah hubungan (relationship) antara pimpinan dengan pegawai. Banyak pemimpin yang gagal dalam menggerakkan bawahannya untuk bekerja lebih produktif karena kurang efektifnya komunikasi pemimpin dalam hal meningkatkan kinerja pegawainya. Kegagalan ini berkaitan dengan penyampaian pesan dalam bahasa yang kurang jelas, tidak dipahami dan sulit dimengerti. Balai Monetoring Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit Kelas II Surabaya sebagai salah satu organisasi yang bergerak di bidang pelayanan publik , memiliki 40 pegawai, guna memenuhi permintaan pelayanan prima yang terus meningkat dari publik maka salah satu faktor penunjangnya adalah tenaga kerja yang baik dan kinerja yang baik dari para pegawainya. Dengan latar belakang masalah tersebut di atas maka penulis tertarik untuk menjadikan permasalahan itu sebagai bahan pembuat penelitian dengan harapan yang nantinya dapat dikembangkan lebih lanjut. Adapun judul penelitian rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah efektivitas Komunikasi Antarpribadi Pimpinan dan Bawahan Terhadap Peningkatkan Kinerja Pegawai di Balai Monetoring Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit Kelas II

Surabaya

KERANGKA TEORITIS
Meningkatnya kinerja pegawai merupakan sesuatu yang diinginkan oleh setiap perusahaan. Dengan kinerja yang baik perusahaan dapat mencapai tujuan secara maksimal. Termotivasinya pegawai untuk meningkatkan kinerjanya tergantung akan kemampuan dan pemahaman tentang suatu tugas yang dapat dikerjakan oleh pegawai untuk mencapai keefektifan dan keefisienan di dalam melaksanakan tugas kerjanya. Di lain pihak sebagai pimpinan perusahaan, seseorang dituntut untuk mampu membimbing, menggerakkan, mempengaruhi, mengkoordinir serta mengadakan kontrol atau pengawasan terhadap orang-orang bawahan atau pegawai, ke arah tujuan perusahaan yang ditetapkan dan telah direncanakan sebelumnya. Berdasarkan uraian di atas dan landasan teori tentang hubungan efektifitas komunikasi antarpribadi pimpinan dan bawahan (variabel X) terhadap peningkatan kinerja pegawai (variabel Y) maka penulis menggambarkan kerangka berpikir sebagai berikut :
Gambar 1 Bagan Kerangka Berpikir

24

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 21 - 33

1. Keefektivan Komunikasi Antarpribadi


Komunikasi disebut efektif apabila penerima menginterpretasikan pesan yang diterimanya sebagaimana dimaksudkan oleh pengirim. Kenyatannya, sering kita gagal saling memahami. Sumber utama kesalahpahaman dalam komunikasi adalah cara penerima menangkap makna sesuai pesan berbeda dari yang dimaksud oleh pengirim, karena pengirim gagal mengkomunikasikannya dengan tepat. Untuk keberhasilan komunikasi Willbur Schramm (1998) menjelaskan adanya empat syarat yang harus dipenuhi: 1. Pesan yang disampaikan haruslah dapat menarik perhatian khalayak (audience) yang dituju. 2. Pesan haruslah mempergunakan lambang-lambang yang dimengerti oleh kedua belah pihak. 3. Pesan tadi haruslah dapat menumbuhkan pribadi dari khalayak dan juga haruslah diberikan cara atau upaya memenuhinya. 4. Pesan haruslah memuat upaya bagaimana dapat memenuhi kebutuhan pribadi dan harus pula tidak lepas dari lingkungan budaya. Jadi pada intinya komunikasi yang efektif adalah mengenai sasaran atau pencapaian tujuan sesuai dengan maksud si komunikator. Dalam komunikasi interpersonal, apabila maksud dan tujuan komunikator untuk mengubah pendapat, sikap dan tingkah laku komunikan dapat tercapai maka komunikasi tersebut dapat dikatakaan komunikasi yang efektif. Efektivitas komunikasi antarpribadi ini disebabkan karena terjadinya hubungan pribadi antara komunikator dengan

komunikan sehingga komunikator mengetahui dan memahami serta menguasai, antara lain : 1. Frame of reference komunikan selengkapnya. 2. Kondisi fisik dan mental komunikan selengkapnya. 3. Suasana lingkungan pada saat terjadinya komunikasi. 4. Tanggapan komunikan secara langsung. Dari uraian di atas dapat diasumsikan bahwa tidak semua bentuk atau jenis komunikasi akan sesuai jika diberlakukan untuk setiap orang (komunikan) yang memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda, dan efek yang ditimbulkan dalam proses komunikasipun berbeda pula.Dan salah satu hal terpenting mengapa komunikasi antarpribadi dianggap paling ampuh untuk mengubah sikap, kepercayaan, opini, dan perilaku komunikan karena sifatnya yang pada umumnya berlangsung secara tatap muka (face to face). Dengan demikian akan terjadi kontak pribadi (personal contact), maksudnya pribadi antara komunikator dan komunikan saling menyentuh. Ketika komunikan menyampaikan suatu pesan, maka umpan balik dari komunikan berlangsung seketika (immediate feedback). Jadi kita dapat mengetahui secara langsung apakah pesan yang kita sampaikan ditanggapi positif atau negatif.

2. Peran Pemimpin
Banyak hal yang perlu diperankan oleh seorang pemimpin dalam mengelola organisasi yang dipimpinnya. Secara garis besar hal itu diungkapkan oleh ahli pendidik sebagai berikut :

Didik Hariyanto & Sular, Pengaruh Efektifitas Komunikasi Antarpribadi...

25

Sebagai Pencipta dan Perencana Seorang pemimpin dituntut untuk dapat mencetuskan pikiran, gagasan atau ide yang baru, mempunyai konsep yang baik, termasuk rapi dan realistis, sehingga ia menjalankan tugasnya dengan teguh menuju ke arah ide yang telah ia cetuskan dan tidak akan mudah terpengaruh oleh pikiran-pikiran orang lain. Di samping itu, sebagai seorang pemimpin harus mampu membuat rumusan perencanaan, menyusun program kerja yang sesuai dan dapat dijangkau oleh setiap pengikutnya. Pemimpin yang hanya pandai merencanakan yang beratberat, tetapi tidak dapat dilaksanakan oleh anggota/bawahannya atau bahkan oleh dirinya sendiri, merupakan pemimpin yang hanya pandai menelurkan ide, gagasan, pikiran, kerangka penyusunan program, tetapi tidak mampu untuk melaksanakannya. Sebagai Seorang Ahli dan Bertindak Sebagai Wasit Seorang pemimpin harus mempunyai keahlian, lebih-lebih dalam bidang yang dipimpinnya. Bukan itu saja, tetapi seberapa boleh ahli dalam banyak hal. Karena seorang pemimpin dipandang oleh anak buahnya sebagai orang yang serba tahu dan serba bisa bahkan menurut cara kepemimpinan di jaman modern sekarang ini. Maka untuk dapat mengisi akan kekurangan itu, dan untuk menjaga jangan sampai mengecewakan, maka para pemimpin dari perusahaan besar terpaksa mengadakan majelis atau staf ahli untuk dapat mengatasi kekurangannya. Namun, untuk jaman yang modern seperti sekarang ini, seorang pemimpin harus mempunyai kemampuan wawasan

intelektual, berarti pemimpin harus memiliki perangkat-perangkat, antara lain: a. Memiliki kemampuan keilmuan yang memadai dan mampu menerapkan secara tepat dan benar, sesuai dengan perkembangan. b. Memiliki kemampuan kerja secara ilmiah, disiplin, metodo-logis dan sistematis. c. Sanggup melihat dan menemukan kemungkinan-kemungkinan lain selain yang telah ada dalam rangka mencapai kebenaran yang lebih hakiki pada pencapaian tujuan. d. Tidak mudah puas terhadap apa yang telah dicapai, penuh gagasan dan kreatif untuk melakukan peran pembaharuan dan kemajuan. Disamping memiliki pengetahuan yang memadai, pemimpin juga dituntut mempunyai keahlian profesi yang memiliki kualitas, antara lain : a. Mempunyai keahlian dalam bidang profesi masing-masing. b. Jiwanya penuh semangat dan bertanggungjawab untuk bekerja sebaikbaiknya. c. Mampu menetapkan langkah-langkah yang paling efektif dan efisien didalam melakukan kerjanya. d. Mampu bekerja keras, ulet, kreatif dan trampil. e. Memiliki sifat yang dinamis dan berdisiplin. Dalam bentuk yang lain, seorang pemimpin harus bertindak sebagai seorang wasit, yang bertugas menyelesaikan perselisihan atau menangani pengaduan-pengaduan para anak buahnya. Seorang pemimpin harus dapat

26

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 21 - 33

menengahi dengan bertindak secara objektif tanpa pilih kasih atau memihak kepada salah satu golongan. Ia harus bertindak sebagaimana mestinya seorang hakim yang senantiasa memegang keadilan. Seorang pemimpin yang adil atau yang bertindak sebagai seorang wasit, harus berani mengatakan kesalahan dan kebenaran dari pelanggaran dan pekerjaan yang dikerjakan oleh anak buahnya, di samping itu seorang pemimpin harus benar-benar berperan untuk dapat memberikan sanksi/hukuman kepada anggota/anak buahnya yang melanggar dan memuji serta memberikan hadiah kepada anggota/anak buahnya yang telah dapat bekerja sesuai dengan harapan organisasi dan harapan pemimpin. Tindakan bersikap tegas dan adil yang diterapkan seorang pemimpin dalam menjalankan tugas kepemimpinannya pada sebuah organisasi, menentukan pengaruh yang amat besar terhadap keberadaan organisasi itu, sekaligus menunjukkan keberadaan seorang pemimpin pada organisasi itu. Sebagai Pemegang Tanggung Jawab dan Sebagai Korban Seorang pemimpin yang baik, ia harus berani bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatan anak buahnya yang dilakukan atas nama kelompok, bahkan yang bersifat pribadipun, apabila dilakukan oleh anak buahnya, selagi tidak manyalahi aturan-aturan atau ketentuan keputusan, kesalahan yang dikerjakan anak buahnya, perlu dibela atau dipertanggungjawabkan. Namun demikian, tindakan bertang-

gung jawab terhadap anggota/bawahan yang dikerjakan atas nama pribadi, sifatnya memberikan tanggung jawab yang bersifat membangun terhadap perkembangan dan kegiatan anak buah. Itu berarti, setelah seorang pemimpin bertanggungjawab atas segala pekerjaan pelanggaran atau kesalahan yang dikerjakan, anak buahnya diperingatkan atau dipanggil serta diberikan pengarahan agar tidak mengulangi kesalahan yang telah dilakukannya. Peran lain yang perlu ditanggung oleh seorang pemimpin adalah dia harus berani menerima resiko keburukan yang dibebankan kepada dirinya. Inilah yang perlu disadari, bahwa pada hakikatnya seorang pemimpin adalah tempat melemparkan keburukan-keburukan dan kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam organisasi yang dipimpinnya. Ia harus rela menjadi korban atau kambing hitam pelemparan-pelemparan itu, sebab pada akhirnya, sebagai seorang pemimpin kelompok ia harus bertanggungjawab atas nasib organisasi yang dipimpinnya. Bertindak sabagai Ayah dan Wakil Kelompok Dalam bertindak sebagai seorang ayah, seorang pemimpin, bukan berarti bersikap maha tahu, atau menganggap bawahannya sebagai manusia yang belum dewasa, akan tetapi, justru harus bertindak sesuai dengan orang tua yang modern dan bijaksana, yaitu memberikan kesempatan kepada anak buahnya untuk mengambil inisiatif dan mengembangkan daya kreasi dan fantasinya demi kemajuan mereka sendiri. Ia menaruh cinta kasih terhadap para anggota sesuai dengan sikap seorang ayah terhadap anak kandungnya. Ia

Didik Hariyanto & Sular, Pengaruh Efektifitas Komunikasi Antarpribadi...

27

bersikap melindungi mereka pada tempatnya serta selalu memperhatikan nasibnya. Pemimpin yang mengerti secara jelas terhadap perannya yang disamakan seperti peran sebagai seorang ayah terhadap anak kandungnya. Dia akan senantiasa memberikan teguran-teguran dan nasehat-nasehat yang bersifat membangun, demi memotivasi aktifitas dan kegiatan anak buahnya. Dia tidak akan memberikan teguran kepada anak buahnya dihadapan orang banyak, apalagi memarahi dengan menggunakan kata-kata kasar kepada anak buahnya di muka umum. Seorang pemimpin, harus benar-benar menyadari, betapapun kesalahan yang dilakukan oleh anak buahnya harus ditegur dan dimarahi dengan tindakan-tindakan yang bersifat mendidik. Sebab, sekejam-kejamnya seorang ayah, jarang ditemui memakan atau membunuh anaknya sendiri. Itu berarti, sekejam-kejamnya seorang pemimpin dalam organisasi, jangan sampai bertindak mematikan kreatifitas dan wawasan dari anak buahnya. Seorang pemimpin harus menyadari, bahwa dirinya berada di dalam sebuah kelompok. Oleh karena itu setiap yang dikerjakan dan dilaksanakan mesti mewakili atas nama kelompok. Dengan demikian, maka setiap tindakan dan kegiatan harus mencerminkan sebagai tindakan dan kegiatan kelompok.

3. Konsep Kinerja
Kinerja (performance) menurut Bryan dalam Rusyanto (1989: 22) didefinisikan sebagai the degree acomplishment (tingkat pencapaian hasil), dengan demikian kinerja adalah tingkat penca-

paian suatu tujuan. Sedangkan kinerja menurut International Group for Criterian for National Planning (1969 : 21) adalah : Performance is primary criterian for judging organization: the term performance refer to on going operations activities, program or mission of an organization (Kinerja adalah kriteria yang menentukan dalam suatu organisasi yaitu yang berkenaan dengan pelaksanaan kegiatan, program dan misi organisasi). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kinerja adalah suatu prestasi kerja dari seorang karyawan dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatannya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Dalam praktiknya, penilaian terhadap kinerja karyawan merupakan kriteria penilaian yang sangat penting, sebagai ukuran keberhasilan seorang karyawan dalam menjalankan tugasnya dalam kurun waktu tertentu. Menurut Keban et.al. (1995: 9) dikatakan bahwa penilaian terhadap kinerja karyawan dapat menjadi masukan bagi peningkatan kinerja organisasi selanjutnya. Pengukuran kinerja terhadap karyawan sangat bermanfaat untuk melihat atau menilai tentang kualitas, kuantitas dan efisiensi pelayanan, memotivasi para birokrat pelaksana, memonitor para pekerja, melakukan penyesuaian anggaran keuangan, mendorong pemimpin organisasi karya agar lebih memperhatikan para pekerjanya. Dalam rangka memberikan penilaian terhadap kinerja karyawan, dibutuhkan suatu kriteria pengukuran yang menjadi dasar penilaian, sehingga dapat diketahui apakah seorang karyawan dapat berhasil atau tidak berhasil dalam melaksanakan tujuan, visi dan misi organisasi.

28

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 21 - 33

Lenvine et.al (1990 : 50 ) mengusulkan 3 (tiga) konsep untuk mengukur tingkat kinerja karyawan, yaitu : 1. Responsiveness, adalah berkaitan dengan kemampuan karyawan untuk mengenali kebutuhan organisasi, menyusun programprogram prioritas serta mengembangkan program-program pelayanan sesuai dengan kebutuhan organisasi. Secara sederhana responsivitas adalah menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan dengan kebutuhan organisasi. Responsivitas dimasukkan sebagai salah satu ukuran kinerja, karena hal tersebut secara langsung dapat menggambarkan kemampuan organisasi publik dalam menjalankan tujuan, visi dan misi organisasi. Dengan demikian, apabila responsivitas suatu karyawan rendah, yang ditunjukkan dengan ketidakselarasan antara pelayanan dengan kebutuhan oragnisasi, jelas akan menunjukkan kegagalan organisasi dalam mewujudkan tujuan, visi dan misinya. 2. Responsibility, adalah yang berkaitan dengan tanggungjawab pelaksanaan. Apakah pelaksanaan job discription seorang karyawan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijaksanaan organisasi, baik secara implisit maupun eksplisit. Seringkali dalam meningkatkan responsibilitas terjadi benturan dengan responsivitas. Benturan itu terjadi karena kebijakan dan prosedur administrasi yang ada dalam organisasi yang bersangkutan, ternyata tidak memadai untuk menjawab dinamika masyarakat yang berkembang.

3. Accountability, Adalah seberapa besar kebijaksanaan dan kegiatan kinerja karyawan ikut konsisten dengan kehendak organisasi. Dalam hal ini berarti kinerja karyawan tidak hanya dapat dilihat dari faktor internal yang dikembangkan organisasi yang bersangkutan, tetapi sebaliknya kinerja diukur dari ukuran eksternal, sepeti pemenuhan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.

4. Teori S.O.R
Berkaitan dengan kinerja pegawai, maka melalui komunikasi antarpribadi, teori S.O.R merupakan perwujudan pesan yang disampaikan pada komunikan akan menimbulkan efek berupa perubahan sikap yaitu setelah dilakukan pendekatan komunikasi antarpribadi. Teori S-O-R sebagai singkatan dari StimulusOrganismResponse ini semula berasal dari psikologi. Kalau kemudian juga menjadi teori komunikasi, tidak mengherankan, karena objek material dari psikologi dan ilmu komunikasi adalah sama, yaitu manusia yang jiwanya meliputi komponen-komponen: sikap, opini, perilaku, kognisi, afeksi dan konasi. Menurut stimulus response ini, efek yang ditimbulkan adalah reaksi khusus terhadap stimulus khusus, sehingga seseorang dapat mengharapkan dan memperkirakan kesesuaian antara pesan dan reaksi komunikan. Jadi unsur-unsur dalam model ini adalah : a. Pesan (stimulus, S) b. Komunikan (organism, O) c. Efek (response, R) Hovland (dalam Marat) ada tiga variabel penting yang dapat digunakan untuk mengukur sikap yaitu:

Didik Hariyanto & Sular, Pengaruh Efektifitas Komunikasi Antarpribadi...

29

a. perhatian b. pengertian c. penerimaan


Gambar 2 Teori SOR

METODE PENELITIAN
Sesuai dengan judul dalam penelitian ini maka tipe penelitian ini adalah penelitian korelasional, yaitu penelitian yang menggunakan teknik statistik untuk menguji hubungan 2 buah variabel yaitu variabel X dan variabel Y. Disini peneliti akan meneliti hubungan antara komunikasi antarpribadi pimpinan sebagai variabel X (variabel independen) dengan kinerja pegawai Balai Monetoring Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit Kelas II Surabaya sebagai variabel Y (variabel dependen). Populasi dan sampel penelitian sebanyak 40 pegawai Balai Monetoring Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit Kelas II Surabaya. Data dikumpulkan dengan mendistribusikan angket kepada seluruh staf yang ada sebagai sampel. Setelah data terkumpul dilanjutkan dengan pengodingan dan dianalisa dengan korelasi Product Moment

Keterangan : a. Stimulus adalah pesan yang disampaikan, dimana bentuk-bentuk stimulus tersebut bisa berarti pesan dari media massa maupun pesanpesan dari komunikasi yang bersifat antarpribadi. b. Organism : 1) Perhatian adalah bentuk reaksi yang dilakukan oleh organism dan kesadaran individu. 2) Pengertian adalah suatu hasil proses berfikir dengan cara menyimpulkan sebagian dari kenyataan dan setelah itu mengutarakan dengan perkataan. 3) Penerimaan adalah hasil akhir dari perhatian dan pengertian dalam bentuk kesediaan untuk mengubah sikap, prilaku atau pengetahuannya. c. Respon adalah perubahan sikap setelah menerima stimuli.

1. Variabel Independen / Bebas (X)


Dalam penelitian ini yang menjadi variabel independen/variabel bebas adalah komunikasi antarpribadi. Komunikasi anatrapribadi merupakan proses pengiriman dan penerimaan pesanpesan antara dua orang atau diantara sekelopmpok kecil orang dengan beberapa efek dan berupa umpan balik seketika. Dan indikator-indikatornya adalah sebagai berikut : a. Kualitas komunikasi, kualitas dari isi pembicaraan pada saat pimpinan melakukan komunikasi dengan pegawainya. b. Materi pembicaraan, yaitu keragaman

30

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 21 - 33

isi dari materi yang ada pada saat komunikasi itu berlangsung. c. Intensitas komunikasi, yakni lama/ sedikitnya atau jumlah waktu yang dipergunakan dalam pembicaraan. d. Frekuensi komunikasi, merupakan tingkat keseringan komunikasi yang dilakukan. e. Respon komunikasi, yakni tanggapan yang diberikan olah komunikan pada saat proses komunikasi sedang berlangsung.

HASIL PENELITIAN
Berikut ini akan disajikan data-data yang dikemukakan dalam variabel bebas dan variabel terikat, data-data tersebut diambil dari Balai Monetoring Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit Kelas II Surabaya sebagai daerah sampel. Setelah data-data diperoleh dari jawaban responden yaitu data dalam tabel jawaban responden, data dalam distribusi jawaban responden kemudian rekapitulasi jawaban selanjutnya penulis mencoba menganalisa data-data tersebut apakah variabel Komunikasi Antarpribadi Pimpinan (X) terdapat hubungan terhadap Kinerja Pegawai (Y) dengan menggunakan rumus Korelasi Product Moment. Untuk itu dibawah ini penulis sajikan tabel total keseluruhan jawaban masing-masing variabel.
Tabel 3.20 Total Keseluruhan Jawaban Masingmasing Variabel
DATA HASIL X 1050 1050 Y 842 842 XY 22475 22475 X 28642 28642 Y 18062 18062

2. Variabel Dependen / Terikat (Y)


Dalam penelitian ini, variabel dependen-nya adalah kinerja pegawai yang merupakan prestasi kerja dari seorang pegawai dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Dengan pengertian ini dapat ditentukan indikatorindikator sebagai berikut : a. Produktivitas yaitu kemampuan seseorang untuk dapat menghasilkan suatu barang atau jasa. b. Responsivitas yaitu kemampuan pegawai dalam mengenali kebutuhan organisasi. c. Responsibilitas yaitu tanggungjawab dalam pelaksanaan tugas yang menyangkut benar atau sesuai dengan prinsip-prinsip dan kebijaksanaan suatu organisasi. d. Akuntabilitas, yakni kemampuan seorang pegawai mengiplentasikan kebijaksanaan dan kegiatan organisasi atau perusahaan secara konsisten, yaitu tidak hanya pada pencapaian target organisasi tetapi juga sasaran yaitu masyarakat.

Berdasarkan hasil perhitungan di atas dapat diketahui hubungan Komunikasi Antarpribadi Pimpinan Balai Monetoring Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit Kelas II Surabaya terhadap peningkatan Kinerja Karyawan adalah 0.6167. Hal ini diartikan bahwa terdapat hubungan yang kuat/tinggi. Nilai r xy = 0.6167 dapat pula diartikan bahwa 61% komunikasi antarpribadi dipengaruhi oleh kinerja karyawan dan 39% komunikasi antarpribadi dipengaruhi oleh unsur-unsur

Didik Hariyanto & Sular, Pengaruh Efektifitas Komunikasi Antarpribadi...

31

lain yang tidak diperhitungkan atau di luar pola yang di kehendaki dalam penelitian. Dan seperti yang telah dikemukakan nilai rxy > r tabel korelasi, maka nilai rxy berarti signifikan. Dengan dihasilkan rxy yang signifikan hipotesa yang menyatakan bahwa korelasi x dan y dalam populasi adalah nol ditolak atas dasar taraf signifikan yang digunakan yaitu 5% atau 1%. Berdasarkan tabel nilai r product moment diperoleh data-data pada taraf signifikan 5% dari 40 responden adalah 0,312 dan taraf signifikan 1% dari 40 responden adalah 0,103. Sedangkan nilai rxy adalah 0,6167 berarti 0,6167 > 0,312 dan 0,6167 > 0,103. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa r xy adalah signifikan.

taraf signifikan 1% dari 40 responden adalah 2,713. Dengan demikian dapat diketahui bahwa nilai t-test > Ttabel yaitu 4,8405 > 2,025 > 2,713. Sehingga dapat dikatakan bahwa nilai rxy tetap signifikan dan hipotesa yang telah diajukan adalah signifikan. Intepretasi Data Dari hasil uji statistik dan uji t-test yang telah dilakukan tentang hubungan komunikasi antarpribadi terhadap peningkatan kinerja pegawai, hasilnya adalah kuat/tinggi. Ini dibuktikan dengan hasil yang dicapai melalui Nilai r xy =0,6167 dapat pula diartikan bahwa 61 % komunikasi antarpribadi dipengaruhi oleh kinerja pegawai dan 39 % komunikasi antarpribadi dipengaruhi oleh unsur-unsur lain yang tidak diperhitungkan atau di luar pola yang di kehendaki dalam penelitian. Dan seperti yang telah dikemukakan nilai rxy > r tabel korelasi, maka nilai rxy berarti signifikan. Dan dari uji test diperoleh tingkat significannya adalah 15 % . Dengan hasil r xy yang signifikan hipotesa yang menyatakan bahwa korelasi x dan y dalam populasi adalah nol ditolak atas dasar taraf signifikan yang digunakan yaitu 5% atau 1%. Hovland (1948:371), menyatakan bahwa komunikasi antarpribadi sebagai suatu keadaan interaksi ketika seseorang (komunikator) mengirimkan stimuli (biasanya simbol-simbol verbal) untuk mengubah tingkah laku orang lain (komunikan), dalam sebuah peristiwa tatap muka. Dengan demikian komunikasi antarpribadi sangat efektif dan mempunyai pengaruh kuat terhadap peningkatan kinerja pegawai. Terutama

3 Pengujian Hipotesis
Analisa t-test (Tingkat Signifikan) Analisa t-test dimaksudkan untuk menguji lebih jauh taraf significan dan korelasi x dan y. Bila nilai t-test lebih besar ttabel, maka dapat dikatakan bahwa korelasi antara x dan y adalah signifikan. Demikian juga sebaliknya apabila t-test lebih kecil dari ttabel maka korelasi antara x dan y adalah tidak signifikan. Analisa ini juga menentukan diterima atau ditolaknya 0 (Ho) dan diterima atau tidaknya Hi dimana dalam penelitian ini Hi adalah ada hubungan yang positif dari Komunikasi Antarpribadi Pimpinan Balai Monetoring Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit Kelas II Surabaya terhadap peningkatan Kinerja Karyawan. Untuk Ttabel pada taraf signifikan 5% dari 40 responden adalah 2.025 dan pada

32

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 21 - 33

pada Balai Monetoring Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit Kelas II Surabaya.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil perhitungan pada analisis statistik yaitu dengan product moment maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penilaian responden atas aktifitas komunikasi antarpribadi terjawab melalui hasil analisis kuantitatif pada masingmasing variabel penelitian dimana dari sebagian besar pertanyaan tentang aktifitas komunikasi antarpribadi, dinilai baik oleh sebagian besar responden. Hal tersebut dapat dilihat dari jawaban pada skor 4 oleh sebagian besar responden pada seluruh item pada variabel yang diukur. Permasalahan kedua di dalam penelitian ini terjawab dari hasil pengujian dengan menggunakan product moment korelasi dan uji t, dapat disimpulkan bahwa hipotesa penelitian dapat diterima. Jadi hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara variabel komunikasi antarpribadi terhadap peningkatan kinerja pegawai dapat diterima.

meningkatkan kinerja pegawai. Untuk itu hasil dari penyelenggaraan komunikasi yang baik dan efektif yang telah dicapai selama ini agar tetap dipertahankan dan bila perlu ditingkatkan terus. 2. Pegawai Hendaknya pimpinan perusahaan menyadari pegawai bukanlah alat, tetapi merupakan bagian daripada organisasi yang merupakan faktor penentu keberhasilan suatu tujuan. Karenanya para pegawai hendaknya selalu patuh dan disiplin didalam melaksanakan tugas kerja sesuai dengan program yang sudah ditentukan oleh pimpinan. Hasil pelaksanaan pekerjaan yang telah dicapai perlu ditingkatkan lagi hingga diperoleh hasil yang maksimal, dengan mengeluarkan segenap daya dan kemampuan yang ada untuk tercapainya suatu tujuan kerja. Peneliti sangat menyadari bahwa didalam melakukan penelitian ini masih banyak kekurangannya, baik dari segi penulisan, redaktur maupun dari segi menyampaian isi dan menyajian materinya. Untuk itu peneliti sangat mengharapkan saran serta kritik guna perbaikan penulisan yang akan datang.

SARAN
1. Pimpinan Balai Monetoring Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit Kelas II Surabaya. Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di Balai Monetoring Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit Kelas II Surabaya. Bahwa faktor komunikasi terutama komunikasi antarpribadi pimpinan mempunyai pengaruh yang besar dalam upaya

DAFTAR PUSTAKA
Cahyono, Yan Yan dan Bagong Suyanto, 1996. Kajian Komunikasi dan Seluk Beluknya, Airlangga University Press, Surabaya Devito, Joseph A. 1997. Komunikasi Antarmanusia. Professional Books, Jakarta Efendy, Onong Uchjana. 1992. Ilmu Komunikasi Tweori dann Praktek. Remaja Rosda Karya, Bandung

Didik Hariyanto & Sular, Pengaruh Efektifitas Komunikasi Antarpribadi...

33

Jiwanto, Gunawan, 1995, Komunikasi dalam Organisasi, Pusat Pengembagan Manajemen, Yogyakarta Liliweri, Alo, 1991, Komunikasi Interpersonal, Bina Cipta, Bandung Luthan, Fres. 1989. Human Resources Mangement. Prentice Hall, Inc. New York Masduqi, H.M. 1996. Leadership Teori Kepemimpinan Sebuah Tatapan Perkembangan Jaman. PT. Garuda Buana Indah. Pasuruan Moekiyat. 1993. Teori Komunikasi. Mandar Maju. Bandung Poerwodarminto. 2000. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Rahmat, Jalaludin. 1985. Metode Penelitian Komunikasi, Remaja Karya. Bandung Robbins, James G. and Barabara S. Jones. 1993. Komunikasi yang Efektif. CV. Pedoman Ilmu Jaya. Jakarta

Shculer, Randall S. & Susan E. Jackson. 1993. Manajemen Sumber Daya Manusia Menghadapi Abad 21. erlangga. Jakarta Supratiknya, A. 1995. Komunikasi Antarpribadi Tinjauan Psikologis. Kanisius. Yogyakarta Surachmad, Winarno, 1998, Pengantar Penelitian Ilmiah, Tarsito, Bandung Widjaya, H.A.W. 2000. Ilmu Komunikasi Pengantar Studi. Rineka Cipta, Jakarta Biro Kepegawaian dan Organisasi, 2006. Organisasi dan Tata Kerja Departemen Komunikasi dan Informatika. Departemen Perhubungan, 2004. Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Operasional Unit Pelaksana Teknis Monitor Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit. Direktorat Jendral Pos dan Telekomunikasi. Wahyudi. 2004. Jaringan Komunikasi Karyawan PT. Ramayana Lestari Sentosa,Tbk. Plaza Sidoarjo. Skripsi tidak diterbitkan. Sidoarjo: FISIP UMSIDA.

34

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010,

PERAN RESTORATIVE JUSTICE UNTUK MEMPERKUAT KEPRIBADIAN TERSANGKA ANAK (Studi Advokasi bagi Anak Yang Ditahan dalam Satu Tahanan Bersamaan dengan Tersangka Dewasa)
Noor Fatimah Mediawati
(Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Jalan Majapahit 666 B Sidoarjo, Telp. 031 8945444)

ABSTRACT
This research is raised because concerned researcher enough with the condition of prisoner of childt which joint with the adult prisoner in one same prisoner place. As for intention of research is to know how about condition a child during in authoritative unrightious prisoner, knowing efforts which have been done by lapas/ rutan in the case of lessening impact of prisoner mixing and as far as what restorative justice can strengthen child personalit. Result of research indicate that is true needed to evacuation/ special new development rutan for child in East Java. This Matter more or less will make the concept of restorative justice more effective, especially if translated in construction of child prisoner in lapas/ rutan Keywords: restorative justice, prisoner of child, construction.

PENDAHULUAN
Setiap tahun terdapat lebih dari 4000 orang anak usia 13-18 (th) harus berhadapan dengan peradilan pidana. 90% diantaranya mendekam di rutan, dan 80% dari 90 % itu akhirnya diputuskan untuk dipenjara oleh putusan hakim. Demikian data yang dirilis oleh Lembaga Advokasi Pemberdayaan Anak (LAPA). Di Jatim sendiri hingga Agustus 2006 tercatat 110 anak yang menghuni penjara. Mereka tersebar di berbagai Lapas maupun Rutan. Sebagian besar mereka ditahan lantaran kasus pencurian, kesusilaan, pembunuhan dan penganiayaan.
35

Melihat begitu banyak jumlah tahanan ini tentu saja berdampak pada tingkat kenyamanan di ruang tahanan. Apalagi bila jumlah ruang tahanan yang tersedia tidak seimbang dengan jumlah penghuninya. Di Jawa Barat, Rutan Kebon Waru Bandung menampung 1.482 napi dari jumlah kapasitas 780 orang. Dapat dibayangkan, betapa tidak kondusifnya pelayanan ruang tersebut. Kondisi overpopulation/overload pada kenyataannya tidak hanya terjadi di Jabar. Seluruh wilayah Indonesia tidak luput dari hal serupa. Lapas Anak

36

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 35 - 45

Tangerang misalnya, kapasitas Lapas yang berjumlah 220 orang dipaksa untuk dihuni oleh 239 orang (2004, kompas.com). Sedangkan di Jatim, peneliti memperoleh informasi bahwa kapasitas Rutan kelas 1 Surabaya (Rutan Medaeng) yang seharusnya hanya cukup untuk 504 orang, ternyata dihuni oleh 1800 orang bahkan lebih. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa jika anak ditahan bersamaan dengan orang dewasa terlebih dalam kondisi over, besar kemungkinan akan terjadi pelanggaran hak anak. Padahal Undang-undang telah menegaskan,
Penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus untuk anak di lingkungan Rumah Tahanan Negara, Cabang Rumah Tahanan Negara, atau di tempat tertentu. (Pasal 44 ayat (6) Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, selanjutnya cukup disebut UU Pengadilan Anak).

KERANGKA TEORI
Perlindungan terhadap anak yang mempunyai masalah dengan hukum sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari konsep perlindungan hak anak secara umum. Dalam instrumen internasional, hak anak dijamin dan dilindungi dengan : a. Geneva Declaration of the Rights of the Child of 1924 b. Universal Declararion of Human Rights Universal tentang Hak-Hak Azasi Manusia 1948 c. UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Right. d. Declaration of the Rights of the Child of 1959. e. Convention on the Rights of the Child tahun 1989 (Konvensi tentang Hakhak Anak/KHA) yang telah diratifikasi melalui Kepres 36 tahun 1990. Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) juga harus didasarkan pada beberapa asas yaitu: equality before the law (Pasal 1 KHA); due process of law, simplicity and expediency, accountability, legality principle presumption of innocent (Pasal 37 dan 40 KHA). Di Indonesia asas ini mengacu pada ketentuan UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak, dan UU No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Menurut Haskell & Yablonsky (1974) dalam Mulyana (1986), penanganan terhadap anak nakal sebaiknya lebih bersifat terapi daripada penghukuman. Hal lain yang tidak kalah penting adalah soal penahanan. Penahanan anak seharusnya dilakukan terpisah dari orang

Dampak negatif yang mungkin timbul dari pencampuran. Berangkat dari keprihatinan ini peneliti mencoba merumuskan kemungkinan lain penyelesaian tindak kriminal anak di luar pengadilan dengan menggunakan konsep Restorative Justice. Adapun perumusan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana kondisi tersangka anak selama dalam tahanan pihak berwajib? 2. Upaya apa saja yang telah dilakukan pihak kepolisian/lapas/rutan untuk mengantisipasi dampak buruk percampuran tahanan ? 3. Bagaimana pengaruh dari restorative justice dalam kaitannya untuk memperkuat kepribadian tersangka anak?

Noor Fatimah Mediawati, Pengaruh Restorative Justice Untuk Memperkuat Kepribadian...

37

dewasa. Namun permasalahan anggaran yang terbatas kerap menjadi alasan untuk mencampur tahanan anak dan dewasa dalam satu ruang. Sulit mempertahankan hak anak dalam kondisi demikian. Kekerasan terhadap anak dalam tahanan kerap menghiasi warta media, walau Pasal 1 butir 2 UU Perlindungan Anak telah menegaskan bahwa anak berhak dilindungi dari kekerasan maupun diskriminasi. UU tersebut juga memberi catatan bahwa penjara anak merupakan upaya terakhir setelah upaya lain tidak berhasil (Pasal 14 ayat (3) ). Kelompok Kerja Peradilan Anak Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mendefinisikan restorative justice sebagai suatu proses dimana para pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat di masa yang akan datang (Melani, dalam Raju, Potret Buram Peradilan Anak). Konsep ini kiranya akan lebih lengkap jika disertai pendampingan bagi anak, baik itu dari LSA terkait atau dari kuasa hukum.

8-18 tahun yang berada dalam lingkup lokasi penelitian Informan penelitian ini sebanyak 8 orang, yakni: 1. Agung Nugraha dalam hal ini diwakili Surabaya Children Crisis Centre (SCCC) 2. Agus Dwi Hartanto selaku Kasi Pembinaan Anak Didik dan Tahanan Lapas di Lapas kelas IIA Sidoarjo 3. Ari Yuniarto, Kasi Bantuan Hukum dan Penyuluhan 4. Ari Yuniarto, Kasi Bantuan Hukum dan Penyuluhan Rutan kelas 1 Surabaya 5. Tahanan anak yang berusia 8-18 tahun di lokasi/ tempat penelitian Pengambilan data dilakukan dengan wawancara kepada beberapa informan tersebut sedangkan data skunder diambil dari data yang terkumpul tersebut diolah dan dianalisa dengan tehnik analisis deskripsi.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kondisi Tersangka Anak Selama Berada Dalam Tahanan 1. Rutan Medaeng Berdasarkan standar HAM, Rutan Medaeng selayaknya dihuni oleh 504 orang tahanan. Sedangkan saat ini jumlah penghuninya telah mencapai lebih kurang 1800 orang tahanan dan narapidana. Sebuah kondisi yang sangat overload. Selain sebagai tempat penitipan, Medaeng juga digunakan sebagai tempat pembinaan. Tahanan anak yang berada dalam Rutan Medaeng mencapai kisaran jumlah 50 orang. Semua dikumpulkan dalam satu blok yakni blok i. Namun di blok i tidak

METODE PENELITIAN
Penelitian kualitatif ini mengambil lokasi di Rutan Medaeng (Rutan Kelas I Surabaya) dan Lapas Kelas IIA Sidoarjo Jawa Timur. Pemilihan lokasi didasarkan pada data Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa beberapa Lapas dan Rutan termasuk kedua tempat tersebut di Jatim mengalami over kapasitas (22 UPT dari 36 UPT). Sedangkan subjek penelitian ini adalah tahanan anak yang berusia antara

38

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 35 - 45

Tabel 1 : Jadwal Kegiatan Warga Binaan Medaeng


Hari/Jam 06.30 wib 07.00 wib 08.00 wib Senin s/d Minggu - pembukaan blok - pembagian cadong - senam pagi/ bola voli - aktifitas bimker - fiqih Islam, Iqro, tajwid - kunjungan pagi perkebunan, dll - persekutuan doa (gereja Bethani) - ibadah raya (dari Bethani) - katekisasi (gereja Katolik) - ceramah agama Islam - selesai kunjungan pagi - sholat dhuhur - pembagian cadong - penutupan blok - pembukaan blok - kunjungan sore - sholat asar - aktifitas keagamaan (Islam) - pembagian cadong - selesai kunjungan sore - penutupan blok - yasinan (kamis) warga binaan dan pegawai Keterangan

Aktifitas bimker: pemotongan rambut, binatu, elektro,

09.00 wib

11.30 wib 12.00 wib 12.30 wib 13.00 wib 14.30 wib 15.00 wib 16.00 wib 17.00 wib 18.00 wib

2 minggu sekali

semata berisi tahanan anak. Disana juga ditempatkan tahanan dewasa (manula) yang berfungsi untuk mengawasi dan menjaga tahanan anak tersebut. Adapun tentang kondisi tahanan anak di Rutan Medaeng dapat peneliti klasifikasikan berdasarkan informasi dari pihak Rutan dan media cetak sbb: 1. kondisi kesehatan: cukup baik. Karena di dalam Rutan telah disediakan Poliklinik dan check up. 2. kondisi keagamaan: cukup kondusif. Karena setiap hari telah dijadwalkan kegiatan yang menunjang aktifitas kerohanian baik itu bagi anak yang beragama Islam, Kristen Protestan, Katolik, Budha, Hindu. 3. kondisi tempat tinggal/ peristirahatan: tidak memadai. Karena tahanan disini beritirahat/ tidur tanpa beralas kasur,

melainkan tikar. Tidur berdesakan juga bukan merupakan hal baru di Medaeng. Khusus blok anak (blok i), disediakan 1 kamar panjang dengan kapasitas 35 orang namun saat ini telah terisi lebih dari itu. Data per 12 Mei 2008 (Jawa Pos) menyebutkan blok i terisi oleh 55 orang. Posisi tidur juga tidak bisa sempurna, ada yang sambil duduk atau menselonjorkan kaki melalui jendela. Kamar mandi yang tersedia juga tidak memadai jumlahnya. Adapun kamar di blok lain ( yang dihuni oleh tahanan dewasa) berukuran rata-rata 5x3 dan dihuni oleh lebih dari 30 orang. Selain tempat tinggal/ peritirahatan, Rutan Medaeng sesungguhnya berusaha menciptakan suasana yang mendekati lingkungan asal tahanan. Ada fasilitas

Noor Fatimah Mediawati, Pengaruh Restorative Justice Untuk Memperkuat Kepribadian...

39

olahraga, perpustakaan, sarana peribadatan, kegiatan agustusan, hiburan dll. Jadwal kegiatan rutin warga binaan Rutan Medaeng juga tergolong baik. Namun tentu saja, sebagus apapun tempat tahanan dimaksimalkan, rumah tetap menjadi impian tempat tinggal yang paling nyaman, demikian kesimpulan yang dapat peneliti ambil dari hasil wawancara dengan beberapa tahanan anak. Menyinggung tentang jadwal kegiatan warga binaan Medaeng, dapat dilihat pada tabel Tabel 1. 2. Lapas Sidoarjo Lapas kelas IIA Sidoarjo (selanjutnya cukup disebut Lapas Sda) berdiri sejak tahun 1830. Menempati area di jantung kota Sidoarjo. Berdekatan dengan kantor Pemkab dan kantor DPRD. Dalam pengabdiannya, Lapas Sda memiliki 2 (dua) fungsi utama. Fungsi pertama adalah sebagai Rutan dan fungsi kedua adalah sebagai Lapas itu sendiri. Sebagai Rutan (Rumah Tahanan), Lapas Sda menampung tahanan titipan baik dari pihak kepolisian, Kejaksaan maupun Pengadilan. Sedangkan sebagai Lapas (Lembaga Pemasyarakatan), Lapas Sda menampung tahanan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap. Lapas Sda menerima tahanan dari semua level (baca: usia). Dan khusus anak, Lapas Sda kurang lebih menampung 14 orang per- 3 bulan. Kasus yang menjerat tahanan anak tersebut berkisar pada kasus-kasus umum seperti pencurian, perkelahian, tindak asusila, sajam, dan pembunuhan. Lapas Sda terdiri atas 23 ruang kamar tahanan dewasa dan 1 ruang kamar tahanan anak. Per kamar rata-rata diisi sampai dengan 30 orang. Kecuali kamar

tahanan anak yang pada saat peneliti berkunjung dihuni oleh 6 orang. Meskipun kondisi di dalam Lapas sebagaimana kondisi di lingkungan asalnya, namun bagi anak-anak tersebut tetaplah berbeda. Para Anak Didik Pemasyarakatan itu menginginkan untuk dapat segera pulang dan berkumpul dengan keluarganya. Rata-rata kasus yang menimpa para tahanan anak tersebut adalah pencurian. Dalam benak Agus (15 tahun) misalnya, pencurian dianggap sebagai jalan pintas yang dianggap pantas. Ia mencuri untuk memenuhi kebutuhan konsumsi (makanan), seperti juga Sitam (14 tahun). Namun ketika ditanya betah atau tidaknya di penjara, mereka kompak menjawab, tidak. Upaya Mengantisipasi Dampak Buruk Percampuran Tahanan Peneliti menemukan akar penyebab dari percampuran tahanan (baik itu dalam satu kamar ataupun dalam satu lokasi penahanan) di Rutan/ Lapas sesungguhnya disebabkan oleh kondisi overload dan keterbatasan lokal. Di Rutan Medaeng misalnya, lokal dengan kapasitas 504 orang tahanan dipaksakan untuk menampung 1800 orang bahkan lebih. Maka dari itu upaya yang dilakukan Rutan/ Lapas sedikit banyak berkaitan dengan langkah pengurangan jumlah tahanan atau pengajuan usul penambahan/pemindahan lokal. Pengurangan Jumlah Tahanan Upaya ini dilakukan melalui mekanisme Asimilasi, Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Menjelang Bebas (CMB) dan Cuti Bersyarat (CB). Adapun dasar acuannya adalah Peraturan Menteri

40

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 35 - 45

Hukum dan HAM Nomor M.01.PK.04-10 tahun 2007 tentang Syarat dan Tata cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat (untuk selanjutnya cukup disebut dengan Peraturan Menteri) dan remisi. Untuk lebih jelasnya sebagai berikut: a. Asimilasi (Peraturan Menteri Pasal 1 angka 1) adalah proses pembinaan Narapidana (selanjutnya cukup disebut Napi) dan Anak Didik Pemasyarakatan (selanjutnya cukup disebut ADP) yang dilaksanakan dengan membaurkan napi dan ADP di dalam kehidupan masyarakat. b. PB (Peraturan Menteri Pasal 1 angka 2) adalah proses pembinaan Napi dan Anak Pidana di Luar Lapas setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 masa pidananya minimal 9 bulan. c. CMB (Peraturan Menteri Pasal 1 angka 3) adalah proses pembinaan Napi dan Anak Pidana di Luar Lapas setelah menjalani 2/3 masa pidana, sekurangkurangnya 9 bulan berkelakukan baik. d. CB (Peraturan Menteri Pasal 1 angka 4) adalah proses pembinaan di luar Lapas bagi Napi dan Anak Pidana yang dipidana 1 tahun kebawah, sekurang-kurangnya telah menjalani 2/3 masa pidana. Tujuan dari semua upaya tersebut di atas (Peraturan Menteri Pasal 4 ayat (1) adalah: a. Membangkitkan motivasi atau dorongan pada diri Napi dan ADP ke arah pencapaian tujuan pembinaan. b. Memberi kesempatan pada Napi dan ADP untuk diklat guna mempersiapkan hidup mandiri di tengah masyarakat setelah bebas

c. Mendorong masyarakat untuk berperan secara aktif dalam penyelenggaraan pemasyarakatan Mengenai persyaratan Asimilasi, PB, CMB, dan CB terdiri dari persyaratan Substantif dan Administratif juga diatur dalam Peraturan Menteri yang sama. Usulan Penambahan dan Pemindahan Lokal Dalam hal usulan untuk menambah/ pemindahan lokal, pihak Lapas/ Rutan telah mengupayakannya. Lapas Sda misalnya. Berulang kali Lapas beraudiensi/ hearing dengan Pemkab dan DPRD Sidoarjo mengenai hal tersebut. Dan rupanya perlu waktu cukup lama untuk menanti tindakan nyata Pemerintah. Demikian pula dengan Rutan Medaeng, pihak Rutan memandang telah waktunya diadakan penambahan untuk Rutan/ Lapas yang baru di Surabaya dan sekitarnya, agar kondisi overload tidak terus menerus menjadi permasalahan. Peran Restorative Justice dan Penjualan Kepribadian Tersangka Anak Sebagaimana dikemukakan oleh Kelompok Kerja Peradilan Anak Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), restorative justice diartikan sebagai suatu proses dimana para pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu untuk duduk bersama-sama dalam rangka memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat (dari permasalahan itu) di masa yang akan datang (Melani, dalam Raju, Potret Buram Peradilan Anak) tahun berapa? Sedangkan menurut SCCC , konsep

Noor Fatimah Mediawati, Pengaruh Restorative Justice Untuk Memperkuat Kepribadian...

41

restorative justice merupakan konsep yang patut diberi dukungan karena dinilai cukup efektif. Berikut hasil wawancara lengkap peneliti dengan SCCC. Peneliti (P) : Noor Fatimah Mediawati, SH SCCC (S) : Agung Nugraha P: S: P: S: SCCC ini dapat dikatakan LSM-kah atau? Bisa dibilang sebagai LBH-nya anak, mbak Kliennya siapa saja? Klien kami adalah anak. Baik anak sebagai pelaku maupun anak sebagai korban Ssejak kapan ada SCCC ini? Tahun 1999. tapi waktu itu namanya masih Pokja Crisis Centre-nya anak. Setelah tahun 2001 barulah ada nama SCCC. Jumlah klien SCCC sampai saat ini? Klien pelaku anak sekitar 350-an Apakah SCCC tahu kondisi klien dalam tahanan? Klien pelaku anak ditempatkan di lapas/rutan yang bercampur dengan tahanan dewasa Bagaimana SCCC memandang hal tersebut? Idealnya anak ditempatkan tersendiri mbak. Karena kalau dijadikan di satu tempat dengan tahanan dewasa maka dampak buruknya cukup banyak.al; si anak jadi punya link dengan pelaku-pelaku kejahatan lainnya. Kita tahu bahwa kebanyakan anak yang keluar dari penjara akan dikucilkan oleh

masyarakat. Dan karena merasa tidak mempunyai teman lagi maka si anak pun akan mengontak temanteman lamanya saat di penjara. Lalu bisa ditebak, anak terjerumus lagi pada tindakan criminal. Seharusnya hukum bisa memotong mata rantainya yaitu dengan memisahkan tahanan anak dari dewasa. P: S: Secara kuantitas bagaimana? Di Surabaya banyak mbak, rata-rata per hari ada 2 pelaku tindak kriminal anak. Namun secara kualitas, daerah lebih memprihatinkan. Maksudnya? Di daerah, misal Sidoarjo, tindak criminal yang dilakukan anak sudah pada tahap menghilangkan nyawa orang lain Alasannya apa ya? Ada yang sekedar cemburu kebanyakan anak terlibat kasus apa? obat-obatan terlarang (narkoba,red) Ok, kembali pada tahanan anak di lapas/ rutan. Upaya yang telah dilakukan SCCC untuk meminimalisir dampak buruk percampuran tahanan bagaimana? paling banter kita berhasil mengupayakan agar anak-anak yang ditahan dipindahkan bloknya. Di medaeng blok anak Sekarang dipindah ke blok i. bercampur dengan manula. Sebenarnya kami juga sudah hearing dengan dewan perihal ini agar ada alokasi dana untuk pembangunan rutan khusus anak, namun sampai saat ini sepertinya belum ditanggapi serius. Kalau

P: S:

P: S:

P: S: P: S: P:

P: S: P: S:

P: S:

S:

42

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 35 - 45

versi Depkumham diperlukan lahan. Dan lahan itu yang menyediakan adalah pemkot/ pemkab. Berputarputar disitu aja mbak. Belum terealisir. Kalaupun ada, sekarang masih sebatas wacana. P: S: Tentang konsep restorative justice? Ya. Itu juga yang saat ini tengah kami usung. Kembalikan permasalahan anak itu pada masyarakat. Sekitar 12 tahun yang lalu, di Gresik pernah ada kasus menarik yang menerapkan restoratif justice. Waktu itu bulan ramadhan. Sekelompok anak berkeliling membangunkan masyarakat (saur,red) dengan cara memukul kentongan yang sebenarnya adalah kotak amal masjid. Lalu kunci kotak itu terlepas, dan si anak meminjam uangnya untuk makan. Beruntung, kasus itu oleh aparat berwajib diserahkan kembali pada masyarakat sekitar. Karena TKP nya adalah masjid maka hukuman bagi si anak adalah dengan membersihkan masjid selama 1 bulan. Dan itu efektif ...

Sementara itu, Ari Yuniarto selaku Kasi Bantuan Hukum dan Penyuluhan Rutan Medaeng beranggapan bahwa tempat terbaik bagi anak yang berkonflik hukum adalah di Lapas khusus anak (saat ini Lapas khusus anak wilayah Jatim berada di Blitar). Dalam Lapas tersebut dilakukan pembinaan yang sejalan dengan amanat Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (selanjutnya cukup disebut UU Pemasyarakatan). Diupayakan pula lingkungan yang kondusif sehingga anak merasa

seolah berada di rumah sendiri, bukan di penjara. Hal itu dapat dikatakan sebagai bagian dari jiwa restorative justice, karena bila anak tidak di bina terlebih dahulu di Lapas (khusus anak), dikhawatirkan masyarakat tidak bisa langsung menerimanya setelah perbuatan pidana yang dilakukan. Adapun konsep pembinaan yang dimaksud tertuang dalam sebuah sistem pemasyarakatan. Dimana maksud dari Sistem Pemasyarakatan menurut pasal 1 angka 2 UU Pemasyarakatan adalah: suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab. Warga Binaan Pemasyarakatan sebagaimana disebutkan diatas adalah para Narapidana, Anak Didik Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan (pasal 1 angka 5 UU Pemasyarakatan). Khusus untuk Anak Didik Pemasyarakatan, UU tersebut memilahnya menjadi 3 golongan yakni: Anak Pidana, Anak Sipil dan Anak Negara. Sistem pemasyarakatan berfungsi untuk menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggungjawab (Pasal 3 UU Pemasyarakatan).

Noor Fatimah Mediawati, Pengaruh Restorative Justice Untuk Memperkuat Kepribadian...

43

Pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan diselenggrakan oleh Menteri dan dilaksanakan oleh petugas pemasyarakatan (Pasal 7 UU Pemasyarakatan). Dalam rangka penyelenggaraan pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan, dapat diadakan kerjasama dengan instansi pemerintah/ swasta, perorangan maupun kelompok. Dan Rutan Medaeng telah menerapkan pola tersebut yaitu dengan menjalin kerjasama keagamaan (misal dengan pihak gereja atau Ustadz yang membawakan ceramah agama) dan kerjasama pembinaan (dengan SCCC, yayasan Alit, yayasan yakita dsb). Dari wawancara peneliti memperoleh konsep kunci dalam Restorative Justic yaitu sebagai berikut: 1. Mengembalikan persoalan anak kepada masyarakat , atau 2. Pengkondisian Rutan/ Lapas dalam kondisi khusus yang kondusif untuk pembinaan anak. Soejono, D (1947:147) dalam Arifin, Pendidikan Anak Berkonflik Hukum, menambahkan bahwa Sistem Pemasyarakatan adalah proses pembinaan terpidana yang berdasarkan azas pancasila, dan memandang terpidana sebagai makhluk Tuhan, individu, dan anggota masyarakat. Pendekatan sistem ini juga tidak dapat dilakukan hanya sekedar parsial, melainkan harus bersifat holistik. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan agar sistem tersebut berfungsi optimal adalah sbb: 1. Input Salah satu inputs dari Lapas adalah anak didiknya yang datang dari

beragam latar belakang kehidupan, jenis kejahatan, usia, dan lingkungan yang turut membentuk karakter si anak didik 2. Output Keluaran dari Lapas tentu tidak terlepas dari kualitas dan sinergitas dari seluruh sub system. Proses pendidikan di dalam lapas diharapkan sampai sejauhmana kondisi mantan anak didik Lapas dapat kembali eksis di tengah masyarakat 3. Feed back Yang dimaksudkan disini adalah evaluasi dari seluruh proses pendidikan atau pembinaan yang telah diselenggarakan oleh Lapas 4. Noise Merupakan suara-suara pengganggu/ tidak menggembirakan yang dapat berpengaruh saat proses feedback berlangsung. Adapun kegiatan keagamaan yang diselenggarakan oleh Rutan/ Lapas disadari sangat memberi pengaruh pada anak didik Lapas. Sebagai umat Islam contohnya, terdapat beberapa metode pendidikan yang akan mampu menguatkan kejiwaan anak (Arifin, dalam Pendidikan Anak Berkonflik Hukum) seperti: 1. Sholat 2. Dzikir 3. Suritauladan 4. Hikmah 5. Peringatan dan pemberian motivasi 6. Hukuman 7. Pemberian ampunan dan bimbingan

44

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 35 - 45

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka jelas bahwa restorative justice dapat memperkuat kepribadian anak. Sesuai dengan alur pemikiran peneliti. Walau sudut pandangnya berbeda, namun pada intinya konsep restorative justice merupakan satu diantara sekian banyak cara untuk mengurangi dampak buruk percampuran tahanan. Dampak buruk yang dimaksud adalah pengalihan sifat maupun sikap yang kurang baik antar tahanan anak dan dewasa, disamping itu tahanan anak juga mejadi rentan terhadap perlakuan yang tidak semestinya.

berkonflik hukum dapat diserahkan kepada masyarakat.

SARAN
1. Perlunya penambahan Rutan/ Lapas khusus anak. Hal ini dinilai mendesak karena dari hasil pengamatan peneliti, jumlah tahanan dewasa yang dicampur dengan tahanan anak di satu tempat telah mencapai kondisi overload. 2. Perlunya peningkatan partisipasi masyarakat dalam membentuk kepribadian yang baik bagi anak, memberi contoh yang layak dan tidak malah menjerumuskan anak kepada hal-hal yang buruk bagi perkembangan mental dan fisiknya.

SIMPULAN
1. Kondisi tersangka/tahanan anak selama berada dalam tahanan secara umum cukup baik. Dari sisi kesehatan dan pembinaan, mereka memperoleh cukup pelayanan. Hanya saja dari sisi ketersediaan tempat peristirahatan tidak memadai. 2. Upaya-upaya yang dilakukan oleh Lapas/Rutan terkait dengan jumlah tahanan yang overload al: Asimilasi, Pembebasan bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Cuti Bersyarat, dan usulan penambahan/ pemindahan lokal. Jika tidak dilakukan, besar kemungkinan terjadi transfer keburukan, sebagaimana hasil wawancara dengan SCCC. 3. Restorative justice harus diakui memiliki keunggulan dalam hal pembinaan dan pendidikan kepribadian tahanan anak. Kalaupun anak ditempatkan di Rutan/Lapas, konsep ini tetap dapat diselenggarakan sesuai dengan sistem pemasyarakatan yang terpadu. Dan bila memungkinkan, pendidikan dan pembinaan anak yang

DAFTAR RUJUKAN
Arifin. 2007. Pendidikan Anak Berkonflik Hukum. Bandung: Alfabeta Ashshofa, Burhan. 2004. Metode Penelitian Hukum.Cetakan 4. Jakarta:PT Rineka Cipta Hak-hak Tersangka yang Perlu Anda Ketahui. Diterbitkan oleh Kantorkantor Lembaga Bantuan Hukum yang Tergabung dalam Program Perluasan Daya Jangkau Bantuan Hukum untuk Masyarakat Marjinal bekerjasama dengan Yayasan TIFA Geneva Declaration of the Rights of the Child of 1924, adopted Sept. 26, 1924, League of Nations O.J. Spec. Supp. 21, at 43 (1924), Human Rights Library. University Of Minnesota Hasan,dkk. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif Tinjauan Teoritis dan Praktis. Lembaga Penelitian Universitas Islam Malang Kerjasama dengan VISIPRESS.

Noor Fatimah Mediawati, Pengaruh Restorative Justice Untuk Memperkuat Kepribadian...

45

International Covenant On Civil And Political Right Johnstone, Gerry. 2006. Restorative Justice, Ideas, values, Debates. Willan Publishing Johnstone, Gerry et al. 2006. Handbook of Restorative Justice. Willan Publishing. Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya. Vol 6 No.1. Mei 2006. ISSN 1411-9536 Maiesse, Michelle. 2003. The Aim of Restorative Justice. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.01.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Restorative Justice Online. Diakses pada 15 maret 2007 Sedyaningsih,Endang R. et al dalam Pengenalan Studi Kualitatif The United Nations and Human Rights, 1945-1995, Department of Public Information, United Nations, New York 1995 (ISBN 92-1-100560-4)

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan www.jatim.go.id. Diakses pada 20 Februari 2007 jam 19.22 wib www.kompas.com Diakses pada 20 Februari 2007 jam 19.22 wib www.menkokesra.go.id Diakses pada 20 Februari 2007 jam 19.22 wib www.pikiran-rakyat.com Diakses pada 20 Februari 2007 jam 19.22 wib www.tempointeraktif.com Diakses pada 20 Februari 2007 jam 19.22 wib www.depkumham.go.id Diakses pada 20 Februari 2007 jam 19.22 wib www.vhrmedia.com Diakses pada 20 Agustus 2008 jam 16.00 wib www.google.com. Diakses setiap saat.

47

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010

KAJIAN EMPIRIS PELAKSANAAN SELF ASSESSMENT SYSTEM PAJAK DAERAH


Haryono
(Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Bhayangkara Surabaya, alamat: Jalan Ahmad Yani Surabaya)

ABSTRACT
The study aims to evaluate the application of the understanding of taxpayers and role of tax authorities in socializing the implementation of self-assessment system. Data used in this research is the primary data obtained from direct interviews with all taxpayers in the district of Jombang hotel entrepreneur. The questionnaire contains questions related to the taxpayer understanding toward tax laws, the role of tax authorities, and the implementation of self-assessment system. The analysis process is done by classifying respondents responses based on the understanding of taxpayers, the role of tax authorities, and the implementation of self-assessment system, with linkages of office or position of the respondents to each question asked, and then do the matching with the data on cooperative accounting information system has been obtained previously. From the analysis, it can be concluded that the taxpayers are lack of knowledge on laws and tax laws. Besides, the analysis shows that there are lacks of tax authorities role in socializing the rules and also the implementation of self-assessment system has not facilitated well. At last, the implementation of self-assessment system still uses the official assessment system. Key words: taxpayer, tax authorities and self assessment system

PENDAHULUAN
Pajak merupakan pendapatan penting bagi negara disamping sumber lainnya. Menurut Waluyo (2003:14-15) dalam mencapai tujuan untuk meningkatkan penerimaan pajak maka pemerintah memberikan keadilan dan kepastian hukum, memberikan keseimbangan hak dan kewajiban wajib pajak dalam melakukan perbaikan administrasi dan keterbukaan/ transparansi dalam pemungutan pajak. Dengan berlakunya Undangundang Nomor 34 Tahun 2000 tentang
47

Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Hotel dan Restoran dipisahkan menjadi Pajak Hotel dan Pajak Restoran. Tarif pajak hotel dan pajak restoran ditetapkan paling tinggi 10% (Siahaan, 2005:1-4). Selain itu berdasarkan Undangundang Nomor 17 tahun 2000 mengubah sistem pemungutan pajak yang digunakannya self assessment system yang menggantikan official assessment system (Resmi, 2003:117).

48

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 47 - 56

Tabel 1 Perbedaan Official Assessment System dan Self Assessment System


Official Assessment System Wewenang menentukan pajak terutang Peran Wajib Pajak Peran Fiskus Timbulnya pajak terutang Besarnya pajak terutang ditentukan oleh fiskus Wajib Pajak bersifat pasif Fiskus bertindak aktif Timbul karena dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak oleh Fiskus Self Assessment System Besarnya pajak terutang ditentukan oleh Wajib pajak Wajib Pajak bersifat aktif Fiskus hanya bertindak sebagai fasilitator Timbul karena UU dan karena terjadinya keadaan atau perbuatan

Sumber: Mardiasmo, 2001, Perpajakan, Edisi Revisi, Penerbit Andi Yogyakarta

Kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar dan melaporkan sendiri pajak terutang, maka diperlukan peran dari aparat pajak untuk melancarkan pelaksanaan self assessment system ditekankan pada tiga hal yaitu pembinaan yang dilakukan melalui penyuluhan pengetahuan perpajakan, pelayanan dan pengawasan. Pemahaman wajib pajak tentang pelaksanaan self assessment system masih rendah. Hal ini dimungkinkan karena self assessment system pada kenyataannya tidak sederhana. Pemahaman wajib pajak akan peraturan perpajakan diperlukan dalam pelaksanaan self assessment system. Hotel adalah bangunan khusus yang disediakan bagi orang untuk dapat menginap/istirahat, memperoleh pelayanan, dan atau fasilitas lainnya dengan dipungut bayaran, termasuk bangunan lainnya yang menyatu, dikelola, dan dimiliki oleh pihak yang sama, kecuali oleh pertokoan dan perkantoran. Adapun pajak hotel adalah pajak atas pelayanan hotel. (Siahaan, 2005:245-246). Menurut Undang-undang No. 34 tahun 2000 pasal 7 ayat 1 adalah pajak dibayar sendiri adalah pengenaan

pajak yang memberikan kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang, atau diberlakukan self assessment system. Permasalahan yang terjadi pada hotel-hotel yang berada di Kabupaten Jombang setelah dilakukan survei dan wawancara secara langsung kepada para pengusaha hotel dan Badan Pengelola Keuangan Daerah di Kabupaten Jombang, ternyata teridentifikasi masih diberlakukannya official assessment system. Sekitar 90% wajib pajak masih tergantung pada fiskus dalam perhitungan pajak terutang mereka. Ini dikarenakan para pengusaha hotel belum paham tentang sistem perpajakan dan bentuk laporan keuangan mereka yang belum tersusun secara baik. Jadi mereka tinggal menerima besarnya jumlah pajak yang harus dibayar tiap bulannya. Bahkan ada pengusaha hotel yang sudah menghitung sendiri besarnya pajak yang harus dibayar, ternyata hasilnya tidak sama dengan yang dihitung oleh fiskus. Menurut Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Jombang No. 25 tahun 2002 tentang Pajak Hotel dalam Pasal 6 adalah

Haryono, Kajian Empiris Pelaksanaan Self Assessment Pajak Daerah.

49

tarif pajak hotel ditetapkan sebesar 10%. Besarnya tarif pajak 10% kadang-kadang tidak diberlakukan di Kabupaten Jombang. Ini dikarenakan para pengusaha hotel belum paham tentang sistem perpajakan sehingga para pengusaha meminta fiskus untuk memberikan kemu-dahan dalam membayar pajak. Setiap kali akan membayar pajak, selalu diadakan tawar menawar antara pengusaha hotel dan fiskus. Ini dikarenakan pengusaha hotel kadang-kadang merasa berat dengan tarif yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Apalagi saat hotel sepi dari pengunjung. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, dapat dirumuskan masalah yaitu Bagai-mana penerapan pemahaman wajib pajak dan peranan fiskus di dalam mensosia-lisasikan pelaksanaan self assessment system ?. Tujuan yang diharapkan akan tercapai adalah: Mengetahui penerapan pemahaman wajib pajak dan peranan fiskus didalam mensosialisasikan pelaksanaan self assessment system; Untuk mengetahui pemahaman wajib pajak dan peranan fiskus didalam mensosialisasikan pelaksanaan self assessment system; Untuk mengetahui wajib pajak dalam menerapkan self assessment system dengan baik.

urusan rumah tangga daerah atau untuk membiayai pengeluaran daerah sebagai badan hukum. Pajak daerah dipungut oleh daerah berdasarkan kekuatan Peraturan Daerah (Perda), maka sifat pemungutan pajak daerah dapat dipaksakan kepada masyarakat yang wajib membayar dalam lingkungan administratif kekuasaannya. Jenis-jenis pajak daerah meliputi Pajak Daerah Propinsi dan Pajak Daerah Kabupaten. Pajak Daerah Kabupaten, meliputi : Pajak Hotel dan Restoran; Pajak Hiburan; Pajak Reklame; Pajak Penerangan Jalan; Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C (Siahaan, 2005:10); (Resmi, 2003:8); (Suandy, 2005:236) Pajak Hotel Pengertian pajak hotel menurut Siahaan (2005:245) adalah pajak atas pelayanan hotel. Perda No.14 tahun 1998 pasal 2 objek pajak adalah setiap pelayanan yang disediakan dengan pembayaran di hotel dan restoran. Objek diatas dapat dimaksudkan sebagai penjualan makanan dan minuman di tempat yang disertai dengan fasilitas penyantapannya. Menurut Siahaan (2005:247) objek pajak hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh hotel dengan pembayaran termasuk dalam objek hotel sebagai berikut fasilitas penginapan atau fasilitas tinggal jangka pendek termasuk tempat kos, wisma, pondok wisata, dan gedung pertemuan; dan Pelayanan penunjang sebagai kelengkapan fasilitas penginapan atau tempat tinggal jangka pendek yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan. Penunjang pelayanan tersebut telpon, faksimili, teleks, internet, fotocopy, pelayanan cuci, seterika, taksi,

KERANGKA TEORITIS
Pajak Daerah Pajak daerah dapat berasal dari pajak asli daerah maupun pajak negara yang diserahkan sebagai pajak daerah. Pajak daerah dipungut oleh daerah terbatas didalam wilayah administratif yang dikuasainya. Hasil pemungutan pajak daerah dipergunakan untuk membiayai

50

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 47 - 56

dan pengangkutan lainnya yang diadakan atau dikelola hotel. Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuaan. Secara sederhana yang menjadi subjek pajak adalah konsumen yang menikmati dan membayar pelayanan yang diberikan oleh pengusaha hotel (Siahaan, 2005:248). Menurut Siahaan (2005:248) wajib pajak adalah pengusaha hotel, yaitu orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya melakukan usaha dibidang jasa penginapan. Pemahaman Self Assessment System Sejak diberlakukannya self assessment system dalam perpajakan di Indonesia mulai tahu fiskal 1984, wajib pajak diberi kepercayaan penuh untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak-pajak yang menjadi kewajiban sendiri. Menurut Siahaan (2005:69), Ada beberapa tahap dalam pelaksanaan self assessment system: 1. Pajak dibayar oleh wajib pajak setelah terlebih dahulu ditetapkan oleh kepala daerah melalui Surat ketetapan pajak daerah (SKPD) atau dokumen lain yang dipersamakan. 2. Pajak dibayar sendiri oleh wajib pajak, wajib pajak memenuhi kewajiban pajak yang dibayar sendiri dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD), Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB) dan atau Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT). Self assessment system menurut

Resmi (2003:10) adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang wajib pajak untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan yang berlaku. Lain lagi yang dikemukakan oleh Suandy (2005:239) self assessment system adalah sistem pemungutan pajak dimana wajib pajak harus menghitung, memperhitungkan, membayar, melaporkan jumlah pajak yang terutang. Ciri-ciri self assessment system adalah sebagai berikut : 1. Sederhana, baik dalam jumlah dan jenis pajaknya, tarif serta pemungutannya. 2. Mencerminkan asas pemerataan dalam pengenaan dan pembebanannya. 3. Memberikan kepastian hukum baik bagi wajib pajak maupun aparatur pajak. 4. Menutup peluang penggelapan pajak dan penyalahgunaan wewenang. 5. Memberikan kepercayaan yang besar kepada wajib pajak dengan memberlakukan asas menghitung dan menyetorkan sendiri kewajiban pajaknya. 6. Mendorong dan memberikan pengaruh yang positif pada kegiatan ekonomis dan bisnis. Berdasarkan self assessment system, kewajiban wajib pajak menurut undangundang No. 16 tahun 2000 (Resmi, 2003:22), adalah : 1. Mendaftarkan diri untuk mendapatkan nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). 2. Menghitung dan membayar sendiri pajak dengan benar. 3. Mengambil sendiri Surat Pemberitahuan, mengisinya dengan benar dan memasukkannya sendiri ke Kantor Pelayanan Pajak dalam batas waktu yang telah ditetapkan.

Haryono, Kajian Empiris Pelaksanaan Self Assessment Pajak Daerah.

51

4. Menyelenggarakan pembukuan/ pencatatan. 5. Jika diperiksa, wajib: Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas wajib pajak, atau objek yang terutang pajak; Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat/ruangan guna memperlancar pemeriksaan; Memberikan keterangan yang diperlukan. Untuk mensukseskan self assessment system ini dibutuhkan beberapa prasyaratan dari wajib pajak antara lain: Kesadaran wajib pajak (Tax Consciousness); Kejujuran wajib pajak (Hosnesty Consciousness); Kemauan membayar pajak dari wajib pajak (Tax Mindedness); Kedisiplinan wajib Pajak (Tax Disciplin) Peranan Fiskus Dalam self assessment system fungsi dan peranan dari wajib pajak ditingkatkan. Fungsi utama fiskus dalam self assessment system ditekankan dalam tiga hal, yaitu pembinaan yang dilakukan melalui penyuluhan pengetahuan perpajakan, pelayanan, dan pengawasan. Penyuluhan merupakan peranan fiskus untuk mengadakan penyuluhan (penjelasan) yang berkaitan dengan perpajakan, sedangkan pelayanan merupakan pemberian fasilitas dengan tujuan pihak yang dilayani akan merasa nyaman, aman, puas, dan dihargai. Pengawasan merupakan tindakantindakan yang dilakukan untuk mengetahui atau menguji kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan ketentuan perpajak-

an yang berlaku. Sebagai perwujudan peranan fiskus dalam bentuk pengawasan dan penyuluhan/pembinaan, salah satunya berupa kegiatan pemeriksaan pajak yang akan dilaksanakan dari waktu ke waktu bersinambungan. Menurut Resmi (2003:53) pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, serta mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sedangkan menurut Siahaan (2005:117) adalah suatu proses yang diperlukan dalam pemungutan pajak untuk membuktikan kebenaran pelaksanaan kewajiban perpajakan yang diatur oleh undang-undang. Dengan demikian, pemeriksaan pajak sebagai sarana untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap wajib pajak, selain mempunyai tujuan untuk menguji tingkat kepatuhan wajib pajak di dalam memnuhi kewajiban perpajakannya, juga mempunyai tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan perundang-undangan perpajakan. Pemahaman Wajib Pajak Terhadap Pelaksanaan Self Assessment System Pemahaman wajib pajak terhadap undang-undang dan peraturan perpajakan berfungsi penting, karena merupakan elemen kognitif dari sikap wajib pajak terhadap undang-undang dan peraturan perpajakan, dan akhirnya perilaku perpajakan mempengaruhi keberhasilan perpajakan. Pengaruh pemahaman wajib pajak terhadap self assessment system berhubungan dengan tingkat kepribadian

52

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 47 - 56

setiap wajib pajak itu sendiri. Rendahnya tingkat pemahaman masyarakat tentang pajak mengakibatkan masyarakat cenderung apatis terhadap perilaku atau praktek masyarakat dalam hal kedisiplinan membayar pajak. Semua ini dikarenakan rendahnya keingintahuan wajib pajak terhadap undang-undang, peraturan perpajakan dan tata cara penghitungan pajak. Pengaruh Peranan Fiskus Terhadap Pelaksanaan Self Assessment System Menurut Munawir (1998:94), kewajiban yang utama dari aparatur pajak atau fiskus dalam memberikan bimbingan, penerangan, penyuluhan kepada wajib pajak sehingga wajib pajak mempunyai pengetahuan dan keterampilan untuk melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Hal ini dapat dihubungkan dengan teori motivasi proses, teori ini berusaha agar setiap individu mau bekerja giat sesuai dengan harapan. Daya penggerak yang memotivasi semangat kerja tergantung dari harapan yang akan diperolehnya. Jika harapan menjadi harapan kenyataan individu cenderung akan meningkatkan kualitas kerjanya, begitu sebaliknya (Indriyo,2000:42). Sehingga jika fiskus tidak mempunyai motivasi yang kuat untuk mensosialisasikan undangundang dan peraturan perpajakan maka bisa dipastikan masih banyak wajib pajak yang buat terhadap undang-undang dan peraturan perpajakan. Jika kenyataan ini yang terjadi maka dapat mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan self assessment system karena peranan fiskus ini yang dibutuhkan oleh wajib pajak yang buta akan undang-undang dan peraturan

perpajakan.
Diagram Kerangka Pikir

Sumber: Data diolah oleh penulis

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Obyek Penelitian Obyek penelitian ini adalah beberapa hotel yang berada di wilayah Jombang yang didasarkan atas pertimbangan bahwa dalam kurun waktu yang singkat kota Jombang mengalami perkembangan yang pesat. Keinginan untuk membangun tempat-tempat yang dapat memberikan fasilitas pelayanan kepada masyarakat, khususnya memberikan kemudahan pada masyarakat untuk mendapatkan tempat singgah sementara atau tempat bermalam. Beberapa hotel tersebut antara lain: Hotel Central; Hotel Fatma; Hotel Dewi; Hotel Indah; Hotel Jujukan; Hotel Kartika Indah; Hotel Wisata Aura; Hotel New Melati; Hotel Netral; Hotel Sumber Rejeki; Hotel Udarti; Hotel Udarti. Pendekatan Penelitian Pengumpulan data dalam penelitian kualitatif ini dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap beberapa informan yang memiliki pemahamahaman tentang pelaksanaan SAS pajak daerah. Data

Haryono, Kajian Empiris Pelaksanaan Self Assessment Pajak Daerah.

53

dikumpulkan dengan menyebarkan angket kerpada responden. Setelah data terkumpul kemudian diolah,diriduksi dan dianalisis. Langkah-langkah yang digunakan oleh peneliti dalam mengolah dan menganalisis data adalah sebagai berikut: - Menyiapkan kuesioner pemahaman wajib pajak dan peranan fiskus terhadap pelanggaran pelaksanaan self assessment system. Kuesioner ini merupakan suatu cara yang digunakan dalam mengevaluasi penerapan pemahaman wajib pajak dan peranan fiskus terhadap ketidakefektivan pelaksanaan self asssessment system. Kuesioner ini berisi beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan unsur-unsur pemahaman wajib pajak terhadap undang-undang perpajakan, peranan fiskus, dan ketidakefektivan pelaksanaan self assessment system. - Menganalisa; Proses analisa dilakukan setelah kuesioner mengevaluasi penerapan pemahaman wajib pajak dan peranan fiskus terhadap ketidakefektivan pelaksanaan self asssessment system yang dibagikan pada pihakpihak yang terkait dengan permasalahan penelitian terkumpul kembali. Analisa dilakukan dengan cara mengelompokkan setiap jawaban dari pihak-pihak terkait yang telah mengisi kuesioner mengevaluasi penerapan pemahaman wajib pajak dan peranan fiskus terhadap ketidakefektivan pelaksanaan self asssessment system pengelompokan tersebut didasarkan pada masing-masing pertanyaan. Tujuan dilakukannya pengelompokan adalah untuk mengetahui apakah terdapat persamaan persepsi atau jawaban antara wajib pajak hotel satu

dengan yang lainnya terhadap pelaksanaan self asssessment system selama ini telah dijalankan.

PEMBAHASAN
Rendahnya tingkat pemahaman masyarakat tentang pajak mengakibatkan sikap masyarakat cenderung apatis terhadap perilaku atau praktek masyarakat dalam hal kedisiplinan membayar pajak. Apabila fiskus tidak mempunyai motivasi yang kuat untuk mensosialisasikan undang-undang dan peraturan perpajakan maka bisa dipastikan masih banyak wajib pajak yang buta terhadap undangundang dan peraturan perpajakan. Berikut tanggapan dan deskripsi hasil penelitian dari para responden.

1. Tanggapan Responden Tentang Pemahaman Wajib Pajak


Tanggapan responden tentang pemahaman wajib pajak dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 2. Tanggapan Responden Tentang Pemahaman Wajib Pajak Terhadap Undang-Undang
Pertanyaan 1 2 3 4 5 6 7 8 Pilihan Jawaban Ya Tidak 12 9 12 12 12 12 12 12 3 Total Hotel 12 12 12 12 12 12 12 12

Sumber: Hasil Penelitian (data diolah)

54

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 47 - 56

2. Tanggapan Responden Tentang Peranan Fiskus


Peranan fiskus merupakan peranan dari aparat pajak untuk memperlancar dan mensosialisasikan pelaksanaan self assessment system kepada wajib pajak. Hasil tanggapan responder tentang peranan fiskus dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 3 Tanggapan Responden Tentang Peranan Fiskus
Pertanyaan 1 2 3 4 5 6 7 Pilihan Jawaban Ya Tidak 12 12 12 12 12 12 4 8 Total Hotel 12 12 12 12 12 12 12

Implikasi Penelitian Penelitian ini menunjukkan bahwa pemahaman wajib pajak dan peranan fiskus didalam mensosialisasikan pelaksanaan self assessment system, hal ini sesuai dengan teori psikodinamis yang mengatakan bahwa jika Id yang berperan maka wajib pajak akan cenderung tetap menggunakan official assessment system karena mereka tinggal membayar pajak yang telah dihitung oleh fiskus tanpa perlu repot-repot menghitung besarya pajak yang harus dibayar. Jika superego yang berperan dalam diri wajib pajak, maka mereka akan senang menghitung sendiri besarnya pajak yang harus mereka bayar pada fiskus dan self assessment system dapat berjalan dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman wajib pajak terhadap undang-undang dan peraturan perpajakan berfungsi penting, karena ini merupakan elemen kognitif dari sikap wajib pajak terhadap undangundang dan peraturan perpajakan, dan sikap wajib pajak mempengaruhi perilaku perpajakan wajib pajak, dan akhirnya perilaku mempengaruhi keberhasilan perpajakan. Harapannya yaitu dengan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pajak yang mengakibatkan sikap masyarakat cenderung baik terhadap perilaku atau praktek masyarakat dalam hal kedisiplinan membayar pajak. Selain itu peneliti juga berharap lain agar keingintahuan wajib pajak terhadap undangundang, peraturan perpajakan dan tata cara penghitungan pajak, mendapat respon dari fiskus melalui pemberian bimbingan, penerangan, penyuluhan kepada wajib pajak sehingga wajib pajak

Sumber : Hasil Penelitian (data diolah)

Tanggapan Responden Tentang Pelaksanaan Self Assessment System Ketidakefektivan pelaksanaan self assessment system merupakan perbuatan melanggar dalam pelaksanaan self assessment system dan aturan perpajakan daerah yang berlaku. Hasil tanggapan responden tentang pemahaman wajib pajak dapat dilihat pada tabel dibawah ini
Tabel 4 Tanggapan Responden Tentang Pelaksanaan Self Assessment System
Pertanyaan 1 2 3 4 5 Pilihan Jawaban Ya Tidak 12 9 3 12 12 12 Total Hotel 12 12 12 12 12

Sumber : Hasil Penelitian (data diolah)

Haryono, Kajian Empiris Pelaksanaan Self Assessment Pajak Daerah.

55

mempunyai pengetahuan dan ketrampilan untuk melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, wajib pajak tidak buta terhadap undang-undang dan peraturan perpajakan, agar self assessment system benar-benar bisa dilaksana-kan oleh wajib pajak. Penelitian ini menggunakan asumsi pemahaman wajib pajak, peranan fiskus dan pelaksanaan self assessment system. Penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan untuk penelitian yang akan datang, untuk menguatkan kembali penelitian ini, peneliti menambah asumsi lain yang memiliki pengaruh terhadap ketidakefektivan pelaksanaan self assessment system. Asumsi tersebut adalah Kepatuhan Wajib Pajak, Social Pressure, dan Persepsi Tentang Sanksi.

pemahaman masyarakat tentang pajak yang mengakibatkan sikap masyarakat cenderung baik terhadap perilaku atau praktek masyarakat dalam hal kedisiplinan membayar pajak. 2. Hendaknya memberikan bimbingan dan pelatihan pajak kepada wajib pajak sehingga mempunyai pengetahuan dan ketrampilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga dapat mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan self assessment system. 3. Penelitian yang akan datang disarankan untuk menambahkan variabel lain yang berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan self assessment system yaitu Kepatuhan wajib pajak, Social Pressure, dan Persepsi Tentang Sanksi.

SIMPULAN
Beberapa data yang didapat oleh penulis selama melakukan penelitian dapat disimpulkan antara lain: 1. Kurang pahamnya wajib pajak dalam undang-undang dan peraturan perpajakan. 2. Kurangnya peranan fiskus didalam mensosialisasikan dan memperlancar pelaksanaan self assessment system. 3. Masih diberlakukannya official assessment system didalam pelaksanaan self assessment system.

DAFTAR PUSTAKA
Strauss, Anselm, dan Juliet Corbin. 2003. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Munawir, S., 1998, Perpajakan, Yogyakarta, Liberty, Edisi V cetakan 2. Waluyo, Wirawan, B.I., 2003, Perpajakan Indonesia, Jakarta, Salemba Empat Siahaan, Marihot Pahala, 2005, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Jakarta, Rajagrafindo Persada Mardiasmo, 2001, Perpajakan, Yogyakarta, Edisi Revisi, Penerbit Andi. Suandy, Erly, 2005, Perpajakan, Jakarta, Salemba Empat. Muljono, Liliawati Eugeni, 1998, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Jakarta Harvarindo. Nasution, A. Salim, Soewondo dan

SARAN
Sebagai implikasi dari hasil penelitian ini, dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut : 1. Hendaknya meningkatkan

56

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 47 - 56

Gunadi, 1986, Pajak dan Retribusi Daerah, Jakarta, Modul Universitas Terbuka. Sidik, Machfud, 1996, Pajak dan Retribusi, Jakarta, Departemen Keuangan. Tjahjono, Achmad dan Husein, M. Fakhri, 1999, Perpajakan, Yogyakarta, AMP YKPN, Resmi, Siti, 2003, Perpajakan dan Prakteknya, Jakarta, Salemba Empat

Peraturan / Undang-undang: Undang-undang Nomor 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Peraturan Daerah Nomor 25 tahun 2002 tentang Pajak Hotel Pemerintah Daerah Kabupaten Jombang

KONVERGENSI TEKNOLOGI MEDIA DAN KOMPETENSI JURNALIS DENGAN KEBEBASAN PERS DALAM TANGGUNG JAWAB KEBENARAN INFORMASI PADA KARYA JURNALISTIK
Sri Ayu Astuti
(Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Jalan Majapahit 666 B Sidoarjo, telepon 031-8945444)

ABSTRACT
Community controls over media and journalism with the community synergies in the use of technology convergence is a consequence of human life to advance towards a quality life. It develops from social life that starts from just knowing, and then it becomes knowledge, further it turns out to be a science that cannot be prevented. On contrary, it should be placed as a responsibility of truth and code of conduct in a civilized human life. Key words: convergence of media technology, competence and responsibility of media journalism

PENDAHULUAN
Perkembangan informasi dan cara berkomunikasi dalam era teknologi dewasa ini mengalami revolusi yang begitu cepat dan menakjubkan (spektakuler). Bahkan Philip Meyer pernah meramalkan pada tahun 2040, orang akan menyaksikan Koran terakhir yang terbit dan dibaca orang. Ramalan tersebut tentu saja sangat beralasan lantaran penyampaian berita kepada masyarakat secara manual dipandang sudah dianggap tidak relevan lagi, ditengah tingginya tingkat kemajuan kemanfaatan tekhnologi yang berkembang, dan banyak media sudah mengan57

dalkan kekuatan media lain dalam konsep multimedia. Kaitan erat antara teknologi dengan sejarah perkembangan informasi bisa dijelaskan dengan teori transisi (theory of transitions). Teori ini intinya menjelaskan bahwa ada perbedaan tahapan di dalam sejarah perkembangan komunikasi manusia. Masing-masing perkembangan itu mempunyai konsekuensi yang sangat besar baik bagi individu maupun kehidupan sosialnya. Masing-masing tahapan akan mencerminkan bentuk komunikasi yang dilakukan umat manusia berbeda satu sama lain, sebagaimana perkembangannya yang telah dijelaskan di atas.

58

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 57 - 70

Situasi kemunculan konvergensi teknologi media, memunculkan konsep pemikiran tersendiri dalam proses penyebaran informasi yang dahulunya hanya dilakukan para jurnalis media utama (mainstream media) seperti jurnalis televisi, radio, dan media cetak lain, kini bisa dilakukan siapa saja dengan cara apa saja. Jurnalisme warga negara (citizen journalism) menjadi keniscayaan adanya revolusi dalam penyebaran informasi. Dengan menggunakan internet dan perantaraan blog, semua orang bisa menjadi jurnalis. Situasi ini memunculkan revolusi jurnalisme, dari jurnalisme klasik menjadi jurnalisme baru, ini adalah perubahan dalam perjalanan keilmuan informasi dan komunikasi berkaitan juga dengan memunculkan bagaimana menyampaikan ide dalam wujud tulisan. Jurnalisme dan media telah mengalami perkembangan yang sangat luar biasa dalam artian yang luas tentang pengetahuan Informasi dan komunikasi serta kemajuan keilmuan kemanfaatan tekhnologi. Dalam konsep Rene Descartes menyatakan kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan. Pengertian ini mengandung pengertian yang multidimensi. Perkembangan dalam Informasi dan Komunikasi di ruang jurnalisme pun telah mengalami perkembangan sesuai kemajuan keilmuan sebagaimana yang ada dalam konsep Rene Descartes bahwa terjadi penyelidikan lebih dalam pada penggunaan Informasi

dan Komunikasi yang digunakan manusia dalam peradaban kehidupannya. Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk ke dalamnya adalah ilmu. Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama. Misal orang tahu berbicara dengan orang lain merupakan komunikasi, pengetahuan tentang berbicara berkembang tidak hanya sekedar bicara tapi lebih dari itu bicara dalam bahasa keilmuan disebut komunikasi itu, telah menjadi penelitian bahwa komunikasi adalah berbicara dengan menyampaikan informasi perlu dengan upaya bicara yang baik, menggunakan aturan, dari tutur bahasa yang bagus, dapat dimengerti dan memiliki keindahan. Sehingga bicara (berkomunikasi) dalam menyampaikan berita (informasi) tersebut memiliki nilai yang tinggi sebagai pembeda dari sekedar tahu, menjadi pengetahuan untuk selanjutnya menjadi ilmu pengetahuan. Jurnalis bekerja berdasarkan profesionalisme sehingga tidak terlepas dari kompetensi, dengan kompetensi jurnalis dapat bekerja secara berkualitas. Untuk menjadi jurnalis yang berkualitas, harus berupaya keras mengejar objektivitas nilai berita sesuai dengan fakta dilapangan dan nilai berita tersebut memiliki sebuah kebenaran. Kebenaran tersebut harus diuji dengan cek and recheck dari berita yang ditulis seorang jurnalis dan dipublikasikan

Sri Ayu Astuti, Konvergensi Teknologi Media dan Kompetensi Jurnalis...

59

dengan media yang ada. Proses pengambilan bahan berita itulah yang memerlukan sebuah komitmen bagi seorang jurnalis memburu pengetahuan yang ada berkesesuaian dengan informasi yang informasikan dan dikomunikasikan. Berkaitan dengan memburu pengetahuan, Andi Hakim Nasoetion mengemukakan bahwa Manusia pada mulanya belajar dan mencoba menemukan pengetahuan secara tidak sadar dari pengalaman. Pengalaman itu tidak lain dapat dianggap sebagai goresan. Kalam Allah di muka bumi berupa hukum-hukum alam yang sudah diatur harus berjalan seperti apa yang kita lihat sehari-hari. Kompetensi jurnalis ini tidak hanya sekedar mengkomunikasikan informasi tapi juga ada kebenaran dalam informasi tersebut yang harus dipertanggungjawabkan seorang jurnalis dalam karya jurnalistiknya, termasuk juga jurnalis wara negara yang menggunakan kekuatan dan multidimensi tekhnologi. Bentuk pertanggungjawaban yang harus dilakukan jurnalis memang terkait dengan kompetensi yang dimilikinya, agar jurnalis tidak kehilangan objektivitas dalam kinerjanya. Sebagaimana dikemukakan oleh Anshari Thayeb yang mengatakan Jurnalis hendaknya berpegang pada golden triangle yang terdiri dari pengetahuan, ketrampilan, dan kepribadian (Knowledge, skill and attitude). Sehingga persoalan dan semua tantangan yang ada dapat diatasi berpulang pada moral wartawan yang bersangkutan.

Seorang jurnalis harus menghadirkan informasi dengan sebuah kebenaran dengan fakta yang ada. Fakta dalam pemberitaan pers dikendalikan oleh nilainilai yang terkandung dalam Pasal 5 (ayat 1) Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Pers: Pers nasional berkewajiban memberritakan peristiwa dan opini dengan menghormati normanorma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta rasa praduga tak berrsalah. Termasuk juga kontrol masyarakat yang dijamin dalam undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Pers Pasal 17 ayat 2 huruf a, yakni: Memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers.Persoalan yang diungkapkan diatas sebagaimana juga yang diungkapkan Rene Descrates tentang kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu. Masalah utama yang timbul dari cara berpikir ini adalah mengenai kriteria untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu ide yang menurut seseorang adalah jelas dan dapat dipercaya. Dari uraian tersebut penulis merumuskan identifikasi permasalahan yang ada sebagai berikut: 1. Bagaimana jurnalisme dan konvergensi keknologi memberikan dampak kebutuhan dan kepentingan informasi pada masyarakat publik. 2. Bagaimana kompetensi jurnalis dalam kebebasan pers dan konvergensi teknologi, terhadap kebenaran informasi dalam karya jurnalistik.

60

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 57 - 70

3. Bagaimana kompetensi Jurnalis dalam membangun tanggung jawab kebenaran informasi dengan konvergensi tekhnolog

lebih berfungsi sebagai alat propaganda pemerintah Julius Caesar. Semula Acta Diurna sebagai media pemberitaan dapat dikutip dan dibaca oleh setiap orang yang menginginkannya. Seiring dengan kebutuhan informasi dan perkembangan zaman muncul usaha swasta , yang kemudian dianggap sebagai cikal bakal munculnya istilah jurnalistik. Kegiatan mencari dan menyiarkan informasi secara sederhana ini kemudian muncul istilah Diunarii (Diurnarius), dan kata tersebut menjadi embrio atau asal kata dari Jurnalis, Hingga akhirnya tugas jurnalis berkembang dengan sendirinya. Perkembangan tersebut tidak hanya menyangkut bentuk media nya saja yang beragama tapi muncul individu-individu yang melaksanakan tugas peliputan berita dengan memperoleh penghasilan sebagai mata pencaharian. Sejak munculnya Acta Diurna dan Acta Senatus terjadi perubahan besar dalam hal penyebaran informasi di masyarakat. Munculnya Acta Diurna dan Acta Senatus menjadi tonggak awal kehadiran Jurnalis. Kehadiran Jurnalis dibutuhkan juga adanya alat-alat komunikasi yang memudahkan proses penyampaian pengumuman (publisistik), sebagaimana juga dikatakan Edward Sapir dalam tulisannya Communication adalah Secondary Techniquies, termasuk penggunaan tulisan atau cetakan. Bisa disimpulkan Jurnalisme merupakan kegiatan yang berhubungan dengan proses mencari, mengolah, dan menyiarkan informasi

JURNALISME DAN KONVERGENSI TEKNOLOGI ANTARA KEBUTUHAN DAN KEPENTINGAN INFORMASI


Kata jurnalisme diambil dari bahasa Prancis Journal yang berasal dari istilah Latin diurnal atau diary, dan dikenal dengan Acta Diurna. Ini merupakan awal sejarah perkembangan komunikasi (sistem perbudakan), proses penyebaran pengumuman dilakukan secara serentak pada sebuah kerumunan orang. Model ini dinamakan model komunikasi auditif, para pejabat pada masa zaman Romawi menuliskan segala kejadian dengan cara menuliskannya di atas papan-papan di muka rumahnya, dengan maksud setiap orang yang menginginkan informasi bisa membacanya sendiri. Model pengumuman itu diteruskan oleh Julius Caesar dengan memasang pengumuman yang kemudian terkenal dengan sebutan Acta Diurna yang artinya peristiwa sehari-hari, dan berkaitan dengan keputusan senat dalam papan pengumuman itu disebut dengan Acta Senatus. Acta Diurna berdasarkan catatan Edwin Emery ditulis dan dikeluarkan pertama kalinya pada 59 SM. Sementara itu Prof. K.Baschwitz mengatakan, gradasi penyampaian Acta Diurna bersifat propaganda otoriter karena

Sri Ayu Astuti, Konvergensi Teknologi Media dan Kompetensi Jurnalis...

61

kepada khalayak dan disebarkan melalui media massa (cetak dan elektronik). Dalam perkembangannya Jurnalisme menjadi sebuah profesi yang dilakukan seseorang yang bekerja pada media massa. Hal tersebut sesuai dengan filsafat ilmu yang mempertanyakan soal pengetahuan dan juga soal bagaimana kita dapat mengetahui sesuatu. Sejalan dengan pemikiran Andi Hakim Nasoetion yang berbicara tentang manusia dan pengetahuan, mengattakan manusia tidak hentihentinya mencari pengetahuan. Andi hakim Nasution juga mengutip Firman Allah,Swt mengenai pengetahuan dalam Al-Quran surah al-Alaq [96]: 1-5 , dengan arti kalimat ayat tersebut sebagai berikut: Bacalah atas nama penciptamu; yang telah menciptakan manusia dari segumpal nutfah; bacalah. Dan Tuhanmu Sanggat Pemurah; yang telah menajarkan penggunaan kalam; mengajari manusia hal-hal yang tidak diketahui olehnya. Berbicara kalam berarti berbicara komunikasi, bagaimana Allah, Swt memerintahkan umatnya dalam mengarjakan seluruh kewajibannya dengan berkomunikasi dengan hambanya menggunakan media Wahyu melalui Rasulullah Muhammad dengan Kalam Nya. Berkaitan dengan itu jurnalis sebagai penyampai berita menggkomunikasikannya dengan menngunakan Media Massa (cetak dan elektronik) atau pers yakni dengan mengggunakan alat yang dikenal dengan nama media untuk menyebarkan informasi yang sudah dicari oleh jurnalis melalui

tulisannya atau lebih akrab dengan sebutan karya jurnalistik. Jurnalistik adalah istilah yang muncul dan popular di Amerika, sedangkan publisistik sebagai istilah yang muncul di Eropa. Publisistik berasal dari bahasa Jerman publiziztik , yang sebenarnya secara etimologis juga berasal dari bahasa Latin Publicare setelah diadopsi dalam bahasa Jerman kuno menjadi publicirn lalu menjadi publizierren dalam bahasa Jerman modern, selanjutnya diadopsi dalam bahasa Indonesia menjadi publisistik. Publisistik yang berarti mengumumkan walter Hageman mengatakan offentlichen aussage yang berarti pernyataan umum atau pengumuman . Dalam perkembangan publisistik dan Jurnalisme tidak terlepas dari kebutuhan peralatan yang digunakan para jurnalis sebagai media menyampaikan informasi untuk dikomunikasikan kepada masyarakat publik yang membutuhkan informasi dalam kehidupannya. Peralatan yang menunjang terjadinya percepatan informasi yang akan dikonsumsi oleh masyarakat dalam mengikuti pergerakan kehidupan. Peralatan yang erat kaitannya dengan fungsi media memuat informasi itu juga mengalami tahapan sebagaimana fungsi jurnalis itu sendiri. Tahapan perkembangan manusia ikut menentukan alat apa yang dipakai sebagai alat komunikasi. Bila kita melihat tahapan perkembangan manusia mengenal peralatan komunikasi dapat kita runtut dari zaman Batu, dipakai batu sebagai komunikasi

62

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 57 - 70

selanjutnya dengan ditemu-kannya satelit , yang membawa manusia terus mencari tahu akan fungsi peralatan komunikasi yang lebih baik dan lebih mudah dalam menyampaikan informasi dan menunjukkan bahwa manusia dalam tingkat peradaban tersebut. Setelah itu perkembangan informasi memasuki perkembangan pesat sejak Guttenberg ketika menemukan mesin cetak pada tahun 1456, yang membuat terjadinya peningkatan tajam pada penyebaran berita dan informasi. Pada tahun 1863 William Bullock di Philadelphia menciptakan mesin rotasi, dan membuat surat kabar tidak lagi di cetak halaman per halaman secara terpisah, tetapi sudah dilakukakan dengan menempelkan lembaran kertas sebesar surat kabar dalam mesin dalam mesin. Tahun 1894 ditemukan set linotip dan tahun 1895 di Amerika pun mesin linotip mulai dipergunakan dalam percetakan-percetakan. Penggunaan sistem ini pertama kalinya dilakukan di inggeris tahun 1898, dan surat kabar menjadi alat komunikasi massa yang sejati. Perkembangan alat komunikasi terus mengalami penemuan baru dibidang teknologi dengan ditemukannya telegraf oleh morse tahun 1844 yang mempercepat pemberitaan. Tahun 1895 terdapat penemuan alat baru sebagai kekuatan dalam bidang teknologi komunikasi dengan diketemukannya mesin ketik, diteruskan tahun 1876 dengan ditemukannya telepon oleh Graham Bell, dan tahun 1895 juga ditemukan Radio oleh

Marconi. Hingga 1960-an dengan teknologi televise dan sekitar tahun 1980an berkembang dengan penemuan sekaligus boomingnya penggunaan teknologi alat penunjang dalam kerja Jurnalistik. Dunia era global dengan sekaligus mengubah gaya hidup dan seluruh prilaku masyarakat luas yang banyak menggunakan komunikasi dengan ruang maya, yang lebih dikenal dengan bahasa Dunia maya atau Internet, juga merambah dengan sebuah kemudahan dalam pencapaian percepattan berita , atau sekedar informasi ke ruang publik. Satu hal yang termasuk esensial dalam kehidupan manusia adalah kebebasan berbicara atau berpendapat. Karena berbicara selain merupakan kekayaan manusia, sekaligus merupakan bentuk ekspresi manusia berpikir, berbicara juga menjadi salah satu ciri yang membedakannya dari makhluk Tuhan lainnya. Meski Rasulullah Muhammad pernah membatasi hak bicara, tetapi iut kontekstualnya hanya apabila pembicaraan itu baik (falyakul khairan auliyasmut) dan Rasulullah Muhammad mengisyaratkan berpikir dan berpendapat (ijtihad) merupakan hak bagi setiap individu manusia, yang dilarang fitnah dan ghibah atau memberitakan orang lain yang tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Dengan komunikasi, manusia mampu mengekspresikan dirinya membentuk jaringan interaksi sosial dan mengembangkan kepribadiannya. Dalam Al-Quran ,Surah [ 55 ]; 1-4 , Allah, Swt menjelaskan

Sri Ayu Astuti, Konvergensi Teknologi Media dan Kompetensi Jurnalis...

63

dalam firmannya: Tuhan yang Maha Pengasih, yang telah mengajarkan Alquran, Dia menciptakan manusia, Mengajarkan pandai berbicara atau berkomunikasi. Dalam Filsafat Ilmu, kita dapat memulai upaya penstrukturan ke berbagai ranah ilmu komunikasi. Istilah komunikasi ada yang menyebut berasal dari kata communicare yang berarti menyampaikan pandangan. Common berarti kesamaan, jadi komunikasi berkaitan dengan penyampaian sesuatu dalam rangka mendapatkan kesamaan makna. Bagaimana katiannya dengan Community pengertiannya adalah pembentukkan komunitas, lebih jauh komunikasi yang diintegrasikan dengan komunitas menghasilkan pemahaman komunikasi dalam kehidupan masyarakat. Memang penekanan pada masing-masing istilah tersebut berbeda. Isi pesan komunikasi adalah pikiran, walau adakalanya perasaan dengan menggunakan symbol umumnya adalah bahasa. Sedangkan fungsi bahasa adalah untuk berhubungan dengan dunia konkret dengan menunjukkan aspek-aspek yang menarik dan dengan memberikan kepada dunia arah yang bermakna. Kemampuan berpikir sebagai ciri khas manusia merupakan hal yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya yang menunjukkan derajadnya lebih tinggi. Aristoteles memberikan definisi bahwa manusia sebagai binatang yang berakal budi animal rationale. Karena kekuatan berpikir itulah

manusia selalu berkeinginan untuk menyempurnakan pemikirannya dan terus menggali pengetahuannya dari proses kehidupan yang dijalani. Adanya komunikasi akan erat kaitannya dengan keberadaan media komunikasi, dan jurnalisme sebagai pencari dan pengolah bahan berita. Media Komunikasi merupakan salah satu elemen komunikasi yang berfungsi sebagai alat, saluran, sarana untuk menyampaikan pesan-pesan komunikasi dari komunikator pada komunikan. Ada berbagai bentuk media komunikasi seperti surat, telepon, teleks, faksimili, surat kabar, majalah, radio, televise, film dan internet, masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan yang berbeda dan kekhasan serta keunikannya sendiri. Fungsi media menyimpan pesan komunikasi yang berupa ide-ide, gagasan, pikiran manusia, dan dapat pula berfungsi untuk mendistribusikan atau mentransfer pesan-pesan tersebut dari satu tempat ke tempat lainnya, dan dengan adanya media komunikasi pesan dapat disampaikan pada khalayak di tempat-tempat yang berbeda secara serentak. Sehingga dapat dikatakan bahwa komunikasi dengan menggunakan media komunikasi adalah usaha menembus ruang dan waktu. Media Komunikasi dengan segala kemajuannya dan keberadaan jurnalisme saling terkait dalam kehidupan jurnalistik. Kehadiran media komunikasi amat penting bagi kehidupan manusia. Media komunikasi memberikan pengaruh yang

64

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 57 - 70

besar pada banyak aspek kehidupan manusia sebagai individu. Media juga mempengaruhi kehidupan kelompok masyarakat serta dunia. Media Komunikasi sebagai alat adalah saluran komunikasi tempat berlalu lintasnya pesan dari komunikator kepada komunikan. Media sebagai sarana yang berupa alat memainkan perannya sebagai komunikasi dalam memperluas jangkauan komunikasi antar manusia dan memperbesar kemampuan daya jangkau untuk menjalin hubungan komunikasi antar manusia. Adanya media komunikasi terutama media massa, manusia dapat merambah dunia dalam waktu yang cepat hingga menembus dimensi waktu. Hingga tidak terdapat lagi batas negara dan menjadi dunia komunikasi global dengan beragam pilihan alat media komunikasi. Disebtu juga sebagai Desa Global (Global Village), karena dunia akan terasa kecil akibat pendeknya jarak komunikasi antara komunikator dengan komunikannya. Jalaluddin Rahmat mengutip Mc Luhan berpendapat The Medium is Message, Menurutnya media komunikasi juga sebuah pesan dan yang mempengaruhi kita bukan isi pesan melainkan jenis media komunikasi yang digunakan apakah radio, televisi, surat kabar, dan internet sekaligus pemanfaatan teknologi atau lebih dikenal dengan Konvergensi teknologi. Keberadaan berbagai jenis media massa dan konnvergensi teknologi sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Pengaruh yang begitu dasyat sangat terasa

dalam kegiatan kehidupan sehari-hari yang tergantung pada berbagai bergulirnya informasi yang dikemas oleh jurnalis mendesak manusia untuk mengkonsumsinya. Kehadiran media komunikasi sebagai alat bantu fungsi per fungsinya sudah demikian menyatu dan menjadi bagian gaya hidup setiap orang dalam percepatan teknologi. Kebutuhan informasi dan kecepatan teknologi saling berkejaran dalam arus informasi dan komunikasi global.

KOMPETENSI JURNALIS OBJEKTIVITAS INFORMASI


Media dengan konvergensi teknologi, merupakan perkembangan kemajuan alat komunikasi yang luar biasa dewasa ini. Sedangkan jurnalis dalam menyampaikan informasi dan berita ke Masyarakat publik, memerlukan kekuatan teknologi dalam konvergensi tersebut untuk suatu kepentingan eksistensi media dan jurnalis dalam penyampaian berita dan informasi. Konvergensi teknologi dan media mengikatkan diri menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan, termasuk juga keberadaan jurnalis untuk memberikan pilihan yang terbaik kepada massanya. Kini Konvergensi teknologi dan media serta jurnalis yang terbingkai dalam kebutuhan kepentingan jurnalistik, menjadi sebuah kebutuhan yang tidak dapat terabaikan dalam setiap gerak langkah aktivitas kehidupan manusia. Media komunikasi dengan konvergensi

Sri Ayu Astuti, Konvergensi Teknologi Media dan Kompetensi Jurnalis...

65

teknologi menjadi satu peradaban baru dalam kehidupan masyarakat publik ditengah peluberan informasi. Masyarakat publik yang memiliki beragam pilihan jenis media telah memasuki era penyatuan alat media dalam satu kesatuan teknologi, dapat dengan mudah memperoleh informasi dan berita yang dibutuhkan. Dengan kekuatan konvergensi teknologi dalam konsep kehidupan abad saat ini , disatu sisi memberikan dampak positif terhadap kualitas hidup manusia yang memerlukan pengetahuan dan mendapatkan pengetahuanya untuk menjadi ilmu pengetahuan. Namun disisi lain dari media dengan konvergensi teknologi, serta peran jurnalis menyebarkan informasi dalam bingkai informasi dan komunikasi itu dapat juga berdampak negatif. Pesan yang disampaikan hampir tidak lagi memiliki kebebasan memaknai informasi. Bahkan komunikasi yang dibangun pun membuat setiap orang lupa akan rambu-rambu etika akan peradaban tentang makna hidup yang hakiki. Itulah hasil dari perkembangan peradaban manusia pada tataran kemajuan teknologi dari yang tahu, menjadi tahu dengan mencari tahu hingga menjadi pengetahuan, dan dari pengetahuan tersebut diteliti dan dikembangkan menjadi sebuah ilmu pengetahuan agar manfaatnya dapat dirasakan manusia. Tetapi dengan tidak memiliki etika, konvergensi teknologi yang dibangun tidak hanya memberikan solusi, dan membuat kemudahan tercapai hingga membuat setiap orang memiliki kualitas hidup dengan kebutuhan informasinya,

tetapi juga memiliki dampak buruk yang tidak sedikit juga mempengaruhi prilaku budaya manusia sebagai akibat dari sebuah pemikiran yang berkembang. Sebagaimana dikatakan Descrates dalam Dicourse-nya, ia mengatakan: saya tidak dapat mengerjakan proyek-proyek yang berguna bagi sebagian orang tetapi membahayakan oran lain. Menghadapi era percepatan dan penguatan alat media komunikasi yang berkembang dalam hal membantu kemudahan dalam penyebaran informasi dan membangun komunikasi antar anggota masyarakat satu dengan yang lainnya, diperlukan juga kualitas jurnalis dalam menyampaikan kebenaran informasi dan berita yang dikomunikasikannya kepada masyarakat publik. Kualitas jurnalis harus diletakkan dalam kompetensi yang benar guna mengusung kepentingan masyarakat publik terkait dengan penyampaian kebenaran informasi dan berita dalam karya jurnalistik.

TANGGUNGJAWAB JURNALISTIK
Di dalam era kebebasan pers, kebebasannya dijalankan untuk menggali informasi dan berita sebagai kebutuhan masyarakat saat ini dengan sebuah pertanggung jawaban akan kebenaran yang disampaikan dalam arti adanya pertanggung jawaban moral. Jurnalis dengan kompetensinya dimasa kemerdekaan pers yang dijamin oleh undang-

66

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 57 - 70

undang, di Indonesia kemerdekaan jurnalis di bawah secara legalitas tertuang dalam undang-undang No. 40 tahun 1999 Tentang pokok-pokok Pers. Tidak hanya memberi kemudahan dalam menjalankan tugasnya, bebas dari berbagai kepentingan, tapi juga memberikan kemanfaatan yang begitu besar akan nilai kemajuan dibidang pengetahuan dan ilmu pengetahuan terhadap berbagai persoalan dan keilmuan dalam kehidupan masayarakat luas. Jurnalis harus memiliki Kompetensi yang baik sekaligus benar, berkaitan tangung jawab responsibility terhadap kebenaran pengatahuan dan berita serta informasi yang disebar luaskan. Kompetensi dianggap penting, karena bila wartawannya cerdas maka berpengaruh juga dengan kecerdasan pembaca, pendengar dan pemirsa yang mengkonsumsi pengetahuan yang dikemas dalam karya jurnalistik. Hal ini berkaitan dengan informasi dan berita yang disampaikan kepada masyarakat publik yang semula dari tidak tahu,menjadi tahu, selanjutnya menjadi pengetahuan untuk kemudian berlanjut menjadi ilmu pengetahuan, lantaran dianggap penting untuk diteliti lebih jauh. Misal bagaimana proses berlangsungnya proses demokrasi, yang dari masa pemerintahan Suharto yang kala itu demokrasi dipergunakan hanya sebagai symbol, kemudian masyarakat mengalami pendewasaan diri dari gencarnya informasi dan berita yang dibangun bahwa tidak ada

kemajuan politik pada masa pemerintahan Suharto tersebut. Hingga akhirnya terjadi sebuah gerakan rakyat yang menurunkan pemerintahan Suharto, karena masyarakat publik negara Indonesia telah sampai pada pemahaman pemerintahan yang dijalankan Suharto tidak lebih hanya desaign sebuah rezim. Keruntuhan Suharto membuka pada proses reformasi yang mengalami berbagai proses pergulatan politik dan hukum yang terus bergulir dengan berbagai persoalan untuk mencari yang terbaik bagi bangsa Indonesia. Untuk selanjutnya menjadi perdebatan panjang dalam pencarian bentuk politik dan hukum bagi kepentingan masyarakat negara, yang menuju proses pendewasaan dalam berkehidupan demokrasi dan politik yang baik, dan sampai menjadi pengetahuan masyarakat luas yang menajadi perhatian masyarakat akademik untuk dikembangkan menjadi ilmu pengetahuan melalui penelitian di ruang akademik yang hasilnya diberikan bagi kepentingan negara dan masyarakat publik juga kepentingan keilmuan dibidang politik dan pemerintahan . Masalah kompetensi jurnalis menjadi perhatian tersendiri Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara yang mengatakan Pentingnya Standar Kompetensi Jurnalis. Menurutnya jurnalis yang cerdas ada jika standar kompetensi wartawan tercapai. Leo Batubara bukan tanpa alasan mengemukakan hal itu. Ini dilandasi batapa besarnya pengaruh keberadaan jurnalis di masyarakat. Pengaruh itu akan terasa dari

Sri Ayu Astuti, Konvergensi Teknologi Media dan Kompetensi Jurnalis...

67

gaya penulisan berita dan informasi yang dibuat jurnalis dalam karya jurnalistiknya. Jurnalis yang kecerdasan dan kualitasnya pas-pasan akan mempengaruhi pula kecerdasan audiensnya. Padahal salah satu tugas yang diemban jurnalis adalah turut membangun pendidikan bangsa dengan menyampaikan infrormasi ( to inform ). Kompetensi berkaitan erat dengan profesionalisme dalam karya jurnalistik dalam hal konvergensi teknologi. Kompetensi dengan profesionalisme terkait dengan kaidah-kaidah atau adab-adab yang harus diikuti wartawan dalam pemberitaan mereka di bidang tanggungjawab kebenaran karya jurnalistik. Kompetensi yang dimiliki wartawan akan mendukung kerja intelektualnya. Jurnalis membutuhkan kompetensi dan berdasarkan Rumusan Dewan Pers ada tiga kategori kompetensi yang harus dipunyai seorang jurnalis. Kompetensi tersebut masing-masing adalah: 1. kesadaran (awareness) mencakup kesadaran tentang etika, hukum dan karir. 2. Pengetahuan (knowledge) mencakup pengetahuan umum dan pengetahuan khusus sesuai bidang kewartawanan yang bersangkutan. 3. Ketrampilan (Skilss) mencakup keterampilan menulis, wawancara, riset, investigasi, menggunakan berbagai peralatan, seperti computer, internet, mesin scanned, faksimili dan sebagainya.

Ketentuan kompetensi itu adalah syarat untuk membentuk jurnalisme yang professional. Profesionalisme jurnalis ini diletakkan dalam kode etik jurnalistik, Pasal 6 yang merumuskan perlindungan terhadap privasi dalam pemberitaan adalah: yang tidak merendahkan atau merugikan harkat martabat, nama baik serta perasaan susila seseorang, kecuali perbuatan itu bisa berdampak negatif bagi masyarakat. Jurnalis dan keterkaitannya dengan konvergensi teknologi, dialam kemerdekaan pers saat ini berhubungan dengan kesadaran hukum yang harus dimiliki seorang jurnalis yang harus dipegang teguh dan konsisten menjalankannya berdasarkan Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Pers. Dalam undang-undang tentang pers tersebut jurnalis tidak boleh melakukan penghinaan dan mengadili atau menuduh bersalah seseorang sebelum pengadilan memutuskan dia bersalah (trial by the press) Privasi, ketentuan dengan nara sumber (off the record, confidential sources). Junralis harus menggunakan dengan bijak peralatan teknologi dalam konvergensi teknologi dengan benar untuk digunakan sebagai penyampai berita dan informasi dengan benar bukan penuh rekayasa, sebagaimana yang terjadi dan dialami TV One yang menghadirkan nara sumber palsu, yang berperan sebagai markus. Kita bisa membandingkan dengan prinsip Privasi hak atas Privasi atau hak untuk menikmati kesendirian,

68

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 57 - 70

sudah lebih dari satu abad keberadaannya sebagai prinsip fundamental kehidupan mereka. Di Indonesia belum dijalankan atau tidak mengindahkan lagi hak privasi ini, misalnya acara termehek-mehek di trans tv. Ini menggunakan rekayasa teknologi dan mengabaikan etika privasi yang telah ada di kode etik jurnalistik. Kesadaran Hukum Jurnalis dibangun dari kesadaran moral dan etika. Ada ungkapan yang kita kenal dengan baiti Jannati, dari ungkapan ini tersirat pengertian bahwa ada batas-batas tertentu saya beralasan untuk mengharapkan kehidupan yang bebas dari campur tangan orang luar. Seiring dengan berkembangnya masyarakat modern konsep privasi semakin nyata dibutuhkan khususnya bagi pribadi yang sering menjadi objek pemberitaan. Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik merupakan tanda peringatan agar wartawan tidka melampaui batas yang diperbolehkand alam tugas jurnalistiknya secara professional terkecuali mengandung sebuah kebenaran dan bukan adanya rekayasa dari kecangihan teknologi yang digunakan untuk memaksakan predikat berita dan informasi itu dikatakan benar. Jurnalis dengan kompetensi yang melekat dalam profesionalisme tugasnya dapat membangun tanggung jawab kebenaran berita dan informasi kepada audiensnya, sehingga tercapai pencerdasan dan transformasi pengetahuan dan keilmuan. Ketentuan perlindungan terhadap hak pribadi untuk mendapatkan

informasi yang benar juga harus diperhatikan dalam upaya wartawan mencari sudut pandang berita atau angle berita harus focus. Kesulitan di lapangan dalam membuat berita yang menarik dan penting pada karya jurnalistik ini mengandung konsekuensi dengan terjadinya penyimpangan profesionalitas jurnalis. Penyimpangan itu terkadang menghadirkan tematema yang menyesatkan. Pemilihan angle yang menyesatkan dapat membelokkan opini audiensnya dengan membesarkan berita yang tidak proporsional. Maka terbangunlah audiens yang tidak lagi menggunakan akal pikirannya dalam menalar sebuah berita dan informasi yang dibangun dengan objek yang salah. Rasulullah Sallallahu alaihi wa sallam bersabda: Pengetahuan dipelihara hanya melalui pengajaran. dapat dipahami pekerjaan menyebarluaskan ilmu dianggap sangat terhormat di dalam islam. Dalam sahih Bhukari, Rasulullah bersabda: Dari tanda-tanda tibanya hari Akhir ialah bahwa pengetahuan disisihkan dan ketidaktahuan dijadikan pengauasa tertinggi. Termasuk ke dalam ketiadktahuan manusia ini ialah perilakunya yang tidak terkekang untuk menggunakan pengetahuan menjadi kekuasaan. Disini ada kekuatan seseorang harusnya mampu menyeimbangkan dan mempertemukan pikir dan zikir. Kompetensi perlu dibangun dalam era kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sekarang ini karena kekuatan peralatan dan pemanfaatan teknologi

Sri Ayu Astuti, Konvergensi Teknologi Media dan Kompetensi Jurnalis...

69

secara bersamaan (Konvergensi Teknologi) . Kecakapan penggunaan kemajuan teknologi penting bagi jurnalis dalam menilai ontensitas informasi yang begitu banyak tersebar atau diperoleh dari internet seperti akurasi dan kesahihan informasi yang beredar. Pakar Etika memiliki istilah jalan tengah (The Golden Mean), yang dinyatakan Aristoteles mengandung prinsip kebenaran adalah posisi yang tepat antara dua hal yang ekstrim. Aristoteles mengakui beberapa nilai kebenaran yang tidak memberikan dirinya kepada satu kompromi, sebagaimana pernyataannya: Tetapi tidak setiap tindakan atau nafsu mengakui adanya mean; karena beberapa di antaranya mempunyai sebutan yang menyiratkan keburukan. Di sinilah peran jurnalis untuk meletakkan sebuah kebenaran dalam karya jurnalistik melalui kekuatan kompetensi yang harus dibangun secara sadar dengan mementingkan kepentingan masyarakat luas sebagai konsumen berita dan informasi dari kesesatan penggunaan beragamnya alat media komunikasi. Alat media komunikasi yang telah mengalami perkembangan begitu cepat dan menembus batas ruang dan waktu dengan terintegrasinya kemajuan teknologi, dalam arti kemanfaatan teknologi (konvergensi teknologi) penting disikapi secara profesionalisme. Jurnalisme membangun kompetensinya dengan kesadaran etiak dengan kesadaran moral sangat fundamental agar, selalu terlatih dan mau

membangun dirinya secara terus menerus dengan kondisi yang kompetitif. Kontrol masyarakat terhadap media dan sinergi jurnalisme dengan masyarakat dalam penggunaan konvergensi teknologi adalah konsekuensi untuk memajukan kehidupan umat manusia menuju hidup yang berkualitas. Dari kehidupan masyarakat dari sekedar tahu menjadi tahu, selanjutnya mengetahui dan menajdi pengetahuan, lebih lanjut dan berkembang menjadi ilmu pengetahuan adalah suatu hal yang tidak dapat dicegah tapi justru diletakkan sebuah pertanggung jawaban sebagai sebuah kebenaran dan merupakan kode etik dalam kehidupan manusia yang beradab.

DAFTAR PUSTAKA
AS Haris Sumadiria. 2005. Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature, Bandung: Simbiosa Rekatama. Andi Hakim Nasoetion. 1989. Pengantar Ke Filsafat Sains. Litera Antar Nusa. Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat. 2007. Jurnalistik Teori dan Praktik. Bandung: Remaja Rosdakarya. Jujun S.Suriasumantri. 2003. Filsafat Ilmu SEbuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Nurudin. 2009. Jurnalisme Masa Kini. Jakarta: RajaGrafindo Persada

70

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 57 - 70

Mohammad Adib. 2010. Filsafat Ilmu Ontologi,Epistemologi dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sumarno AP Kismiyati El Karimah, Ninis , Agustini Damayani. 2000. Filsafat

dan Etika Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka. Val E.Limburg. 2008. Elektronic Media Ethics (Etika Media Elektronik). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

KRITIK ATAS PERAN KOMUNIKASI DALAM MANAJEMEN KRISIS


Totok Wahyu Abadi
(Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Sidoarjo dan Sekolah Tinggi Agama Islam Lukman al-Hakim PP Hidayatullah Surabaya, e-mail: totokwahyu@gmail.com)

ABSTRACT
When the crisis occurs in some companies recently, the role of public relations in carrying two-way traffic communication with stakeholders, both internally and externally, becomes more important and strategic. This two-way traffic communication is aimed at creating mutual understanding and supports of the implementation of policies that have been outlined and enhancing a positive image. Dialectical position that might be faced by public relations as a key and spokesperson for the organization are to provide true and accurate information. To build trust, credibility, and organizational image, public relations officer is not allowed to cover up the conflicts, problems that arise, an actual crisis occurs, and even to deceive public with various excuses. In this case, the principle that should be the guideline is openness, honesty, ethics, and morals. Key words: crisis, communication, mutual understanding, and public relations.

PENDAHULUAN
Organisasi itu bersifat dinamis. Artinya, organsisasi selalu mengalami pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan arah dan tujuan yang digariskan. Bila perkembangan tersebut lebih mengarah pada sesuatu yang bersifat positif, ia telah mencapai keunggulan kompetitif. Namun, sebaliknya bila tidak mampu mencapai keunggulan tersebut, sudah bisa dipastikan organisasi akan mengalami krisis. Yaitu, suatu keadaan yang inkonsistensi dari arah dan tujuan yang ditetapkan. Barangkali terlalu ekstrem kalau dikatakan bahwa hampir seluruh organisasi yang ada di dunia pasti pernah
71

mengalami krisis dalam perjalanan aktivitas bisnisnya. Entah krisis yang menimpanya itu kecil ataukah besar, mereka tentu pernah merasakan. Bahkan, fakta telah berbicara dan membuktikannya. Tentu kita tahu bagaimana krisis berkepanjangan yang melanda negaranegara berkembang, termasuk Indonesia, di tahun 1997. Dampaknya sangat terasa, yakni banyak perusahaan yang mengalami kebangkrutan dan gulung tikar yang ujung-ujungnya adalah banyak karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja alias PHK. Krisis bukan hanya komoditas organisasi di negara-negara berkembang. Melainkan juga dapat terjadi di negara

72

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 71 - 78

maju semacam Amerika Serikat dan Eropa. Tahun 2008 baru-baru ini saja, krisis keuangan global telah melanda AS. Akibatnya, banyak perusahaan papan atas seperti Lehman Brothers, Merrill Lynch, American International Group (AIG), dan Halifax Bank of Scotland (HBOS) berguguran dan gulung tikar. Imbasnya juga sangat terasa tidak hanya terjadi di AS, tetapi juga di negara-negara lain yang menganut kesepahaman tentang sistem perekonomian global. Terjadinya krisis tidak pernah pandang bulu. Dia dapat terjadi di manamana dan berjalan seiring dengan dinamika sosial-ekonomi, budaya, hukum, serta ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi informasi. Kejadiannya memang tidak begitu saja, tetapi memiliki tanda-tanda yang dapat dikenali baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, tanda-tanda tersebut dapat berupa unjuk rasa pekerja yang meminta kenaikan upah, perselisihan di tempat kerja, mis-manajemen, masalah produk yang tidak dapat dipasarkan, meluasnya isu yang tidak segera terkontrol, krisis yang secara cepat meluas dan mengait ke atas, meningkatnya penyelidikan pihak luar, serta kepanikan. Sementara krisis yang berasal dari luar adalah deskriminasi terhadap buruh oleh undang-undang ketenagakerjaan, adanya pesaing baru yang bergerak dalam bidang produksi dan jasa yang sama, inflasi, suhu perpolitikan yang tidak sehat, kenaikan suku bunga yang semakin mencekik leher, bencana alam, dan lain-lain. Pengelolaan krisis harus dengan penuh kehati-hatian, strategi yang jitu, serta sustainability action. Krisis dapat diposisikan sebagai peluang serta dapat

menjadi ancaman. Hal tersebut bergantung pada bagaimana penanganan masalah krisis tersebut. Krisis dapat menjadi peluang yang berujung pada kondisi cooperative aftermath (akhir yang membawa konsekuensi kerjasama) jika penanganannya dapat memberikan kepuasan kepada semua pihak. Namun sebaliknya, bila gagal dalam menanganinya, korban yang berjatuhan pun akan semakin banyak. Korbannya tidak hanya manajemen perusahaan, tetapi juga karyawan yang akan tekena PHK, keluarga karyawan, dan masyarakat sekitar yang memiliki kepentingan dengannya. Serta dapat mengakibatkan declining trust.

PERAN KOMUNIKASI DALAM MANAJEMEN KRISIS


Krisis dapat didefinisikan sebagai keadaan inkonsistensi dari arah dan tujuan yang telah ditetapkan. Definisi krisis memiliki banyak variasi. Rhenald Kasali (2008: 222) mendefinisikan krisis sebagai turning point for better or worse (titik balik untuk makin baik atau makin buruk). Dalam konteks ini krisis merupakan bom waktu yang krusial, atau momen yang menentukan (decisive moment). Dikatakan sangat menentukan karena situasi krisis tersebut dapat menyebabkan terjadinya ketidakpercayaan dan ketidakyakinan publik terhadap organisasi. Dan di titik akhir, ketidakpercayaan dan ketidayakinan publik akan berdampak pula pada reputasi dan kelangsungan hidup organisasi itu sendiri. Fearn-Bank (2002 dalam Marcia W.Distaso, 2010) menyatakan bahwa krisis adalah suatu kejadian yang umumnya

Totok wahyu Abadi, Kritik atas Peran Komunikasi dalam Manajemen Krisis

73

berpotensial untuk menimbulkan dampak negatif serta merusak nama baik suatu organisasi publik maupun perusahaan/ industri barang dan jasa. Situasi semacam ini tentu dapat menyebabkan terganggunya normalitas bisnis, membahayakan eksistensi organisasi, turunnya reputasi perusahaan, serta mengancam kelangsungan hidup karyawan dan lingkungan sekitarnya. Bahkan dapat mempengaruhi pedomana hidup masyarakat seperti nilai, kepercayaan, dan struktur sosial yang ada (Mitrof & Pearson,1993). Menurut Marcia (2010) krisis keuangan global yang asbabul-nya berawal dari Amerika dan kemudian merembet ke sebagian belahan dunia termasuk Asia, seperti Jepang dan Singapura, merupakan sebuah insiden dan bencana besar dalam dunia perbankan. Dari sekian banyak akar permasalahan yang ada seperti kejahatan kerah putih, mis-manajemen, kerusakan teknologi, kegagalan beradaptasi dengan perubahan, ataupun ketidakmampuan dalam menjalankan moda manajemen; problem yang ada hanyalah sederhana, yakni tidak adanya komunikasi yang simetris, transparan, dan akuntabel. Karenanya, krisis harus segera dimanage dengan baik agar tidak mengancam secara signifikan terhadap kinerja organisasi. Hal yang harus dikedepankan dalam manajemen krisis adalah upaya menekan faktor ketidakpastian dan faktor risiko hingga ke tingkat yang serendah-rendahnya. Perlindungan dan advokasi terhadap stakeholder baik internal maupun eksternal juga perlu mendapatkan prioritas utama. Langkah awalnya adalah menggali dan mengidentifikasi sebanyak-banyaknya informasi tentang kepastian terjadinya krisis sehingga memudahkan langkah-

langkah berikutnya untuk mengambil sebuah keputusan. Informasi tentang sistem, prosedur, dan aturan main dalam manajemen perusahaan harus diperoleh berdasarkan pada sumber yang dapat diandalkan (reliable), lengkap, dan tepat. Materinya pun harus memiliki kualitas penalaran yang excelent. Inilah tantangan besar sekaligus peluang komunikasi dalam menajemen krisis sebagai upaya untuk meningkatkan kredibilitas dan trust organisasi kepada stakeholder, baik internal maupun eksternal. Untuk meningkatkan trust organisasi, Aneil K. Mishra (dalam Shockley-Zalabak, 2006) menjelaskannya dalam lima dimensi, yakni competence, oppeness dan honesty, concern for employess, reliability, dan identification. Hubungun kelima dimensi tersebut dapat dilihat pada diagram path berikut ini.

Kompetensi yang dimaksudkan dalam hal ini adalah As it relates to organizational trust, competence involves kemampuan organisasi dalam mengondisikan relasi yang efektif diantara sesama karyawan dan antara karyawan dengan pimpinan serta mampu bersaing dan bertahan di tingkat pasar. Keterbukaan dan kejujuran merupakan salah satu komponen transparansi

74

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 71 - 78

yang juga mampu memberikan kontribusi terhadap tingkat kepercayaan publik kepada organisasi. Dimensi yang ditonjolkan tidak hanya jumlah dan keakuratan, tetapi juga ketulusan (sincerely) dan ketepatan (appropriately) informasi yang dikomunikasikan kepada publik lewat media. Transparansi, meski bukan solusi yang sederhana, merupakan barometer untuk mengukur tingkat keterbukaan organisasi dalam melakukan sharing informasi dengan stakeholder yang membutuhkan untuk membuat sebuah keputusan. Ini berarti bahwa setiap organisasi harus mampu bertanggung jawab dan transparan dalam menyampaikan informasi secara resmi. Finally, according to Coombs (2007) openness means (a) availability to the media, (b) willingness to disclose information, and (c) honesty (p) Upaya yang tulus dalam memahami perasaan, empati, toleransi, serta memberikan jaminan keselamatan merupakan bentuk kepedulian terhadap karyawan. Dimensi ini memang sering menjadi rentan dalam kegiatan aktivitas bisnis di sebuah organisasi. Karenanya, kepedulian terhadap karyawan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap trust organisasi. Reliabilitas lebih ditentukan oleh kekonsistenan dan ketergantungan di antara manajemen, rekan kerja, tim, supplier, dan organisasi dalam bertindak. Dengan kata lain komunikasi yang dibangun harus bersifat simetris. Artinya, apa yang dikatakan juga harus kongruen dengan tindakan yang dilakukan. Tidak lagi sebagai sesuatu yang plin plan. Isuk dele, sore tempe. Identifikasi banyak mencerminkan bagaimana sebenarnya tujuan, norma,

nilai, dan kepercayaan/keyakinan yang menjadi pedoman masyarakat turut mewarnai budaya organisasi. Dimensi ini menjadi lebih penting dimana setiap orang atau masyarakat merasa memiliki hubungan dengan manajemen dan karyawan. Meningkatkan kredibilitas dan trust organisasi merupakan peran strategis komunikasi krisis. Sellnow dan Seeger (2007 dalam Marcia, 2010) menyampaikan bahwa komunikasi krisis itu berfokus pada wacana pembaharuan. Maksudnya, organisasi yang mengalami situasi krisis tersebut harus mampu meremajakan dirinya sendiri melalui program strategi komunikasi. Yaitu, serangkaian tindakan yang telah direncanakan dengan baik yang bertujuan untuk mencapai sasaran dengan menggunakan metode, teknik, dan pendekatan komunikasi. Marcia menjelaskan bahwa komunikasi krisis adalah verbal, visual, and/or written interaction between the organization and its publics... prior to, during, and after the negative occurrence. Dalam hal ini komunikasi krisis merupakan tanggapan sebuah organisasi dalam menangani krisis yang terjadi. Tentu antara kata dan tindakan dalam komunikasi krisis harus kongruen. Tujuannya adalah meminimalkan rusak-nya reputasi, recovery legitimasi, serta meningkatkan citra organisasi. Untuk dapat menjalankan manajemen komunikasi krisis dalam sebuah organisasi, Public Relation itu perlu dan penting. Urgenitas public relation harus menjadi sebuah kebutuhan karena dalam aktivitas sehari-harinya selalu menjalankan two way trafic communication dengan stakeholder baik secara internal maupun eksternal. Tujuannya adalah menciptakan

Totok wahyu Abadi, Kritik atas Peran Komunikasi dalam Manajemen Krisis

75

mutual understanding dan saling mensupport implementasi kebijakan yang telah digariskan serta pencitraan positif organisasi. Ini berarti, aktivitas public relations berkaitan erat dengan pembentukan opini dan perubahan sikap masyarakat terhadap organisasi publik. Dari sikap negatif yang terpancar seperti hostility, prejudice, apathy, dan ignorance berubah menjadi sympathy, acceptance, interest dan knowledge. Ketika terjadi krisis, public relation menjadi kunci dan juru bicara organisasi untuk memberikan informasi yang benar, tepat, dan akurat. Prinsip yang harus dipedomani dalam membangun trust, kredibilitas, dan citra organisasi adalah keterbukaan, kejujuran, etika, dan moral. Tidak dibenarkan bagi public relation officer (PRO) untuk menutup-nutupi konflik, permasalahan yang muncul, dan bahkan krisis yang sebenarnya terjadi. Apalagi megelabuhi publik dengan berbagai macam dalih. Itulah posisi dialektik yang menjadi beban PRO. Hal yang seharusnya dilakukan PRO dalam komunikasi krisis adalah, pertama, mengemas informasi sesuai dengan khalayaknya. Informasi yang dikemasnya harus dapat menjadi sebuah framing of reference and action dalam menangani krisis. Atau yang disebut informasi instruksional. Misalnya, Bank Century gate yang terjadi baru-baru ini. Dalam kasus tersebut yang semestinya dilakukan PR adalah menjelaskan secara jujur dan terbuka kepada publik. Penjelasaan tersebut tidak hanya disampakan kepada publik eksternal, tetapi juga publik internal, seperti karyawan, keluarga karyawan, direksi, pemegang saham, dan investor.

Langkah kedua yang harus dilakukan adalah mengemas informasi yang mampu meredam emosi publik. Langkah ini sering disebut dengan adjusting information. Beruntunnya peristiwa kecelakan pesawat terbang yang sering terjadi di Indonesia, misalnya, PRO harus mampu memberikan informasi yang aktual tentang kondisi terkini pesawat yang akan ditumpangi. Aktivitas ini merupakan upaya dalam membangun kepercayaan dan keyakinan penumpang terhadap organisasi. Dan bila terjadi kecelakaan yang tidak diinginkan, membangun empati kepada keluarga korban akan menjadi sangat penting. Ketiga adalah internalizing information. Yaitu, informasi yang diserap harus mampu membentuk opini publik dalam memberikan penilaian terhadap organisasi dalam jangka waktu yang panjang. Hal yang harus dilakukan adalah mengemas content informasi sesuai dengan dengan inti krisis yang sedang dihadapi. Kedua, mengadakan jumpa pers dan mengundang berbagai media elektronik maupun cetak untuk menyampaikan informasi resmi kepada publik. Jumpa pers ini tidak hanya dilakukan pada saat terjadinya krisis tetapi harus dilakukan secara kontinyu sebagai bagian dari aktivitas PR yang terintegrasikan. Ketiga, mengaktifkan penggunaan mobile phone atau HP dalam waktu 24 jam secara berkelanjutan. Hal ini penting karena 1) media ini dapat menciptakan mutual understanding yang berujung pada mutual benefit; dan 2) media ini banyak dimiliki masyarakat pada umumnya. Keempat, meningkatkan kemampuan two way symetrical communication dengan publik.

76

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 71 - 78

KRITIK: PERAN KOMUNIKASI DALAM KRISIS INDUSTRI


Memperhatikan pernyataan Jeff Resnick, Presiden ORC, yang dikutip oleh Marcia W. Distaso tentang peranan public relation, barangkali sangat menarik untuk dijadikan sebuah bahan perenungan sekaligus pemikiran yang lebih mendalam. Public relations, menurutnya, memiliki peran sangat penting dalam menangani masalah krisis keuangan global daripada sebelumnya. Salah satu peran strategisnya adalah berupaya melakukan recovery dan mengembalikan kepercayaan serta keyakinan costumer maupun shareholder terhadap lembaga keuangan secara proaktif.
As the global financial crisis unfolds, the role of public relations is more important than ever. With the stock market on a rollercoaster ride, financial institutions must take proactive measures to reassure their customers and shareholders and bolster confidence in their performance, said Jeff Resnick, President of Opinion Research Corporation (ORC, 2008, p. 1) (Marcia, 2010: paragraf: 2).

Memang ada benarnya apa yang disampaikan Resnick tersebut. Bahwa salah satu peran PRO itu adalah menciptakan kemauan baik (goodwill), kepercayaan, citra positif, mutual understanding dari stakeholder. Namun demikian, hal yang perlu dikritisi adalah bahwa public relations bukanlah aktivitas yang dapat dilakukan dengan mudahnya seperti membolakbalikkan telapak tangan. Public relations bukanlah aktivitas dadakan. Begitu ada krisis, jasa PRO diperlukan untuk mena-

nganinya, setelah itu selesai. Yang penting krisis sudah tertangani dengan baik. Bukan itu yang menjadi persoalannya. Persoalannya, public relations itu adalah sebuah proses. Public relations bukan sebuah rutinitas dadakan. Sebagai sebuah proses, public relations merupakan upaya yang dilakukan dengan sungguh, penuh dengan perencanaan yang berkesinambungan satu dengan lainnya untuk menciptakan saling pengertian dari stakeholder maupun shareholder mulai dari sebelum, sewaktu, dan setelah krisis terjadi. Dalam konteks ini, public relations tidak lagi diposisikan sebagai sebuah keperluan tetapi sebuah kebutuhan. Sebagai sebuah kebutuhan, public relations semestinya harus ada sejak perusahaan itu mulai berdiri, meski tidak harus demikian. Artinya, di tengah perjalanan aktivitas, perusahaan dapat mengakomodasikan keberadaan departemen public relations. Atau setidaknya sebelum konflik yang dirasakan oleh perusahaan itu mengarah pada krisis yang akan terjadi. Peran public relations memang sangat strategis dalam membangun good corporrate. Dalam konsep marketing yang baru tidak lagi menganut 4P tetapi sudah menggunakan 6P yakni , product, price, place, promotion, power, dan public relations. Begitu pentingnya, survei yang dilakukan AFF (American Advertsing Federation) terhadap 1800 eksekutif bisnis menunjukkan bahwa public relations menempati rating tiga teratas setelah pengembangan produk dan perencanaan strategis dalam sebuah perusahaan kemudian disusul oleh periklanan, penelitian dan pengembangan (litbang), dan hukum. Hal ini dapat dilihat dalam tabel berikut:

Totok wahyu Abadi, Kritik atas Peran Komunikasi dalam Manajemen Krisis

77

Tabel 1: Posisi Pentingnya PR dalam Perusahaan


Nama Departemen Pengembangan produk Perencanaan strategis Public relations Periklanan Penelitian dan pengembangan (Litbang) Strategi keuangan Hukum % 29 27 16 10 4 4 3

important and necessary to work toward restoring trust and confidence.

Sumber: http://testanirwana.wordpress.com/2010/ 05/11/peran-public-relations-dalam-menanganikrisis-kepercayaan-dan-menurunnya-citraperusahaan/

Ada atau tidaknya krisis yang menimpa suatu perusahaan, public relations memiliki fungsi untuk menjembatani antara perusahaan dengan publiknya. Jembatan yang dibangun harus kokoh dan ada sebelum, sewaktu, maupun sesudah krisis. Pondasi jembatan harus memiliki trust, honesty, dan credibility. Ini penting karena public relation hadir atas sebuah kepercayaan. Yaitu kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada perusahaan dan kepercayaan perusahaan kepada masyarakat. Terjalinnya kepercayaan tersebut tentu juga didasarkan pada azas saling pengertian dan saling menguntungkan. Karenanya, terciptanya citra positif, saling pengertian dan saling menguntungkan di antara stakeholder dapat meningkatkan kompetisi bisnis yang unggul. Kritik kedua yang disampaikan adalah yang berkenaan dengan penting dan perlunya komunikasi proaktif, reaktif, dan profesional oleh public relations dalam meningkatkan kepercayaan dan keyakinan masyarakat terhadap lembaga keuangan (paragraf: 5 hal. 2).
This includes internal and external along with proactive and reactive communication. It also provides insight about what communication professionals at financial companies feel is

Komunikasi proaktif, reaktif, dan yang dikelola profesional oleh public relations memang dapat meningkatkan kepercayaan dan keyakinan masyarakat. Hal tersebut dapat terjadi karena kepercayaan dan keyakinan tersebut dibangun atas dasar kompetensi, openness dan honesty, memperhatikan kepentingan karyawan, reliabel/memiliki keandalan informasi, serta terdapat identifikasi permasalahan yang jelas dari krisis yang muncul tersebut. Namun, bila tidak, jangan berharap dapat keluar dari kemelut krisis yang ada, bisa-bisa yang diperoleh justru kehancuran perusahaan itu sendiri. This is a critical time for the financial industry, and how individual financial institutions handle it can determine their very survival. Distaso dalam penelitian eksploratif tersebut tidak menyebutkan faktor-faktor yang dapat menurunkan kepercayaan dan keyakinan masyarakat terhadap perusahaan atau lembaga keuangan di Amerika yang pada tahun 2008 telah banyak berguguran dan bertumbangan satu per satu. Ia hanya menyebutkan pentingnya komunikasi proaktif, rekatif, dan profesional yang dilakukan public relations dalam meningkatkan kepercayaan dan keyakinan masyarakat tehadap lembaga keuangan semacam AIG, Lehman Brothers, dan lainlain. Di masa mendatang, menurutnya, komunikasi memiliki tantangan dan peluang besar dalam membangun kepercayaan dan kredibilitas lembaga keuangan maupun non-keuangan. Secara jujur juga disampaikan Distaso (2010) bahwa penelitian tersebut memberikan peluang kepada peneliti lain untuk mengkaji dari perspektif kuantitatif tentang faktor-faktor yang mempengaruhinya.

78

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 71 - 78

Informan yang direcruet oleh Distaso dalam penelitian hanya sebatas pada karyawan perusahaan ataupun lembaga keuangan. Sementara masyarakat lain yang juga memiliki andil terhadap kebesaran perusahaan/lembaga keuangan tidak dilibatkan. Penelitian ini menjadi bias karena tidak mampu mengidentifikasi permasalahan dan akibat yang ditimbulkan oleh badai krisis tersebut. Ia hanya melihat perspektif komunikasi sebagai salah satu faktor yang dapat meningkatkan kepercayaan dan keyakinan publik.

Journal Vol. 4, No. 1, Winter 2010 2010 Public Relations Society of America. Gayeski, Diane M. 2006. Strategic Approaches to Managing the Communications Function dalam Tamara L. Gillis. The IABC Handbook of Organizational Communication. IABC International Association of Bussiness Communicators. Hal 67 79 Grunig, James E. 2006. Characteristics of Excellent Communication. dalam Tamara L. Gillis. The IABC Handbook of Organizational Communication. IABC International Association of Bussiness Communicators. Hal 3 17 Hardjana, Andre. 2000. Audit Komunikasi. Jakarta: Grasindo Jefkins, Frank. 2002. Public Relations. Jakarta: Erlangga. Kasali, Rhenald. 2008. Managemen Public Relation. Jakarta: Grafiti Pace, R. Wayne & Don F. Faules. 1998. Komunikasi Organisasi. Bandung: Rosda Shockley-Zalabak, Pamela. 2006. The Communication of Trust dalam Tamara L. Gillis. The IABC Handbook of Organizational Communication. IABC International Association of Bussiness Communicators. Hal 44 55 Theaker, Alison. 2008. The Public Relations Handbook. London & New York: Routledge Nurrudin.tt. Peran Public Relations dalam Menangani Krisis Kepercayaan dan Menurunnya Citra Perusahaan. Dalam http://testanirwana.wordpress. com/2010/05/11/peran-publicrelations-dalam-menangani-krisiskepercayaan-dan-menurunnya-citraperusahaan/ dunduh tanggal 7 Juni 2010.

SIMPULAN
Bahwa komunikasi yang dijalankan public relations memiliki peran penting dalam manajemen krisis yang terjadi dalam perusahaan ataupun organisasi publik baik keuangan maupun nonkeuangan. Bahkan komunikasi yang dibangun atas dasar kompetensi, kejujuran dan keterbukaan, reliabel, dan kredibel dapat meningkatkan kepercayaan dan keyakinan masyarakat terhadap perusahaan. Kepercayaan dan keyakinan itu merupakan modal dasar bagi perusahaan dalam berompetisi secara unggul dengan perusahaan lainnya yang sejenis.

DAFTAR PUSTAKA
Cuna Jr, Elpi O. 2006. Current Realities in Crisis Communication dalam Tamara L. Gillis. The IABC Handbook of Organizational Com-munication. IABC International Association of Bussiness Communi-cators. Cutlip, Sott M. 2007. Effective Public Relations. Edisi 9. Jakarta: Prenada Kencana Distaso, Maria W. 2010. Industry in Crisis: The Communication Challenge in the Banking Industry. Public Relations

IDENTITAS POLITIK DAN POLITIK IDENTITAS: SEBUAH KAJIAN TEORETIS


Lusi Andriyani,
(Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Sidoarjo , Jalan Mojopahit No.666 B Sidoarjo Telp. 031-8945444 ext.18, fax: (031)8949333 email: lusi_to@yahoo.com)

ABSTRACT
Politics identity has developed along with the pattern of government that is authoritarian and centralized. Here, all activities undertaken by the community both in the field of social, cultural and religious justifications are directed and controlled to maintain the stability of the country. Conversely, the diversity of individual or groups identities may not be actualized. Globalization has brought new globalitas in a variety of terms and even the public understanding of the direction and meaning of changes. This phenomenon is accompanied by the emergence of various forms of reaffirmation of communal identities community as evidence of resistance to the tendency of marginalization, domination and global homogenization of society in general, in terms of religious identity, culture, politics and the nation in which the role of each component is more strengtehened. At the present time, although the government has endeavored to push minimum of conflict and violence, in fact there are many political parties that have not been able to accommodate the interests of different communities. In fact, the party ideology and principle have important role in creating a harmonious community life, especially for morality and ethics rule in society. Key Words: identity, politics identity

PENDAHULUAN
Globalisasi telah mendorong bangkitnya sebuah identitas yang ada di masyarakat secara umum, baik identitas agama, budaya, politik maupun bangsa yang memberikan perannya masingmasing. Upaya menguatnya peran identitas yang ada dalam masyarakat juga dapat dirasakan dalam upaya perebutan kekuasaan ataupun pola power Sharing. Di Indonesia fenomena globalisasi justru semakin menumbuhkan
79

gerakan-gerakan yang menampilkan artikulasi yang bervariasi. Menurut Yudi Latif, Islam literal di satu pihak, dan Islam liberal di pihak lain, keduanya adalah anak kandung modernitas yang masingmasing mengandung bibit-bibit fundamentalismenya sendiri. (Yudi Latif :http://zulfikri.wordpress.com, 21 Juni 2007). Era reformasi memberikan perubahan wacana pada politik Indonesia. Berkembangnya wacana mengenai demokrasi, penegakan hukum dan

80

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 79 - 88

pemerintahan yang bersih telah membawa perubahan wacana ideologis kearah kepentingan-kepentingan praktis. Kebebasan yang ditawarkan pada era reformasi juga semakin memperkuat adanya sentiment keagamaan dan budaya. Aksi-aksi atas nama agama, nasionalis, pluralis serta ideologi lainnya untuk kepentingan golongan tertentu telah mempertegas bahwa selain munculnya variasi partai politik, era reformasi juga memberikan peluang tumbuh suburnya kelompok-kelompok keagamaan, nasionalis dan pluralis. Sejumlah kelompok masyarakat yang mempunyai sikap sentimen terhadap budaya, etnis, partai maupun agama belakangan ini juga bermunculan seperti munculnya Forum Betawi Rembug (FBR), Front Pembela Islam (FPI) dalam diskursus dan perjalanan demokrasi sering mengalami benturan identitas dengan komunitas lainnya bahkan tidak jarang terjadi ancaman dan kekerasan dan menjurus pada radikalisme. Menguatnya sejumlah identitas kelompok yang sedang berkembang dewasa ini bersamaan dengan diusungnya ide multikulturalisme sebagai jawaban dari keragaman sebuah identitas kultural, kelompok, agama dan bangsa. Fenomena ini menggambarkan sebuah penegasan baru bahwa konsep multikulturalisme lebih mementingkan adanya identitas kelompok tertentu diatas identitas bersama yang justru akan menjadi ancaman yang serius bagi pembangunan demokrasi. Sebagai upaya penerapan nilai-nilai universal demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat. Agama, nasionalis, pluralis

dan ideologi lainnya dipandang mampu memberikan konstribusi riil dalam memecahkan setiap permasalahan yang ada di dalam masyarakat. Adapun nilainilai inklusifitas ataupun universal yang dimaksud terkait dengan kaidah-kaidah yang berhubungan dengan negara dan masyarakat antara lain (Kuntowijoyo: 1997:94-105): a. Saling Mengenal: Manusia diciptakan oleh Tuhan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku dengan karakteristik yang berbeda termasuk agama, kelas, budaya, partai dan sebagainya, dengan kata lain Islam dan ideologi lainnya mengajarkan berpikir dan berperilaku objektif. Kaidah ini tidak akan dapat berjalan tanpa adanya persamaan (equality) dan kemerdekaan (Liberty). Persamaan dapat dipahami sebagai proses dialogis dan tidak ada dominasi satu kelompok atas kelompok lain. Ada upaya untuk mencegah pandangan yang berkaitan dengan relativitas nilai dengan menghilangkan sumber-sumber perbedaan dan mengikatnya dalam bentuk hukum positif. b. Musyawarah: Musyawarah merupakan kaidah yang diwajibkan dalam semua agama dengan tidak melanggar hak Tuhan dan Rosul-Nya. Apa yang ditentukan oleh Allah mutlak berlaku dan tidak ada musyawarah. c. Kerjasama: Kerjasama dapat dilakukan dalam segala bidang. Kerjasama yang dianjurkan adalah kerjasama yang memberikan kontribusi positif (dalam hal kebaikan) untuk kepentingan manusia dalam upaya meng-

Lusi Andriani, Identitas Politik dan Politik Identitas sebuah Teoretis.

81

abdi kepada Tuhan. d. Menguntungkan masyarakat: Dapat dimaknai juga untuk kebaikan bersama, sehingga peran agama juga dapat sebagai kekuatan moral untuk mendukung agar manusia dapat berbuat baik. Ideologi secara tidak langsung melakukan fungsi tersebut baik melalui individu ataupun budaya dengan menterjemahkan nilai-nilai agama dalam kehidupan nyata (objektivikasi nilai). e. Adil: keadilan secara mutlak yang terkait dengan upaya untuk memperhatikan adanya konsep: sama, seimbang, perhatian kepada hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya dan adil. f. Perubahan: Manusia adalah subyek sejarah, ini berarti peranan manusia akan menentukan perubahan.

IDENTITAS DAN POLITIK IDENTITAS


1. KONSEP IDENTITAS
Pada pertengahan abad ke-19 muncul dalam skala yang lebih luas mengenai gerakan politik seperti kelompok feminis, hak-hak untuk orang kulit hitam di Amerika, Gay dan lesbian serta gerakan yang dilakukan oleh orang Indian di Amerika. Gerakan mereka didasari adanya ketidak adilan yang terjadi pada masyarakat ataupun kelompok tertentu. Gerakan sosial inilah yang mendasari upaya untuk mempertanyakan kembali mengenai hal yang bersifat alamiah, kaslian yang membangun sebuah

identitas. Identitas Politik sebagai bentuk dari pola organisasi yang berkaitan dengan ide dari kelompok sosial tertentu yang dilaksanakan; seperti identitas dari perempuan ataupun penduduk asli Amerika yang terbangun karena budaya imperialisme (meliputi stereotype, ataupun upaya untuk menunjukkan identitas kelompoknya), kekerasan, eksploitasi, marginalisasi, atau ketidak berdayaan. Identitas politik dimulai dengan upaya untuk menganalisis tindakan yang dilakukan, keberagaman, penggunaan jargon ataupun klaim tertentu, upaya mendiskripsikan kembali, ataupun transformasi pemikiran diantara anggota kelompoknya. Lebih jauh lagi penerimaan terhadap pandangan yang negatif oleh budaya yang lebih dominan mengenai sesuatu yang dipandang lebih rendah. Sebagai contoh apa yang dikemukakan oleh kaum feminis kulit hitam mengenai identitas politik, Combahee River Collective berpandangan bahwa Anak-anak perempuan senyatanya kami bedakan dengan anak laki-laki dan kami membuatnya berbeda. Wilayah dari gerakan politik digambarkan sebagai identitas politik, sebagai contoh secara filosofi penggambaran dari kekuatan predominan dengan kapitalis barat, dengan menggunakan argument mengenai hak dasar. Kata Identitas Politik menjadi hal yang sangat luas untuk dibicarakan. Dari pandangan kontemporer, pada awalnya identitas politik menjadikan semua tindakan politik sebagai acuan. Bagaimanapun juga retorika mengenai identitas politik yang berkaitan dengan penerimaan ataupun upaya untuk memberdayakan

82

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 79 - 88

dan membangun kepercayaan secara filosofi dalam memahami apa yang dimaksudkan dengan permasalahan yang berkaitan dengan politik. Sejak abad 19 kita telah mengetahui bahwa gerakan politik menjadikan identitas politik sebagai cara atau sebuah kemungkinan. Setiap orang dapat melakukan pemaknaan sebuah identitas, terutama mengenai identitas politik secara berbeda. Banyak perdebatan mengenai hal tersebut karena identitas politik berkaitan dengan apa yang mereka lakukan atau kerjakan. Sebagai contoh seseorang Prancis berpandangan bahwa pernikahan bagi kaum gay merupakan hal yang baik, namun beberapa orang di Prancis menolak pandangan itu, bahkan mereka berpandangan bahwa pernikahan gay merupakan identitas dari bangsa Amerika (Di Prancis gaya hidup Amerika dipandang sebagai gaya hidup yang buruk). Hal tersebut telah menunjukkan bahwa tindakan orang lain mempunyai implikasi pada usaha untuk membangun identitasnya. Pada abad pertengahan identitas politik menjadi hal yang penting dalam upaya mengembangkan aktivitas politik dan penemuan teori yang berasal dari fenomena-fenomena ketidak adilan yang ada di lingkungan masyarakat atau kelompok sosial. Lebih jauh lagi identitas politik berhubungan dengan ruang lingkup organisasi seperti ideologi atau afiliasi partai politik. Sehingga sebuah identitas tetap menjadi ciri dari masyarakat yang marginal atau terpinggirkan, dan posisi marginal dijadikan sebuah penekanan kembali dalam memahami perbedaan terhadap karakteristik yang dominan dari masing-masing orang.

Pada abad pertengahan 19 kita telah melihat berbagai macam fenomena ketidak adilan yang muncul melalui gerakan-gerakan sosial dalam skala yang lebih luas. Fenomena tersebut dapat dicontohkan dengan gerakan feminis, adanya tuntutan akan hak yang sama bagi masyarakat kulit hitam, tuntutan perlakuan yang sama bagi gay dan lesbian di Amerika serta gerakan suku India (suku asli) di Amerika. Fenomena tersebut merupakan gambaran atau penegasan dari ketidak adilan yang telah terjadi dalam kelompok sosial tertentu. Gerakan tersebut secara alamiah lahir karena adanya identitas yang melekat. Dengan demikian pemaknaan terhadap sebuah identitas juga dapat dilihat dari sebuah peran yang muncul melalui gerakan bersama untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh kelompok tersebut. Sebab bagaimanapun juga manusia sebagai mahluk sosial dan mahluk Zoon Politicon selalu melakukan interaksi dan hubungan kerjasama dengan orang lain dalam rangka untuk mencapai tujuan bersama. Dari hal tersebut, maka pemaknaan terhadap sebuah identitas akan berkaitan dengan politik sehingga yang dimaksud disini adalah identitas politik yang dipahami sebagai sebuah bentuk organisasi yang berkaitan dengan ide dari kelompok masyarakat . Teori identitas dapat dijabarkan menjadi beberapa bagian yaitu; Teori identitas sosial, Teori identitas kelompok, Dan identitas budaya. Identitas sosial merupakan suatu proses bukan tindakan atau perilaku. Teori identitas kelompok lebih banyak didasari oleh antropologi yang menggunakan ciri-ciri etnik untuk

Lusi Andriani, Identitas Politik dan Politik Identitas sebuah Teoretis.

83

menentukan identitas berbagai kelompok. Identitas merupakan sebuah proses dan sesuatu yang dibentuk, dengan kata lain identitas tidaklah bersifat inheren tetapi muncul dalam suatu interaksi. Identitas juga dapat dikatan sebagai sebuah proses pemberian label atau nama. Banyak pandangan mengenai makna identitas, antara lain yang dikemukakan oleh Kwame Anthony Appiah (2006; 134):
identity may not be the best word for bringing together the role gender, class, race, nationality, and so on play in our lives, but is the one we use.

Menururt Kwame Anthony Appiah, sebuah identitas untuk menjadikan peran yang berdasarkan atas gender, kelas, ras dan bangsa yang diperankan dalam kehidupan kita, namun dalam kenyataannya kita menjadikan salah satu peran tersebut untuk membangun identitas. Satu masalah mengenai identitas, dimana sebuah identitas dapat dimaknai oleh setiap orang secara pribadi berdasarkan keinginan sendiri-sendiri. Dan sedikit sekali dari setiap perbedaan tersebut dapat diubah sebagai identitas yang mempunyai daya tarik bagi masyarakat umum. Pemikiran Kwame Anthony Appiah diatas secara tidak langsung dapat menggambarkan bagaimana sebuah identitas keagamaan muncul di Indonesia. Upaya pemaknaan yang berbeda dari berbagai pemikiran internal dalam Islam telah memunculkan pandangan serta penyikapan-penyikapan yang berbeda dalam masyarakat. Secara norma atau nilai-nilai, dapat

diidentifikasi bahwa identitas adalah sebuah nilai kemanfaatan (Usefulness), karena seseorang yang memperoleh identitas melalui penghargaan atau pemberian akan dapat diprediksi melalui tingkah lakunya dalam kehidupan sehariharinya. Namun hal tersebut bukanlah sebuah keharusan yang ada pada setiap orang yang memperoleh identitas baru dari pemberian atau penghargaan. Karena identitas sosial lebih cenderung terasosiasi dengan norma atu nilai-nilai tingkah laku dari orang lain. Bahkan dalam ilmu psikologi sebuah identitas dapat digunakan untuk mengkonstruksi kehidupan manusia: We use identities to construct our human lives. Selaras dengan pandangan Kwame Anthony Appiah (2006; 16):
But Thats just thebeginning. Our identities dont depend on interactions in intimate life alone. Law, School, church, work, and many others institutions also shape us .

Dalam dunia politik Hegel, salah seorang filsuf telah menulis mengenai identitas sosial yang telah digunakan sebagai label pengakuan dari politik, yang dinamakan dengan Hegelian Language Labels The Politics of Recognation sebagai respon dari keinginan manusia untuk berperan dalam kehidupannya melalui tindakan interaksi sosial. Identitas tidak hanya dibangun melalui interaksi dalam kehidupan pribadi seseorang, terbangunnya identitas juga dipengaruhi oleh institusi-instusi lain seperti hukum, sekolah, gereja, pekerjaan dan beberapa institusi-institusi lainnya. Dari penjelasan tersebut, maka

84

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 79 - 88

identitas merupakan sebuah proses dialogis (dialogically) dari bagian-bagian tersebut (Interaksi sosial, institusi hukum, institusi sekolah, Institusi gereja, Institusi pekerjaan dan lainnya). Sejalan dengan pandangan Taylor, dimana orang-orang telah menemukan karakteristiknya sendiri dari hal yang negatif, yang telah membangun atau mengkonstruksi identitas mereka dan akan berpengaruh pada pengembangan nilai-nilai positif dalam kehidupan mereka. Pandangan yang senada dikemukakan oleh Susan J. Hekman melalui bukunya berjudul Privat selves public identities: Reconsidering Identity Politics mempunyai pertimbangan lain mengenai adanya kesalahan mengkonsepsikan tentang identitas alamiah (Nature identity). Dalam bukunya tersebut Hekman menjelaskan bahwa subjek postmodern yang fiktif merupakan pilihan bagi manusia modern. Penempatan postmodernis sebagai acuan merupakan penempatan posisi yang salah. Dalam hal ini Hekman menolak secara tegas mengenai subjek modernis yang mendekonstruksi sosial melalui gender. Menurut Hekman nilainilai yang relatif mapan mulai terbangun sejak masa anak-anak dan merupakan elemen penting dalam upaya membangun hubungan sosial (2004;204).
Heckman claims that we each have relatively stable core self, formed in childhood in response to our most important social relationships.

memperhatikan gender, ras, kelas serta hubungannya dengan masa anak-anak. Susan J Hekman memberikan pandangan bahwa teori politik liberal membutuhkan modifikasi secara radikal untuk mempersiapkan pola yang mempengaruhi perbedaan-perbedaan identitas yang melekat pada setiap warga negara. Dan Identitas politik menurut Susan J Hekman tercakup dalam sebuah proses identifikasi antara identitas personal dan identitas publik (2004;206):
Hekman argues that identity politics involves a process of identification between personal and public identities and that pressure to conform remains factor.

Dalam identitas politik dapat dilihat bahwa identitas personal tidak sama dengan identitas publik Dan tidak akan mudah melepaskan identitas-identitas dasar dari satu kelompok untuk dapat melebur menjadi identitas publik. Banyak tantangan dan benturan yang akan ditemui untuk meminimalisir perbedaan yang ada dalam setiap kelompok. Dapat disimpulkan dengan mengambil konsep dari Michel Foucoult bahwa identitas public adalah sebuah pemahaman dan ditujukan untuk orang lain. Menurut Susan J Hekman tindakan politik yang masuk diantara identitas publik dibutuhkan untuk mengubah tindakan para pendukung politik tersebut. Kwame Anthony Appiah menemukan tujuh perbedaan (206;22):
(1) There are politics conflicts about whos in and whos out. (2) Politicians

Pandangan Susan J Hekman diatas dipahami sebagai keterkaitan antara objek dan teori yang dimodifikasi dengan

Lusi Andriani, Identitas Politik dan Politik Identitas sebuah Teoretis.

85

can mobilize identities. (3) States can treat people of distinct identities differently. (4) people can pursue a politics of recognition. (5) there can be a social micro politics enforcing norms of identifications. (6) There are inherently political; identities like party identifications. And (7) Social groups can mobilize to respond collectively to all of the above.

2. POLITIK IDENTITAS
Identitas politik tidak sama dengan politik identitas. Identitas politik cenderung pada identitas yang dimiliki oleh seseorang ataupun sekelompok orang yang berbeda dengan yang lain. Sedangan politik identitas merupakan upaya yang dilakukan terhadap kepemilikan identitas untuk membangun sebuah perbedaan atas dasar ras, etnik, budaya ataupun agama tertentu. Dengan demikian hubungan antara identitas politik dan politik identitas lebih luas dengan mengacu pada transformasi sikap, tingkahlaku dan alasan-alasan yang bersifat politk. Politik identitas dapat dimaknai sebagai rangkaian dari tindakan politik yang didasarkan pada konsep dasar pada diri seseorang dengan karakteristik yang berbeda dari kelompok ataupun masyarakat lain. Seperti yang dikemukakan oleh teori politik (204;2) :
individuals......a connection to political projects based on elements that are very basic to their selfconseptions. Member of these groups see them selves as having in common certain important characteristic that see them a part of from a large population a commonality that is based on difference .

Perbedaan di atas, merupakan upaya dari Kwame Anthony Appiah untuk memberikan jalan pembeda dalam identifikasi mengenai Identitas politik yang didasarkan pada; pertama, konflik politik, yang berkaitan dengan siapa yang masuk dalam konflik dan siapa yang ada di luar konflik. Kedua, Peran politikus yang dapat memobilisir atau menggerakkan identitas itu sendiri, dalam hal ini politikus berperan aktif menggunakan identitas untuk mencapai kepentingan mereka. Ketiga, Peran Negara dalam menjaga posisi dari masyarakat untuk tetap mempunyai identitas masing-masing. Masyarakat dijamin untuk dapat menggunakan identitasnya dalam kehidupan sehari-hari. Keempat, Adanya kesepakatan politik yang dilakukan oleh orangorang tertentu untuk menggunakan identitas tertentu. Kelima, Dengan nilainilai yang menjadi identitas mereka, maka masyarakat dapat menjadi kekuatan micro politik. Keenam, Identitas politik tidak selamanya inheren atau sama dengan identitas partai. Ketujuh, Masyarakat mempunyai peran untuk dapat melakukan perubahan secara bersama-sama dan kolektif terhadap semua hal.

Identitas politik sebagai sebuah bentuk penggambaran dari kekuatan sosial yang mencoba untuk mempolitisi perbedaan yang dimilikinya. Dengan demikian indentitas politik telah menjadi bentuk kajian baru dalam bidang politik yang masuk dalam lingkup kajian ideologi dan politik. Dalam teori Canadian dan

86

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 79 - 88

Australia, politik identitas mengacu pada gerakan dari penduduk asli untuk memperjuangan hak-hak mereka. Di Amerika serikat politik identitas merupakan bentuk hubungan antara kelompok agama dan negara yang sudah lama ada, yang terangkum dalam moral dan kekuatan politik sebagai satu kesatuan yang muncul sebagai keinginan dari kaum separatis. Di Inggris dan Eropa Barat, politik identitas merupakan produk dari konflik politik yang terjadi karena benturan budaya dari kaum imigran dan agama minoritas. Dalam pandangan teori politik liberal, identitas sosial adalah identitas politik dengan asumsi bahwa identitas sosial telah menyebabkan munculnya subordinasi. Dimana sumberdaya serta budaya yang mereka anut merupakan satu keastuan yang membentuk masyarakat luas dan berkaitan juga dengan sisi moralitas sebagai inti dari politik identitas. Ada hubungan yang sangat mendasar antara etika politik dan identitas politik. Dalam masyarakat modern, beberapa kelompok etnik minoritas tidak tertarik berpartisipasi dalam bidang politik, namun mereka cenderung berupaya untuk menunjukkan keunikan dan perbedaan mereka melalui budaya. Mereka berpandangan bahwa keunikan dan perbedaan yang mereka miliki merupakan gambaran dari identitas personal. Bagaimanapun juga perbedaan itu penting sebagai bentuk solidaritas dan kepercayaan diri yang dapat mendukung kebijakaan yang berkaitan dengan identitas kelompok. Namun kelompok individu yang terangkum dalam kelompok solidaritas tidak dapat diterima oleh partai politik. Pemar-

ginalan kelompok dalam masyarakat yang demokratis merupakan penerapan bentuk diskriminasi yang secara politik terpusat pada identitas klelompok atau individu, lebih jauh lagi dapat dilihat dari tradisi yang berkaitan dengan identifikasi ideologi. Dalam kehidupan manusia, agama mempunyai peran penting sebagai standar moralitas tertinggi. Agama juga berperan dalam kehidupan publik sebagai identitas agama dan identitas politik. Dalam tata dunia baru munculnya kekuatan ekonomi, juga diiringi dengan semakin menguatnya pembentukan identitas yang berdasarkan etnis dan agama. Agama di dunia barat secara umum merupakan hal yang baik yang terpisah dari kehidupan politik, namun sebaliknya didalam masyarakat non-Barat seringkali menyatukan agama dengan nasionalisme yang mengakibatkan krisis politik. Pola penyatuan agama dengan nasionalisme telah membangun keakuan terhadap simbol-simbol yang sangat krusial dan sering merujuk pada simbol agama. Agama merupakan bentuk peradaban manusia yang dapat dipraktekan oleh pemeluknya dalam bentuk yang beragam seperti fundamentalisme, sekuler, toleran ataupun dalam bentuk aliran menyimpang. Semua bentuk tersebut telah menjadi wacana sosial yang beraneka ragam dan dinamis. Salah satu bentuk peradaban bersumber dari agama yang sering dinamakan sebagai budaya, fundamentalisme merupakan bentuk peradaban atau budaya yang paling menonjol. Fundamentalisme telah menyatakan perang terhadap modernisasi dan tradi-

Lusi Andriani, Identitas Politik dan Politik Identitas sebuah Teoretis.

87

sionalisme, dan berupaya untuk mengembalikan identitas budaya tradisional dengan membangkitkannya kembali dengan cara mengambil alih kendali kekuasaan politik dan mencapai supremasi yang absolut (Meyer;2004:12). Upaya untuk mengembalikan kembali pemahaman agama kearah yang lebih natural ataupun tradisional dapat menimbulkan perdebatan serta membuka jalan bagi lawan dan kawan untuk memasuki arena politik Dengan demikian akan membawa budaya dan peradaban serta afiliasi setiap individu kepada bentuk yang mutlak dan dipandang paling benar dan tidak dapat dirubah.

atas dasar ras, etnik, budaya ataupun agama tertentu. Dengan demikian hubungan antara identitas politik dan politik identitas lebih luas dengan mengacu pada transformasi sikap, tingkahlaku dan alasan-alasan yang bersifat politik.

DAFTAR PUSTAKA
Abdilah, Ubed (2002) Politik Identitas Etnis: Pergulatan tanda tanpa Identitas, Magelang Indonesia Allen, Charlotte,(2 April 2007), Identity Politics Gone Wild,Academic Research Library,pg 18. Arifin,Syamsul,dkk,(1996),Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan, Yogyakarta,Sipress Anthony Appiah,Kwame,(2006):Internet: The Politics of identity, Daedalus; Fall 2006;135;Academic Research Library.pg.15 A.Almond,Gabriel, (1990), Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara, Penerjemah Sahat Simamora, Jakarta, Bumi Aksara. Charlotte Allen (2007): Internet: Identity Politics Gone Wild, The Weekly Standard,Academic Research Library Castells, Manuel,(2002), The Power of Identity: Second Edition, Balckweell Publishing, Australia D.Smith,William, (2007), Multiculturalism,

KESIMPULAN
Identitas politik dan politik identitas merupakan konsep yang muncul karena adanya kecenderungan peminggiran, dominasi dan homogenisasi yang ada di masyarakat secara umum, baik identitas agama, budaya, politik maupun bangsa yang menjadikan semakin menguat peran masing-masing. Identitas politik dapat diidentifikasi dengan menganalisis tindakan yang dilakukan, keberagaman, penggunaan jargon ataupun klaim tertentu, upaya mendiskripsikan kembali, ataupun transformasi pemikiran diantara anggota kelompoknya. Identitas politik cenderung pada identitas yang dimiliki oleh seseorang ataupun sekelompok orang yang berbeda dengan yang lain. Sedangan politik identitas merupakan upaya yang dilakukan terhadap kepemilikan identitas untuk membangun sebuah perbedaan

88

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 79 - 88

Identity,and The Articulation of Citizenship: The Indian Quetion Now, Latin American Research Re v i e w; 2 0 0 7 : 4 2 , 1 : A c a d e m i c Research Library pg.238. Doug Lorimer,: (Internet): (Anggota Executive Commite Democratic Socialist Party Australia), Globalisasi, neo liberalisme dan dorongandorongan kemunduran ekonomi kapitalis, Jurnal kiri, Situs indo-Marxist. Esposito,John L, (1986), Identitas Islam Pada Perubahan Sosial Politik, Jakarta, Bulan Bintang. Faturrahman,Deden, (2002), Pengantar Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang press Geerzt,Clifford, (1981),Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, diterjemahkan oleh Aswab Mahasin dari judul aslinya The Religion of Java Diterbitkan oelh PT. Pustaka Jaya,Jakarta. Hasan Kosebalaban, (2005) : Internet: The Impact of Globalization on Islamic Political Identity The Case of Turkey, World Fairs, Academic Library. Hassan, Haniff Muhammad,(2007): Internet: War, Peace or Neutrality: On Overview of Islamic Politys Basis of Inter-State Relations, 28 Juni 2007; No 130; S.Bajaratnam School of International Studies, Singapore Hasan, Effendi, Internet: www.google.com ada di file://E:\data\opini_effendi_ hasan: Penggagasan konsep globalisasi lahir ketika Robertson

menerbitkan satu makalah berjudul The Relativization of Societies: Modern Religion and Globalization. Heywood,Andrew,(1997), Politics, Bath, Great Britain Ida Rachmah, (2003): Jurnal: Media dan Politik Identitas Seksual ;Dalam Jurnal Masyarakat Kebudayaan dan Politik, Universitas Airlangga, Tahun XVI No. 2, April 2003 Kenny, Michel,(2004) The Politics of Identity, Cambridge, Polity press. Mullin, Amy, (2004): Internet: Review Buku: Private Selves, Public Identities: Reconsidering Identity Politics By Susan J. Hekman , University Park: Pennsylvania State University Press Mirriam, (1997),Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia,Jakarta. Meyer, Thomas, (2004), Politics of Identity: The Challenge of Modern Fundamentalism, Federich Elbert Stiftung Mustafa, (04:09:2006): Internet: Mustafa, Politik Identitas Dalam Perang Libanon- Israel, www.islamlib.com/ id/ index.php?page=article&id= 1119 Madan Sarup, Identity, Culture and Post modern World, Eidenburgh University Press Mukhtar,Haji Ridwan,(15 Desember 2006):Internet:Politik Identitas, diakses tanggal 5 Pebruari 2008, www.acehinstitute.org

PENDIDIKAN DAN ALIENASI KEMANUSIAAN (Sebuah Ancangan Teori untuk Analisis Praktik Pendidikan)
Mohammad Isfironi
Promovendus Doktor pada Pogram Studi Ilmu-Ilmu Sosial, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Jalan Dharmawangsa Selatan Surabaya, Email : moh.isfironi@gmail .com)

ABSTRACT
The purpose of education is not only the transfer of knowledge, but also the process to put the degree of human in a glorious position. However, education on the other hand, has failed to create human critical awareness. As a result, it may cause the low quality of educational products. Education is more oriented to the inauguration of the status quo. In turn, these educated men actually alienated by the reality of life. The process of education cannot help to solve their concrete problems. In order to provide a more fair assessment of ongoing educational practice, it needs a theory plan to analyze the problem. In relation to this case, the paper seeks to describe education in three perspectives: conservative, liberal, and critical. Keywords: education, capitalization, alienation, critical consciousness.

PENDAHULUAN
Munculnya problema sosial, politik, budaya dan ekonomi di bangsa ini, seperti produktifitas penduduk terdidik yang merosot, persentase penduduk miskin yang meninggi, pengangguran yang semakin membesar, situasi negara yang mengalami ketergantungan dengan negara maju serta kultur budaya masyarakat bangsa yang kian tercerabut dari akar budayanya akan selalu dikaitkan dengan bagaimana pendidikan mampu menyelesaikan ini dan selalu akan memvonis dunia pendidikan itu sendiri. Karena cerminan kemajuan dan kebobrokan masyarakat
89

disuatu negara pasti akan dilihat dari kualitas pendidikannya. Melihat dari semakin terdegradasinya moral dan etika serta carut marutnya sistem sosial masyarakat saat ini maka masyarakat pasti akan menghakimi ketidakberdayaan lembaga pendidikan dalam menghasilkan out put pendidikan yang itu ternyata tidak mampu menyelesaikannya. Mungkin inilah wajah pendidikan kita saat ini. Terlepas dari wajah pendidikan kita yang tercoreng moreng saat ini, kalau kita coba menilik ulang atas sejarah munculnya kaum terdidik pada era kolonial pada tahun 1900 dengan

90

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 89 - 101

diterapkanya politik etis atau politik balas budi yang secara fundamental membuat 3 kebijakan dalam hal: Edukasi, Irigasi dan Emigrasi, oleh pihak kolonial Belanda. Ini adalah awal mula perkenalan rakyat bangsa ini dengan dunia pendidikan ala barat. Tetapi perkenalan pada dunia pendidikan ala barat ini ternyata mempunyai dampak sejarah yang sangat penting bagi bangsa ini. Edukasi (baca: pendidikan) ala barat ini ternyata mempunyai otoritas yang cukup dominan dalam membangun konstruksi berpikir masyarakat Indonesia ke depan. Karena dari pembacaan sejarah yang ada ternyata pihak kolonial Belanda bukan hanya rakus atas sumber daya alam bangsa ini, namun juga melakukan peng-hancuran terhadap sendi-sendi berpikir masyarakat dengan memberikan ruang pendidikan pada para anak bangsawan dan priyayi, agar tradisi Feodalisme yang selama ini menguntungkan pihak kolonial tidak akan lenyap. Sarana yang diberikan pada anakanak Priyayi, dalam hal pendidikan ternyata tidak lebih hanya menghasilkan tenaga operasional/administratif dalam menjalankan mesin-mesin yang digunakan pemerintah kolonial untuk meningkatkan efisiensi monopoli ekonominya, namun infrastruktur yang mengatur tetap pemerintah VOC. Maka seiring dengan penindasan yang terjadi di tubuh kaum terdidik pri-bumi /anak bangsa, beberapa dari mereka menyatakan untuk melakukan perla-wanan dilandasi semangat Nasionalisme yang begitu kuat seperti : Tirto Adi

Suryo, Mas Marcokartodikromo, Kartini, Ki Hajar Dewantara, Soekarno dan Tan Malaka. Mereka sadar karena telah menjadi korban praktek pendidikan kolonial untuk semakin mempersempit ruang kesadaran masyarakat terhadap makna kemerdekaan 100%. Fakta menunjukkan bahwa penjajahan tidak lepas dari usaha mencari keuntungan (baca: kapitalisme). Penjajahan berganti-ganti warna serentak dengan mimikri dalam tubuh kapitalisme. Sejarah memperkenalkan kita pada beragam warna kolonialisme dan kapitalisme. Kolonialisme klasik tumbuh dalam sistem kapitalisme klasik, neokolonialisme tumbuh dalam sistem neokapitalisme, globalisasi tumbuh dalam sistem kapitalisme belas kasih (campassionate capitalism) dan demikian seterusnya. Singkatnya, kolonialisme adalah instrumen politik bagi negara-negara yang mempunyai kapitalisme yang kelewat matang, kata Sukarno. Sekarang, kolonialisme dalam arti penjajahan sebagaimana dulu Portugis, Belanda dan Jepang menjajah Indonesia memang tidak ada, namun telah telah berganti menjadi bentuk kolonialisme baru. Kapitalisme telah menjelma menjadi kolonialisme baru di segala bidang. Kekuatan modal (kapital) telah menjadikan setiap barang atau apapun saja menjadi sebuah komoditi yang dapat diperjualbelikan untuk menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Pendidikan yang memiliki tujuan mulia

Mohammad Isfironi, Pendidikan dan Alienasi Kemanusiaan...

91

memanusiakan manusia berubah menjadi fenomena dehumanisasi yang berujung pada eksploitasi atas manusia. Pendidikan hanya menjadi bagian dari upaya pemenuhan kebutuhan tenaga kerja dari sistem kapitalis dan demi melanggengkan dominasi sistem ekonomi dan kekuasaan yang ada. Tujuan tulisan ini hendak mengupas secara kritis fenomena pendidikan dan ekses-ekses kapitalisasi yang justru menjadikan pendidikan jauh dari tujuan mulianya memanusiakan manusia atau kalau dalam terminologi Islam, pendidikan atau ilmu menjadikan tingginya derajat manusia.

dipecahkan, serta apa metode yang digunakan meneliti dan berbuat. Melalui Paradigma dua orang akan memandang, menilai dan bersikap secara berbeda terhadap suatu realitas yang sama. Giroux dan Aroniwitz (1985) mengkategorikan pendekatan pendidikan menjadi tiga paradigma, yakni pendekatan konservatif, liberal dan kritis. Paradigma Pertama Konservatif. Kaum konservatif memandang ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami, sebagai sesuatu yang tidak mungkin untuk dihindari bahkan merupakan takdir tuhan. Perubahan sosial bukanlah sesuatu yang harus diperjuangkan, karena perubahan sosial hanya akan menjadikan manusia bertambah sengsara. Tuhanlah yang bisa merencanakan keadaan masyarakat dan hanya Dia yang tahu makna di balik itu. Kaum konservatif tidak menganggap rakyat memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk merubah kondisi mereka. Dalam perkembangan selanjutnya, kaum konservatif lebih menyalahkan subyeknya, yaitu orang-orang yang menderita. Bahwa penderitaan mereka, kaum miskin, buta huruf, kaum tertindas dan mereka yang dipenjara disebabkan oleh mereka sendiri. Buktinya banyak orang yang ke sekolah dan belajar dan berperilaku baik dan oleh karenanya tidak dipenjara. Karenanya mereka harus sabar dan belajar untuk menunggu sampai giliran mereka datang, karena kelak semua orang akan mencapai kebebasan dan kebahagiaan.

PENDIDIKAN DAN ALIENASI KEMANUSIAAN: SEBUAH RANCANGAN KONSEP


Sebagaimana tertera dalam judul tulisan ini terdapat dua konsep yang akan dikaji hubungannya, yaitu konsep tentang pendidikan dan Alienasi (keterasingan). Konsep pertama Pendidikan. Dalam memahami dan mendefinisikan pendidikan akan sangat tergantung kepada paradigma yang digunakan. Yang dimaksud paradigma di sini adalah konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan, serta prosedur yang dipergunakan oleh suatu nilai dan tema pemikiran tertentu.. Kekuatan paradigma adalah terletak pada kemampuannya membentuk apa yang ingin dilihat, bagaimana cara melihat sesuatu, apa yang dianggap masalah, apa masalah yang dirasa bermanfaat untuk

92

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 89 - 101

Pendidikan dalam pengertian kaum konservatif merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya untuk mempertahankan tradisi dan sistem sosial yang ada. Pendidikan merupakan upaya reproduksi saja hal-hal masa lalu. Singkatnya pendidikan cenderung menjadi instrumen penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Pendidikan Moral Pancasila dengan P4 nya adalah contoh yang terbantahkan bagaimana sebuah kekuasaan orde baru dapat eksis selama 32 tahun karena ada upaya sistematis untuk mengkonsruksi pemahaman tunggal melalui institusi negara yang waktu itu diperankan oleh BP7. Paradigma Kedua Liberal. Kaum Liberal berangkat dari suatu keyakinan bahwa memang ada masalah di masyarakat, namun pendidikan dianggap tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Karenanya, tugas pendidikan tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan politik dan ekonomi. Kalaupun demikian kaum liberal berusaha untuk menyesuaikan pendidikan dengan jalan memecahkan berbagai masalah yang ada dalam pendidikan dengan usaha reformasi kosmetik, seperti perlunya membangun kelas dan fasilitas baru, memodernkan peralatan sekolah dengan pengadaan komputer yang lebih canggih dan laboratorium, serta berbagai usaha untuk mengidealkan rasio gurumurid. Selain itu tentu juga berbagai investasi untuk meningkatkan metodologi pengajaran dan pelatihan yang lebih

efisien dan partisipataif, seperti group dynamic learning by doing, experimental learning atau sebagaimana populer di Indonesia CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Namun usaha-usaha tersebut terisolasi dari sistem dan struktur ketidakadilan kelas dan gender, dominasi dan represi politik yang ada dalam masyarakat. Sebagaimana kaum konservatif, kaum liberal berpendirian bahwa pendidikan adalah a-politik, dan exellence haruslah merupakan target utama pendidikan. Kaum liberal beranggapan bahwa masalah masyarakat dan pendidikan adalah dua masalah yang berbeda. Mereka tidak melihat kaitan pendidikan dalam sruktur kelas dan dominasi politik dn budaya serta diskriminasi gender di masyarakat luas. Bahkan menurut aliran structural functionalism justru dimaksudkan sebagai sarana untuk menstabilkan norma dan nilai masyarakat. Pendidikan justru dimaksudkan sebagai media untuk mensosialisasikan dan mereproduksi nilai-nilai tata susila keyakinan dan nilai-nilai dasar agar masyarakat luar berfungsi secara baik. Bagi mereka tipe ideal manusia adalah rasionalis liberal, seperti : pertama bahwa semua manusia memiliki potensi sama dalam intelektual. Kedua, baik tatanan alam amupun norma sosial dapat ditangkap oleh akal. Ketiga adalah individualis yakni ada anggapan bahwa manusia adalah atomistic dan otonom (Bay, 1988). Anggapan ini membawa konsekuensi bahwa hubungan sosial

Mohammad Isfironi, Pendidikan dan Alienasi Kemanusiaan...

93

hanya sebagai kebetulan belaka, dan masyarakat dianggap tidak stabil karena interest anggotanya yang tidak stabil. Pendekatan liberal inilah yang nampaknya mendominasi segenap pemikiran pendidikan baik pendidikan formal di sekolah maupun pendidikan non-formal semacam pelatihan. Pengaruh liberal ini nampak dalam pendidikan yang mengutamakan prestasi melalui proses persaingan antar murid. Ranking prestasi adalah implikasi dari paham ini. Contoh terbaik dari ini adalah gagasan David McClelland tentang Achievement Motivation Training (AMT). McClelland beranggapan bahwa akar masalah keterbelakangan dunia ketiga karena mereka tidak memiliki apa yang dinamakan sebagai virus N-Ach (Need of Acheivement) yang menjadikan individu menjadi agresif dan rasional. Disamping itu dominasi positivisme yang mensyaratkan pemisahan fakta dan values dalam rangka menuju pada pemahaman obyektif atas realitas sosial, juga sangat berpengaruh terhadap pendidikan liberal. Paradigma Ketiga, Kritis/Radikal. Bila bagi kaum konservatif pendidikan bertujuan untuk menjaga status quo, sementara bagi kaum liberal untuk perubahan moderat, maka paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat dimana pendidikan berada. Dalam perspektif kritis, urusan pendidikan adalah merlakukan refleksi kritis terhadap the dominant ideology ke arah transfor-

masi sosial. Pendidikan dalam perspektif ini bertugas menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil. Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa bersikap netral, bersikap obyektif maupun berjarak dengan masyarakat (detachment) seperti positivisme. Pendidikan dalam perspektif ini memiliki visi melakukan kritik terhadap sistem dominan sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk mencipta sistem sosial baru dan lebih adil. Pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi sosial. Dengan kata lain tugas utama pendidikan adalah memanusiakan kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil. Konsep kedua, Alienasi. Konsep ini secara terminologi alienasi sangat terkait dengan konsep masyarakat kapitalis Karl Marx berdasarkan citranya mengenai sifat mendasar dari manusia. Marx yakin bahwa pada dasarnya manusia itu produktif, artinya untuk bertahan hidup manusia perlu bekerja di dalam dan dengan alam. Jadi konsep alienasi terkait dengan bagaimana manusia bekerja. Berikut dijelaskan bagaimana manusia teralienasi dalam proses produksi kapitalis. Karl Marx mendapati ada tiga cacat dalam Kapitalisme, yaitu inefisiensi, penindasan dan alienasi. Kapitalisme

94

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 89 - 101

adalah sistem sosio-ekonomi yang dibangun untuk mencari keuntungan yang didapat dari proses produksi, bukan dari dagang, riba, memeras, ataupun mencuri secara langsung tetapi dengan cara mengorganisasi-kan mekanisme produksi secara tertentu sehingga mengurangi biaya produksi seminim mungkin atau melalui suatu mode of production tertentu. Dari segi out put, kapitalisme adalah merupakan sistem produksi yang ingin menghasilkan nilai tukar bukan nilai pakai. Maksudnya, orang memproduksi atau membeli sesuatu bukan karena ia mau menggunakannya, melainkan karena ia ingin menjualnya lagi dengan keuntungan setinggi mungkin. Dengan bahasa yang lebih sederhana, tujuan sistem ekonomi kapitalis adalah uang, dan bukan barang yang diproduksi. Barang hanyalah sarana untuk memperoleh uang. Makin banyak keuntungan sebuah perusahaan, makin kuat kedudukan selanjutnya di pasar, demikian pula sebaliknya. Capital (modal) merupakan elemen sistem kapitalisme. Menurut Marx, capital (modal) adalah hubungan sosial yang terkandung dalam komoditi. Capital bukanlah susunan peralatan. Selanjutnya buruh tergabung dalam mesin dan labour mati, yakni mesin menghadapi tuannya (buruh). Buruh yang hidup harus mengaptasi gerak temannya (mesin), dan keharusan itu tidak dibangun untuk menyesuaikan dengan pengalaman buruh, tetapi untuk tujuan pengiritan dalam rangka meningkatkan surplus value setinggi

mungkin, suatu sumber baru dari capital. Sesungguhnya mesin tidak diciptakan untuk memudahkan pekerjaan, tetapi demi memaksimalkan hasil. Seorang insinyur mesin, mungkin bertujuan efisiensi, tatapi hal itu bukan tujuan kapitalis. Definisi efisiensi dititikberakan pada pencapaian hasil setinggi-tingginya melalui fisik dengan ongkos serendahrendahnya. Akan tetapi bagi kapitalis, hitungannya lebih pada tingginya pencapaian keuntungan dari kerja itu. Di sini terlihat bahwa modal (capital) dalam mode of production kapitalis adalah hubungan sosial dari dominasi, suatu ungkapan tentang hierarki struktur kelas di masyarakat. Konsep capital sebuah hubungan sosial yang mengungkap dominasi kelas memungkinkan kita melihat dorongan self-expanding lebih dari sekedar rakus. Inilah proses perjuangan kelas yang mana kelompok dominan senantiasa melanggengkan superioritasnya secara terus menerus dengan memperbarui dan mengembangkan akumulasi kapital. Kapital berkembang karena hubungan sosial yang dominatif. Kapitalisme dikontrol oleh hubungan persaingan pasar dan bukan elemen kontrak antara buruh dan modal. Kompetisi pasar memberi manfaat kepada buruh dan kapitalis. Kapitalis memberi pekerjaan dan buruh menjual tenaga kerja kepada kapitalis. Melalui proses kerja inilah, surplus value mengalir ke kapitalis; dari surplus value itu lahir yang lain: profit, bunga (interest) dan sewa tanah.

Mohammad Isfironi, Pendidikan dan Alienasi Kemanusiaan...

95

Yang menarik adalah bahwa kontradiksi ini justru merupakan roh sistem ini. Pekerja yang menghasilkan barang tidak dapat memiliki barang, melainkan para pemilik modallah yang menggunakan dan mengelola barang yang dihasilkan oleh pekerja. Dengan semakin banyak barang / kekayaan yang diproduksi dalam daya dan arahnya, pekerja menjadi semakin miskin. Pekerja itu menjadi suatu barang dagangan yang semakin murah dengan semakin banyak barang dagangan yang diciptakannya. Dengan meningkatnya nilai dari dunia barang, berlangsunglah dalam proporsi langsung devaluasi dari dunia manusia. Kerja tidak hanya memproduksi barang-barang dagangan: ia memproduksi dirinya sendiri dan pekerja itu sebagai suatu barang dagangan dan melakukan itu dalam proporsi dimana ia memproduksi barang-barang dagangan pada umumnya. Pekerja telah teralienasi (terasingkan) dari yang mereka produksi. Disini terjadi suatu gejala pembendaan (obyektifikasi) atau reifikasi. Keterasingan dalam pekerjaan adalah dasar segala keterasingan manusia karena, menurut Marx keterasingan dalam pekerjaan adalah dasar segala keterasingan manusia karena, pekerjaan adalah tindakan manusia yang paling dasar dan di dalam pekerjaan, manusia membuat dirinya menjadi nyata. Kalau pekerjaan adalah ciri mendasar dan sarana perealisasian diri manusia, seharusnya bekerja mesti menggembirakan dan memberikan

kepuasan. Dalam kenyataannya yang terjadi adalah sebaliknya. Bagi kebanyakan manusia, khususnya para buruh di pabrik/industri dalam sistem kapitalis, pekerjaan tidak merealisasikan hakikat mereka melainkan justru mengasingkan mereka. Mengapa hal ini bisa terjadi, kata Marx dalam sistem kapitalis, orang tidak bekerja secara bebas dan universal, melainkan semata-mata terpaksa, sebagai syarat untuk bisa hidup. Jadi pekerjaan tidak mengembangkan, melainkan mengasingkan manusia, baik dari dirinya sendiri, maupun dari orang lain. Dari uraian di atas dapat dimengerti bahwa alienasi adalah suatu keadaan mental manusia yang ditandai oleh perasaan keterasingan terhadap segala hal atau sesuatu; sesama manusia, alam, lingkungan, tuhan, bahkan terasing terhadap dirinya sendiri. Dalam perkembangannya, term alienasi juga merujuk pada fenomena budaya dan fenomena struktural manusia manakala lingkungan (variasi masyarakat dan negara) tidak lagi mampu menjadi tempat naung hidupnya dan tidak lagi menjadi tempat ekspresi hakhaknya untuk menentukan diri sebagai warga yang otonom.

PENDIDIKAN YANG MENGALIENASI MANUSIA


Dari uraian tentang konsep pendidikan dan alienasi di atas, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana keduanya saling berhubungan atau bahkan saling mempengaruhi. Untuk menjawab perta-

96

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 89 - 101

nyaan tersebut penulis menggunakan teori kritis terutama perspektif Frerian untuk mendedah realitas pendidikan yang justru mengalienasi subyek pendidikan itu sendiri yaitu manusia. Berikut penjelasannya: Berdasarkan uraian tentang ketiga paradigma pendidikan di atas dapat dijelaskan bahwa pendidikan memiliki implikasi terhadap kesadaran manusia. Ideologi teori sosial menurut Paolo Freire, dibagi dalam tiga kerangka besar yang didasarkan pada pandangannya terhadap tingkat kesadaran masyarakat. Tema pokok Freire mengacu pada suatu landasan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia kembali. Gagasan ini berangkat dari suatu analisis bahwa sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya, membuat masyarakat mengalami proses dehumanisasi. Pendidikan, sebagai bagian dari sistem masyarakat justru menjadi pelanggeng proses dehumanisasi tersebut. Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naik (naival consciousness) dan kesadaran kritis (critical consciousness). Bagaimana kesadaran tersebut dan kaitannya dengan sistem pendidikan dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut : Pertama, kesadaran magis, yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya saja masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan

kemiskinan mereka dengan sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran ini menganggap faktor-faktor di luar manusia baik faktor yang bersifat natural maupun supra natural yang menjadi penyebab kemiskinan dan ketidak-berdayaan. Dalam dunia pendidikan, jika proses belajar mengajar tidak mampu melakukan analisis terhadap suatu masalah maka proses belajar mengajar tersebut dalam perspektif Freirian disebut sebagai pendidikan fatalistik. Proses pendidikan semacam ini tidak memberikan kemam-puan analisis, kaitan antara sistem dan sruktur terhadap satu permasalahan masyarakat. Murid secara dogmatik menerima kebenaran dari guru, tanpa ada mekanisme untuk memahami makna ideologi dari setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat. Kedua, kesadaran naif. Kategori ini melihat aspek manusia yang menjadi akar masalah masyarakat. Dalam kesadaran ini masalah etika, kreativitas, need for achievement dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis masyarakat miskin, penyebabnya adalah karena salah masyarakat sendiri, yakni mereka malas, tidak berjiwa kewira-usahaan atau tidak memiliki budaya membangun dan seterusnya. Karenanya man power development adalah sesuatu yang diharapkan akan menjadi pemicu perubahan. Dalam konteks ini, pendidikan juga tidak mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan sistem dan struktur yang ada adalah sudah baik dan benar, merupakan faktor given dan oleh sebab itu tidak perlu

Mohammad Isfironi, Pendidikan dan Alienasi Kemanusiaan...

97

dipertanyakan. Tugas pendidikan adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar murid bisa masuk beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut. Ketiga, kesadaran kritis. Kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari blaming the victims dan lebih menganalisis untuk secara kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya dan akibatnya pada keadaan masyarakat. Paradigma kritis melatih murid untuk mengidentifikasi ketidakadilan dalam sistem struktur yang ada, kemudian mampu menganalisis bagaimana sistem dan struktur itu bekerja dan bagaimana mentransformasikannya. Tugas pendidikan dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan keselamatan agar peserta pendidikan terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik. Dari sini dapat disimpulkan bahwa pendidikan sebagaimana dipahami kaum konservatif akan menghasilkan kesadaran magis. Pemahaman kaum liberal juga konservatif hasilkan kesadaran naif, sedangkan paradigma kritis menghasilkan kesadaran kritis. Pada dua paradigma yang pertama lebih menempatkan manusia sebagai obyek sementara paradigma ketiga meletakkan manusia sebagai subyek pendidikan. Pada tataran ideal, pendidikan adalah sebuah pranata yang secara bersamaan menjalankan peran menyiap-kan generasi

penerus serta pengatur masyarakat di masa datang dan peran pemindahan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) sekaligus nilai (transfer of values). Karenanya, Bloom membagi ranah pendidikan tidak hanya kognitif (pengetahuan) dan psikomotoris (keteram-pilan) tapi juga afektif (sikap dan nilai). Ke arah sanalah mestinya dunia pendidikan dikembangkan. Namun, secara umum tren yang berkembang menempatkan pendidikan sebagai komoditas dari sebuah kapitalisasi pendidikan. Pendidikan lebih merupakan alat (tool) akumulasi keuntungan dan kekuasaan. Hal tersebut sangat terlihat jelas baik dalam pendidikan formal (baca: sekolah) dan pendidikan non-formal, di mana mutu sistem pendidikan berbanding lurus dengan jumlah kapital yang harus dikeluarkan peserta didik. Pada gilirannya, masyarakat melihat pendidikan pada titik tertentu selain terpisah, juga bersifat elitis. Akses masyarakat ke dunia pendidikan dibatasi berbagai hal mulai dari materi sampai persoalan ideologis. Kapitalisasi seperti itu berimplikasi pada dua hal, pertama, pada tataran mikro, output pendidikan hanya mengu-asai berbagai keterampilan psikomotor dan kognitif yang memang dibutuhkan untuk melanggengkan dominasi kelas dan elite. Pendidikan sedemikian rupa meng-hasilkan manusia robot yang bertugas memutar sekaligus mengembangkan mesin besar kapitalis, yang miskin dengan sentuhan kebudayaan. Dari sistem pendi-dikan yang seperti itulah akan lahir seorang pejabat, politisi, ekonom, dan

98

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 89 - 101

seterusnya yang korup, egois dan atau monopolik. Standar keberhasilan pendidikan kapita-listik juga selalu menekankan aspek kuantitatif, karenanya, sisi kemanusiaan lain seperti nilai, perilaku, moralitas dan rasa seni menjadi terabaikan. Padahal, pengembangan dimensi kemanusiaan terakhir justru yang diperlukan dalam setiap upaya pengembangan masyarakat dan bangsa. Kedua, pada tataran makro pendidikan tidak lagi dapat mengontrol dinamika sosial masyarakat dan bangsa. Sebagai sistem, pendidikan semestinya memiliki potensi strategis sebagai gerbong pergerakan bangsa. Betapa tidak, karena setiap kita pastilah digodok terlebih dahulu di dalam pendidikan sebelum terjun ke masyarakat. Maka sah-sah saja ketika orang menyalahkan pendidikan sebagai salah satu penyebab krisis multi dimensi yang meluluh-lantakkan kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini. Dua implikasi dari kapitalisasi pendidikan di atas mengakibatkan manusia yang ditempatkan sebagai obyek pendidikan menjadi teralienasi dari dirinya sendiri dan dari orang lain. Mengapa pendidikan menjadikan manusia terasing? Dalam nalar kapitalis, segalanya yang menentukan adalah uang atau upah. Pendidikan seharusnya memiliki tujuan mulia sebagaimana disebutkan di atas, namun nyatanya pendidikan hanya sebagai alat untuk memenuhi proses kapitalisasi, yaitu penyediaan tenaga kerja terampil untuk melakukan proses produksi sebagaimana telah ditentukan. Misalnya

maraknya sekolah-sekolah kejuruan adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan pasar kerja. Sehingga program studi-program studi yang dibuka akan mengikuti trend pasar tenaga kerja seperti apa yang dibutuhkan. Pasar kerja inilah yang menawarkan upah apabila seseorang sanggup memenuhi kriteria rekruitmen --memiliki ijazah tertentu misalnya-- dan mau bekerja. Tidak ada pilihan, untuk memanfaatkan hasil pendidikannya karena di tempat lain memiliki kriteria yang lain pula. Kalau kondisinya demikian apakah seseorang layak bangga akan pendidikannya? Inilah keterasingan yang pertama dari dirinya. Yang kedua, karena hasil pendidikan telah terasing dari dirinya, pendidikan itupun kehilangan arti bagi si terdidik. Pendidikan bukannya membebaskan, malah memaksa seseorang untuk melakukan pekerjaan tertentu secara terpaksa bukan berdasarkan hasrat dan dorongan batinnya. Dalam pemikiran Freire, pada dasarnya manusia adalah makhluk yang tidak sempurna - incomplete and unfinished being. Karena itu, manusia selalu dituntut untuk selalu berusaha menjadi subjek yang mampu mengubah realitas eksistensialnya, yakni menjadi subjek yang manusiawi. Di situlah pula arti pentingnya kehadiran pendidikan yang membebaskan (liberation). Oleh karena pendidikan merupakan hal yang hakiki bagi manusia, menggunakan pendidikan sebagai alasan untuk mendapatkan keuntungan, berarti manu-

Mohammad Isfironi, Pendidikan dan Alienasi Kemanusiaan...

99

sia memperalat dirinya sendiri. Inilah keteransingan yang ketiga. Bila manusia telah terasing dari hakikatnya, ia sekaligus terasing dari sesamanya. Keterasingan dari hakikatnya berarti manusia terasing dari sesamanya karena sifatnya yang sosial terasing juga daripadanya. Secara empiris keterasingan menyatakan kepentingankepentingan yang bertentangan, yaitu antara mereka yang bekerja berada di bawah kekuasaan dan para pemilik yang tidak bekerja. Keduanya saling berlawanan, bukan karena secara emosional tidak saling menyukai, namun kepentingan mereka secara obyektif bertentangan. Hubungan antar manusia yang tidak terasing digambarkan oleh Marx dengan indah pada hubungan cinta antara lakilaki dan perempuan. Dalam cinta, laki-laki dan perempuan saling menjadi kebutuhan secara alami; secara alami dan spontan manusia yang satu terdorong dan gembira untuk memenuhi kebutuhan manusia yang lain, tanpa melirik pada keuntungan egoisnya sendiri. Apabila dua orang saling mencintai, mereka ingin saling membahagiakan. Kebahagiaan yang satu adalah kebahagiaan yang lain dan sebaliknya. Apabila mereka memberi hadiah, mereka tak pernah berpikir untuk menuntut pembayaran. Maka cinta sejati merupakan hubungan dimana individu bersifat individu sekaligus bersifat sosial. Pendidikan Kritis: Sebuah Jalan Keluar Lantas model pendidikan yang bagaimana yang ideal? Dengan tidak bermaksud untuk menafikan penyeleng-

garaan pendidikan yang dikembangkan model pendekatan liberal, namun tak dapat disangkal bahwa hasilnya cukup mengecewakan. Kapitalisasi dan di era neo-liberalisme ini semakin menjauhkan pendidikan dari tujuan mulianya, memanusiakan manusia. Pendidikan kritis tidak berlebihan bila diajukan sebagai solusi untuk mengatasi krisis manusia modern. Pendidikan kritis adalah aliran, paham dalam pendidikan untuk pemberdayaan dan pembebasan. Aliran ini penganut paham produksi, yaitu suatu paham yang memandang bahwa pendidikan mampu menciptakan ruang untuk tumbuhnya resistensi dan subversi terhadap sistem yang dominan. Bukanlah sebagian besar tokoh nasional dunia ketiga yang memimpin bangsa mereka untuk melawan penjajahan, kolonialisme dan imperialisme lahir dari hasil pendidikan oleh sistem pendidikan yang justru dimaksudkan untuk mempertahankan dan melanggengkan kolonialisme? Dengan demikian bagi penganut paham ini, pendidikan senantiasa mempunyai aspek pembebasan dan pemberdayaan, jika dilakukan melalui proses yang membebaskan serta dilaksanakan dalam kerangka membangkitkan kesadaran kritis. Pandangan pendidikan seperti itu yang akan mewariskan lahirnya aliran pendidikan yang kita sebutkan sebagai pendidikan kritis. Adalah Paolo Freire, pemikir pendidikan berkebangsaan Brasil yang selalu dikaitkan dengan pendidikan kritis,

100

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010, 89 - 101

bertolak dari kehidupan nyata, bahwa di dunia ini sebagian besar manusia menderita sedemikian rupa, sementara sebagian yang lainnya menikmati jerih payah orang lain dengan cara-cara yang tidak adil, dan kelompok yang menikmati ini justru bagian minoritas umat manusia. Suatu kondisi yang njomplang yang disebut Freire sebagai situasi penindasan. Penindasan, apapun nama dan alasannya, bagi Freire adalah tidak manusiawi, sesuatu yang menafikan hakikat kemanusiaan (dehumanisasi) atau diri mayoritas kaum tertindas dan juga atas diri minoritas kaum penindas. Keduanya adalah menyalahi kodrat manusia sejati. Kaum tertindas menjadi tidak manusiawi karena hak-hak asasinya dinistakan, mereka dibuat tidak berdaya dan ditenggelamkan dalam kebudayaan bisu (submerged in the culture of silence). Sedangkan minoritas kaum penindas menjadi tidak menusiawi karena telah mendustai hakikat keberadaan dan hati nurani sendiri dengan memaksakan penindasan bagi manusia sesamanya. Tidak ada pilihan lain, proses dehumanisasi harus segera diakhiri. Walaupun dehumanisasi sebagai suatu kenyataan sejarah, namun bukanlah suatu keharusan sejarah. Secara dialektis, suatu kenyataan tidak mesti menjadi suatu keharusan. Jika kenyataan menyimpang dari keharusan, maka menjadi tugas manusia untuk merubahnya agar sesuai dengan apa yang seharusnya. Itulah fitrah manusia sejati (the mans ontological vocation).

PENUTUP
Pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia, suatu proses untuk menumbuhkan suatu kesadaran kritis akan hakikat diri dan lingkungannya, suatu proses humanisasi. Nyatanya praktik pendidikan justru mengalami proses dehumanisasi. Kapitalisasi pendi-dikan, walaupun menjamin penyeleng-garaan pendidikan secara profesional, namun nuansa liberalisasi justru manusia terasing dari dirinya dan dari sesamanya. Pendidikan kritis nampaknya adalah solusi terbaik untuk memecahkan persoalan-persoalan pendidikan. Bagaimana aplikasinya dalam praktik pendidikan formal yang ada, adalah tugas kita semua untuk memikirkannya. Sebagai penutup, kutipan berikut layak untuk dijadikan bahan renungan.
Apa guna kita memiliki sekian ratus ribu alumni sekolah yang cerdas, tetapi massa rakyat dibiarkan bodoh? Segeralah kaum sekolah itu pasti akan menjadi penjajah rakyat dengan modal kepintaran mereka. (Y.B. Mangun-wijaya, 1997).

DAFTAR PUSTAKA
Elster. John. 2000. Karl Marx: MarxismeAnalisis Kritis. Jakarta: PT Prestasi Pustaka Raya Fakih, Mansour. dkk. 2001. Pendidikan Pupular Membangun Kesadaran Kritis Yogyakarta : Read Book.

Mohammad Isfironi, Pendidikan dan Alienasi Kemanusiaan...

101

. 2002. Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik. Yogyakarta: Insist. Freire, Paulo. 1978. Pedogogy of the Oppressed, Penguin Books. , 1977. Cultural Action for Freedom, Penguin Books. Kuhn.S. Thomas. 2000. The Structure of Scientific Revolution, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, Ter. Tjun Surjaman. Bandung: Remaja Rosdakarya. Magnis-Suseno, Franz. 1999. Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme.

Jakarta: Gramedia Mark, Karl. Tt. Naskah-naskah Ekonomi dan Filsafat 1844, Ter. Ira Iramanto .Jakarta: Hasta Mitra. Ritzer, George and Godman, J, Douglas. 2004. Teori Sosiologi Modern. Ter. Alimandan. Jakarta: Kencana. Sukarno, Mencapai Indonesia Merdeka, Tjita Agung, tanpa tahun, hal. 10. Dikutip ulang dari karya Cahyo Budi Utomo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia: Dari Kebangkitan hingga Kemerdekaan, IKIP Semarang Press, 1995

102

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010

Indeks Penulis
A
Andriani, Lusi Identitas Politik dan Politik Identitas Sebuah Teoretis; 77 87 Ayu Astuti, Sri Konvergensi Teknologi Media dan Kompetensi Jurnalis dengan Kebebasan Pers dalam Tanggung Jawab Kebenaran Informasi pada Karya Jurnalistik; 55 68

F
Fatimah Mediawati, Noor Pengaruh Restorative Justice untuk Memperkuat Kepribadian Tersangka Anak (Studi Advokasi Bagi Anak yang Ditahan dalam Satu Tahanan Bersamaan dengan Tersangka Dewasa); 33 43

H
Hariyanto, Didik & Sular Pengaruh Efektifitas Komunikasi Antarpribadi Pimpinan dan Bawahan Terhadap Peningkatan Kinerja Pegawai di Balai Monitor Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit Kelas Ii Surabaya; 19 31 Haryono Kajian Empiris Pelaksanaan Self Assessment Pajak Daerah; 45 54

I
Isfironi, Mohammad Pendidikan dan Alienasi Kemanusiaan (Sebuah Ancangan Teori untuk Analisis Praktik Pendidikan); 89 101

R
Rochmaniah, Ainur & Dedy Iswanto Jaringan Komunikasi Karyawan Water Park Sun City Sidoarjo dalam Penyelesaian Pekerjaan; 1-18

W
Wahyu Abadi, Totok Kritik Atas Peran Komunikasi; 69 - 76

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010

103

Indeks Subyek
A
Accountability 26 acomplishment 25 Acta Diurna 58 Acta Senatus 58 alienation 89 appropriately 72 audience 22

F
face to face 22 falyakul khairan auliyasmut 60 feed back 2 Frame of reference 22

G
Gardener 3 Gate Keeper 8 general Affair 17 good corporrate 74 goodwill 74 grapevine 6

B
blaming the victims 97 Bridge 8 bridge, liaison 1

C
campassionate capitalism 90 capitalization 89 check up 36 citizen journalism 56 competence and responsibility of media journalism 55 confidential sources 65 construction 33 convergence of media technology 55 cooperative aftermath 70 critical consciousness 89, 96

H
hearing 38 Hosnesty Consciousness 49 Hubungan Antarpersona 5 Hubungan Berurutan 5 Hubungan Posisional 5

I
ijtihad 60 immediate feedback 22 improve employees performance 19 incomplete and unfinished being 99 interest 95 isolate 1, 7 Isuk dele, sore tempe 72

D
decisive moment 70 declining trust 70 dehumanisasi 100 detachment 93 dialogically 82 dominant ideology 93 downward communication 5

J
Jaringan Lingkaran 7 Jaringan rantai 6 Jaringan Roda 6 Jaringan Semua Saluran 7 Jaringan Y 6

E
education 89 effectiveness leadership 19 equalit 78 excelent 71

K
klik 7 Knowledge 57 Komunikasi Horisontal 5 Komunikasi Lintas Saluran 5 Kosmopolite 8

104

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 1, Maret 2010

L
Liaison 8 liberation 99 Liberty 78 Life Guard 3

S
Secondary Techniquies 58 self assessment system 45 Self-disclosure 15 self-expanding 94 sincerely 72 Social Pressure 53 stereotype 79 structural functionalism 92 surplus value 94 sustainability action 70

M
magical consciousness 96 mainstream media 56 man power development 97 meeting 3 mode of production 94 mutual understanding 69, 74

T
tax authorities 45 Tax Consciousness 49 Tax Disciplin 49 Tax Mindedness 49 taxpayer 45 teralienasi 95 The Golden Mean 67 Tingkat Signifikan 29 transfer of knowledge 97 transfer of values 97 trial by the press 65 turning point 70

N
naival consciousness 96 Nature identity 82 network analysis 3 Noise 41

O
off the record 65 Office Boy 17 official assessment system 53 Opinion Leader 8 opinion leader 1 overpopulation 33

U
ubiquitous 19 Upward communication 5 Usefulness 81

P
penelitian korelasional 27 personal contact 22 politics identity 77 prisoner of child 33

W
Water Park Sun City 2

R
relationship 21 reliable 71 Responsibility 26 Responsiveness 26 Resto 3 restorative justice 33

Z
Zoon Politicon 81

Anda mungkin juga menyukai