Anda di halaman 1dari 4

Sekilas Tentang Filsafat Eksistensialisme Eksistensialisme adalah suatu konsep yang kabur. Status ontologisnya sebagai filsafat tergeserkan.

Sebagai pemikiran, eksistensialisme senantiasa diwarnai oleh perdebatan atau kontroversi. Namun secara tak terbantahkan, eksistensialisme mewarnai pemikiran abad XX, terlahir sebagai anak haram abad XIX, era dimana dimana individu dimarjinalkan. Berkat perjuangan filsuf Denmark, Soren Kierkegaard, pendiri aliran eksistensialisme secara mengesankan memaklumkan kematian filsafat Hegelian yang mendudukkan manusia sebagai yang pasif, dan sebagai bagian integral dari roh yang mengasingkan diri , dan serempak dengan itu memproklamirkan kembali keunikan individu, dengan predikat kebebasan kehendak yang berorientasi pada kebebasan spiritual.

Di dalamnya otonomi manusia terpastikan. Sosok manusia dalam ranah eksistensial terbentangkan. Sejak itu manusia memperoleh mahkota individualitas dan kebebasan yang selama ini terbaikan. Manusia sebagai sentral dan perhelatan serta kontemplasi filsafat. Eksistensialisme lalu mengalamatkan diri, intensionalitas terhadap realitas apa yang dewasa ini disebut dengan problem eksistensial , yaitu mempersoalkan arti hidup, kematian, kesengsaraan dan kebebasan. Tema-tema ini telah dibahas oleh St. Agustinus atau Pascal. Akan tetapi jika menyebut mereka sebagai eksistensialis adalah suatu kekeliruan. Kritikus Spanyol, Miguel de Unamuno (1864-1937), Feodor M. Dostoievsky (1821-1881), atau penyair Jerman, Reiner Maria Rilke (1875- 1926) menyusup ke dalam permasalahan manusia, juga bukan eksistensialis. Thomas Aquinas yang getol terhadap ide eksistensi dalam artian klasik, Edmund Husserl yang berkutat tentang problematik manusia tidak juga disebut eksistensialis. Tolstoy, novelis sohor Rusia, juga bukan eksistensialis, akan tetapi risalah filosofisnya tentang kematian yang bersifat pribadi, menjadi acuan Heidegger dalam merumuskan konsep manusia sebagai yang terkutuk untuk mati (sein zum tode). Namun para eksistensialis memiliki titik berangkat yang sama sebagai landasan ontologis dalam mencandra kehidupan. Gabriel Marcel, Karl Jasper, Heidegger dan Jean Paul Sartre dan rekan karibnya, Simone de Beaveour dan tentu saja Maurleau-Ponty dan dua pemikir Rusia, Nikolay Berdyaev (1874-1948) dan Leon Shestov (1866-1938) termasuk teolog protestan, Karl Barth yang banyak terpengaruh oleh Kierkegaard lazim dilabel sebagai eksistensialis.

Kesamaan platforma berpikir dan dasar berkreasi para filsuf ekistensialisme memiliki sifat-sifat dasar yang dapat dirangkum sebagai berikut: Pertama, mereka bertolak dari pengalaman. Jasper misalnya menelusuri kerapuhan manusia (beings), Heidegger melalui pengalaman terkutuk untuk mati (being zum tode), Sartre dengan konsep terhukum untuk bebas (condemed to be free), pengalaman individu menjadi primer. Kedua, Eksistensi sebagai obyek utama. Heidegger mengintroduksi dasein , existence , ego , being for oneself sebagai yang unik. Ketiga, Eksistensi dipahami sebagai aktualistik; tidak pernah sebagai apa adanya, akan tetapi secara bebas menciptakan dirinya, Eksistensi isomorfik dengan temporalitas. Keempat, Manusia sebagai subyektivitas murni, dan bukan sebagai manifestasi dari proses kehidupan kosmik sebagaimana pada Bergson. Subyektivitas dipahami dalam arti kreatif; manusia menciptakan diri sendiri dan didalamnya kebebasan terafirmasi. Kelima, Manusia tidak lengkap atau indefinitif; realitas terbuka; dan terikat pada dunia dan manusia lain. Menghadapi situasi deterministik, akan tetapi menghadapi situasinya sendiri. Keenam, Menolak distingsi antara subyek dan obyek. Bagi para eksistensialis, ilmu pengetahuan yang sesungguhnya tidak diperoleh melalui pengertian melainkan melalui pengalaman. Ketujuh, penerimaan serta penolakan terhadap Tuhan. Marcel, seperti halnya Kierkegaard menyertakan Tuhan dalam kontemplasi eksistensialis mereka, sementara Jasper menyisipkan Tuhan, namun dalam pengertian teisme, panteisme atau ateisme, karena Jasper menolak semua itu. Sementara Heidegger pada awalnya adalah ateistik. Namanya selanjutnya direhabilitasi oleh beberapa muridnya. Kontroversi tentang dirinya terkait dengan keterlibatannya pada partai Nazi. Selanjutnya Sartre larut dalam humanitas tanpa Tuhan.

Dia terkategorisasi eksistensiali ateistik. Pada akhirnya Nietzsche memaklumatkan kematian Tuhan dalam upaya melahirkan konsep kehendak untuk berkuasa (Bochensky, 1972: 155-157). Terakhir, nyaris semua eksistensialis sepakat untuk memendudukkan eksistensi mendahului esensi . Gagasan akbar humanitas baru ini diproklamasikan Sartre dalam Existentialism and Human Emotion. Dostoievsky adalah kasus unik dalam eksistensialisme. Kebebasan dipandang sebagai bagian integral manusia. Gagasan ini terpulang kepada konsep meonik, meontologi Jacob Boehme. Tema-tema garapannya seperti penderitaan (stradannie), pemberontakan terhadap Tuhan (buntovnik Boga), kejahatan (pretuplenie), dosa, kebangkitan kembali (voskreshenye), terpaut dengan kebebasan spiritual ditampilkan dengan sangat mengesankan pada Grand Inquisitor, The Brothers Karamzov. Deskripsi mendalam tentang kebebasan tragis dan nasib manusia, yang menjadi kontemplasi metafisik menyebabkan Dostoevsky disebut sebagai eksistensialis. Diskursus kebebasan yang tertuang dalam hampir seluruh karya-karyanya dan termatangkan dalam Grand Inquisitor Agung pada The Brothers Karamzov dunia eksistensialis, gagasan-gaagasan orisinil Dostoievsky tentang manusia menjadi suatu opsi. Melirik ke Timur, sebagaimana disuarakan Levinas menjadi satu alternatif menuju humanitas baru adalah jasa dan kontribusi yang diberikan Rusia kepada Eropa Barat dan dunia sekaligus. Dengan teropong moentologis, bukan ontologi atau ontik, yang menekankan pada kelupaan akan makna ada sebagai titik tolak mencandra manusia kontemporer Heidegger, suatu sosok humanitas baru tertampilkan. Dostoievsky dengan demikian adalah arsitek humanitas pasca renaisans berhasil menguak tabir dan rahasia manusia. Kebebasan yang menjadi mahkota manusia tertampilkan secara baru dan sarat makna emansipatoris tertampilkan. Melalui terapheutik tersebut suatu lembar sejarah masa depan, yang mengisyaratkan partisipasi individu secara otonom terafirmasikan. Ini adalah prestasi terbesar Dostoievsky dewasa ini. Ada Sebagai Tempat bermukim Eksistensi

Dalam kontigensi dan ada, Van Peursen mengatakan bahwa Heidegger menjelaskan bahwa ada itu bukanlah sebuah konsep yang umum. Dan bukan pula sebuah benda di belakang benda-benda lainnya semacam dasar purba atau sebab awal. Bukan juga sesuatu ada yang meliputi segalanya model pemikiran panteistik Spinoza, bukan monade yang tak berjendela (windowless) Leibniz. Sartre

dan Heidegger dengan caranya masing-masing menegaskan bahwa eksistensi mendahului esensi.

Manusia sebagai mahluk eksistensi memiliki pertautan dengan adanya. Ada tidak lagi dipahamkan sebagai kata benda, bukan sebagai kausa prima pada Aristoteles atau ide sempuna Platonik, melainkan sebagai kata kerja, dan bukan ada tersembunyi di balik realitas. Ada pada Heidegger adalah eksistensi kongkret, karena ada sebagai sesuatu yang ada di belakang, atau di atas segala sesuatu. Ada adalah ada yang hadir, sekaligus tersembunyi, dan menampakkan diri (aousia dan parousia dalam bahasa Yunani). Ada selalu menyangkut eksistensi manusia, karena ada itu bukan sebuah obyek, sebuah benda dan juga bukan suatu konsep abstrak, melainkan suatu gerak dasar, aktivitas yang meliputi seluruh kenyataan dan langsung terkait pada cakrawala eksistensi manusia

Anda mungkin juga menyukai