Anda di halaman 1dari 44

Laporan Problem Based Learning I Blok Neurobehaviour and Spesific Sense Systems

Oh Anakku Sayang, Anakku Malang

Tutor : dr. Fajar Wahyu Pribadi

Kelompok 11 : K1A006008 K1A006023 K1A006028 K1A006049 K1A006050 K1A006081 K1A006092 K1A006105 K1A006124 K1A006135 Feni Venawati Sigit Dwiyanto Isratiwi Woyka Happy Meuthia Devi Evan F H Silalahi Arina Cynthia L Z N Asri Widyatama Teguh Setiawanto Ratna Juwita Septi Nur Pangestuti

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER PURWOKERTO 2009 BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang PBL I ini merupakan salah satu metode pembelajaran dalam blok digestif yang dilaksanakan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mahasiswa melalui sebuah kasus. PBL I berlangsung dengan tiga kali tutorial. Informasi kasus diberikan setiap tutorial secara bertahap. Kasus PBL I adalah sebagai berikut: Informasi I Bayi Ny Suntuk lahir di RS Kemangi secara normal per vaginam dengan APGAR Score 7-9, BB 3000 gram, PB 49 cm, dan diameter lingkar occipitofrontalis 38 cm. Tampak kantung terbungkus selaput translusen di tengah regio lumbal yang berisi cairan xanthocrom. Pergerakan ekstermitas atas tampak baik, tetapi pergerakan ekstermitas bawah tampak lemah. Tonus otot ekstremitas bawah flaksid. Informasi II Dari anamnesis diketahui Ny SB hanya 2 kali melakukan ANC ke bidan, yaitu pada bulan ke 7 dan 8. Pola makan selama hamil tidak terlalu diperhatikan, karena penghasilan suami Ny SB yang bekerja sebagai tukang becak tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari Informasi III Dilakukan pemeriksaan Radiologi dengan hasil : Foto Ro cranium : pelebaran semua sutura Foto Ro vertebra lumbrosacral : defek tulang pada vertebra lumbal IV dan Sacral I CT Scan kepala menunjukkan adanya pelebaran semua ventrikel

Informasi IV

Diagnosis : Meningomyelokel dengan hidrosefalus Dokter merencanakan tindakan bedah untuk penutupan meningomyelokel dan penanganan hidrosefalus Informasi V Tiga tahun kemudian anak tersebut (M) dibawa ke klinik. Ibunya mengatakan bahwa anaknya belum bisa berjalan. Ia baru bisa merangkak dengan perlahan dan duduk dengan tegak. Kemampuan bicaranya juga sangat terlambat bila dibandingkan dengan teman-teman seusianya. Ia hanya bisa menyebutkan 1-2 kata dengan koleksi kosa kata hanya sekitar 20 kata. Ia tidak dapat berkomunikasi dengan baik dan hanya mengerti perintah sederhana. Informasi VI Dokter menemukan adanya tanda-tanda keterlambatan perkembangan motorik. Dia tidak dapat berjalan meskipun dia bisa duduk dengan tegak. Pemeriksaan fisik menunjukkan kelemahan spastik pada ekstremitas bawah dan terdapat perubahan fungsi buang air besar dan buang air kecil. Reflek tendo patella dan reflek ankle meningkat. Reflek babinsky positif pada kedua kaki. Dokter menyarankan untuk dilakukan fisioterapi.

BAB II

PEMBAHASAN A. Klarifikasi Istilah dan Konsep a. b. c. d. e. f. Translusen : menghantarkan cahaya, tetapi menghamburkannya Xanthocrom : berbagai perubahan warna menjadi kekunigFlaksid : lemah atau lunak , atonik. BB bayi normal 2500 4000 gr PB bayi normal 48-52 cm Lingkar occipitofrontralis normal : : 31-36 : 32-37 sehingga objek dibelakangnya tidak dapat dilihat dengan jelas. kunigan, seperti pada kulit atau cairan spinal.

bayi laki-laki bayi perempuan B. Identifikasi Masalah

1. lingkar occipitofrontalis 38 cm 2. kantung terbungkus selaput translusen ditengah regio lumbal yang berisi cairan xanthocrom 3. ekstremitas bawah lemah 4. tonus otot ekstremitas bawah flaksid C. Analisis Masalah 1. APGAR Score Setelah bayi lahir dan dibersihkan, bayi langsung menjalani serangkaian tes pemeriksaan APGAR yang merupakan serangkaian pengukuran yang dilakukan untuk menilai kemampuan bayi baru lahir beradaptasi dengan lingkungan baru di luar rahim ibu. Pemeriksaan ini meliputi penampilan yang dilihat dari warna kulit tubuhnya (appearance), frekuensi denyut jantung (pulse), usaha bayi untuk bernapas yang dinilai dengan mendengarkan lemah atau kuat suara tangisan (grimace), gerakan bayi yang dinilai berdasarkan aktif tidaknya tonus otot (activity), dan reaksi bayi terhadap rangsangan (reflex). Penilaian ini dilakukan pada

menit pertama dan kelima setelah bayi lahir. Setelah kondisi bayi stabil, dilakukan pengukuran tubuh yang meliputi pengukuran berat dan panjang badan, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar perut, serta pemeriksaan umum termasuk mendeteksi ada tidaknya kelainan kongenital. APGAR score APGAR Appearance Pulse Grimace Activity Reflex Keterangan : Skor 1-3 = berat Skor 4-6 = cukup Skor 7-10 = baik 2. Hipotesa : a. Spina Bifida Anomali yang lazim ini terdiri dari defek linea mediana korpus vertebra tanpa protrusi medulla spinalis atau meninges. Kcbanyakan individu tidak bergejala dan tidak ada tanda neurologis, keadaan ini biasanya tidak berkonsekuensi. Pada beberapa kasus, bereak-bereak rambut, lipoma, hllangnya warna kulit, atau sinus kulit pada linea mediana punggung bawah menandai dasar spina bifida okulta. Rontgenogram spina menampakkan adanya defek pada penutupan lengkung dan lamina vertebra posterior, khas melibatkan L5 dan S1. Tidak ada kelainan meninges, medulla spinalis dan akar saraf. Spina bifida okulta kadang-kadang terkait dengan kelainan perkembangan medulla spinalis yang lebih bermakna, yang termasuk siringomielia, diastematomielia, dan medulla tertambat. Sinus dermoid biasanya 0 Pucat Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada 1 Badan merah. Ekstremitas biru < 100 x/menit Sedikit gerakan mimik Ekstremitas sedikit fleksi Lemah / tidak teratur 2 Seluruh tubuh kemerahan > 100 x/menit Batuk / bersin Gerakan aktif Baik / menangis

membentuk pembukaan keeil pada kulit yang menuju ke dalam saluran sempit, kadang-kadang ditunjukkan oleh rambut yang menonjol, bercak berambut, atau nevus vaskular. Sinus dermoid terjadi pada linea mediana pada lokasi terjadinya meningokel atau ensefalokel, yakni daerah lumbosakral atau oksiput. Saluran sinus dermoid dapat melewati dura, berfungsi sebagai saluran untuk penyebaran infeksi.Meningitis berulang yang berasal tersembunyi harus segera mendapatkan pemeriksaan yang eermat saluran sinus kecil di daerah linea mediana posterior, termasuk belakang kepala. b. Meningokel Meningokel terbentuk saat meninges berherniasi melalui defek pada lengkung vertebra posterior. Medulla spinalis biasanya normal dan menerima posisi normal pada medulla spinalis, meskipun mungkin tertambat, ada siringomielia, atau diastematomielia. Massa linea mediana yang bertluktuasi yang dapat bertransiluminasi terjadi sepanjang kolumna vertebralis, biasanya berada di punggung bawah. Sebagian besar meningokel tertutup dengan baik dengan kulit dan tidak mengancam penderita. Pemeriksaan neurologis yang cermat sangat dianjurkan. Anak yang tidak bergejala dengan pemeriksaan neurologis normal dan keseluruhan tebal kulit menutup meningokel dapat menunda pembedahan. Sebelum koreksi defek dengan pembedahan, penderita harus secara menyeluruh diperiksa dengan menggunakan rontgenogram sederhana, ultrasonografi, dan tomografi komputasi (CT) dengan metrizamid atau resonansi magnetik (MRI) untuk menentukan luasnya keterlibatan jaringan saraf jika ada dan anomali yang terkait, termasuk diastematomielia, medulla spinalis tertambat dan lipoma. Penderita dengan kebocoran cairan serebrospinal (CSS) atau kulit yang menutupi tipis harus dilakukan pembedahan segera untuk mencegah meningitis, Sken CT kepala dianjurkan pada anak dengan meningokel karena kaitannya dengan hidrosefalus pada beberapa kasus. Meningokel anterior menonjol ke

dalam pelvis melalui defek pada sakrum. Gejala konstipasi dan fungsi kandung kencing berkembang karena meningkatnya ukuran lesi. Penderita wanita mungkin menderita anomali saluran genital terkait, termasuk fistula rektovaginal dan sekat vagina. Rontgenogram sederhana memperagakan defek pada sakrum dan skenning CT atau MRI menggambarkan luasnya meningokel. c. Meningomielokel Mielomeningokel menggambarkan bentuk disrafisme yang paling berat yang melibatkan kolumna vertebralis dan ter: dengan insiden sekitar 1/1.000 kelahiran hidup. E T IO L O G I. Penyebab mielomeningokel tidak diketahui, mun sebagaimana halnya semua defek penutupan tuba neuralis, ada predisposisi genetik; risiko berulang setelah Seseorang terkena meningkat sampai 3-4% dan meningkat sampai sekitar 10% pada dua kehamilan abnormal sebelumnya. Sudah pasti faktor-faktor nutrisi dan lingkungan memainkan peran dalam etiologi mielomeningokel. Penelitian telah memberikan bukti yang kuat penggunaan tambahan asam folat selama pembuahan pada ibu sangat mengurangi insidennya defek tuba neuralis pada kehamilan berisiko. Agar efektif, penambahan asam folat harns dimulai sebelum pembuahan dan dilanjutkan sampai paling tidak minggu ke-12 kehamilan saat neurulasi selesai. Pelayanan Kesehatan Masyarakat Amerika Serikat telah menganjurkan bahwa seluruh wanita usia subur yang mampu menjadi hamil minum 0,4 mg asam folat setiap hari dan bahwa wanita yang sebelumnya pernah hamil dengan ha sil defek tuba neuralis diobati dengan 4 mg asam folat setiap hari, yang mulai satu bulan sebelum saat kehamilan direncanakan. Sebagaimana halnya setiap kehamilan berisiko tinggi penderita ini memerlukan pengawasan yang cermat, konseling, dan tindak lanjut. Obat-Obat tertentu juga dikenal meningkatkan risiko mielomeningokel. Asam valproat, antikonvulsan efektif, menyebabkan defek tuba neuralis pada sekitar: 1-2%

kehamilan jika obat diberikan selama kehamilan. Proses neurulasi normal melibatkan mekanisme selular dan molekular. Pengaturan pengembangan gen tertentu serta produkan selama penutupan tuba neuralis telah menunjukkan peran penting mikrofilamen sitoskeleton (aktin, fodrin) dan proteoglikan (hialuronate membrana basalis). Penelitian baru -baru ini telah menggunakan sejumlah model untuk disrafisme, yang termasuk mutasi dan penyimpangan kromosom rodensia, teratogen (asam retinoat) dan interaksi antara faktor genetika serta agen penyebab lingkungan. Dengan pengecualian asam valproid yang ditemukan, ada beberapa. teratogen yang menghasilkan disrafisme baik pada model rodensia maupun manusia. M A N IF E S T A S I K ISI.Keadaan ini menghasilkan disfungi banyak NL organ dan struktur, di termasuk skeleton, saraf kulit, perifer dan dan saluran SSS. genitourinaria, samping sistem

Mielomeningokel mungkin berada di suatu tempat sepanjang aksis saraf, namun daerah lumbosakral menyebabkan setidaknya 75% kasus. Luas dan tingkatnya defisit neurologis tergantung pada lokasi mielomeningokel. Lesi pada daerah sakrum bawah menyebabkan inkontinensia usus besar dan kandung kencing dan disertai dengan anestesi pada. Daerah perineum namun tanpa gangguan fungsi motorik. Bayi baru lahir hir dengan defek pada daerah lumbal tengah secara khas memiliki struktur kistik seperti-kantong yang ditutup oleh lapisan tipis janngan yang sebagian terepitelialisasi (Gb.542-2). Sisa jaringan saraf dapat terlihat di bawah membran yang kadang-kadang dapat ro~ek dan CSS boc~r. Pemeriksaan bayi menampakkan paralisis flaksid tungkai bawah, tidak adanya refleks tendo dalam, tidak ada respons terhadap seniuhan dan nyeri, dan tingginya insiden kelainan postur tungkai bawah (termasuk kaki pekuk dan subluksasi pinggul). Drin menetes terns menerus dan relaksasi sfingter ani mungkin nyata. Dengan demikian, mielomeningokel pada daerah lumbaI tengah cenderung menghasilkan tanda neuron motor bawah karena Icelainan dan kerusakan konus medullaris. Bayi dengan mielomeningokel secara

khas memiliki peningkatan defisit neurologis yang semakin meningkat setelah mielomeningokel bergerak naik ke daerah toraks. Namun, penderita dengan mielomeningokel di daerah toraks atas atau daerah servikal bias any a memiliki defisit neurologis yang sangat minim dan pada kebanyakan kasus tidak mengalami hidrosefalus. Hidrosefalus dalam kaitannya dengan defek Chiari tipe II berkembang pada paling tidak pada 80% penderita dengan mielomeningokel. Biasanya, makin rendah deformitas pada neuraksis (misal sakrum), maka akan makin sedikit kemungkinan risiko hidrosefalus. Pembesaran ventrikel mungkin lamban dan pertumbuhan lambat atau pertumbuhan mungkin dapat cepat, sehingga menyebabkan penonjolan fontanela anterior, dilatasi vena kulit kepala, penampakan mata seperti "matahari terbenam", iritabilitas, dan muntah yang disertai dengan peningutan lingkaran kepala. Tidak jarang, bayi dengan hidrosefalus dan malformasi Chiari tipe U berkembang gejala disfungsi otak belakang, termasuk kesulitan makan, tercekik, stridor, apnea, paralisis plika vokalis, pengumpulan sekresi, dan spastisitas tungkai atas, yang, jika tidak diobati, dapat menyebabkan kematian. Krisis Chiari ini adalah karena penurunan herniasi medulla dan tonsil serebellum melalui foramen magnum. P R O G N O S IS . Untuk anak yang dilahirkan dengan mielomeningokel yang diobati secara agresif, kisaran mortalitas adalah sekitar 1O15%,dan sebagian besar kematian terjadi sebelum usia 4 tahun. Paling tidak 70% dari yang bertahan hidup memiliki intelegensi normal, tetapi masalah belajar dan gangguan kejang lebih lazim daripada populasi biasa. Episode meningitis atau ventrikulitis sebelumnya mempengaruhi secara merugikan quosien intelegent (IQ) akhir. Karena mielomeningokel merupakan keadaan perintang yang kronik, tindak lanjut multidisipliner periodik diperlukan untuk kehidupan. d. Ensefalokel Ada dua bentuk disrafisme utama yang mempengaruhi tengkorak,

dan menghasilkan pi-otmsi jaringan melalui defek linea mediana tulang yang disebut cranium bifidum. Mielomeningokel kranium terdiri dari kantong meninges yang terisi hanya CSS dan, ensefalokele kranium yang mengandung kantong plus korteks serebri, serebellum, atau bagian batang otak. Pemeriksaan mikroskopis jaringan saraf di dalam ensefalokel sering tidak normal. Defek kranium paling lazim pada daerah oksipital pada atim di bawah sambungan, namun di bagian tertentu, ensefalokel frontal atau nasofrontallebih menonjol. Kelainan ini adalah sepersepuluh dari defek penutupan tuba neuralis yang melibatkan spina. Etiologi ini dianggap sama dengan etiologi anensefali dan mielomeningokel karena contoh dari masing-masing yang telah dilaporkan ada pada keluarga yang sama. Bayi dengan ensefalokel kranium bertambah risiko untuk terjadinya hidrosefalus karena stenosis akuaduktus, malformasi Chiari, atau sindrom Dandy-Walker. Pemeriksaan dapat menunjukkan kantung kecil dengan batang bertangkai atau struktur seperti kista besar yang dapat melebihi ukuran kranium. Lesi ini dapat tertutup total dengan kulit, namun daerah yang tidak berkulit (denuded skin) dapat terjadi danmemerlukan manajemen bedah segera. Transiluminasi kantung dapat menampakkan adanya jaringan saraf. Rontgenogram sederhana tengkorak dan spina servikalis terindikasi untuk menggambarkan anatomi vertebra. Ultra-suara adalah paling membantu dalam menentukan isi kantong, yang dengan demikian sken CT tidak perlu lagi pada kebanyakan kasus. Anak deng;an mielomeningokel kranium biasanya memiliki prognosis yang baik, sedangkan penderita dengan ensefalokel berisiko terhadap masalah visual, mikrosefali, retardasi mental, dan kejangkejang. Biasanya, anak dengan jaringan saraf di dalam kantong dan disertai hidrosefalus memiliki prognosis yang paling buruk. Sindrom Meckel-Gruber adalah keadaan resesif autosom yang jarang yang ditandai dengan ensefalokel oksipital, celah bibir dan palatum, mikrosefali, mikroftalmia, genitalia abnormal, ginjal polikistik, dan polidaktili. Ensefalokel dapat didiagnosis dalam

uterus dengan penentuan kadar a-fetoprotein dan pengukuran diameter biparital dengan ultrasonografi. e. Hidrocephalus Definisi Merupakan bertambahnya jumlah CSF yang berlebihan dalam rongga serebrospinal yang mengakibatkan kerusakan jaringan saraf. Cairan serebrospinal dibuat di dalam otak dan beredar ke seluruh bagian otak, selaput otak serta kanalis spinalis, kemudian diserap ke dalam sistem peredaran darah. Jika terjadi gangguan pada peredaran maupun penyerapan cairan serebrospinal, atau jika cairan yang dibentuk terlalu banyak, maka volume cairan di dalam otak menjadi lebih tinggi dari normal. Penimbunan cairan menyebabkan penekanan pada otak sehingga memaksa otak untuk mendorong tulang tengkorak atau merusak jaringan otak. Hal-hal yang menyebabkan terjadinya hydrocephalus : pembentukan cairan serebrospinal yang berlebihan oleh absorbsi yang adekuat penurunan absorbsi CSF keluar obstruksi aliran keluar pada satu ventrikel atau lebih pleksus koroideus ventrikel

Etiologi hidrocephalus : 1. kelainan bawaan

a. stenosis akuaduktus sylvii merupakan penyebab terbanyak pada hydrocephalus bayi dan anak sekitar 60-90%. Akuaduktus dapat merupkan saluran buntu sama sekali atau abnormal lebih sempit dari biasa. Umumnya gejala hydrocephalus terlihat sejak lahir atau progresif dengan cepat pada bulan-bulan pertama setelah lahir. b. spina bifida dan kranium bifida hidrocephalus pada kelainan ini biasanya berhubungan dengan sindrom arnold-chiari akibat tertariknya medula spinalis dengan medula oblongata dan serebelum letaknyalebih rendah serta menutupi foramen magnum sehingga terjadi penyumbatan sebagian atau total. f. sindrom dandy-walker merupakan atresia kongenital foramen luschka dan magendie dengan akibat hidrocephalus obstruktif dengan pelebaran sistem ventrikel terutama ventrikel keempat g. kista arakhnoid merupakan suatu kelainan kongenital dan dapat timbul akibat trauma sekunder suatu hematoma h. anomali pembuluh darah terjadi akibat aneurisma arterio-vena yang mengenai arteria serebralis posterior dengan vena galeni atau sinus transversus dengan akibat obstruksi akuaduktus. 2. infeksi infeksi ini menyebabkan perlekatan meningen sehingga dapat terjadi obliterasi ruangan subaraknoid. Pelebaran ventrikel pada fase akut meningitis purulenta terjadi bila aliran CSS terganggu oleh obstruksi mekanik eksudat purulen di akuaduktus sylvii 3. neoplasma merupakan hidrocephalus oleh obstruksi mekanis yang dapat terjadi di setiap tempat aliran CSS. Pada anak yang menjadi penyebab penyumbatan ventrikel keempat atau akuaduktus sylvii

bagian terakhir biasanya suatu glioma yang berasal dari serebelum sedangkan penyumbatan bagian depan ventrikel ketiga biasanya disebabkan oleh kraniofaringoma 4. perdarahan perdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak dapat menyebabkan fibrosis leptomeningen terutama pada daerah basal otak Jenis-jenis hidrocephalus 1. hidrocephalus non komunikans (adanya sumbatan). kedua ventrikel lateral dan ventrikel ketiga penyempitan akuaduktus sylvii congenital volume ketiga ventrikel membesar penekanan otak terhadap tengkorak sutura-sutura kranialis belum menyatu sehingga ruang-ruan diantaranya melebar otak menjadi tipis dan kepala membesar 2. hidrocephalus komunikans ( tidak ada sumbatan ) pleksus koroideus berkembang berlebihan produksi CSF lebih banyak daripada yang direabsorpsi oleh vili arakhnoidalis cairan terkumpul di ventrikel atau di luar ventrikel produksi CSF yang berlebihan yang dibentuk oleh pleksus koroideus dari

pembesaran ventrikel keempat penekanan destruktif pada jaringan otak sekitar kepala membesar dan otak rusak berat Hidrocephalus komunikans lebih banyak disebabkan oleh gangguan reabsorpsi CSF. Karena ventrikel membesar, maka tekanan didalamnya biasanya normal atau menurun walaupun volumenya meningkat. Oleh karena itu bentuk hidocephalus ini sering disebut hidrosephalus tekanan normal atau takanan rendah. Tanda dan gejala hidrocephalus secara umum : gejala intracranial meningkat muntah, nyeri kepala, kepala lebih besar ubun-ubun besar melebar atau tidak menutup pada dahi tampak melebar dengan kulit kepala yang menipis, sutura tengkorak belum menutup dan teraba melebar bunyi seperti pot kembang yang retak pada perkusi kepala bola mata terdorong ke bawah oleh tekanan dan penipisan sclera tampak di atas iris sehingga tampak seperti matahari pergerakan bola mata tidak teratur dan nistagmus gangguan kesadaran edema papil saraf otak II

waktunya dan teraba teganag atau menonjol tegang dan mengkilat dengan pelebaran vena kulit kepala

(cracked pot sign) tulang supraorbita akan terbenam (sunset sign)

Gejala hidrocephalus pada bayi : a. Gejala Awal Kepala membesar

Ubun-ubun menonjol dengan atau tanpa pembesaran kepala Sutura terpisah. b. Gejala pada hidrosefalus lanjutan: Rewel, tidak dapat menahan emosi Kejang otot. c. Gejala lebih lanjut: Penurunan fungsi mental Gangguan perkembangan Penurunan pergerakan, Gerakan menjadi lambat atau terhambat Tidak mau makan/menyusu, Lemas, tidur terus Beser Menangis dengan nada tinggi, keras dan singkat Gangguan pertumbuhan.

Penegakan diagnosis : Transiluminasi kepala ada-tidaknya cairan abnormal CT scan kepala Pungsi lumbal dan pemeriksaan cairan serebrospinal Ro kepala penipisan dan pemisahan tulang tengkorak yang tertimbun di berbagai daerah di kepala

Scan otak dengan radioisotop kelainan pada jalur cairan Arteriografi pembuluh darah otak. Ekoensefalogram (USG otak, menunjukkan adanya

serebrospinal

pelebaran ventrikel akibat hidrosefalus maupun perdarahan intraventrikuler) f. Trauma persalinan g. Variasi Normal

D. Sistematika Masalah Bayi Ny Suntuk lahir di RS Kemangi secara normal per vaginam dengan APGAR Score 7-9, BB 3000 gram, PB 49 cm, dan diameter lingkar occipitofrontalis 38 cm Tampak kantung terbungkus selaput translusen di tengah regio lumbal yang berisi cairan xanthocrom. Pergerakan ekstermitas bawah tampak lemah. Tonus otot ekstremitas bawah flaksid. Ny SB hanya 2 kali melakukan ANC ke bidan, yaitu pada bulan ke 7 dan 8. Pola makan selama hamil tidak terlalu diperhatikan. Dilakukan pemeriksaan Radiologi dengan hasil : Foto Ro cranium : pelebaran semua sutura Foto Ro vertebra lumbrosacral : defek tulang pada vertebra lumbal IV dan Sacral I CT Scan kepala menunjukkan adanya pelebaran semua ventrikel Diagnosis : Meningomyelokel dengan Hidrosefalus Dokter merencanakan tindakan bedah untuk penutupan meningomyelokel dan penanganan hidrosefalus

Tiga tahun kemudian anak tersebut belum bisa berjalan, baru bisa merangkak dengan perlahan dan duduk dengan tegak. Kemampuan bicaranya juga sangat terlambat, hanya bisa menyebutkan 1-2 kata dengan koleksi kosa kata hanya sekitar 20 kata. Ia tidak dapat berkomunikasi dengan baik dan hanya mengerti perintah sederhana. Tanda-tanda keterlambatan perkembangan motorik Tidak dapat berjalan. Pemeriksaan fisik menunjukkan kelemahan spastik pada ekstremitas bawah dan terdapat perubahan fungsi buang air besar dan buang air kecil. Reflek tendo patella dan reflek ankle meningkat. Reflek babinsky positif pada kedua kaki. Dokter menyarankan untuk dilakukan fisioterapi. E. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. anak ? 8. anak normal ! 9. perkembangan anak! 10. perkembangan? 11. Jelaskan Fisiologi Mendengar ! Apa penyebab terjadinya gangguan Aspek apa saja yang dinilai dalam Jelaskan pertumbuhan dan perkembangan Sasaran Belajar Jelaskan Embriologi SSP ! Jelaskan Anatomi Otak ! Kapan dilakukan USG dan Amniosintesis ? Apa yang dimaksud dengan tekanan intra Penanganan Mielomeningokel ! Penanganan Hidrosefalus ! Apa yang dimaksud dengan tumbuh kembang

kranial dan hukum monro kelly?

12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. F.

Jelaskan Gangguan Pendengaran ! Jelaskan Fisiologi Bicara ! Jelaskan Gangguan Bicara ! Jelaskan Fisiologi BAK ! Jelaskan Fisiologi BAB ! Jelaskan Pemeriksaan Fungsi Motorik ! Jelaskan Perbedaan Lesi UMN dan LMN ! Belajar Mandiri

Mahasiswa mencari sumber belajar dari buku-buku dan internet. G. 1. periode yaitu: a. sampai 8,5 minggu). b. sampai 10 minggu). c. Periode pascanatal. Periode embrionik sendiri terdiri dari 23 stadium perkembangan, yang waktu kelangsungannya masing-masing stadium berkisar 2-3 hari dengan total waktu kurang lebih enam puluh hari pertama setelah ovulasi. Pada akhir periode ini, panjang embrio sudah mencapai 30 mm dan kemudian dilanjurkan dengan periode fetal. Pada periode fetal tidak dibagi atas stadium-stadium, namun yang menjadi tolak ukur dalam pemantauan perkembangan didasarkan atas ukuran dan usia janin. Konsep penentuan saat penghentian (terminasi) perkembangan janin berperan penting dalam menganalisa berbagai malformasi kongenital yang terjadi. Saat terminasi adalah titik tolak waktu di mana pada periode waktu sebelumnya belum terjadi malformasi spesifik. Tidak semua Periode fetal (mulai 8,5 minggu Periode embrionik (mulai konsepsi Penjelasan Informasi Jelaskan Embriologi SSP ! Secara garis besar perkembangan sistem saraf pusat dibagi atas tiga

malformasi susunan saraf dapat ditentukan secara tepat kapan hal itu terjadi, dan juga beberapa malformasi terbentuk dalam rangkaian waktu yang cukup panjang. Adapun proses pembentukan susunan saraf pusat manusia dimulai pada awal minggu ketiga sebagai lempeng penebalan lapisan ektoderm (neural plate) yang memanjang dari kranial ke arah kaudal. Selanjurnya kedua bagian sisi kiri dan kanan akan bertambah tebal dan meninggi, membentuk lipatan-lipatan saraf yang dikenal sebagai krista neuralis/neural crest {bagian tengah yang cekung disebut alur saraf (neural groove). Perkembangannya kemudian, krista neuralis akan semakin meninggi dan mendekat satu sama lain serta menyatu di garis tengah. Dengan demikian, pada saat tersebut terbentuk tabung saraf (neural tube). Penutupan tabung saraf tersebut umumnya dimulai dari bagian tengah (setinggi somit ke-4) dan baru disusul oleh penutupan bagian kranial dan kaudal. Kedua ujung tabung saraf menutup paling akhir (sehingga dalam hal ini tabung saraf masih mempunyai hubungan dengan rongga amnion), yakni bagian neurophorus anterior menutup pada usia embrio pertengahan minggu ketiga (somit 18-20) sedangkan neurophorus posterior pada akhir minggu ketiga (somit 25). Setelah tabung neural tertutup, pada bagian anteriornya akan mulai terbentuk tiga buah gelembung, masing-masing adalah: a. b. c. Proensefalon (otak depan) yang kelak menjadi telensefalon Mesensefalon (otak tengah) Rombensefalon (otak belakang) yang kelak menjadi Pada akhir minggu ketiga atau awal minggu keempat, ketiga gelembung tadi telah berubah menjadi lima buah gelembung yaitu: (1) Telensefalon, yang kelak menjadi hemisfir serebri. (2) Diensefalon dengan dua buah tonjolan cikal bakal mata. (3) Mesensefalon, yang kemudian tidak terlalu banyak berubah. dan diensefalon.

metensefalon dan mielensefalon.

(4) Metensefalon yang kelak membentuk pons dan serebelum. a. hemisfir serebri. b. tonjolan cikal bakal mata. c. terlalu banyak berubah. d. pons dan serebelum. e. medula oblongata. Rongga di dalam gelembung-gelembung akan berkembang dan membentuk sistem ventrikel cairan otak sebagai berikut: a. Rongga dalam telensefalon (hemisfir serebri) akan membentuk ventrikel lateralis kiri dan kanan. b. Rongga dalam diensefalon akan membenruk venrrikel III. c. Rongga dalam mesensefalon akan membentuk akuaduktus Sylvius (menghubungkan III dan IV). d. Rongga dalam mielensefalon akan membentuk ventrikel IV. 2. Jelaskan Anatomi Otak ! Mielensefalon yang kelak mc;njadi Metensefalon yang kelak membentuk Mesensefalon, yang kemudian tidak Diensefalon dengan dua buah Telensefalon, yang kelak menjadi

3.

Kapan dilakukan USG dan Amniosintesis ?

USG dilakukan pada kehamilan 6 minggu sesuai haid terakhir yang dapat dilihat adanya kantong janin dan mudigah tidak lama setelah itu. Pada

kehamilan 13 minggu kepala janin dapat dideteksi dan pula denyut jantung janin. Amniosintesis dilakukan pada kehamilan 12- 20 minggu sesuai haid terakhir. Pada kehamilan 16 minggu merupakan minggu paling baik dilakukannya amniosintesis. 4. Apa yang dimaksud dengan tekanan intra Tekanan intrakranial adalah tekanan di dalam rongga tengkorak relatif terhadap tekanan atmosfer, dimana ia merupakan suatu daya dinamik yang berfluktuasi secara ritmis seiring dengan irama jantung dan pernapasan, serta dipengaruhi pula oleh proses fisiologis tertentu. Pada keadaan fisiologis normal,volume intrakranial yang selalu dipertahankan konstan dengan tekan intrakranial yang selalu dipertahankan konstan dengan tekanan intrakranial sebesar 10-15 mmHg. Adanya suatu penambahan massa intrakranial, akan menimbulkan kompensasi melalui penurunan volume darah vena dan likuor secara resiprokal. Peristiwa tersebut dinamakan doktrin Morro-kellie Burrows. Sistem vena akan segera mengempis kolaps dan darah akan diperas ke luar melalui vena jugularis atau melalui vena-vena emisaria dan kulit kepala. Likuor juga akan terdesak melalui foramen magnum kearah rongga subarachnoid spinalis. Mekanisme kompensasi ini hanya berlangsung sampai batas tertentu dan kemudian akan terjadi peningkatan tekanan intrakranial secara tiba-tiba. Parenkhim otak dan darah tidak ikut serta dalam mekanisme kompensasi tersebut. Komplians(dV/dP) adalah nilai perubahan volume akibat adanya perubahan tekanan. Nilai ini menggambarkan potensi akomodasi dari rongga intrakranial. Nilai komplian disebut tinggi bila kavitas kranium dapat mengakomodasi suatu penambahan massa yang besar hanya dengan sedikit perubahan tekanan saja. Elastan (dP/dV) adalah kebalikan dari komplians. Elastan merupakan nilai perubahan tekanan akibat adanya perubahan volume. Elastan

kranial dan hukum Monro Kelly ?

menggambarkan resistensi terhadap adanya suatu massa intrakranial. Elastan ini diukur dengan menyuntikkan 1 cc larutan salin steril ke dalam kateter ventrikel dalam waktu 1 detikdan kemudian di pantau perubahan tekanan yang terjadi. Peningkatan < 2 mmHg menandakan elastan yang rendah dan komplians yang tinggi. Peninggian tekanan intrakranial yang lebih dari 10 mHg dikategorikan sebagai keadaan yang patologis (hipertensi intrakranial), yang berpotensi merusak otak dan berakibat fatal. 5. Manajemen Penanganan Mielomeningokel dan pengawasan anak serta keluarga dengan mielomeningokel memerlukan pendekatan tim multidisipliner, yang meliputi ahli bedah, dokter, dan ahli terapi dengan satu individu (sering dokter anak) yang berperan sebagai penasehat dan koordinator program terapi. Di masa lalu, dianjurkan bahwa mielomeningokel harus diperbaiki sesegera mungkin setelah lahir untuk memelihara fungsi neurologis dan untuk mencegah perburukan lebih lanjut. Beberapa penelitian baru-baru ini menunjukkan hasil jangka lama yang sama pada penundaan pembedahan selama beberapa hari (dengan pengecualian kebocoran CSS), yang memungkinkan orangtua mulai dapat menyesuaikan terhadap syok dan bersiap untuk beberapa tindakan dan masalah yang tidak dapat dihindari yang menghadang. Beberapa senter telah berupaya mengembangkan kriteria untuk menentukan bayi yang mana yang akan diobati secara agresif dan yang mana yang hanya akan menerima perawatan pendukung. Kriteria eksklusi yang paling berharga, yang dikembangkan di Inggris, terdiri dari hal berikut: paralisis kaki yang mencolok, lesi torakolumbal atau torakolumbosakral; kifosis atau skoliosis; cedera karena lahir yang menyertai; defek kongenital jantung lain, otak, atau saluran cerna; dan kepala sangat membesar. Informasi yang lebih baru menunjukkan bahwa kriteria selektif demikian mempunyai nilai prognosis yang

kecil, dan sebagai akibatnya, kebanyakan senter-senter pediatri secara agresif mengobati sebagian besar bayi dengan mielomeningokel. Setelah perbaikan mielomeningokel, sebagian besar bayi memerlukan tindakan shunting untuk hidrosefalus. Jika gejala atau tanda disfungsi otak belakang muncul, terindikasi untuk dekompresi bedah medulla spinalis dan medulla servikalis awal. Kaki pekuk mungkin memerlukan pembidaian, dan pinggul yang tergeser mungkin memerlukan tindakan operasi. Evaluasi dan penilaian kembali yang cermat sistem genitourinaria merupakan beberapa komponen manajemen yang paling penting. Pengajaran orangtua, dan akhirnya penderita, untuk secara teratur mengkateterisasi kandung kencing akari mempertahankart volume residu yang rendah dan mencegah infeksi kandung kencing dan refluks yang menyebabkan pielonefritis dan hidronefrosis. Biakan urin secara periodik dan penilaian fungsi ginjal, termasuk elektrolit dan kreatinin serum demikian juga sken ginjal, pielogram intravena, dan ultrasonografi, diperoleh sesuai dengan kemajuan penderita dan hasil pemeriksaan fisiko Pendekatan terhadap manajemen saluran urin ini sangat mengurangi perlunya tindakan pembelokan bedah dan telah menurunkan morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan penyakit ginjal progresif pada penderita ini. Beberapa anak dapat mengendalikan diri dengan implantasi sfingter saluran urin artifisial pada umur tua. Meskipun inkontinensia bahan tinja adalah lazim dan secara sosial tidak dapat diterima selama tahun-tahun sekolah, hal ini tidak menimbulkan risiko yang sama seperti inkontinensia urin. Banyak anak dapat "dilatih melakukan buang air besar" dengan regimen enema atau supositoria yang memungkinkan pengosongan pada waktu yang ditentukan sebelumnya sekali atau dua kali sehari. Ambulasi fungsional adalah keinginan setiap anak dan orang tua dan mungkin tergantung pada tingkat lesi dan fungsi utuh otot-otot iliopsoas. Hampir setiap anak dengan lesi sakrum atau lumbosakrum dapat berjalan; sekitar separuh dari anak dengan defek yang lebih

tinggi akan dapat berjalan dengan menggunakan penjepit dan tongkat. 6. Penanganan Hidrosefalus 1. Terapi konservatif medikamentosa ditujukan untuk membatasi evolusi hydrocephalus melalui upaya mengurangi sekresi cairan dari pleksus khoroideus (asetazolamid 100 mg/kgBB/hari) atau upaya meningkatkan resorpsinya (isorbid) 2. Mengurangi produksi CSF dengan merusak sebagian pleksus koroidalis dengan tindakan reseksi (pembedahan), akan tetapi hasilnya kurang memuaskan. 3. Memperbaiki hubungan antara tempat produksi CSF dengan tempat absopsi yaitu menghubungkan ventrikel dengan subarakhnoid, misalnya ventrikulosisternostomi torkidsen pada stenosis akuaduktus. 4. Pengeluaran CSF ke dalam organ ekstrakranial a. drainase ventrikulo-peritoneal b. drainase lombo-peritoneal c. drainase ventrikulo-pleural d. drainase ventrikulo ureterostomi e. drainase ke dalam antrum mastoid f. mengalirkan CSF ke dalam vena jugularis dan jantung melalui kateter yang berventil (holter vavlve) yang memungkinkan pengaliran CSF ke satu arah. Kateter harus selalu diganti sesuai dengan pertumbuhan anak. 5. Penanganan Altematif (Selain Shunting) Tindakan alternatif selain operasi 'pintas' (shunting) diterapkan khususnya bagi kasus-kasus yang mengalami sumbatan di dalam sisrem venrrikel termasuk juga saluran keluar ventrikel IV (misal: stenosis akuadukrus, tumor fosa posterior, kista arakhnoid). Dalam hal ini maka rindakan terapeurik semacam ini perlu pikirkan lebih dahlllu, walaupun kadang lebih rumit daripada memasang shunt, mengingat restorasi aliran likuor menllju keadaan at au mendekati normal selalll lebih baik daripada suatu drainase yang arrifisiel.

Terapi etiologik. Penanganan terhadap etiologi hidrosefalus merupakan srrategi yang terbaik; seperri anrara lain misalnya: pengontrolan kasus yang mengalami intoksikasi vitamin A, reseksi radikal lesi massa yang mengganggu aliran likuor, pembersihan sisa darah di dalam likuor atau perbaikan suatu malformasi. Memang pada sebagian kasus perlu menjalani terapi sementara dahulu sewaktu lesi kausalnya masih belum dapat dipastikan; atau kadang juga masih memerlukan tindakan operasi pintas karena kasus yang mempunyai etiologi multifaktor atau mengalami gangguan aliran likuor sekunder. Penetrasi membran. Penetrasi dasar ventrikel III merupakan suatu tindakan membuat jalan alternatif melalui rongga subarakhnoid bagi kasus-kasus stenosis akuaduktus atau (lebih umum) gangguan aliran pad a fosa posterior (termasuk tumor fosa posterior). Selain memulihkan sirkulasi secara pseudo-fisiologis aliran likuor, ventrikulostomi III dapat menciptakan tekanan hidrostatik yang uniform pada seluruh sistem susunan saraf pusat sehingga meneegah terjadinya perbedaan tekanan pada struktur-struktur garis tengah yang rentan. Saat ini cara terbaik untuk melakukan perforasi dasar ventrikel III adalah dengan teknik bedah endoskopik, di mana suatu neuroendoskop (rigid atau fleksibel) dimasukkan melalui bunhole koronal (2-3 cm dari garis tengah) ke dalam ventrikel lateral, kemudian melalui foramen Monro (diidentifikasi berdasarkan pleksus khoroid dan vena septalis setra vena talamostriata) masuk ke dalam ventrikel III. Batas-batas venrrikel III dari posterior ke anterior adalah korpus mamilare, pereabangan a. basilaris, dorsum sela dan resesus infundibularis. Lubang dibuat di depan percabangan arteri basilaris sehingga terbentuk saluran antara ventrikel III dengan sisterna interpedunkularis. Lubang ini dapat dibuat dengan memakai laser, monopolar koagulator, radiofrekuensi, dan kateter balon.

6. Operasi Pemasangan 'Pintas' (Shunting) Sebagian besar pasien memerlukan tindakan operasi pintas, yang bertujuan membuat saluran baru antara likuor (ventrikel atau lumbar) dengan kavitas drainase (seperti : peritoneum, atrium kanan, pleura). Pemilihan kavitas untuk drainase dari mana dan kc mana, bervariasi unruk masing-masing kasus. Pada anak-anak lokasi drainase yang rerpilih adalah rongga peritoneum, mengingat ia mampu menampung kateter yang cukup panjang sehingga dapat menyesuaikan perrumbuhan anak serta risiko rerjadi infeksi berat relatif lebih keeil dibandingkan dengan rongga atrium jantung. Lokasi drainase lain seperri: pleura, kandung empedu dan sebagainya, dapat dipilih untuk siruasi kasus-kasus tertentu. Biasanya cairan serebrospinalis didrainase dari ventrikel, namun kadang pada hidrosefalus komunikans ada yang didrain ke rongga subarakhnoid lumbar. Pada dasarnya alat shunt terdiri dari tiga komponen yaitu: kateter proksimal, katub (dengan/tanpa reservoir), dan kateter distal. Komponen bahan dasarnya adalah elastomer silikon. Pemilihan shunt mana yang akan dipakai dipengaruhi oleh pengalaman dokter yang memasangnya, tersedianya alat tetsebut, pertimbangan finansial serta latar belakang prinsip-prinsip ilmiah. Ada beberapa bentuk profil shunt (tabung, bulat lonjong, dan sebagainya) dan pemilihan pemakaiannya didasatkan atas pertimbangan mengenai penyembuhan kulit yang dalam hal ini sesuai dengan usia penderita, berat badannya, ketebalan kulit dan ukuran kepala. Sistem hidrodinamik shunt tetap berfungsi

pada tekanan yang tinggi, sedang, dan rendah, dan pilihan ditetapkan sesuai dengan ukuran ventrikel, status pasien (vegetatif, normal), patogenesis hidrosefalus, dan proses evolusi penyakirnya. Penempatan resevouir shunt umumnya dipasang di frontal atau di temporo-oksipital yang kemudian disalurkan di bawah kulit. Teknik operasi penempatan shunt didasarkan oleh pertimbangan anatomis dan potensi kontaminasi yang mungkin terjadi (misalnya: ada gastrostomi, trakheostomi, laparostomi, dan sebagainya). Ada dua hal yang perlu diperhatikan pada periode pascaoperasi, yaitu: pemeliharaan luka kulit terhadap kontaminasi infeksi dan pemantauan kelancaran dan fungsi alat shunt yang dipasang. Secara umum tidak ada batasan untuk posisi baring dari penderita, namun biasanya penderita dibaringkan telentang selama 1-2 hari pertama. Komplikasi shunt dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu: infeksi, kegagalan mekanis, dan kegagalan fungsional, yang disebabkan jumlah aliran yang tidak adekuat. Infeksi pada shunt meningkatkan risiko akan kerusakan intelektual, lokulasi ventrikel dan bahkan kematian. Kegagalan mekanis mencakup komplikasikomplikasi seperti: oklusi aliran di dalam shunt (proksimal, katub atau bagian distal), diskoneksi atau putusnya shunt, migrasi dati tempat semula, tempat pemasangan yang tidak tepat. Kegagalan fungsional dapat berupa drainase yang berlebihan atau malah kurang lancarnya drainase. Drainase yang terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi lanjutan seperti terjadinya efusi subdural, kraniosinostosis, lokulasi ventrikel, hipotensi ortostatik.

7. kembang anak ?

Apa

yang

dimaksud

dengan

tumbuh

Pertumbuhan berarti bertambah besar dalam aspek fisis akibat multiplikasi sel dab bertambahnya jumlah zat intraseluler. Perkembangan digunakan untuk menunjukkan bertambahnya ketrampilan dan fungsi yang kompleks.

8. anak normal !

Jelaskan pertumbuhan dan perkembangan 1. pranatal (0-280 hari) a. masa embrio (trisemester pertama kehidupan pranatal) Diferensiasi berlangsung cepat, terbentuk sistem dan alat alat dalam tubuh. b. masa fetus dini(trisemester kedua kehidupan pranatal). Terjadi percepatan pertumbuhan. Pembentukan jasad manusia sempurna dan alat tubuh telah terbentuk serta mulai berfungsi. Pada akhir masa ini panjang janin 70 % dari pada panjang pada saat yang dilahirkan, sedangkan berat badannya hanya 20% dari padanya, karena jaringan lemak subkutan belum terbentuk. c. Masa fetus akhir. Bertambahnya masa tubuh dengan cepat. Berat badan fetus dari 700 gram pada akhir trisemester kedua bertambah dengan kecepatan kira-kira 200 gram/minggu sampai pertengahan trisemester ketiga untuk mencapai kira-kira 3000-3500 gram. 2. masa neonatal (0-4 minggu) Penyesuaian sirkulasi dengan keadaan lingkngan, mulai bernafas dan fungsi alat tubuh lainnya.berat badannya dapat turun sampai 10 % pada minggu pertama kehidupan yang dicapai lagi pada hari ke 14. 3. masa bayi (tahun pertama dan kedua kehidupan) a. umur 1 bulan 1 tahun. Pertumbuhan dan perkembangan yang cepat, fungsi alat tubuh bertambah, terutama sistem saraf. b. umur 1 tahun 2 tahun. Pertumbuhan menurun, kemajuan dalam berjalan dan aktifitas motorikserta pengaturan fungsi ekskresi. 4. masa prasekolah (umur 2-6 tahun) pertumbuhan melambat, aktifitas jasmani bertambah, koordinasi fungsi dan mekanisme motorik bertamba, cepat menangkap pelajaran.

5. masa sekolah(wanita 6-10 tahun, pria 6-12 tahun) pertumbuhan tetap, ketrampilan dan proses intelaktuil berkembang. 6. masa adolesensi (wanita 10-18 tahun pria 12-20 tahun). Perubahan dari masa anak ke masa dewasa. Percepatan pertumbuhan tinggi dan berat badan, timbulnya ciri kelamin sekunder, memerlukan kepercayaan diri sendiri dan kebebasan, perkembangan fungsi alat kelamin. 9. perkembangan anak! a. postur dan gerakan (motorik kasar) b. penglihatan dan manipulasi (motorik halus/adaptif) c. pendengaran dan kemampuan bicara (bahasa) d. sosial dan bermain(personal sosial). 10. perkembangan? 1. Faktor genetik Gen yang terdapat pada nukleus mempunyai sifat yang tersendiri. Manifestasi hasil perbedaan ini menyebaban adanya faktor hereditas. DNA yang membentuk gen mempunyai peranan penting dalam transmisi sifat herediter. Timbulnya familial, kelainan khusus tertentu, tipe tertentu dwarfism adalah akibat transmisi gen yang abnormal. 2. lingkungan a. Prenatal 1. Infeksi (trisemester I : rubella dan penyakit lain, trisemester II dan berikutnya : toksolasmosis, histoplasmosis,sifilis dll) 2. Radiasi (sifat rontgen, radium dll) 3. Gizi (defisiensi vitamin, yodium dan lain lain) 4. Trauma mekanis (pita amniotik, ektopia, posisi fetus abnormal) Apa penyebab terjadinya gangguan Aspek apa saja yang dinilai dalam

5. Zat toksin (proupiltiurasil, aminopterin, obat kontrasepsi dan lainnya) 6. Endokrin (diabetes mellitus pada ibu, hormon yang di makan, umur tua dan lainnya.) b. Postnatal 1. Biologis a. b. c. d. e. Gizi (masukan makanan kualitatif dan kuantitatif) Perawatan Kepekaan penyakit(imunitas) Penyakit (adanya penyakit kronis dan kelainan Hormon

kongenital) 2. nonbiologis 11. Gelombang suara Getaran membran timpani Getaran tulang-tulang telinga tengah Getaran jendela oval Getaran cairan di alam koklea Telinga Dalam Getaran membrana basalis penghamburan energi getaran jendela bundar Jelaskan Fisiologi Mendengar !

Pembengkokan rambut sel-sel rambut reseptor organ corti sewaktu pergerakan membrana basilaris menyebabkan perubahan posisi rambutrambut tersebut dalam kaitannya dengan membrana tektorial diatasnya tempat rambut-rambut tersebut terbenam.

Perubahan potensial berjenjang (potensial reseptor ) di sel-sel reseptor Perubahan kecepatan pembentukan potensial aksi yang terbentuk di saraf auditorius. Perambatan potensial aksi ke korteks audotorius di lobus temporalis otak untuk persepsi suara.

12.

Jelaskan Gangguan Pendengaran ! ketulian, dapat bersifat

Gangguan (kehilangan) pendengaran. atau menjadi dua

sementara atau menetap, parsial atau total. Ketulian diklasifikasikan jenis-tuli konduktif (hantaran) dan tuli sensorineural (saraf)-bergantung pada bagian mekanisme pendengaran yang kurang

berfungsi secara adekuat.

Tuli konduktif terjadi apabila gelombang

suara tidak secara adekuat dihantarkan melalui telinga luar dan tengah untuk menggetarkan cairan di telinga dalam. Tuli konduktif mungkin disebabkan oleh sumbatan fisik saluran telinga oleh kotoran telinga, ruptur gendang telinga, infeksi telinga tengah disertai penimbunan cairan, atau restriksi gerakan osikula karena adhesi antara stapes dan jendela oval. Pada tersebut tidak diter jemahkan menjadi tuli sensorineural, sinyal saraf yang gelombang suara disalurkan ke telinga dalam, tetapi gel om bang diinterpretasikan oleh otak sebagai sensasi suara. Defek mungkin terletak pada organ Corti, pada saraf auditorius atau jalur auditorius asendens, atau, yang jarang, pada korteks auditorius itu sendiri. 13. Jelaskan Fisiologi Bicara ! Bahasa adalah suatu bentuk komunikasi kompleks dengan kata-kata yan g secara tertulis atau lisan melambangkan benda dan menyampaikan gagasan. Bahasa melibatkan integrasi dua kemampuan terpisah-yaitu, ekspresi dan pemahaman-masing-masing daerah Broca dan

berkaitan dengan daerah tertentu di korteks. Daerah primer spesialisasi kortikal untuk bahasa adalah daerah Wernicke . Daerah Broca, yang bertanggung jawab untuk kemampuan berbicara, terletak di lobus frontalis kiri dan berkaitan erat dengan daerah motorik korteks yang mengontrol otot-otot yang penting untuk artikulasi Daerah Wernicke, yang terletak di korteks kiri pada pertemuan lobus-lobus parietalis, temporalis, dan oksipitalis, berhubungan dengan pemahaman bahasa. Daerah ini berperan penting dalain pemahaman bahasa baik tertulis maupun lisan. Selain itu, daerah ini bertanggung jawab untuk mem formulasikan pola pembicaraan koheren yang disalurkan melalui seberkas serat ice daerah Broca, kemudian mengontrol artikulasi pembicaraan ini. Daerah Wernicke menerima masukan dari korteks visual di lobus oksipitalis, suatu jalur yang penting dalam -

pemahaman membaca dan dalam menjelaskan suatu benda yang tampak, serta dari korteks auditorius di lobus tempo ralis, suatu jalur yang penting untuk memahami bahasa lisan. Menurut model berbahasa terakhir, berbagai aspek bicara melibatkan jalur-jalur interkoneksi yang tepat antara daerah-daerah korteks lokal tersebut

14.

Jelaskan Gangguan Bicara ! Karena berbagai aspek bahasa terletak di daerah daerah

korteks yang berlainan, kerusakan di daerah tertentu di otak dapat menyebabkan gangguan bahasa selektif. Kerusakan daerah Broca menyebabkan kegagal an pembentukan kata, walaupun pasien masih dapat mengerti kata lisan dan tertulis. Para individu tersebut mengetahui apa yang hendak mereka katakan, tetapi tidak mampu mengekspresikan diri mereka. Walaupun mereka dapat menggerakkan bibir dan lidah, mereka tidak dapat melakukan

perintah motorik yang benar untuk mengartikulasikan kata-kata yang mereka ingin kan. Sebaliknya, pasien dengan lesi di daerah Wernicke tidak dapat mengerti kata-kata yang mereka dengar atau lihat. Mereka mampu berbicara secara lancar, walaupun kata-kata yang mereka ucapkan dengan sempurna tersebut tidak memiliki arti. Mereka tidak dapat mengaitkan arti dengan kata atau memilih katakata yang tepat untuk me nyampaikan pikiran mereka. Gangguan bahasa semacam itu disebabkan oleh kerusakan daerah korteks spesifik dan dikenal sebagai afasia, yang sebagian besar disebab oleh stroke. Afasia jangan dikacaukan dengan kesukaran berbicara (speech impediment), yang disebabkan oleh defek pada aspek mekanis berbicara, misalnya kelemahan atau inkoordinasi otot-otot yang mengontrol perangkat vokal. Mungkin disleksia, yaitu kesulitan dalam belajar membaca karena ketidak sesuaian interpretasi huruf bad "terlihat" sebagai atau kata sebagai bayangan terbalik (misalnya, kan

dab), timbul akibat kelainan perkembangan dalam hubungan antara daerah penglihatan dan bahasa di korteks atau di dalam daerah bahasa itu sendiri 15. Jelaskan Fisiologi BAK ! Untuk membuka sfingter interna tidak diperlukan mekanisme khusus; perubahan bentuk kandung kemih sewaktu organ tersebut berkontraksi secara mekanis menarik sfingter interna terbuka. Secara simultan, sfingter eksterna melemas karena neuron-neuron motoriknya dihambat. Sekarang kedua sfingter terbuka dan urin terdorong ke luar melalui uretra akibat gaya yang ditimbulkan oleh kontraksi kandung kemih. Refleks berkemih ini, yang seluruhnya merupakan refleks spinal. mengatur pengosongan kandung kemih pada bayi. Segera setelah kandung kemih terisi dalam jumlah yang cukup untuk memicu refleks tersebut. bayi secara otomatis mengompol.

Pengisian kandung kemih, selain memicu refleks berkemih, juga menyebabkan timbulnya keinginan sadar untuk berkemih. Persepsi kandung kemih yang penuh muncul sebelum sfingter eksterna secara refleks melemas, sehingga hal tersebut memberi "peringatan" bahwa proses berkemih akan segera dimulai. Akibatnya. kontrol volunter terhadap berkemih, yang dipelajari selama toilet training pada mas a anak-anak dini. dapat mengalahkan refleks berkemih, sehingga pengosongan kandung kemih dapat terjadi sesuai keinginan orang yang bersangkutan dan bukan pada saat pengisian kandung kamih pertama kali mencapai titik yang menyebabkan pengaktifan reseptor regang. Apabila saat berkemih tidak tepat sementara refleks berkemih sudah dimulai, pengosongan

kandung eksitatorik

kemih

dapat yang

secara

sengaja dari

dicegah korteks

dengan serebrum

mengencangkan sfingter eksterna dan diafragma pelvis. Impuls volunter berasal mengalahkan masukan inhibitorik refleks dari reseptor regang ke neuron-neu ron motorik yang terlibat (keseimbangan relatif EPSP dan IPSP), sehingga otot-otot ini tetap berkontraksi dan urin tidak dikeluarkan.

Berkemih tidak dapat ditunda selamanya. Apabila isi kandung kemih terus bertambah. masukan refleks dari reseptor. regang juga semakin meningkat. Akhirnya, masukan inhibitorik refleks ke neuron motorik sfingter eksternal menjadi sedemikian kuat, sehingga tidak lagi dapat dikalahkan oleh masukan eksitatorik volunter, yang mengakibatkan sfingter melemas dan kandung

kemih secara tidak terkontrol dikosongkan. Proses berkemih juga dapat secara sengaja dimulai, walaupun kandung kemih belum teregang, oleh relaksasi volunter sfingter eksternal dan diafragma pelvis. Penurunan lantai panggul juga memungkinkan kandung kemih turun, yang secara simultan membuka sfingter uretra internal dan meregangkan kandung kemih. Peng aktifan selanjutnya reseptor-reseptor regang menyebabkan kandung kemih berkontraksi melalui refleks berkemih. Pengosongan kandung kemih secara volunter dapat dibantu lebih lanjut oleh kontraksi dinding abdomen dan diafragma pernapasan. Hal tersebut menyebabkan peningkatan tekanan intra-abdomen yang selanjutnya "memeras" kandung kemih untuk mengosongkan isinya. Inkontinensia urin, atau ketidakmampuan mencegah pengeluaran urin, terjadi akibat gangguan jalur-jalur desendens di korda spinalis yang memperantarai kontrol volunter atas sfingter ekstemal dan diafragma pelvis. bawah. 16. Jelaskan Fisiologi BAB ! Sewaktu gerakan massa di kolon mendorong isi kolon ke dalam rektum, terjadi peregangan rektum yang kemudian merangsang reseptor regang di dinding rektum dan memicu refleks defekasi. Refleks ini disebabkan oleh sfingter anus internus (yang terdiri dari otot polos) untuk melemas dan rektum serta kolon sigmoid untuk berkontraksi lebih kuat. Apabila sfingter anus eksternus (yang terdiri dari otot rangka) juga melemas, terjadi defekasi. Karena otot rangka, sfingter anus eksternus berada di bawah kontrol kesadaran. Peregangan awal dinding rektum menimbulkan perasaan ingin buang air besar. Jika keadaan tidak memungkinkan defekasi. defekasi dapat dicegah dengan penguatan Dalam hal ini, karena komponen lengkung refleks berkemih masih utuh di korda spinalis bagian

kontraksi sfingter anus eksternus secara sengaja walau semula teregang akan perlahan

pun terjadi

refleks defekasi. Apabila defekasi ditunda, dinding rektum yang -lahan melemas dan keinginan untuk buang air besar mereda sampai gerakan massa berikutnya mendorong lebih banyak feses ke dalam rektum, yang kembali me regangkan rektum dan memicu refleks defekasi. Selama periode nonaktif, kedua sfingter anus tetap berkontraksi untuk memastikan tidak terjadi pengeluaran feses. Apabila terjadi, defekasi biasanya dibantu oleh gerakan mengejan volunter yang melibatkan kontraksi simultan otot-otot abdomen dan ekspirasi paksa dengan glotis dalam posisi tertutup. Manuver ini menyebabkan peningkatan tekanan intra-abdomen yang membantu pengeluaran feses. 17. Jelaskan Pemeriksaan Fungsi Motorik ! Kinerja motorik bergantung pada otot yang utuh, hubungan neuromuskular yang fungsional, dan traktus nervus kranialis dan spinalis yang utuh. Untuk dapat memahami bagaimana sistem saraf mengkoordinasi aktivitas otot, pertama-tama kita hams dapat membedakan an tara neuron motorik atas (upper motor neuron, UMN) dan neuron motorik bawah (lower motor neuron, LMN). UMN berasal dari korteks serebri dan menjulur ke bawah, satu bagian (traktus kortikobulbaris) berakhir pada batang otak sedangkan bagian lainnya (traktus kortikospinalis) menyilang bagian bawah medula ob longata dan terus turun ke dalam medula spinalis. Nuklei nervus kranialis merupakan ujung akhir traktus kortikobulbaris. Traktus kortikospinalis ber akhir di daerah kornu anterior medula spinalis servikal sampai sakral. Serabut-serabut kortikospinalis yang melalui piramis medulla oblongata membentuk traktus piramidalis. Serabut-serabut sraf dalam traktus kortikospinalis merupkan penyalur gerakan voluntary, terutama gerkan halus, disadari, dan mempunyai ciri tersendiri.

LMN mencakup sel-sel motorik nuklei nervus kranialis dan aksonnya serta sel-sel kornu anterior medula spinalis dan aksonnya. Serabut-serabut motorik keluar melalui radiks anterior atau motorik medula spinalis, qan mempersarafi otot-otot. Lesi pada UMN dan LMN menyebabkan perubahan-perubahan khas pada respons otot. Pengetahuan mengenai perbedaan kelemahan otot akan mempermudah menentukan letak lesi neurologis tersebut.

Koordinasi dan Gaya Berjalan (Gait) Berbagai kerusakan sistem motorik pada tiap tingkatan dapat mengganggu koordinasi. Tanda yang paling jelas adalah tidak adanya koordinasi gerakan penderita, gangguan semacam ini secara umum menunjukkan adanya masalah pada fungsi serebelar dan interupsi traktus kortikospinalis. Tes untuk mengetahui adanya gangguan koordinasi mencakup jalan tandem (penderita disuruh berjalan pada satu garis dengan tumit ditempelkan pada ujung jari kaki yang lain), kemampuan penderita untuk meniru gerakan sederhana yang cepat (memukulkan telapak tangan danpunggung tangan pada lutut secara bergantian) dan kemampuan penderita untuk menempatkan tumit kaki

kanan pada lulut kaki kiri kemudian

menggeserKan tumit kanannya

tersebut ke bawah sepanjang bagian depan tungkai kiri, dan kemudian lakukan juga secara sebaliknya. Gangguan serebelar menyebabkan gerakan ini menjadi lambat, tidak ritmik, dan tidak akurat. Gaya berjalan (gait) dapat dinilai dengan meminta penderita berjalan. Harus diingat bahwa sebagian besar orang akan berjalan perlahan-lahan dan hatihati ketika sedang diamati, pemeriksa harus memperhatikan ayunan lengan yang berkurang, hemiplegia, rigiditas, hilangnya gerakan terkoordinasi, tremor, dan/ atau apraksia (langkah lambat, diseret, kesulitan mengangkat kaki dari lantai), atau kombinasi dari semua karakteristik ini. Penderita gangguan serebelar berjalan dengan jarak kedua kaki relatif jauh dan cenderung sempoyongan ke lateral. Gaya berjalan yang lambat, langkah kedl diseret, dan ayunan lengan berkurang merupakan ciri khas penderita Parkinson. Tonus dan Kekuatan Otot Tonus otot, yaitu resistensi yang terdeteksi oleh pemeriksa saat menggerakkan sendi secara pasif, seringkali terganggu jika terdapat gangguan sistem saraf. Gangguan UMN meningkatkan tonus otot, sedangkan gangguan LMN menurunkan tonus otot. Kelompok otot utama diamati untuk melihat adanya tanda-tanda kelemahan, fasikulasi, atau kontraktur. Kekuatan otot dapat diperiksa dengan membandingkan otot satu sisi dengan otot sisi lainnya sewaktu penderita mencoba melawan tekanan yang berlawanan dari pemeriksa. Dalam mengevaluasi tes-tes ini, harus dipertimbangkan faktor usia, seks, dan keadaan fisiknya. Penderita harus diperiksa akan kemungkinan adanya gerakan involuntar yaitu tremor, korea, hemibalismus, dan tic. Refleks Refleks tendon dalam dapat ditimbulkan dengan mengetukkan palu refleks secara cepat dankuat pada te.ndon yang teregang sebagian. Impuls kemudian berjalan di sepanjang serabut aferen menuju medula spinalis, kemudian bersinaps dengan neuron motorik, atau neuron kornu anterior. Sesudah bersinaps, impuls dihantarkan ke bawah melalui neuron motorik

menuju radiks anterior, kemudian diteruskan melalui saraf spinal dan saraf perifer. Sesudah melampaui batas neuromuskular, otot dirangsang untuk berkontraksi. Refleks tendon dalam (refleks regang otot) yang sering diperiksa adalah refleks biseps, refleks trisepsdan refleks brakioradialis, refleks patela, serta refleks Achilles. Refleks superfisial diperiksa dengan menggorews kulit dengan benda keras (misal, ujung palu atau aplikator) yang menyebabkan otot berko Refleks tersebut antara lain refleks abdominal kremaster, refleks plantar, dan refleks gluteal. Pemeriksaan refleks memberi informasi melalui fungsi lengkung refleks dan segmen medula spinalis tertentu. Refleks-refleks ini akan mengalami perubahan bila UMN dan LMN terserang penyakit. Paralisis neuron motorik atas disebabkan, terputusnya jaras motorik desendens pada satu sisi segmen medula spinalis. Segera setelah terja refleks tendon dalam akan tertekan untuk sementara waktu. Keadaan ini disebut arefleksia. Selain itu otot yang lumpuh akan lemas (flaksid). Beberaa mingggu atau bulan setelah lesi, refleks tendon dalam menjadi hiperaktif. Refleks superfisial hilang dan Babinski positif. Paralisis LMN disebabkan oleh destruksi motorik saraf perifer dan sel-sel kornu anterior. Bila terjadi paralisis LMN, otot-otot menjadi flaksid, hipotonus dan refleks tendon dalam hilang. Refleks plantar ditimbulkan dengan menggores permukaan lateral telapak kaki, dari tumit sampai ke bantalan kaki dan melengkung ke arah medial melintasi bantalan kaki. Respons normal terhadap rangsang ini adalah fleksi jari-jari kaki. Refleks abnormal yaitu bila dorsofleksi ibu jari kaki disertai jari-jari lainnya terbuka seperti kipas, disebut refleks Babinsky dan menunjukkan adanya penyakit UMN. Refleks ini ditemukan (1) Pada anak usia kurang tahun; (2) Selama periode tidur nyenyak, anestesi unum, dan depresi postiktal dan (3) Pada orang mabuk atau syok hipoglikemik sedang sampai berat.

DAFTAR PUSTAKA Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson : Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. Volume III. 2000. Jakarta : EGC. FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid II. 2005. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Price, Sylvia dan Lorraine, M, Wilson. Patofisiologi Konsep klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. 2006. Jakarta : EGC. Lauralee Sherwood. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta : EGC. Djoko, L, Listiono. Ilmu Bedah Saraf. Edisi III. 1998. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Sadler, T, W. Embriologi Kedokteran Langman. Edisi 7. 2000. Jakarta : EGC. Corwin, Elizabeth, J. Buku Saku Patofisiologi. 2001. Jakarta : EGC. Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf. Edisi III. 1998. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Philippe De Wals, Ph.D., Fassiatou Tairou, M.Sc., Margot I. Van Allen, M.D., Soo-Hong Uh, M.Sc. et al. Reduction in Neural-Tube Defects after Folic Acid Fortification in Canada. New England Journal of Medicine 2007;357:135-42. Joseph P. Bruner, MD, Noel Tulipan, MD, Ray L. Paschall, MD, et al. Fetal Surgery for Myelomeningocele and the Incidence of Shunt-Dependent Hydrocephalus. JAMA, November 17, 1999Vol 282, No. 19.

Anda mungkin juga menyukai