Anda di halaman 1dari 3

2/2/12

Aja Nggurani (Gayeng Semarang) Artikel

Aja Nggurani (Ga eng Semarang)


Monday, 12 December 2011 01:35 Doktor Teknik Arsitektur dan Perkotaan

Oleh: Prof Eko Budihardjo Kulanuwun. Minggu-minggu kemarin sungguh amat menguras waktu, tenaga dan pikiran saya. Sesudah ke Kendari dan Padang atas penugasan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), terus ke Balikpapan memandu Sarasehan Munas Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), langsung ke Serpong menghadiri Open Science Meeting on Rise to Water Challenge, yang diprakarsai Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI). Sopir saya berceloteh, Bapak ke Jakarta kok bolak-balik seperti ke Pasar Johar saja . Ke Universitas Tarumanegara bincangbincang perkara Rumah Susun, ke Kementerian Pekerjaan Umum ditugasi menjadi Ketua Tim Juri Indonesian Construction Award. Juga yang jarak dekat seperti ke Banaran, Bawen, memandu acara peresmian Kaukus Lingkungan DPRD Propinsi Jawa Tengah bersama Prof. Dharto, Mas Ahmad Santoso dari UNDP dan pak Ilyas Asaad petinggi Kementerian Lingkungan Hidup. Saat mengakhiri acara tersebut saya sempatkan baca puisi karya Hamid Jabbar berjudul Proklamasi Jilid Kedua yang memperoleh sambutan meriah. Yang saya merasa amat lega adalah tatkala akhir bulan yang silam berhasil ikut kontribusi menyusun Draft Paradigma Pendidikan Abad ke-21. Kenapa lega? Karena dalam proses penyusunannya selalu terjadi debat yang panas, baik mengenai sistematika maupun substansinya. Maklum penyusunnya terdiri dari para pakar dan ilmuwan kondang seperti Ikhlasul Amal (mantan Rektor UGM), Farid Anfasa Moeloek (Mantan Menkes), Imam Buchori Zainuddin (seniman dari ITB). Sikap dan perilaku para profesor itu amat bervariasi. Ada yang sangat santun, tetapi ada pula yang beringas. Ada yang lembut, ada pula yang keras. Ada yang pendiam, tetapi ada pula yang senang mendengar suaranya sendiri. Ada yang terbuka, ada yang tertutup. Jadi kalau akhirnya berhasil diperoleh kesepakatan dan tersusun laporannya, itu merupakan prestasi yang istimewa. ***
dtap.undip.ac.id/index.php/Artikel/aja-nggurani-gayeng-semarang/Print.html 1/3

2/2/12

Aja Nggurani (Gayeng Semarang) Artikel

Saya teringat kata-kata arif yang disampaikan oleh Ir. Slamet Riyadi MTA, ketika dia bersama mas Heru Puworo datang ke rumah untuk membicarakan pembentukan Ikatan Ahli Lansekap Indonesia (IALI) Cabang Jawa Tengah. Bekas murid saya itu menyampaikan petuah Jawa yang dipesankan oleh orang tuanya : Pinter ning aja ngguroni, Banter ning aja nglangkahi. Bila kita renungkan, sungguh amat dalam maknanya. Boleh saja kita merasa pandai, tetapi jangan suka menggurui orang lain. Boleh saja kita meniti karir dengan cepat, tetapi jangan sampai melangkahi orang lain. Di depan kelas pun, terutama pada program-program Pascasarjana multi disiplin seperti Ilmu Lingkungan atau Magister Manajemen, saya sering bilang. Sepandai-pandai profesor ada bodohnya, sebodoh-bodoh mahasiswa ada pandainya. Begitu pula mestinya yang dipegang oleh para pemimpin. Sepandai-pandai pemimpin ada bodohnya, sebodoh-bodoh rakyat ada pandainya. Terkisah ada seorang gurubesar yang ditanya, berapa kali seekor katak harus melompat agar bisa menyeberangi sungai selebar 20 meter, bila sekali lompatan katak sejauh meter?. Tanpa pikir panjang langsung saja sang gurubesar itu menjawab :Tentu saja bila 20 meter dibagi meter ketemunya jelas 40 kali lompatan. Tiba-tiba seorang petani yang biasa di sawah menimpali : Salah, yang benar hanya 2 kali lompatan. Sekali melompat terjun ke sungai, lantas berenang ke seberang, dan sekali lagi melompat ke daratan. Nah, lo, petani yang bukan sarjana itu ternyata lebih pandai daripada profesor yang gelarnya berjibun. *** Baru-baru ini saya diminta oleh mbak Fitrie Arianti, dosen Fakultas Ekonomi Undip, untuk menulis Kata Pengantar pada buku terbarunya The Secret of Happy Life. Mula-mula terasa berat juga, karena disiplin ilmu yang saya gulati kan arsitektur dan perencanaan kota. Untung di toko buku saya temui buku karya Teresa Anabelle, PhD dkk yang berjudul Train Your Brain to Get Happy, terbitan tahun 2011. Nah, saya membandingkan karya ilmuwan Barat itu dengan karya dosen muda dari Undip. Terlihat betul bedanya. Ilmuwan dari negara Barat ternyata lebih menekankan pada aspek nalar, rasio, obyektivitas, dan yang serba kasat mata. Mereka menyimpulkan kebahagiaan itu berasal dari otak. Bisa diperoleh dengan tidur yang cukup, makan dan minum yang serba enak. Nah, dosen muda dari Undip lebih menekankan pada aspek religiositas, keagamaan, hubungan yang dekat dengan Tuhan YME. Disarankannya agar kita selalu menghadirkan Tuhan dalam kesadaran kita, bila ingin meraih kebijaksanaan sejati. Bernalar dan berfikir mengandalkan rasio saja tidak cukup, mesti dilandasi dengan perenungan, berzikir, bersyukur, dan bersabar. Wong sugih numpak Mercedes mbrengengeng, bakul dawet manggul pikulan rengeng-rengeng, begitu kata orang tua kita dulu. Orang kaya naik mobil Mercedes tapi berkeluh kesah, padahal tukang jual dawet memanggul pikulannya dengan bersenandung. Liding dongeng, jangan kita suka menggurui orang lain karena merasa paling pandai, dan jangan pula menilai kebahagiaan kita dari harta benda.
dtap.undip.ac.id/index.php/Artikel/aja-nggurani-gayeng-semarang/Print.html 2/3

2/2/12

Aja Nggurani (Gayeng Semarang) Artikel

Sakmanten rumi in atur kula, kepareng, nuwun.

Semarang, 2 Desember 2011 Eko Budihardjo Sumber: FB Prof. Ekobudihardjo Note's

dtap.undip.ac.id/index.php/Artikel/aja-nggurani-gayeng-semarang/Print.html

3/3

Anda mungkin juga menyukai