Anda di halaman 1dari 4

2012: Sebuah Oase Kemanusiaan, Semoga !!!

Euforia yang melanda masyarakat ketika pengantian tahun, berbagai ritual-ritual

terselenggarakan. Mulai dari perayaan kecil-kecilan sampai pada perayaan dengan dana yang melimpah seolah bangsa ini sudah begitu mapan dari berbagai segi. Perayaan sebenarnya tidak menjadi masalah ketika hal itu terjadi sewajarnya, tapi justru disparitas bermunculan ketika masyarakat kelas atas kekenyangan di tengah pergulatan kaum miskin bertarung dengan kondisi ekonomi yang memaksa. Hal itu kemudian bisa menjadi refleksi bagi kita semua, sudah seberapa bermanfaatkah kita bagi masyarakat lain. Jangan sampai pragmatis di tambah apatisme yang menjadi laku hidup kita sehari-hari. Seolah manusia lain adalah makhluk asing yang tidak memiliki relasi apapun dan mengiyakan konsep Hobbes bahwa manusia adalah serigala kepada manusia lain. Maka wajar kalau tema sentral kita menyambut 2012 adalah kesalehan social. Hal ini penting, karena kalau kita melihat peristiwa-peristiwa di sepanjang tahun 2011, seolah dahi kita berkerut mendengarkan tragedi-tragedi kemanusiaan yang terjadi, seolah kemanusiaan menjadi harga yang begitu murah di tengah manusia-manusia yang merasa sudah begitu manusiawi. Kasus korupsi yang menghasilkan kerugian Negara dengan implikasi pada masyarakat miskin yang termiskinkan, dan hanya di hibur dengan pidato-pidato kenegaraan yang berisi penuh kepalsuaan ibarat badut-badut politik yang terus menerus (ber)onani kekuasaan. Seolah kondisi ini ingin berucap bahwa Negara sesuai mandate konstitusi untuk mensejahterakan rakyat itu hanya mitos belaka, Negara hadir hanya untuk memperkaya sedikit orang dan memiskinkan selebihnya semoga ini hanya hipotesa belaka. Pembiaran dan keterusmenerusaan fenomena ini menjadi parasit yang terus menggangu cita-cita bangsa ini. Sakin luar biasanya tulisan ini tidak akan muat

menuliskan korupsi di Negara ini, bahkan bisa jadi mengalahkan banyaknya cendawan dimusim hujan. Belum lagi, kekerasan dengan berbagai alasan yang tentunya tidak di benarkan. Kaum minoritas di bangsa ini ibarat makhluk lemah yang hidup di sebuah rimbah yang begitu kejam, mereka terus menerus mengalami intimidasi, marjinalisasi, dan kapan-kapan saja mengalami perlakuan seolah mereka bukan manusia. Kasus klasik yang di alami masyarakat keturunan Tiong Hoa yang di kenal di zaman orde baru yang terus menerus di anak tirikan padahal mereka juga pribumi, mereka tidak memiliki hak politik, sering terjadi kekerasan massal yang melandanya, dan banyak lagi hal-hal miris lainya. Ekspoloitasi alam yang justru banyak terjadi di Kawasan Timur Indonesia, kebijakan tersebut justru menghadirkan kondisi yang paradoksial. Kawasan tersebut justru lebih banyak menproduksi masyarakat miskin yang ada di bangsa ini. Hal ini tentunya merupakan kondisi yang tidak begitu adil jika melihat kondisi Kawasan Indonesia Barat yang begitu elite, walau tentunya masih ada kemiskinan yang hadiri di wilayah ini. Perampokan hasil alam yang di lakukan oleh asing dengan legitimasi Negara selaku pemiliki kekuasaan tertinggi bangsa ini sebenarnya ibarat bom waktu yang sewaktu-waktu akan meledak. Kasus di akhir tahun 2011 misalnya yang terjadi di bumi papuam yang dengan kekuatan modal mampu menyewa preman berseragam lengkap meghadapi militansi masyarakat papua menghadapi ketidakadilan, kasus Mesuji yang melibatkan perang saudara dengan provokasi asing mengakibatkan jatuhnya korban, dan kasus terakhir di Bima yang juga menelan korban dari pihak pribumi sendiri, secara konstitusi tentunya peristiwa ini pastinya menyalahi cita-cita awal bangsa ini. Negara yang semestinya hadir sebagai lokomotif utama dalam pembentukan masyarakat yang makmur dan berkeadilan, justru muncul sebagai alat kekerasan yang begitu kuat untuk membelah mereka yang memiliki

Yang terakhir kekerasan yang melibatkan agama yang begitu marak terjadi di tahun 2011. Diskursus Franz Magnis1 yang mencoba melihat agama di era globalisasi ini secara hakiki sedang berada dalam tantangan, Agama di satu pihak berada di bawah tekanan untuk membuktikan dirinya sebagai kekuatan yang maju dan bukan mundur, progresif dan bukan reaksioner, humanis bukan primordial, positif bukan tendensi kebencian dan sentimen, terbuka bukan eksklusif, rendah hati bukan penuh klaim. Di pihak lain, agama harus membuktikan relevansi untuk membantu manusia memecahkan masalah-masalahnya dengan penuh etika kasih sayang yang tentunya berada dalam bingkai kemanusiaan. Agama hari ini harus menjadi sebuah nilai berkehidupan, bukan hanya sebatas ajaran doctrinal semata, Tuhan dan manusia harus di jadikan sebagai subjek teologis. Karena relasi horizontal manusia kepada Tuhannya memiliki determinan yang tinggi dengan relasi vertical manusia dengan sesama manusia. Hal yang cukup memiluhkan ketika ajaran-ajaran agama yang di klaim tidak mengikuti mainstream agama tertentu harus mendapat perlaku kasar oleh kelompokkelompok yang menyatakan diri membela kebenaran meneriakkan kalimat suci sambil memegang pentungan, yang siap menghajar masayarakat yang di nyatakan sesat oleh mereka. Nilai humanitas akan tereduksi dengan perlakuaan fanatisme dan fatalisme oleh sebagian penganut agama. Premanisme seperti itu yang sebenarnya menyimpang ketika agama di tafsirkan sebagai ketiadakkacauan justru orang yang mengaku mengagungkan agama Tuhan yang justru membuat kekacauan tersebut. Refleksi beberapa peristiwa yang mengikis nilai-nilai kemanusiaan kita semestinya harus di jadikan sebagai pijakan baru menyambut 2012, sebagaimana dalam teks suci dinyatakan bahwa

Lihat Kata Pengantar Franz Magnis-Suseno,SJ. Dalam buku Al Andang Agama yang berpijak dan berpihak terbitan Kanisius

barang siapa yang mencintai yang ada di bumi maka akan di cintai oleh yang ada di langit. Semoga oase kemanusiaan bisa bermunculan di tahun 2012 dan seterusnya, mengingat gesekangesekan kehidupan akan terus hadir selama manusia itu hadir, maka di butuhkan sebuah kesadaran tinggi akan keindahnya mencintai kemanusiaan sebagai habitus diri. SEMOGA !!!

Anda mungkin juga menyukai