Anda di halaman 1dari 7

Museum Pengkhianatan PKI

Oleh aroengbinang, versi: 12 January, 2012

Museum Pengkhianatan PKI (Komunis) berada di dalam satu kompleks dengan Monumen Pancasila Sakti yang berada di Jl. Raya Pondok Gede, Lubang Buaya, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, beberapa ratus meter dari Asrama Haji Pondok Gede. Museum Pengkhianatan PKI ini dikelola oleh Pusat Sejarah TNI, Departemen Pendidikan, serta Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, memiliki ratusan benda bersejarah terkait dengan peristiwa pemberontakan G30S-PKI. Pintu gerbang yang tinggi menyambut pengunjung ketika memasuki area Lubang Buaya, dengan jalan masuk yang lebar serta pepohonan rindang di kiri kanan jalan sebelum akhirnya sampai di area parkir yang luas. Pengunjung membayar karcis masuk sebesar Rp.2.500 per orang, baik dewasa maupun anakanak, dengan karcis parkir bus Rp. 3.000, mobil sedan Rp. 2.000 dan sepeda motor Rp. 1.000.

Sebuah diorama di Museum Pengkhianatan PKI yang menggambarkan aksi teror Gerombolan Ce Mamat. Ce Mamat adalah gembong komunis 1926 yang menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Serang. Ia menuduh pemerintah RI di

Banten sebagai kelanjutan pemerintah kolonial Belanda, dan menghasut rakyat agar tidak mempercayai pejabat pemerintah. Pada 17 Oktober 1945 Ce Mamat membentuk Dewan Pemerintahan Rakyat Serang, merebut pemerintahan Karesidenan Banten, dan menyusun pemerintahan model Soviet. Ce Mamat dan pengikutnya, diantaranya Laskar Gulkut, melakukan aksi teror, merampok rakyat, menculik dan membunuh pejabat pemerintahan. Ketika Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta berkunjung ke Banten, dengan alasan dipanggil Presiden, Ce Mamat dan anak buahnya menjemput R. Hardiwinangun, Bupati Lebak, dari rumahnya di Rangkasbitung dan membawanya ke desa Panggarangan. Keesokan paginya, 9 Desember 1945, mereka membunuh R. Hardiwinangun dengan menembaknya di atas jembatan sungai Cimancak dan melempar mayatnya ke sungai.

Diorama di Museum Pengkhianatan PKI yang memperlihatkan tindak kekerasan Pasukan Ubel-Ubel di Sepatan, Tangeran, pada 12 Desember 1945. Dimulai pada 18 Oktober 1945, Badan Direktorium Dewan Pusat di bawah pimpinan Ahmad Khairun dengan dukungan gembong komunis bawah tanah berhasil mengambil alih kekuasaan pemerintah RI di Tangerang dari Bupati Agus Padmanegara. Mereka membubarkan aparatur pemerintah dari tingkat desa sampai kabupaten, menolak mengakui pemerintah pusat RI di

Jakarta, dan membentuk Laskar Hitam atau Laskar Ubel-Ubel karena berpakaian serba hitam dan memakai ubel-ubel (ikat kepala). Laskar Ubel-Ubel ini melakukan aksi teror dengan membunuh dan merampok harta penduduk Tangerang dan sekitarnya, seperti di Mauk, Kronjo, Kresek dan Sepatan. Pada 12 Desember 1945, di bawah pimpinan Usman, Laskar Ubel-Ubel merampok penduduk Desa Sepatan, melakukan pembunuhan di berbagai tempat, dan membunuh tokoh nasional Oto Iskandar Dinata di Mauk.

Diorama yang melukiskan peristiwa revolusi sosial di Langkat pada 9 Maret 1946. Peristiwa ini konon bermula karena berdirinya Republik Indonesia belum diterima sepenuhnya oleh kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur. Ketidakpuasan sebagian rakyat yang menuntut penghapusan kerajaan dimanfaatkan PKI dan Pesindo untuk mengambil alih kekuasaan dengan cara kekerasan. Revolusi sosial itu dimulai pada 3 Maret 1946, yang selain bertujuan menghapus kerajaan juga untuk merampok harta benda dan membunuh raja-raja beserta keluarganya. Tindakan teror dan pembunuhan terjadi di Rantau Prapat, Sunggal, Tanjung Balai dan Pematang Siantar pada hari itu.

Pada 5 Maret 1946 Kerajaan Langkat secara resmi dibubarkan dan ditempatkan dibawah pemerintahan RI di Sumatera Timur, namun tetap saja pada malam tanggal 9 Maret 1946 massa PKI di bawah pimpinan Usman Parinduri dan Marwan menyerang Istana Sultan Langkat Darul Aman di Tanjung Pura. Istana diduduki massa PKI, beberapa keluarga Sultan dibunuh, dan Sultan beserta keluarganya dibawa ke Batang Sarangan.

Diorama tentang pengacauan Surakarta yang terjadi pada 19 Agustus 1948, sebagai salah satu upaya pengalihan perhatian pemerintah RI terhadap persiapan kegiatan pemberontakan PKI di Madiun. PKI membakar ruang pameran Jawatan Pertambangan ketika berlangsung pasar malam Sriwedari dalam rangka hari ulang tahun kemerdekaan RI. Rembetan api dapat dicegah, namun timbul kepanikan diantara para pengunjung sehingga 22 orang menderita luka-luka.

Diorama pemberontakan PKI di Madiun pada 18 September 1948. Gagal menjatuhkan kabinet Hatta dengan cara parlementer, organisasi komunis membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) dan melakukan aksi-aksi politik serta tindak kekerasan. Musso, yang baru kembali dari Moskow dan mengambil alih pimpinan PKI, menuduh Soekarno-Hatta menyelewengkan perjuangan bangsa Indonesia dan menawarkan Jalan baru Untuk Republik Indonesia. Pada saat perhatian pemerintah dan Angkatan Perang terpusat untuk menghadapi Belanda, PKI melakukan kampanye-kampanye menyerang politik pemerintah, melakukan aksi-aksi teror, mengadu domba kekuatan bersenjata, dan melakukan sabotase ekonomi. Dini hari 18 September 1948, ditandai 3 letusan pistol, PKI memulai pemberontakan di Madiun. Pasukan Seragam Hitam menyerbu dan menguasai tempat-tempat penting di dalam kota, termasuk gedung Karesidenan Madiun. Di gedung ini PKI mengumumkan berdirinya Soviet Republik Indonesia dan membentuk Pemerintahan Front Nasional. Sejumlah petinggi militer, pejabat pemerintah dan tokoh masyarakat pun dibunuh.

Diorama di Museum Pengkhianatan PKI yang menggambarkan saat Mussi tertembak mati pada 31 Oktober 1948. Pada 1 Oktober 1948 TNI menguasai Dungus yang dijadikan PKI sebagai basis setelah kekalahan mereka di Madiun. Pemimpin dan pasukan PKI lari ke arah selatan dan berusaha menguasai Ponorogo, namun gagal. Musso dan Amir Sjarifuddin lari menuju gunung Gambes dengan dikawal oleh dua batalyon yang cukup kuat. Mereka berpisah di tengah perjalanan. Musso, yang dengan dua orang pengawalnya menyamar sebagai penduduk desa, tiba di Balong pada pagi tanggal 31 Oktober 1948, dimana ia menembak mati seorang anggota Polisi yang memeriksanya. Dengan naik dokar rampasan dan diiringi pengawal bersepeda, hari itu juga ia tiba di desa Semanding, Kecamatan Somoroto. Ia menembak seorang perwira TNI yang mencegatnya, namun tidak mengenai sasaran. Karena tidak bisa menjalankan kendaraan TNI yang dirampasnya, Musso lari masuk desa dan bersembunyi di sebuah blandong (tempat mandi) milik seorang penduduk. Pasukan TNI yang mengepungnya memerintahkan supaya ia menyerah, namun Musso melawan dan mati tertembak dalam peristiwa.

Beberapa pengunjung tengah mengamati Diorama penangkapan Amir Sjarifuddin yang terjadi pada 29 November 1948. Setelah berpisah dari Musso dan melalui perjalanan panjang dan sulit, Amir Sjarifuddin tiba di daerah Purwodadi dan bersembunyi di gua Macan di Gunung Pegat, Kecamatan Klambu. Semula polisi keamanan yang menjaga garis demarkasi Demak-DempetGendong, tidak jauh dari tempat persembunyiannya, adalah orang-orang komunis, sehingga ia merasa aman. Setelah TNI melucuti Polisi Keamanan itu dan melancarkan operasi-operasi pembersihan di sekitar daerah Klambu, posisi Amir Sjarifuddin pun terjepit. Pada 22 Nopember 1948 pasukan pengawalnya menyerah, dan Senin sore 29 Nopember 1948 tempat persembunyiannya dikepung TNI. Amir Sjarifuddin dan beberapa tokoh PKI lainnya pun menyerah dan diserahkan kepada komandan Brigade-12 di Kudus.

Anda mungkin juga menyukai