Anda di halaman 1dari 2

Malem Senin, Malam Bertafakkur Maulana Kurnia Putra

Kehidupan adalah barisan dari titik-titik kejadian yang membutuhkan penafsiran. Kehidupan menjadi referensi dan sumber inspirasi bagi manusia-manusia yang tetap berfikir. Kerja tafsir menjadi sebuah keharusan untuk membaca dan memberikan makna untuk setiap peristiwa yang terjadi. Iqra! Sungguh setiap kita adalah qari (pembaca) dari setiap teks dan konteks yang hadir dalam peristiwa-peristiwa hidup yang silih berganti. Proses sosial yang menjadi pengalaman hidup manusia seharusnya dapat menjadi penanda yang memiliki makna. Ya, peristiwa-peristiwa itu adalah kata-kata yang memiliki makna. Kata-kata tersebar dan membutuhkan pemaknaan. Kata-kata yang harus dibaca, dimaknai, diyakini, dan mulai dituliskan ulang dengan kecerdasan akal dan kemurnian hati. Malam Senin sebuah malam pengajian beberapa santri yang berusaha untuk tetap menghidupkan kerja membaca dan menulis dalam rutinitas yang mematikan akal, mirisnya, pun hati. Menulis dari hasil pembacaan akal dan hati dari setiap proses sosial yang dijalani, dimulai dari hal yang terdekat. Membaca dan menafsir foto, tanah, mall, sepatu, kasur, tubuh, kamar, dan lain-lain. Dari hal-hal kecil dan terdekat dengan diri santri menjadi banyak sekali referensi untuk menarasikan makna. Tuhan membiarkan para santri untuk tetap membaca dan menulis kata untuk sebuah tujuan, bukan material, tetapi lebih kepada kemauan untuk menjadi orang-orang yang berfikir, bertafakkur. Mentafakkuri ayat-ayat kauniyah, membaca dan memaknai konteks seperti Kuntowijoyo (2007) memberikan sebuah gambaran tentang kerja baca dan tafsir (metodologi) untuk mentafakkuri konteks-konteks sosial. Ayat-ayat kauniyah merupakan kata-kata tidak tertulis, mereka hidup dalam proses sosial dan sejarah yang membentuk biografi diri manusia. Tuhan memberikan pelajaran di dalamnya untuk dibaca. Pembacaan kata-kata yang tidak tertulis memberikan ruang gerak para Santri dalam penjara teks, bahkan keluar. Melihat keluar lebih luas memaknai lebih dalam ke hati. Padahal, di luar sana ada kultur membingkai yang menerima realitas sebagai suatu yang biasa, menjadi orang-orang Jabariyyah, menerima suatu apa adanya. Realitas sosial menjadi suatu yang biasa dan mudah berlalu tanpa adanya pemaknaan. Realitas atau pengalaman yang bermakna adalah memori tentang kepentingan diri. Dialektika antara materialism dan spiritualitas dalam hidup. Memori yang diingat adalah memori-memori dengan kenangan kepentingan, dan akan menghilang seperti air pada permukaan batu ketika terganti memori lain yang lebih baru. Komedi memori terbarukan.

Bukan hasrat menjadi seorang intelektual bagi para santri untuk melakukan pembacaan dan penulisan dari setiap peristiwa yang terjadi di sekitarnya, tapi lebih kepada memahami kewajiban untuk tetap belajar, belajar membaca dan menulis. Bukan sekedar buku dan pena. Kalaupun menjadi intelektual, hanyalah bonus untuk mereka. Al-Zastrouw Ng yang mengantari Muh. Zaenuddin (2004) menggambarkan intelektual (bertafakkur) dan kehidupan seperti akar dan air. Kehidupan adalah air yang mengalir yang membasahi, intelektual adalah akar. Sepotong akar tidak akan melewatkan air yang membasahinya, dan menjadi sumber hidup untuknya. Seorang yang bertafakkur tidak akan membiarkan peristiwa dalam hidup berlalu tanpa pembacaan dan pemaknaan. Santri Malem Senin melakukan itu. Perlahan, dokumen-dokumen pembacaan realitas sosial terangkum, tertuang dalam teks-teks di atas kertas fotokopian. Kertas fotokopian yang berisi tentang perlawanan-perlawanan para Santri pada pola pikir awam, kritis pada realitas moral, gangguan intelektualitas ala pendidikan kolonial, pelapukan kearifan lokal, atau sekedar menggugat pembacaan wacana, yang kesemuanya berangkat dari suatu yang dekat, kecil, yang terlalu sering terlupa. Malem Senin adalah malam bertafakkur, mengikat diri, akal, dan hati untuk memasuki ruang-ruang baru, ruang sekolah alam dan universitas kehidupan yang banyak memberi pelajaran. Sekolah yang bergelimang buku, realitas sosial, sastra, sejarah, dan religiusitas. Sekolah yang membiarkan manusia di dalamnya melukiskan apa yang dilihat, menafsir apa yang dibaca, dan memaknai apa yang dirasakan. Mengamati, membaca, mencari makna dari setiap peristiwa dan ihwal yang dekat dengan diri untuk direnungkan dan dituliskan dalam esai-esai reflektif sebagai buah fikiran yang memiliki makna oleh Santri Malem Senin. Merenung, bertafakkur, bahagia, duka, berbagi cerita, adalah kerja tafakkur Malem Senin, juga berbagi kripik singkong dan teh hangat sekedar menemani.

Anda mungkin juga menyukai