Anda di halaman 1dari 20

GOOD CORPORATE GOVERNANCE PERBANKAN SYARIAH

Penulis : Yeni Saptia

Abstrak

Good Corporate Governance on Islamic banking is one of the important pillars that must be created to overcome the distrust among stakeholders. This paper aims at describing the concept of corporate governance in Islamic perspective and its application to Islamic banking. The method of analysis in this paper uses descriptive and qualitative analysis through the study of some literatures related to concepts, theoreticals and frameworks of corporate governance between Western models (Anglo-Saxon Model and European Model) and Islamic model. The basic concept that is used to formulate the corporate governance in Islamic perspective is Tawhid and based on the paradigm of stakeholding. The Corporate Governance in Islamic approach is more oriented in the value of honesty and fairness to all stakeholders. The concept of Islamic Corporate Governance emphasizes on three main aspects, namely, accountability, transparency and trust. Related to accountability, the roles of the Sharia Supervisory Board (SSB) and the internal control of banking system are necessary to ensure that Islamic banking practices remain based on Islamic principles. Transparency in Islamic banking is a form of information to public, about the banks financial conditions and performances, business activities, risk profiles, and risk management practiced accurately and timely. In addition, between the islamic bank and the customer must have a high sense of trust.

KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DALAM PERSPEKTIF GOOD GOVERNANCE : ANALISIS EMPIRIS DI INDONESIA
Penulis : Panky Tri Febiyansah

Abstrak

This paper explores linkages between governance and poverty in Indonesia for the period 2001 to 2008. The dimensions of poverty reduction policy, which include poverty, inequality, and growth, demonstrate that the poor do not benefit proportionately from economic growth. It also shows clearly comparing with inequality, in which the results of the study shown that a strong link exists between governance indicators and poverty in the country. Econometric analysis shows that there is a strong relationship between good governance and poverty reduction. It is concluded that the improvement of voice and accountability, political stability, government effectiveness, regulatory quality, and rule of law can control corruption and the pro-poor policies, which ultimately reduce poverty in the long run. Facing the challenging of good governance toward poverty reduction, Indonesia needs to formulate and implement effectively its governance policies to encourage the good governance, including both of region and time dimensions.

Evaluasi Kemiskinan dan Pengangguran di Indonesia: Benang Kusut Masalah Kemiskinan dan Pengangguran

Penulis : Team Press Release PENDAHULUAN

Persistensi tingkat kemiskinan di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir berkisar antara 16 V 18 persen memberikan sinyalemen bahwa ada sesuatu yang perlu dicermati dan dikaji ulang atas strategi, kebijakan, dan program pengentasan kemiskinan yang dijalankan oleh pemerintah yang selama ini lebih terfokus pada premis income sebagai landasan bagi strategi, kebijakan, dan program dalam memberantas kemiskinan di negeri ini. Dilihat dari sisi alokasi anggaran yang ditujukan untuk pengentasan kemiskinan, pemerintah tampaknya sudah memiliki semangat yang positif untuk memerangi kemisikinan. Sejak tahun 2004, alokasi anggaran untuk pengurangan terus meningkat dari Rp 18 triliun menjadi Rp 51 triliun di tahun 2007 ini. Anggaran pengentasan kemiskinan ini disalurkan melalui beberapa program seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Raskin, bantuan sekolah/pendidikan, bantuan kesehatan gratis, pembangunan perumahan rakyat, dan pemberian kredit mikro. Semua program tersebut umumnya bertitik tolak dari paradigma pendapatan (income) sebagai patokan dalam memberantas kemiskinan. Namun dalam realitasnya, tingkat kemiskinan dan pengangguran belum menunjukkan penurunan yang cukup signifikan. Jika melihat kondisi perekonomian Indonesia yang secara makro menujukkan performa yang baik, namun di sisi lain realitas ketimpangan dan kemiskinan yang masih menyelimuti sebagian besar rakyat Indonesia pertumbuhan ekonomi yang dicapai belum dapat mengurangi kemiskinan karena distribusi pendapatan belum merata. Persoalan yang perlu dicermati lebih jauh adalah bagaimana mewujudkan keadilan bagi segenap rakyat dengan membuka katup-katup pembatas saluran distribusi pendapatan dan peluang/kesempatan ekonomi dari prestasi pertumbuhan ekonomi yang ada. Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Kemiskinan dan Pengangguran Ada beberapa faktor yang perlu menjadi catatan dalam kaitannya dengan hal tersebut, Pertama, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan ditopang oleh sektor-sektor yang memiliki elastisitas lapangan kerja rendah, tidak akan menyelesaikan masalah kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi seperti ini umumnya lebih memberikan keberpihakan kepada pengembangan sektor sektor tertentu sehingga mempersempit peluang berkembangnya sektor lain, yang pada akhirnya akan berakibat pada berkurangnya jenis lapangan kerja yang tersedia. Kedua, pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun ditopang oleh keberadaan industri milik negara yang memperoleh sejumlah proteksi tertentu juga tidak menjamin akan dapat menyelesaikan kemiskinan. Ketiga, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan ditopang oleh industri canggih juga berpotensi untuk memperparah masalah kemiskinan dan pengangguran jika struktur tenaga kerja yang ada didominasi oleh tenaga kerje berkemampuan rendah (low skill labour). Keempat, pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan tetapi dengan ditunjang oleh kekuatan ekonomi yang bersifat terkonsentrasi juga tidak akan sanggup mengatasi masalah kemiskinan (Rajasa, 2007). Di samping itu, setidaknya beberapa penyebab masih tingginya kemiskinan dan pengangguran di Indonesia adalah: X Iklim investasi yang belum kondusif (kepastian hukum dan kelambanan birokrasi) X Investasi pemerintah yang belum optimal dalam penyediaan fasilitas publik X Faktor eksternal ekonomi global (melambatnya laju pertumbuhan ekonomi global dan melambungnya harga minyak). Penyebab Kemiskinan Berbagai kelompok orang yang tergolong miskin menjadi miskin karena berbagai penyebab dan alasan yang berbeda. Devereux (2002) membagi determinan penyebab kemiskinan ke dalam tiga kelompok yakni, pertama, produktivitas rendah ketidakcukupan pendapatan atas upaya kerja dan minimnya kepemilikan dan utilisasi input-input produktif; kedua, kerentanan (vulnerability) V resiko dan konsekuensi atas turunnya pendapatan dan konsumsi; dan ketiga, ketergantungan (dependency) -

ketidakmampuan untuk menghasilkan pendapatan akibat ketidakmampuan untuk bekerja. Kemiskinan yang disebabkan oleh produktivitas rendah dapat diatasi dengan kebijakan intervensi yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan dalam bentuk program peningkatan produktivitas, sementara itu, kerapuhan dalam pendapatan kaum miskin dapat diatasi dengan kebijakan jaringan pengaman sosial jangka pendek baik dalam bentuk tunai atau bahan makanan, upaya perbaikan sistem pendapatan, atau penciptaan kesempatan dalam memperoleh pendapatan. Terakhir, kemiskinan yang disebabkan oleh ketergantungan akibat ketidakmampuan fisik, mental, usia lanjut, kebijakan yang tepat adalah dengan membangun sistem kesejahteraan sosial (social welfare) antara lain melalui program semacam bantuan tunai langsung. Program pengentasan yang dijalankan oleh pemerintah selama ini cenderung masih menggeneralisir persoalan kemiskinan yang dihadapi oleh sebagian besar warga bangsa ini. Jika melihat varian penyebab kemiskinan sebagaimana disebut di atas, pemerintah seyogyanya memetakan terlebih dahulu persoalan kemiskinan untuk kemudian melakukan kebijakan intervensi dalam mengentaskan kemiskinan berdasarkan karakteristik penyebab kemiskinan yang ada. Secara umum, problematika kemiskinan di Indonesia berakar dari minimnya akses dan kesempatan untuk memperoleh kesempatan kerja. Jika dirunut lebih jauh lagi, keterbatasan akses tersebut disebabkan oleh akses terhadap pendidikan yang semakin sempit. Konsekuensinya, kemampuan dan keterampilan yang mereka miliki sangat rendah. Posisi tawar mereka pun akhirnya rendah di tengah tuntutan pasar kerja yang semakin kompetitif. Oleh karenanya, benar kata A.K. Sen, bahwa orang menjadi miskin bukan hanya karena mereka tidak memiliki sesuatu tetapi juga karena mereka tidak dapat melakukan sesuatu akibat keterbatasan akses. Pengentasan Kemiskinan Berbasis Aset Pendekatan aset ini mendorong kita untuk melihat bahwa minimnya aset produktif yang dimiliki kaum miskin membuat mereka sulit untuk keluar dari jeratan kemiskinan. Lebih jauh, pendekatan ini akan memungkinkan suatu terobosan penting dalam melahirkan kebijakan-kebijakan dalam memerangi kemiskinan. Aset di sini pun tidak hanya asetaset yang bersifat finansial namun juga meliputi modal insani (human capital), modal sosial, dan aset-aset fisik lainnya yang dapat diakumulasi, disimpan, dan diuangkan pada saat-saat yang diperlukan. Strategi baru ini bertujuan untuk benar-benar mengentaskan kaum miskin lepas dari jeratan kemiskinan dan bukan sekedar mengurangi kesulitan-kesulitan yang dihadapi kaum miskin yang sifatnya ad hoc dan tak berkesinambungan. Lebih jauh, perspektif ini sangat berguna ketika melihat mereka yang berada pada resiko kemiskinan persisten dimana bantuan tunai tidak dapat mengatasi hambatan-hambatan struktural yang selama ini menghambat mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi yang pada akhirnya juga merupakan hambatan kunci terhadap kemakmuran. Program-program membangun aset baik di negara-negara berkembang maupun maju adalah upaya untuk menstimulasi semakimal mungkin kaum miskin untuk menghasilkan pendapatan dari utilisasi aset produktif dan bisa menabung untuk mengantisipasi keadaan-keadaan tak terduga (precautionary saving) serta mulai membiasakan untuk melakukan investasi yang bertujuan untuk menopang ketidakstabilan pendapatan dan meningkatkan kemampuan mereka untuk keluar dari kubangan kemiskinan. Sejumlah program microfinance di negara-negara berkembang yang berfokus untuk mendanai kegiatan-kegiatan kewirausahaan dimana pemberian kredit didasarkan atas konsistensi kaum miskin yang telah terbukti bahwa pada dasarnya kaum miskin pun memiliki ketaatan untuk menabung.

Mengatasi Pengangguran Terkait dengan penciptaan lapangan kerja guna mengurangi pengangguran, perlu diciptakan suasana yang kondusif demi tersemainya semangat kewirausahaan di kalangan warga bangsa. Salah satu problematika yang masih menggelayuti adalah sulitnya usaha kecil dan menengah serta sektor informal yang banyak menyerap tenaga kerja. Selama ini, hambatan struktural yang mengemuka adalah rigiditas aturan formalisasi yang mewajibkan mereka untuk memenuhi persyaratan legal formal. Konsekuensinya, mereka banyak bergerak di luar pasar yang memerlukan persyaratan legal formal. Seperti kata Hernando de Soto, kaum miskin sebenarnya memiliki elan untuk menstranformasikan capital ke dalam bentuk usaha-usaha produktif. Hal ini terbukti bahwa sektor-sektor ekonomi informal yang dijalankan oleh kalangan masyarakat bawah justru dapat bertahan dari hantaman krisis yang mendera sejak 1997 yang lalu. Pemerintah sudah seharusnya bisa memfasilitasi mereka dengan memberikan kemudahan dan akses untuk berusaha. Dalam hal ini ada baiknya pemerintah sesegera mungkin membantu para pegiat ekonomi lemah dan kaum miskin ini dengan memberikan kemudahan-kemudahan seperti dalam aspek hukum (legal) dan jaminan akan property rights seperti yang dianjurkan oleh Hernando de Soto (2000) dalam bukunya yang legendaris The Mystery of Capital Kemiskinan dan Akses Pendidikan Potret kemiskinan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari masalah masih rendahnya tingkat pendidikan para pekerja. Data statistik menunjukkan bahwa jumlah pekerja usia 15 tahun ke atas ternyata didominasi oleh pekerja yang tidak sekolah, tidak tamat SD, lulusan SD dan lulusan SMP. Jumlah mereka ini sekitar 75 % dari total pekerja usia 15 tahun ke atas di Indonesia. Mayoritas dari mereka ini adalah pekerja di sektor pertanian yang memberikan upah sangat rendah. Uniknya, jumlah pekerja berpendidikan rendah ini tidak banyak berubah dari semenjak sebelum krisis ekonomi, masa krisis ekonomi dan hingga kini. Fenomena ini jelas mengindikasikan bahwa pekerja yang berada dalam kelompok ini sangat rentan untuk terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang berkelanjutan. Lebih jauh dari itu, bukan tidak mungkin data ini mengindikasikan bahwa penduduk miskin saat ini adalah berasal dari keturunan yang sama dari penduduk miskin sebelumnya. Fenomena ini jelas sangat mengkhawatirkan untuk kelanjutan proses pembangunan ke depan. Dalam konteks makro, rendahnya level pendidikan para pekerja akan menyebabkan rendahnya produktivitas dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang rendah dan lambat. Jika hal ini terjadi, penyerapan tenaga kerja akan semakin berkurang dan perbaikan kualitas hidup penduduk miskin akan terus terhambat. Potret suram angkatan kerja berpendidikan rendah ini juga tercermin dalam statistik pengangguran. Dari jumlah total pengangguran terbuka tahun 2007 (Pebruari) yang sekitar 10,5 juta jiwa, ternyata 57,5 % nya berasal dari pengangguran dengan pendidikan tidak tamat SD, tamat SD dan SMP. Di sisi lain, data ini juga mengindikasikan bahwa angkatan kerja dengan pendidikan lebih tinggi tidak berarti mendapatkan jaminan penuh akan mendapatkan pekerjaan. Sekitar 42,5 % dari total penganggur ini adalah angkatan kerja yang berpendidikan SMA ke atas. Susahnya mereka mendapat pekerjaan ini salah satunya disebabkan oleh tidak siapnya mereka dalam mengaplikasikan ilmunya di dunia kerja, sehingga ada gap antara kualifikasi yang diminta pemberi kerja dengan mereka sebagai pencari kerja. Hal ini diperparah dengan rendahnya jiwa enterpreneurship dalam diri angkatan kerja lulusan SMA, Diploma dan Universitas. Tentu ini bukan kesalahan mereka semata, pemerintah dalam hal ini departemen pendidikan nasional belum mampu menyusun kurikulum sekolah maupun perguruan tinggi yang bisa mengarahkan mereka untuk menjadi enterpreuneur ketika

kelak lulus dari bangku kuliah. Jadi intinya, perlu ada reorientasi pendidikan, khususnya di perguruan tinggi untuk lebih mengarah pada penciptaan lulusan yang siap terjun menjadi enterpreneur. Pola pengembangan pendidikan tinggi yang berorientasi dalam menciptakan enterpreneur ini akan berjalan lancar jika dikoordinasikan dengan lembaga-lembaga pemerintah lainnya, khususnya yang menangani masalah kebijakan moneter dan perbankan. Lembaga pemerintah yang bergerak dalam dua bidang ini harus memberikan akses kredit yang cukup kepada para lulusan SMA dan perguruan tinggi yang telah dididik dalam pola enterpreneur education ini, misalnya dengan meluncurkan young enterpreneur credit program. Lebih jauh dari itu, pemerintah melalui bankbank BUMN bisa membentuk suatu lembaga keuangan khusus yang memang diarahkan untuk mendanai bisnis yang dirintis oleh para enterpreneur muda ini. Perbaikan dan peningkatan akses pendidikan secara gratis adalah salah satu kunci mengatasi masalah rumit pendidikan dan kemiskinan ini. Mengapa pendidikan ini penting untuk mengatasi kemiskinan? Mengutip hasil penelitian Denison (1962) dan Solow (1957), Todaro menyebutkan bahwa sumber utama dari pertumbuhan ekonomi dan kemajuan negara-negara maju saat ini bukanlah physical capital, melainkan human capital. Rekomendasi Ke Depan Kebijakan yang seyogyanya ditempuh oleh pemerintah untuk mengurai problematika kemiskinan ini antara lain dengan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas dengan landasan investasi baik asing maupun domestik. Dalam kaitannya dengan investasi sebagai salah satu prasyarat pendorong pertumbuhan ekonomi, pemantapan kemandirian potensi ekonomi lokal perlu diperkuat mengingat situasi ekonomi global yang tak menentu. Hal ini untuk mengurangi ketergantungan akan investasi asing yang belum tentu akan berdampak positif bagi penciptaan lapangan kerja baru. Di sisi lain, investasi dan belanja pemerintah perlu lebih diarahkan kepada pembangunan infrastruktur terutama di pedesaan untuk mendorong dan memfasilitasi kegiatan ekonomi masyarakat. Keberpihakan kepada rakyat perlu dipertegas dengan mengurangi rigiditas pendistribusian anggaran dan efisiensi anggaran untuk lebih ditujukan kepada proyek yang mampu memberdayakan masyarakat. Perbaikan dan peningkatan akses pendidikan secara gratis adalah salah satu kunci mengatasi masalah rumit pendidikan dan kemiskinan ini. Mengapa pendidikan ini penting untuk mengatasi kemiskinan? Mengutip hasil penelitian Denison (1962) dan Solow (1957), Todaro menyebutkan bahwa sumber utama dari pertumbuhan ekonomi dan kemajuan negara-negara maju saat ini bukanlah physical capital, melainkan human capital. Oleh karenanya, komitmen pemerintah yang benar-benar nyata sangat ditunggu. Selain akses pendidikan yang harus terbuka lebar, orientasi pendidikan pun harus diarahkan kepada penciptaan lulusan sekolah yang mampu menjadi wirausaha yang pada gilirannya akan menciptakan lapangan kerja, bukan hanya sekedar pencari kerja. Pemerintah pun perlu memberikan dukungan dan penyederhanaan aturan dalam mendorong tumbuhnya wirausaha-wirausaha baru. Ke depan, kiranya upaya-upaya untuk memerangi kemiskinan lebih difokuskan ke arah pengembangan aset ekonomi produktif bagi kaum miskin. Hal ini bisa dilakukan dengan membantu kaum miskin yang memiliki usaha kecil dan semangat kewirausahaan dengan bantuan permodalan, pemberian kepastian hukum atas lahan yang dimiliki petani gurem, fasilitasi PKL tanpa mengenyampingkan habitat usaha dan prospek pasar atas barang dagangan mereka.

Akhirnya Pemerintah dan DPR diharapkan memiliki visi yang sama dalam mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran dengan mengalokasikan anggaran untuk membuat kebijakan mengoptimalkan modal kerja bagi masyarakat miskin yang berdampak jangka panjang, dukungan terhadap infrastruktur di pedesaan. Pemerintah pusat dan peran pemerintah daerah sangat dimungkinkan untuk memfasilitasi program ini.

PUBLIKASI

MENATA MASA DEPAN PEREKONOMIAN INDONESIA PASCA KRISIS: PERSPEKTIF EKONOMI POLITIK ISLAM
Penulis : Mahmud Thoha

Pendahuluan Segudang prestasi pembangunan ekonomi Orde Baru seakan lenyap tersapu bersih oleh badai krisis ekonomi berkepanjangan sejak medio 1997 hingga 2005. Prestasi Orde Baru yang patut dicatat diantaranya ialah pertumbuhan ekonomi tinggi, swasembada beras, penurunan jumlah penduduk miskin secara signifikan, inflasi yang terkendali, stabilitas rupiah terhadap valuta asing, pendapatan per kapita di atas US$1000 sehingga Indonesia meningkat peringkatnya dari negara miskin menjadi negara berpenghasilan menengah bawah, kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDB di atas 25 persen sehingga Indonesia hampir mendekati klasifikasi negara industri baru, kontribusi ekspor non-migas dalam perolehan devisa telah melampaui ekspor migas sehingga ketergantungan pada ekspor migas semakin dapat dikurangi. Sederetan pencapaian prestasi ekonomi tersebut menjadi luluh lantak oleh badai krisis ekonomi. Jumlah penduduk miskin meningkat secara signifikan, inflasi di atas dua digit lagi, pasokan sembilan bahan pokok tersendat, kurs rupiah terhadap valuta asing anjlok, pendapatan perkapita turun menjadi US$600, utang luar negeri menggunung, perbankan nasional nyaris collaps, sektor industri banyak yang gulung tikar, PHK dan pengangguran merajalela, penanaman modal asing tak kunjung datang. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, makalah singkat ini akan mencoba memahami sebabsebab terjadinya krisis ekonomi berkepanjangan di Indonesia, kemudian memberikan sumbangsih pemikiran dalam penataan kembali struktur bangunan perekonomian nasional, terutama aspek moneter dan kelembagaan keuangan dan perbankan serta kelembagaan politik ketatanegaraan, dari perspektif ekonomi politik Islam. Mengapa Terjadi Krisis Ekonomi? Krisis ekonomi di Indonesia hampir tak pernah terbayangkan bakal terjadi oleh para ekonom, bahkan oleh para ekonom kelas dunia pada lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan World Bank. Kisah sukses empat negara industri baru Asia yakni Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong dan Singapura telah menyilaukan mata para ekonom mainstream neo-klasik sehingga tak mampu lagi memperkirakan perkembangan ekonomi negara-negara Asia Tenggara secara tepat karena yang diprediksikan bakal terjadi adalah Indonesia dan beberapa negara Asia

Tenggara seperti Malaysia, Philipina dan Thailand segera menyusul menjadi negara industri baru di Asia Tenggara. Ketidakmampuan para ekonom untuk memprediksikan bakal terjadinya krisis dalam perekonomian Indonesia dapat dipahami mengingat bahwa beberapa indikator utama ekonomi makro atau fundamental ekonomi Indonesia saat itu memang cukup kuat. Misalnya, cadangan devisa cukup untuk membiayai kebutuhan impor selama 6 (enam) bulan, inflasi di bawah dua digit, pertumbuhan ekonomi di atas 7 % dan seterusnya. Kalau fundamental ekonomi cukup kuat, lalu mengapa terjadi krisis ekonomi? Ada beberapa faktor penyebab terjadinya krisis ekonomi berkepanjangan di Indonesia. Pertama dan terutama adalah krisis kepercayaan. Kedua, kekurangtepatan dalam mendiagnosa dan memberikan resep penyembuhan/penanggulangan krisis. Ketiga, akumulasi kekurangtepatan kebijakan ekonomi. Keempat, faktor internasionalisasi pasar modal yang berkarakter spekulatif dan tidak stabil. Kelima Kelembagaan ekonomi terutama kelembagaan perbankan yang kurang kuat. Kelima faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, krisis ekonomi bukan semata-mata disebabkan oleh faktor ekonomi atau faktor moneter melainkan juga atau bahkan lebih merupakan faktor krisis kepercayaan. Sewaktu kurs rupiah terus merosot, kemudian Presiden Soeharto mencanangkan kemungkinan penerapan Currency Board System (CBS) dalam sistem moneter Indonesia, sebagaimana diterapkan di Hong Kong, maka reaksi pasar cenderung positif dalam bentuk penguatan nilai rupiah terhadap valuta asing. Hal itu menunjukkan bahwa kemerosotan nilai rupiah bukan semata-mata disebabkan oleh faktor kelangkaan devisa melainkan karena ketidakpastian pasar yang diikuti dengan tindakan spekulatif para pelaku pasar yang justru memperkeruh keadaan. Tindakan spekulatif ini ternyata dapat dihentikan dengan pencanangan kemungkinan penerapan Currency Board System. Rencana ini gagal dilaksanakan karena tidak termasuk dalam skema butir-butir Letter of Intens (LoI) yang telah disepakati IMF dan Pemerintah R.I. Rencana ini juga ditentang oleh Frans Seda, mantan Menteri Keuangan Orde Baru, dengan alasan bahwa tidak ada lembaga yang menjamin sistem ini. Artinya, bila CBS ini diterapkan kemudian gagal, siapa yang bertanggung jawab? Sebaliknya bila pemerintah menerapkan secara konsisten seluruh butir LoI maka IMF adalah lembaga yang bertanggung jawab atas kesuksesan atau kegagalannya. Dalam hal ini, menurut Frans Seda, Indonesia telah mempunyai pengalaman yang baik dengan pihak IMF. Ketika wacana penerapan CBS ini terus berkembang, Anwar Nasution selaku ahli ekonomi moneter Indonesia juga menentang dengan alasan bahwa CBS hanya cocok untuk negara kecil semacam Hong Kong. Selain itu bila pemerintah RI menolak uluran tangan IMF, kemungkinan besar negeri ini akan jatuh menjadi negara miskin. Apapun argumentasi yang dikemukakan oleh para penentang CBS, fakta membuktikan bahwa pencanangan sistem ini telah mampu menghentikan ketidakpastian pasar dan mengurangi ruang gerak spekulan. Masalahnya mengapa sistem moneter alternatif ini tidak jadi diterapkan ialah karena faktor kekurangpercayaan diri pada keampuhan sistem ini. Penyebab krisis yang kedua ialah kekurangtepatan dalam mendiagnosa dan merumuskan resep pemulihan krisis ekonomi. Bagi IMF, penyebab krisis ekonomi Indonesia ialah semua kebijakan ekonomi yang mendistorsi atau tidak pro-pasar seperti subsidi BBM dan listrik, tata niaga jeruk dan cengkeh, sistem perbankan yang kurang sehat, tata niaga dan monopoli BULOG, proyek-proyek industri strategis seperti IPTN, program Mobil Nasional (Mobnas), terlalu banyaknya BUMN dan lain-lain. Oleh karena itu langkah-langkah kebijakan ekonomi baik fiskal, moneter, perdagangan, industri dan kelembagaan semuanya diarahkan pada

konsep-konsep ekonomi neo-klasik yang sangat pro-liberalisasi pasar. Anehnya, meskipun seluruh butir-butir pil pahit LoI telah ditelan bulat-bulat, krisis ekonomi tak kunjung usai. Padahal biaya yang harus ditanggung oleh pemerintah untuk mendukung program pemulihan ekonomi ala IMF, terutama untuk program penjaminan simpanan nasabah pada perbankan nasional sedemikian besarnya yakni sekitar Rp 650 triliun. Belum lagi utang luar negeri baru ke IMF bertambah lebih dari US$40 miliar. Dengan demikian pemerintah telah membayar mahal dokter ekonomi IMF yang malpraktek. Mengapa IMF tidak bertanggungjawab atas kegiatan malpraktek dalam menangani krisis ekonomi di Indonesia sebagaimana dikatakan oleh Frans Seda? Apa sebenarnya akar permasalahan krisis ekonomi di Indonesia dan di negaranegara Asia lainnya? Dalam hal ini Mahathir Mohammad mensinyalir bahwa akar permasalahannya terletak pada internasionalisasi pasar modal dimana penggunaan mata uang domestik (ringgit) untuk transaksi keuangan internasional melalui pasar modal, ternyata banyak disalahgunakan untuk kegiatan spekulatif. Internasionalisasi pasar modal sangat rawan terhadap kegiatan spekulatif karena investasi portofolio dalam pasar modal bersifat jangka pendek dan sangat rentan terhadap isu-isu sosial, politik dan ekonomi. Dengan menghentikan fungsi ringgit untuk transaksi keuangan internasional maka berhenti pula kegiatan spekulatif perdagangan mata uang domestik. Itulah yang dilakukan Mahathir Mohammad untuk menangani krisis moneter di negaranya. Hasilnya sangat mujarab. Perekonomian Malaysia pulih kembali dari krisis moneter dalam waktu relatif singkat tanpa harus membebani pemerintah dengan dana recovery perbankan dan utang luar negeri baru. Dengan demikian penyebab penyakit krisis moneter Malaysia dan beberapa negara di Asia terutama di Indonesia sebenarnya adalah begitu sederhana dan resep untuk mengobatinyapun begitu sederhana, bukan seperti penyakit gawat yang disebabkan oleh kanker ganas dan harus diobati dengan penyinaran chemotheraphy, suatu ciri khas cara pengobatan Barat. Penyebab krisis ekonomi yang ketiga adalah akumulasi kekurangtepatan dengan kebijakan ekonomi. Deregulasi perbankan 1983 dan liberalisasi perbankan 1988 telah bertanggungjawab atas terjadinya kenaikan suku bunga pinjaman di atas 2 digit. Akibatnya banyak sektor usaha yang meminjam dana valuta asing untuk membiayai bisnisnya semata-mata karena bunganya lebih murah dibandingkan dengan pinjaman rupiah dari perbankan nasional. Akibatnya utang luar negeri sektor swasta mulai membengkak, apalagi sejak dikeluarkan Keppres No: 39/1991 yang memberikan keleluasaan kepada sektor swasta untuk meminjam dana dari lembaga keuangan internasional. Pembengkakan utang berjangka pendek yang segera jatuh tempo, berakibat pada tekanan terhadap permintaan valuta asing, yang selanjutnya berakibat pada semakin lemahnya nilai tukar rupiah. Deregulasi dan liberalisasi sektor perbankan nasional dan liberalisasi akses terhadap lembaga keuangan internasional, sayangnya kurang diimbangi dengan penguatan aspek kelembagaannya. Sebagai contoh, hampir semua perbankan melanggar ketentuan Legal Lending Limit (L3). Selain itu sektor swasta tak pernah melaporkan jumlah utangnya ke Bank Indonesia dan Departemen Keuangan sebagaimana disyaratkan dalam Keppres No: 39/1991 sehingga pemerintahpun tak tahu berapa jumlah utang swasta kepada lembaga keuangan internasional sewaktu terjadi krisis ekonomi. Penataan Kembali Perekonomian Indonesia: Perspektif Ekonomi Politik Islam Bila disadari bahwa salah satu sebab utama terjadinya krisis ekonomi adalah karena tingginya suku bunga pinjaman dan membengkaknya utang luar negeri sebagai konsekuensi dari liberalisasi kebijakan moneter dan keuangan internasional

maka secara prinsipiil, ajaran Islam sedari dulu sudah melarang riba, usury, atau bunga dalam transaksi bisnis. Sebagai alternatif, Islam menawarkan konsep musyarakah atau profit-loss sharing, mudharabah atau profit-sharing, murabahah atau cost-plus margin, baibitsamanajil, qardhul hasan atau pinjaman kebajikan tanpa imbalan apapun kecuali pengembalian pokok pinjaman. Secara bertahap perbankan nasional harus dibebaskan dari unsur bunga sehingga investor lebih terkonsentrasi pada pengembangan usaha yang menguntungkan tanpa harus memikirkan pengembalian beban bunga pinjaman. Kegiatan bisnis berdasarkan prinsip partnership atau kemitraan dan participatory secara luas harus digalakkan di segala lini. Dalam hal berutang, baik pada tataran individual, perusahaan maupun pemerintahan, meskipun ajaran Islam pada prinsipnya tidak melarang utang dan juga tidak menganjurkannya, tetapi sebaiknya dihindarkan. Sebagai alternatif, ajaran Islam, menganjurkan pengubahan status utang-piutang menjadi kemitraan bisnis non-magrib yakni non-maisyir, non gharar, dan non-ribawi. Salah satu keunggulan sistem perbankan tanpa bunga ialah adanya dorongan yang kuat bagi pihak perbankan untuk menyalurkan seluruh dana pihak ketiga pada kegiatan sektor riil, karena kelebihan likuiditas tidak dibenarkan untuk ditanam dalam bentuk sertifikat finansial berbasis bunga seperti SBI, sebagaimana terjadi pada perbankan konvensional. Indikasinya sangat jelas bahwa finance to deposit ratio atau FDR perbankan syariah selalu berkisar pada angka 100, sedangkan loan to deposit ratio atau LDR perbankan konvensional berada pada kisaran 70. Ini berarti bahwa perbankan syariah selalu bisa menyalurkan kembali dana pihak ketiga pada sektor ekonomi produktif atau sektor riil sedangkan perbankan konvensional hanya mampu menyalurkan 70 persennya saja. Secara kualitatif perbankan syariah lebih berdampak positif pada pengembangan sektor riil, yang pada gilirannya akan berdampak positif pada penciptaan kesempatan kerja dan pengentasan kemiskinan serta pemberdayaan usaha-usaha skala mikro, kecil dan menengah, bahkan juga skala besar. Keunggulan lainnya dari perbankan syariah ialah terjaminnya penyaluran dana pihak ketiga pada sektor-sektor bisnis yang benar-benar halal, dan terhindar dari kegiatan-kegiatan ekonomi yang haram, subhat atau abu-abu, spekulatif atau maisyir, dan ketidakpastian atau gharar. Dengan demikian kegiatan ekonomi dan perbankan syariah membuka peluang yang seluas-luasnya bagi semua pihak yang terlibat untuk menjadi manusia yang sholeh secara religi maupun sosial, serta sahih dari segi ibadah maupun muamalah. Dalam rangka pemberdayaan ekonomi skala mikro, dewasa ini telah beroperasi sekitar 3.037 unit Baitulmal wat Tamwil (BMT) atau bank dan lembaga keuangan kikro syariah. Hasil penelitian P2E-LIPI menunjukkan bahwa lembaga ekonomi mikro syariah ini mempunyai kinerja yang baik, ditinjau dari aspek kelembagaan maupun perannya dalam memberdayakan usaha skala mikro. Begitu optimisnya sehingga PINBUK selaku institusi think tank BMT mentargetkan berdirinya 10.000 unit BMT pada tahun 2010 dan suatu saat diharapkan terwujud satu desa satu BMT (SDSB). Kalau BMT ini terbukti cukup efektif sebagai institusi pemberdaya dan pengembang usaha-usaha skala mikro maka sudah sewajarnya bila pemerintah memberikan iklim yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya institusi ini. Dalam rangka membantu mengatasi masalah kemiskinan dan ketimpangan, konsep zakat, infaq, sedekah dan wakaf (ziskaf) yang telah lama dilalaikan oleh ummat maupun pemerintah, sudah waktunya untuk dibangkitkan dan dihidupkan kembali. Inisiasi dapat diawali dari PNS muslim dengan cara memotong gaji yang telah mencapai batas nishab sebesar 2,5 persen per bulan (sebagaimana telah dilaksanakan pada masa Orde Baru) kemudian disalurkan secara produktif kepada yang berhak menerima (mustahiq). Upaya penghimpunan zakat mal oleh Pemda Bulukumba-Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa potensi zakat mal baik dari sektor pertanian, perkebunan, industri, jasa dan lain-lain ternyata cukup besar. Bila potensi itu dapat direalisasi sepenuhnya dan dikelola secara produktif untuk

memberdayakan fakir miskin, kaum dhuafa dan kaum lemah lainnya maka hal itu akan cukup membantu menggapai amanat konstitusi yakni mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Konsep ekonomi Islam lainnya yang layak dipertimbangkan secara sungguhsungguh adalah prinsip menjauhkan diri dari kegiatan ekonomi yang spekulatif atau maisyir seperti mengais keuntungan dari fluktuasi kurs mata uang. Pada hakekatnya fluktuasi kurs mata uang tidak perlu terjadi kalau sistem moneter internasional menggunakan mata uang tunggal, misalnya dengan menggunakan standar emas dan atau perak dan atau perunggu. Meskipun sistem moneter ini berasal dari jaman kekaisaran Romawi dan Persia tetapi karena tetap berlaku sejak zaman Rasulullah SAW hingga kekhalifahan Islam yang terakhir di Turki pada tahun 1924, berarti sistem ini dibenarkan secara syariat. Sistem moneter berdasarkan fiat money yang sama sekali tidak didukung dengan cadangan emas dari setiap mata uang yang beredar, telah mengakibatkan ketidakstabilan nilai mata uang, yang berujung pada inflasi dan fluktuasi kurs mata uang domestik terhadap mata uang asing, yang selanjutnya dimanfaatkan oleh para spekulan sebagai ajang judi dalam sektor finansial, yang hampir tidak ada kaitannya dengan pengembangan sektor riil, bahkan seringkali mendestabilisasinya dalam bentuk krisis moneter, bahkan krisis ekonomi berkepanjangan seperti di Indonesia barubaru ini. Mengingat kelemahan fundamental yang melekat pada fiat money tersebut maka sistem moneter sudah selayaknya ditata ulang dengan menerapkan kembali standar emas. Artinya, setiap uang kertas dan uang logam yang dicetak harus didukung dengan cadangan emas senilai uang yang dicetak tersebut. Bila setiap negara menerapkan sistem moneter berstandar emas berarti seluruh dunia hanya mengenal satu mata uang tunggal meskipun setiap negara bisa tetap memiliki mata uangnya sendiri, misalnya rupiah untuk Indonesia, dolar untuk Amerika Serikat, Euro untuk Uni Eropa. Kalau setiap mata uang berstandar emas berarti setiap mata uang domestik dapat ditukarkan dengan mata uang asing pada tingkat tertentu. Misalnya setiap Rp. 10.000,- uang kertas yang dicetak di Indonesia didukung dengan cadangan 1 gram emas, sedangkan di Amerika Serikat setiap 1 gram emas senilai US$1 uang kertas maka kurs antara kedua mata uang itu adalah US$1= Rp 10.000,-. Dengan demikian kurs antar mata uang tetap ada tetapi karena setiap uang kertas dan logam yang dicetak selalu didukung dengan cadangan emas yang sepadan nilainya, maka pada hakekatnya hanya dikenal 1 mata uang tunggal yaitu mata uang emas. Yang lebih mudah lagi kalau semua negara memang hanya mengeluarkan satu jenis mata uang yang sama, misalnya dinar. Setiap uang kertas dan logam dinar yang dicetak oleh negara manapun harus didukung dengan sejumlah cadangan emas yang setara nilainya di bank sentralnya masing-masing. Bila setiap negara menerapkan standar emas dalam sistem moneternya maka salah satu sumber destabilisasi moneter, keuangan dan perbankan dapat diredam. Pertanyaan yang sering diajukan ialah apakah setiap negara mempunyai cadangan emas yang cukup untuk mendukung setiap uang kartal (kertas dan logam) yang diedarkan ke masyarakat? Mengingat uang kartal jumlahnya relatif sedikit dibandingkan jumlah seluruh uang yang beredar di masyarakat (uang dalam arti luas atau broad money, M2 dan M3) maka setiap negara diperkirakan mempunyai cadangan emas yang cukup untuk mendukung penyediaan uang kartal oleh bank sentral. Sementara itu tabungan dan deposito sebagai unsur-unsur utama M2 dan M3 tak perlu didukung dengan cadangan emas oleh bank sentral, melainkan perlu didukung dengan komoditi dan jasa yang ditransaksikan. Artinya, mengingat setiap dana pihak ketiga pada bank dalam bentuk tabungan dan deposito harus disalurkan kembali kepada masyarakat untuk berbagai aktivitas ekonomi dan bisnis atau

kegiatan sektor riil, berarti kedua produk bank tersebut didukung dengan komoditi yang nilainya setara dengan itu. Implementasi uang dinar emas ini dapat dimulai dari transaksi keuangan bilateral atau multilateral. Misalnya Indonesia dan Malaysia sepakat untuk menggunakan uang dinar emas dan transaksi perdagangan bilateralnya, maka cadangan emas yang diperlukan untuk mendukung kegiatan tersebut sebenarnya hanya sebesar net-paymentnya. Misalnya ekspor Indonesia ke Malaysia dalam satu kuartal sebesar dinar 5 milyar, sedangkan ekspor Malaysia ke Indonesia sebesar dinar 4,8 milyar, maka cadangan emas yang diperlukan untuk mendukung perdagangan bilateral kedua negara ini bukan sebesar dinar 9,8 milyar melainkan cukup dengan dinar 0,2 milyar yakni selisih nilai ekspor antar kedua negara tersebut. Dalam hal ini Malaysia perlu membayar dinar 0,2 milyar kepada Indonesia. Itupun tidak berupa pengiriman batangan emas sebesar dinar 0,2 milyar melainkan cukup dengan pemindahbukuan saja sehingga tidak ada aliran emas antar negara. Dengan ilustrasi tersebut ide tentang penerapan kembali uang berstandar emas untuk mendukung perdagangan internasional cukup reasonable, feaseable dan workable. Pada tahap berikutnya perlu dipikirkan langkah-langkah terencana dan terarah sehingga secara keseluruhan sistem moneter berbasis fiat money tergantikan oleh genuine money yakni uang dinar emas. Dari aspek mikro, pembiayaan rumah misalnya, Islam menawarkan konsep musyarakah mutanaqisah. Sebagai ilustrasi, misalnya seorang pegawai negeri sipil (PNS) ingin membeli rumah senilai Rp 100 juta. Karena ia baru punya uang Rp 10 juta sebagai uang muka misalnya, maka ia dapat menghubungi bank syariah guna membantu pelunasan pembayaran rumah tersebut kepada pihak developer. Dengan demikian status pemilikan rumah tersebut 90 persen milik bank syariah dan 10 persen milik PNS yang bersangkutan. Agar status rumah tersebut menjadi 100 persen milik PNS, maka ia dapat melunasi utang tersebut kapan saja ia mau sesuai dengan kemampuannya tanpa harus dibebani bunga sebagaimana halnya pada bank konvensional. Besarnya cicilan pokok pinjaman dan jangka waktu pelunasan tidak ditentukan secara kaku. Suatu saat ia bisa mengangsur pinjaman dengan jumlah kecil tetapi pada saat yang lain bisa membayar dalam jumlah yang lebih besar, semuanya tergantung kepada nasabah bank sesuai dengan kemampuan keuangannya dan kapan ia mau melunasi utangnya. Sebagai pengganti pembayaran bunga, nasabah perlu membayar sewa rumah (ijarah) tersebut kepada bank sesuai dengan harga pasar. Ia perlu membayar sewa karena status rumah tersebut 90 persen masih dimiliki bank syariah. Besarnya kewajiban membayar sewa rumah adalah proporsional terbalik dengan persentase kepemikiran rumah oleh nasabah. Kalau persentase kepemilikan nasabah baru 10 persen berarti ia harus bayar sewa sebesar 90 persen dari harga sewa menurut pasar, dan kewajiban ini akan terhenti kalau pemilikan rumah sudah 100 persen berada pada nasabah bank. Skim musyarakah mutanaqisah ini memiliki beberapa keunggulan. Pertama, skim ini benar-benar bebas dari bayang-bayang unsur bunga bank konvensional. Kedua, skim pembiayaan ini sangat fleksibel dan akan mendorong nasabah untuk segera melunasi utangnya. Untuk mengatasi masalah perburuhan yang dianggap menjadi batu sandungan bagi para pengusaha, prinsip dasar ajaran Islam tentang partnership atau sharing atau kemitraan usaha tampaknya layak dipertimbangkan secara sungguhsungguh untuk membantu mengurangi benang kusut masalah ini. Kepentingan buruh dan pengusaha memang berseberangan. Buruh berkepentingan untuk mendapatkan upah yang layak sesuai dengan kebutuhan hidupnya yang terus meningkat, sedangkan pengusaha berkepentingan untuk mendapatkan keuntungan setinggi mungkin kalau perlu dengan menekan upah buruh di bawah tingkat produktivitasnya. Kepentingan yang saling bertolak belakang ini dapat dijembatani

dengan menawarkan program Employment Stock Ownership Program (ESOP), yakni program pemilikan saham oleh karyawan. Caranya tidak dengan mengurangi sedikitpun kepemilikan saham oleh para pemegang saham perusahaan yang ada sekarang, melainkan dengan cara mencari pinjaman baru ke pihak perbankan syariah untuk ekspansi usaha dengan prinsip musyarakah, mudharabah, atau murabahah, atau skim syariah lainnya. Pinjaman tersebut dilakukan bukan atas nama pemilik saham lama melainkan atas nama karyawan sehingga status mereka sekarang tidak hanya sebagai buruh melainkan sekaligus sebagai pemegang saham. Dengan demikian para buruh selain mendapatkan upah juga berhak memperoleh deviden sesuai dengan porsi kepemilikan saham yang dimiliki. Bila program ini diimplementasikan maka akan tercipta budaya korporat yang baru. Perilaku buruh akan berubah dari sikap selalu menuntut kenaikan upah melalui berbagai macam unjuk rasa, menjadi sikap selalu memikirkan kemajuan perusahaan karena dengan sikap dan perilaku itulah para buruh berharap bahwa pada akhir tahun buku mereka akan memperoleh deviden. Perubahan sikap dan perilaku ini akan terjadi dengan sendirinya mengingat bahwa para karyawan sekarang telah berperan ganda yakni sebagai buruh dan sekaligus sebagai majikan dari perusahaan tempat mereka bekerja. Penerapan prinsip partnership dalam kepemilikan saham ini diharapkan akan tercipta lingkungan kerja yang kondusif, perbaikan etos kerja dan kenaikan produktivitas usaha. Dalam rangka menata kembali skala prioritas pembangunan nasional jangka panjang, ajaran Islam memberikan justifikasi atas pentingnya aspek pengembangan kemampuan intelektual manusia Indonesia melalui pendidikan dan riset. Justifikasi ini didasarkan pada sejarah turunnya Al Quranul Karim yang menempatkan iqra atau bacalah sebagai ayat yang pertama kali diturunkan oleh Allah SWT melalui malaikat Jibril kepada Muhammad, sekaligus sebagai ikrar pelantikan-Nya selaku Rasulullah SAW, Rasul penutup akhir zaman. Perintah pertama yang diterima Muhammad SAW selaku Nabi dan Utusan Allah kepada ummat manusia bukanlah membayar zakat (pemberdayaan dan pembangunan ekonomi), juga bukan sholat berjamaah (memperkuat persatuan dan kesatuan politik), juga bukan puasa (pengendalian diri dan kepatuhan pada hukum) melainkan perintah untuk membaca atau iqra. Membaca apa? Membaca seluruh ayat-ayat, fenomena, hukum-hukum, atau tanda-tanda kebesaran Allah SWT, yang terdapat dalam kitab-kitab suci (ilmu agama) maupun alam semesta (fisika, kimia, biologi, ekonomi, sosiologi, sejarah, antropologi, poltik dan lain-lain). Bagaimana cara membaca tanda-tanda kebesaran Allah SWT tersebut? Dengan riset, pengajaran dan atau pendidikan. Riset dan pendidikan adalah dua aspek penting dalam pengembangan penalaran dan kemampuan intelektual manusia. Implikasi kebijakannya ialah bahwa yang mestinya dijadikan skala prioritas pembangunan nasional pasca krisis dewasa ini adalah bukan hanya aspek pendidikan atau pengajaran melainkan juga riset dan pengembangan (research and development). Dengan demikian alokasi dana sebesar 20 persen dari APBN untuk sektor pendidikan sebagaimana diamanatkan konstitusi itu seharusnya tidak ditafsirkan menjadi jatah Departemen Pendidikan Nasional saja melainkan juga mesti dialokasikan untuk sektor ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama untuk lebih memperkuat dan memberdayakan Lembaga-Lembaga Riset Nasional baik di LPND maupun Litbang-litbang Departemen. Setelah menjadikan pendidikan dan riset atau ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai skala prioritas utama pembangunan nasional jangka panjang, perlu dipikirkan bagaimana pengembangan sumberdaya insani dalam sektor pendidikan diarahkan dan dikelola. Fenomena semakin banyaknya pengangguran terdidik atau penganggur berpendidikan tinggi mengindikasikan adanya suatu masalah serius dalam pendidikan nasional. Meskipun masalah ini tidak bisa sepenuhnya dialamatkan pada sektor pendidikan melainkan juga menjadi tanggungjawab perekonomian nasional secara keseluruhan, namun tak dapat dipungkiri bahwa

sebagian masalah tersebut bersumber pada kekurangjelasan orientasi pendidikan nasional. Akan dibawa kemanakah anak didik dalam sistem pendidikan nasional kita ? Dengan perkataan lain, output macam apa yang hendak dihasilkan melalui sistem pendidikan nasional ? Untuk menjawab pertanyaan ini, ajaran Islam memberikan masukan agar sistem pendidikan nasional kita diarahkan untuk membekali anak didik sehingga setelah menyelesaikan studinya mereka mempunyai bekal yang cukup memadai sebagai modal awal untuk meniti karir, dan memanfaatkan potensi, bakat dan kemampuannya sebagai salah satu dari lima kemungkinan berikut: a) Intelektual b) Negarawan c) Pengusaha d) Karyawan e) Rohaniwan. Dengan demikian orientasi pendidikan nasional seharusnya diarahkan untuk mencetak para spesialis diatas, sehingga keterbatasan dana anggaran dapat dialokasikan secara berdaya guna dan berhasil guna. Dengan orientasi pendidikan semacam itu diharapkan nantinya akan muncul kaum intelektual kelas dunia; para negarawan agung; para pengusaha nasional yang kuat, tangguh dan mandiri; kaum pekerja yang terampil, disiplin dan beretos kerja tinggi serta kaum rohaniwan mulia pembimbing moral, nurani dan akhlaq bangsa. Melalui model pendidikan semacam ini diharapkan setiap anak bangsa dapat berperan optimal dalam memberikan sumbangsihnya dalam pembangunan nasional dan peradaban ummat manusia. Bagaimana halnya dengan orientasi riset ? Islam mengajarkan bahwa riset itu dimaksudkan untuk memahami KeMaha Besaran Sang Pencipta melalui pemahaman yang mendalam terhadap makhluq ciptaan-Nya baik berupa benda, manusia, atau makhluq hidup lainnya. Menemukan hukum, dalil, rumus, mekanisme, metode, proses dan lain-lain dari suatu fenomena alam dan masyarakat yang diamati adalah sasaran yang hendak dituju dengan penelitian. Memanfaatkan hasil-hasil penelitian tersebut antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan ummat manusia adalah kewajiban berikutnya dalam penelitian. Dengan demikian, dalam ajaran Islam, ilmu itu mesti bersifat amaliah, disamping fungsi utamanya untuk meningkatkan pemahaman ummat manusia tentang kehebatan makhluq-makhluq ciptaan Allah SWT, yang pada akhirnya melalui suatu proses penelitian diharapkan mampu mengantarkan sang peneliti dan pembaca hasil-hasil penelitiannya pada KeMaha Besaran Sang Pencipta. Mengingat kinerja ekonomi suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh sistem ekonomi dan sistem ketatanegaraan yang dianut, ajaran Islam selain kaya dengan konsep ekonomi juga menawarkan sistem politik dan ketatanegaraan. Dalam rangka menata kembali perekonomian Indonesia pasca krisis, konsep sistem politik dan ketatanegaraan berikut layak dijadikan wacana, renungan dan bahan diskusi. Pertama, Islam mengajarkan musyawarah/syura, bukan demokrasi. Adagium demokrasi vox populi vox dei atau suara rakyat suara Tuhan, dan one man one vote atau satu orang satu suara, dalam batas-batas tertentu bisa dipahami tetapi bila telah melanggar syariat atau hukum agama, statusnya menjadi batal demi hukum. Kedua, Islam mengajarkan Penta-Politica, bukan Trias Politica sebagaimana digagas oleh Montesquae. Sistem ketatanegaraan Islam bukan dibangun di atas tiga pilar kekuasaan: Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif; melainkan berdiri di atas lima pilar masyarakat (Penta-Politica) yakni 1) Majelis Intelektual/Cendekiawan/Ulama; 2) Majelis Umara/Politisi/Birokrat/Negarawan; 3) Majelis Pengusaha/Tujaari; 4) Majelis Buruh/Karyawan/Muhtarifin; 5) Majelis Rohaniwan/Ubbad. Hubungan antara kelima majelis tersebut adalah sebagai berikut: (1) Yang berhak dipilih dan memilih anggota Majelis Intelektual secara musyawarah adalah para intelektual yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Yang terpilih sebagai ketua Majelis Intelektual adalah sekaligus mengemban amanat sebagai Imam atau Presiden Negara, dengan masa Jabatan yang disepakati bersama. Tugas Majelis Intelektual mirip dengan Lembaga Legislatif; (2) Yang berhak memilih dan dipilih sebagai anggota Majelis Umara adalah para politisi profesional yang memenuhi syarat. Yang terpilih sebagai ketua Majelis Umara/politisi secara otomatis terpilih menjadi Perdana Menteri atau memimpin

Lembaga Eksekutif dengan tugas utama menjalankan roda pemerintahan selama jangka waktu yang disepakati bersama; (3) Yang berhak memilih dan dipilih sebagai anggota Majelis Pengusaha/Tujuaari adalah para pengusaha profesional yang memenuhi syarat. Yang terpilih sebagai Ketua Majelis Pengusaha berarti mendapat mandat untuk memakmurkan seluruh masyarakat berdasarkan prinsipprinsip ekonomi syariah; (4) Yang berhak dipilih dan memilih sebagai anggota Majelis Muhtarifin/Buruh/Karyawan adalah para pejuang nasib kaum buruh. Yang terpilih sebagai Ketua Majelis Buruh, mendapat amanat untuk memimpin perjuangan kaum buruh dalam memperbaiki nasib dan hak-haknya sebagai ujung tombak kemajuan ekonomi bangsa; (5) Majelis Ubbad/Rohaniwan terdiri para rohaniwan agung yang sangat concern terhadap nilai-nilai rohaniah, nurani, moralitas dan akhlaq bangsa. Tugas, wewenang dan fungsi Majelis Rohaniwan ini kurang lebih sama dengan Lembaga Lesgislatif. Adapun hubungan struktural antara para Ketua kelima Majelis diatas adalah identik dengan hubungan hierarhikal antara Ketua, Sekretaris, Bendahara, Bidang-Bidang atau seksi-seksi dan Penasehat dalam suatu organisasi. Mengingat bahwa kinerja ekonomi suatu bangsa juga dipengaruhi oleh ideologi negaranya, sedangkan ideologi Pancasila itu masih sering dipermasalahkan oleh segolongan masyarakat, maka sudah selayaknya bila persaingan ideologis Pancasila dan Islam itu dicarikan jalan keluarnya. Dari persepektif ajaran Islam, jumlah sila-sila dalam ideologi negara kita itu memang belum lengkap karena seharusnya terdiri dari tujuh sila atau Saptasila dengan rumusan sebagai berikut: (1). KeTuhanan Yang Maha Esa; (2) Peradaban Agung Yang Mashlahat; (3) Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab ; (4) Persatuan Indonesia dan Kemandirian Ekonomi Nasional; (5) Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan; (6) Kearifan Bangsa; (6) Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Penutup Ada enam hal penting yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah untuk menata kembali perekonomian Indonesia pasca krisis, dari perspektif prinsip-prinsip ekonomi politik Islam. Pertama, secara bertahap seluruh aspek pembiayaan dan kontrak-kontrak bisnis baik perbankan, asuransi, pegadaian dan lembaga keuangan lainnya seyogianya dibebaskan dari unsur maghrib yakni maisyir atau spekulatif/judi/untunguntungan, gharar atau ketidakpastian, dan riba atau bunga. Sebagai alternatif adalah diterapkannya secara luas prinsip partnership ekonomi syariah sebagaimana selama ini telah diimplementasikan pada beberapa perbankan, asuransi, pegadaian dan lembaga ekonomi dan keuangan syariah lainnya seperti koperasi syariah, Baitul Mal wat Tamwil (BMT) dan sebagainya. Kesadaran intelektual dan spiritual ummat terhadap zakat, infak, sedekah dan wakaf (ziskaf) sebagai instrumen kebijakan fiskal ekonomi syariah perlu dibangkitkan dan dihidupkan kembali guna membantu mengatasi masalah kemiskinan dan kesenjangan ekonomi serta pemberdayaan ekonomi kaum dhuafa. Kedua, mengingat fiat money atau printed money yang tidak didukung dengan emas itu berimplikasi pada destabilizing perekonomian maka unsur riba itu sebenarnya bukan hanya bunga melainkan juga melekat pada fiat money itu sendiri. Dalam hal ini, gold dinar sebagai mata uang tunggal dunia dianjurkan sebagai pengganti fiat money guna menjaga stabilitas perekonomian dunia kini dan mendatang. Ketiga, konsep pembiayaan perumahan dengan skim musyarakah mutanaqisah yang telah diterapkan dan terbukti sukses dalam komunitas muslim di Inggris, Amerika Serikat, Kanada dan Australia layak dipertimbangkan secara

sungguh-sungguh oleh pemerintah untuk secara bertahap menggantikan skim pembiayaan konvensional ribawi. Keempat, untuk membantu menjembatani kepentingan buruh dan majikan serta masalah perburuhan dan lingkungan usaha pada umumnya, prinsip kemitraan ekonomi-bisnis seperti employment stock ownership program (ESOP) perlu diperkenalkan kepada para pelaku usaha. Inisiasi dapat di awali dari perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN), bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan syariah serta perusahaan-perusahaan yang telah menerapkan prinsip-prinsip ekonomi syariah. Kalau pilot project ini berhasil maka tidak akan terlalu sulit untuk mensosialisasikan program ini pada kalangan pengusaha pada umumnya secara meluas. Kelima, pendidikan dan riset seharusnya dijadikan sebagai skala prioritas atau panglima pembangunan nasional pasca krisis. Selain itu sistem pendidikan nasional seyogianya diarahkan untuk menghasilkan anak didik guna mempersiapkan diri dalam meniti karirnya sebagai salah satu dari lima sokoguru masyarakat berikut: a) Intelektual; b) Negarawan; c) Pengusaha; d) Karyawan; e) Rohaniwan. Sementara itu, pengembangan ilmu pengetahuan melalui riset diharapkan mampu mengantarkan ummat manusia pada ke MahaBesaran Sang Pencipta. Oleh karena itu pengembangan ilmu pengetahuan itu tidak hanya bersifat science for science melainkan juga science for prosperity of the whole mankind, dan science for adhering Creator of The Universe. Keenam, sistem politik dan ketatanegaraan berdasarkan prinsip demokrasi dan doktrin Trias-Politica perlu disempurnakan menjadi sistem politik berdasarkan prinsip musyawarah/syura dan doktrin Penta-Politica. Ketujuh, persaingan ideologis antara Islam dan Pancasila perlu dicarikan jalan keluarnya dengan menyempurnakan ideologi negara menjadi Saptasila. Daftar Pustaka 1. Choudhury, M.A., (2004). Micro-Money and Real Economic Relationship in The 100 percent Reserve Requirement Monetary System, Review of Islamic Economics, Journal of The International Association for Islamic Economics and The Islamic Foundation, Vol 8, No. 1. 2. , (1991), Micro-Macro Interface in Islamic Economic Theory, The Middle East Bussiness and Economic Review, Vol 3, No.1. 3. Jusmaliani (Ed), (2004). Kajian Teori Ekonomi dalam Islam: Kebijakan dalam Perekonomian Islam, Jakarta: P2E-LIPI. 4. , (2005). Aktivitas Ekonomi Berbasis Bagi Hasil: Teori dan Kenyataan Empiris (Buku I), Jakarta: P2E-LIPI. 5. Mahmud Thoha (Ed), (2005). Aktivitas Ekonomi Berbasis Bagi Hasil dalam Sektor Primer (Buku 2), Jakarta: P2E-LIPI. 6. , (2003). Pasang Surut Perekonomian, dalam Muhamad Hisyam (Penyunting). Krisis Masa Kini dan Orde Baru, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 7. , (2003). Paradigma Baru dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora, Bandung: Teraju-Mizan. 8. Masyhuri (Ed), (2003). Kajian Teori Ekonomi dalam Islam, Jakarta: P2E- LIPI.

9. Meera, A.K.M., and Larbani, Moussa, (2006). Seigniorage of Fiat Money and The Maqasid al-shariah: The Unattainableness of the maqasid, Humanomics, Vol 22, No. 1. 10. Meera, A.K.M, and Razak, (2005), D.A., Islamic Home Financing Through Musharakah Mutanaqisah and al-Bay, Bithaman Ajil Contracts: A Comparative Analysis, Review of Islamic Economics, Vol 9, No. 2. 11.Meera, A.K.M. and Larbani, M., (2004). The Gold Dinar: The Next Component in Islamic Economics, Banking and Finance, Review of Islamic Economics, Journal of The International Association for Islamic Economics and The Islamic Foundation, Vo. 8, No. 1. 12. Meera, A.K.M., (2002) The Islamic Gold Dinar: Selangor Pelanduk Publication. 13. Mochammad Nadjib, (2006), Dampak Sosial Ekonomi Baitul Mal wat Tamwil (BMT), Jakarta: P2E-LIPI 14. Mundell, R.A., (1997), The International Monetary System in The 21st Century: Could Gold Make a Comeback? Vincent College, Letrobe, Pennsylvania, March 12. 15. , Keynote Address: The International Monetary System at The Turn of The Millennium; World Gold Council. 16. Ashford, R, and Shakespeare, R, (1999), Binary Economics: The New Paradigma; Maryland: University Press of America.

Optimalisasi Program Privatisasi

Penulis : Jusmaliani Memburuknya perekonomian Indonesia menuntut pemerintah untuk memperbaiki dan membangun kembali kinerja perekonomian, salah satunya adalah dengan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Kebijakan ini diambil sebagai konsekuensi dari tidak efektif dan efesiennya kinerja BUMN/ BUMD dalam memberikan kontribusi pada pembangunan nasional. Perkembangan BUMN yang pesat tetapi tidak didukung oleh kinerja yang membanggakan, sehingga kontribusinya pada perekonomian nasional cenderung kecil dan bahkan membebani anggaran pemerintah. Keputusan untuk memprivatisasi sebagian BUMN merupakan salah satu langkah untuk perbaikan dan efisiensi BUMN, namun demikian dalam pelaksanaannya ternyata tidak selalu sesuai dengan yang diharapkan. Banyak faktor yang perlu dipertimbangkan dalam privatisasi, khususnya stakeholders perusahaan. Dalam penelitian ini menemukan tidak semua stakeholder menerima keuntungan dari privatisasi. Terutama pelanggan yang ternyata harus menanggung beban biaya yang semakin tinggi pasca privatisasi. Hasil temuan lapangan dengan pengambilan sampel privatisasi pada sektor primer (PT. Bukit Asam Tbk.), sektor sekunder (PT. Kimia Farma Tbk dan PT. Iglas), dan sektor tersier (PT. Pelindo III dan PT. SIER) menunjukkan bahwa metode IPO merupakan metode yang paling tepat,

namun demikian dalam pelaksanaannya masih terkesan setengah hati. Hal ini dikarenakan masih lemahnya pasar sekunder di Indonesia dan kurang bisanya pemerintah untuk menjual sahamnya lebih besar (<50%) dengan cara ini. Metode strategic slaes memang meberikan keuntungan bagi pemerintah. Berkaitan dengan tujuan dari privatisasi untuk menutupi defisit anggaran, dalam jangka pendek metode ini paling efektif. Tetapi dalam jangka panjang perlu dipertanyakan kembali kemampuan pemerintah untuk buy back BUMN yang telah dijual pada pihak swasta. Bagiamanpun privatisasi merupakan salah satu proses penyesuaian stuktural perekonomian sebuah negara. Berhasil tidaknya privatisasi sangat tegantung pada kemampuan pemerintah sebagai pemegang saham untuk memilih strategi yang tepat dalam proses maupun pasca privatisasi.

DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL DAERAH TERHADAP KETAHANAN PANGAN DAN KEMISKINAN DI PROVINSI SUMATRA UTARA (Impact of Fiscal Policy on Poverty in North Sumatra Province)
Penulis : Kusnadi Boyke T. H. Situmorang, Harianto, Mangara Tambunan, dan Nunung

Abstrak

The purpose of this research was to analyze fiscal and poverty performance, (1) to analyze fiscal policy impact on poverty performance, and (2) to determine strategic policy on poverty in North Sumatra Province. Model of fiscal policy in North Sumatra Province was built with the dynamic simultaneous equations system and used 2SLS with SYSLIN and SIMNLIN procedures. In this study we also used pooled data in 1990-2007 period. The results of this study were (1) factors of fiscal performance in North Sumatra which were local tax and tax sharing were influenced by local GDP positively, on the other hand general alocation funds and local retribution were not influenced by local GDP, and (2) during fiscal policy, poverty performance decreased, which was interpreted with number of poor people in rural areas and number of poor in urban - poverty condition in urban area which was to decrease found and fluctuate, (3) in simulation section, decreased of illiteracy and health expenditure gave better impact on poverty and also increased local GDP in North Sumatra than other simulation. Finally it was that Fiscal policy, especially in health and education sector, will stimulate quality social life in the future. Key words: local fiscal policy, poverty, simultaneous equation system

DEFISIT APBN DAN KETAHANAN FISKAL


Penulis : Romulus Manurung

Abstrak

To test whether the governments debt in a firm position or not, often people use a debt to gross domestic product ratio. This approach is regarded as not accurate, because of

the government revenues is measured by the gross domestic product that is not optimal yet. As an alternative, this research use a liquidity and solvability approach to measure the impact of budget deficit on the fiscal sustainability. The result of this research reveals that liquidity of the foreign debt is fluctuated from year to year. However in 2008, it has a tendency to be better off. Meanwhile, from the viewpoint of fiscal solvability in the long run it is still better. This indicator tends to worse off. This case can be seen from the increasing of fiscal solvability. In 2006, it has reached minus 6.21, and in the last two years it is slightly worse off, minus 2.89, in 2007 and minus 0.82 predicted in 2008. In general, the indicator is good, because it is still under zero. The result of this research also shows that in the short run fiscal capability of the state budget is in a better condition, even though in the long run there is a tendency to decrease. This condition should be considered seriously, realizing that the state budget is the joint product between the Government and the House of Representative, thus the two parties is jointly accountable for improving the fiscal solvability to a more secure position. Keywords: fiscal deficit, debt, liquidity, solvability

DOMINASI ASING DI PASAR MODAL DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA


Penulis : Esta Lestari

Abstrak

Increasing portion of foreign ownership in Indonesian Capital Market bring about debates on either advantage or disadvantage on the economy. On one hand, foreign ownership would induce higher dependency of the economy to the external global. Shocks, subsequently increase domestic risks. On the other hand, foreign ownership resultst on more investment and liquidities for the country that would be giving long term benefits through capital acceleration. This study examines impact of foreign ownership and its risk to the capital market, as indicated by dynamics of capital markets volatility of Indonesia (BEI). Employing EGARCH(1,1) model, the study finds that Indonesian capital market is intensively integrated to the world market, especially regional market of Asia compared to the US. Moreover, by using OLS model to analyze factors affecting volatility of the market, the results show that along with increasing foreign trading frequencies would lead to positive impact on volatility. In other words, increasing foreign ownership would give less volatility in capital markets and therefore shows characteristics of stabilizing. Other variables are also indicated as factors affecting volatility of markets, namely interest rates, exchange rate, and previous return.

Prospek Perdagangan Indonesia, Cina dan India: Analisa Gravity Model


Penulis : Pakasa Bary

Abstrak

Global growth has shrunk affected by 2008 global financial crisis, with different contributions across countries. Compared with other economies, advanced economies had experienced strongest decline. Indeed, it also affects their production and their

demand of inputs. Meanwhile, China and India record a remarkable growth while global growth still low. Consistently, percentage of Indonesian exports to China and India, especially raw commodities, has been rising since 2008, and likely to replace domination of Indonesias exports to developed countries in the near future. This paper applies simple gravity model to evaluate the sensitivity of productions or income of these three economies on Indonesian exports to China and India. Using various methods and assumptions, estimation results suggest strong sensitivity of importers income and production. Indeed, it is likely that Indonesian exports to China and India will increase furthermore and hence boosting Indonesia economic growth along with China and India, making them the next growth triangle in Asia. While China nowadays is the strongest demand source for Indonesian exports, India may be the significant contributor in the near future. Nevertheless, there still must be significant reform in trade barriers and domestic economic strategy to support this potency in globalized world. Keywords : economic growth, Asia economy, international trade JEL : F14, F43

INDUSTRI KREATIF, SOLUSI BARU EKONOMI INDONESIA


Penulis : Diah Setiari Suhodo

Abstrak

Globalization has brought a significant change in human life. In this information era, creativity and knowledge become a dominant factor in the development of an economy. Interaction amongst creativities, culture, economic activities and technology leads potentially to employment opportunities, increased income, as well as increased primeexported commodities. For developing countries, creative industries considerably become a bridge to harmonize amongst macro and micro entities, and also potentially leading to economic growth. Creative industry is a new thing for Indonesias economy. It is continuously contributing to national economy significantly. However, many threats and bottle necks are still faced by this industry, such as limitation to get financing, lack implementation of copyrights (HAKI), lack of institutional capacity, marketing and distribution network, technology mastery, as well as its innovation of the industry. This study explores creative industry as a concept and implementation, the development, the dynamic process, the impact to the world economy and domestic economy, the challenges and threats and how to develop creative industries to become a key sector for the Indonesian economy. Keywords: creativity, knowledge, information, technology, innovation

KEBIJAKAN PENGENTASAN KEMISKINAN NELAYAN MELALUI MODEL KERJA SAMA PENGELOLAAN WILAYAH LAUT
Penulis : Mochammad Nadjib

Abstrak

There is opinion that sea is a commons property concept. The excess of this opinion become over exploitation on it, so the degradation of environment is happened. The concept of cooperative management has gained increasing purchase. Cooperative

management, where fishermens organization take an active part in designing, implementing and enforcing fisheries regulation is practice in advanced democracies in the fisheries community. The cooperative management concept should involve local people, goverment and corporate, so the intervention of goverment is not too dominant.

PENGARUH EKONOMI MAKRO TERHADAP KESEIMBANGAN


Penulis : Makmun dan Ferry Irawan

Abstrak

Recent financial market development has been marked by the proliferation of various investment instruments. This provides space for a wider opportunity for investment in Indonesia. One of the investment instruments that is relatively less volatile is government bonds. The purpose of issuing government bondsis as an option to fill the state budget deficit every year. Partially it is, driven by the governments commitment to reduce foreign debts). Bond market equilibrium is influenced by several macroeconomic conditions. Some of the macroeconomic conditions, which affec the equilibrium of bond market are economic growth, inflation, the rupiah exchange rate against the U.S. dollar, SBI interest rates, and oil prices. Change in the rupiah exchange rate against the U.S. dollar is the most influential factor that affect optimal yield of the government bonds. Meanwhile, increased SBI interest rate will encourage increased optimal yield. The effect is very dependent on the amount of liquidity of banks themselves.

Anda mungkin juga menyukai