Anda di halaman 1dari 7

Untuk memberikan kepastian kegiatan usaha bank yang terutang dan tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Dirjen Pajak telah memberikan penegasan melalui Surat Edaran (SE) Nomor 121/PJ/2010 tanggal 23 November 2010.

Perlakuan PPN lerhadap kegiatan usaha bank umum dapat dibedakan menjadi sebagai berikut:

kegiatan usaha bank umum yang merupakan penyerahan jasa keuangan yang tidak terulang PPN, yang karakteristiknya sebagai berikut: o jasa keuangan yang diserahkan berupa jasa pembiayaan yang mendapatkan imbalan berupa bunga, atau o jasa keuangan yang diserahkan secara langsung oleh bank kepada nasabah, dalam hal jasa keuangan tersebut bukan jasa pembiayaan; dan kegialan usaha bank umum yang merupakan penyerahan jasa yang terutang PPN.

Berikut ini disampaikan Kegiatan usaha Bank Umum yang merupakan penyerahan jasa yang terutang PPN meliputi:
memindahkan uang untuk kepentingan bukan nasabah; melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek; menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga; menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga; melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak; membeli, menjual atau menjamin untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya: o surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud; o surat pengakuan utang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud; o kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah; o Sertifikat Bank Indonesia (SBI); o obligasi; o surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun; o instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan UU Perbankan dan peraturan perundangundangan yang berlaku. 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Di samping usaha di atas, bank umum juga dapat melakukan kegiatan yang bukan merupakan penyerahan jasa, misalnya berupa membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar Ie lang dari pemilik agunan dalam hal nasabah debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 12A UU Perbankan. Oalam hal ini, penjualan agunan, yang telah diambil alih oleh bank tersebut, merupakan penyerahan Barang Kena Pajak yang terutang PPN.

Bank yang melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak yang terutang PPN, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang dan wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Jasa Kena Pajak.

Dalam hal Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Syariah melakukan kegiatan usaha yang sama, perlakuan PPN atas kegiatan usaha Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Syariah tersebut adalah sama dengan perlakuan PPN atas kegiatan usaha Bank Umum.

Adakah yang dikecualikan dari Mekanisme Pemungutan PPN oleh Pemungut PPN? Dikecualikan dari Mekanisme Pemungutan PPN oleh Pemungut PPN (563/KMK.03/2003)

y y

Pembayaran yang jumlahnya tidak lebih dari Rp 1.000.000,- (termasuk PPN/PPn BM) yang tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah. Dalam hal ini, PPN harus dipungut dan disetor oleh PKP Rekanan. Pembayaran untuk pembebasan tanah, kecuali pembayaran atas penyerahan tanah oleh Real Estat atau Industrial Estat (Lihat Lampiran I Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP - 382/PJ./2002).

y y y y y y

Pembayaran untuk penyerahan BKP/JKP yang memperoleh fasilitas PPN yang terutang tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan PPN (Lihat Peraturan Pemerintah Nomor 146 TAHUN 2000, Peraturan Pemerintah Nomor 12 TAHUN 2001 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 43 TAHUN 2002, Peraturan Pemerintah Nomor 42 TAHUN 1995 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 25 TAHUN 2001) Pembayaran untuk penyerahan BBM dan Non BBM oleh Pertamina. Pembayaran atas rekening telepon. Pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan. Pembayaran lainnya untuk penyerahan barang atau jasa yang tidak dikenakan PPN. Penyerahan BKP/JKP antar Badan-Badan Tertentu. Dalam hal ini PPN dipungut dan disetor oleh pihak yang melakukan penyerahan BKP/JKP (PKP Penjual).

Berdasarkan SE - 43/PJ.51/2002, pemungut PPN tidak perlu memungut PPN atas :

y y

Penyerahan BKP/JKP yang dilakukan oleh bukan PKP Pembayaran atas proyek Pemerintah yang dibiayai dengan hibah/dana pinjaman luar negeri.

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL ANGGARAN NOMOR SE - 85/A.6/2001 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMUNGUTAN PPN DAN PPN BM OLEH KPKN DAN BENDAHARAWAN DIREKTUR JENDERAL ANGGARAN, Dalam rangka pelaksanaan pemungutan PPN dan PPn BM yang dilakukan oleh KPKN dan Bendaharawan, bersama ini disampaikan rekaman/copy : 1. Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor : 547/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2000 tentang Penunjukan Bendaharawan Pemerintah, Badan-badan Tertentu dan Instansi Pemerintah Tertentu untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; 2. Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor : 548/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2000 tentang Tata Cara Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah oleh Bendaharawan Pemerintah sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai; 3. Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor : 549/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2000 tentang Tata Cara Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah oleh Badan-badan Tertentu sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai; 4. Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor : 550/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2000 tentang Tata Cara Pemungutan dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai; 5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2001 Tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Pajak Penghasilan dalam Rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah yang dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri; Yang berlaku sejak 1 Januari 2001 (untuk ketentuan pada angka 1 s.d 4) dan 18 Mei 2001 (untuk ketentuan pada angka 5) untuk dipedomani dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sehubungan dengan hal tersebut, diminta perhatian Saudara akan hal sebagai berikut : 1. Ruang Lingkup Pemungutan PPN KPKN dan Bendaharawan melakukan pemungutan PPN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan

atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000. 2. Penyerahan Barang/Jasa Kena PPN dan PPn BM-nya tidak perlu dipungut. KPKN dan Bendaharawan tidak perlu memungut PPN dan PPn BM terhadap Barang/ Jasa Kena Pajak yang terutang PPN, adalah sebagai berikut : a. b. c. Pembayaran untuk penyerahan barang atau jasa yang jumlahnya paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah; Pembayaran untuk pembebasan tanah; Pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, mendapat fasilitas PPN tidak dipungut dan atau dibebaskan dari pengenaan PPN; d. e. f. g. Pembayaran atas penyerahan BBM dan bukan BBM oleh PERTAMINA; Pembayaran atas rekening telepon; Pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan; Pembayaran lainnya untuk penyerahan barang atau jasa Perundangan-undangan yang berlaku tidak dikenakan PPN. yang menurut ketentuan

Catatan : Penyerahan tersebut pada butir 2.a dipungut dan disetor oleh Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah sesuai dengan ketentuan yang berlaku umum, sedangkan penyerahan tersebut pada butir 2.g tidak perlu dipungut dan juga tidak diterbitkan Surat Keterangan Bebas PPN (SKB PPN). Apabila KPKN/Bendaharawan ragu-ragu memutuskan apakah atas penyerahan tersebut PPN/ PPn BM atau tidak, maka Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah harus meminta surat penegasan dari 3. Kantor Pelayanan Pajak setempat. Dasar Pengenaan Pajak a. Dasar pengenaan pajak adalah jumlah pembayaran, baik dalam bentuk yang muka, atau pembayaran sebagian/seluruhnya yang dilakukan oleh KPKN atau Bendaharawan. Dalam jumlah pembayaran tersebut dianggap sudah termasuk jumlah PPN dan PPn BM yang terutang. b. KPKN wajib menolak Surat Permintaan Pembayaran (SPP) berikutnya yang diajukan

Bendaharawan Pemerintah apabila Bendaharawan Pemerintah tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 5 dan Pasal 6 Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor :548/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2000. c. Khusus untuk pembayaran Luar Negeri, kontrak-kontrak sampai dengan yang tgl 17 sebagian/seluruh Mei 2001 yang dananya berlaku dari Pinjaman/Hibah

ketentuan/petunjuk yang ada (terakhir Surat Dirjen Anggaran tanggal 24 Januari 2001 Nomor S-256/A/2001 tentang Penerusan SK DJP tgl 17 Desember 2000 No. KEP-526/PJ/2000, Kep. Menkeu No. 486/KMK.04/2000 dan Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2000). Terhitung mulai tanggal 18 Mei 2001 KPKN agar berpedoman padaPeraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2001. 4. Faktur Pajak dan Surat Setoran Pajak a. b. Faktur Pajak dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah; Surat Setoran Pajak (SSP) untuk PPN dan PPn BM yang dipungut oleh KPKN atau Bendaharawan dibuat atas nama, alamat dan NPWP PKP Rekanan Pemerintah. SSP ditandatangai oleh Kepala Seksi Perbendaharaan KPKN/ Bendaharawan pada ruang yang disediakan selaku penyetor. 5. Laporan

a.

KPKN melaporkan daftar nama Bendaharawan dan perubahannya yang berada dalam wilayah kerjanya kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat; KPKN setiap hari kerja menyampaikan lembar ke-3 Faktur Pajak yang telah dibubuhi catatan nomor dan tanggal advis SPM kepada Kantor Pelayanan Pajak dengan Surat Pengantar, sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan RI No. 550/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2000. Apabila pada hari berkenaan tidak ada Faktur Pajak, maka Surat Pengantar diberi catatan "Faktur Pajak NIHIL".

b.

c.

Bendaharawan wajib melaporkan PPN dan PPn BM yang telah dipungut dan disetorkan, setiap bulan kepada KPKN dan KPP selambat-lambatnya 14 (empat belas hari) setelah bulan dilakukan pembayaran atas tagihan dengan menggunakan "Surat Pemberitahuan masa Bagi Pemungut PPN".

6.

Sanksi Petugas/Pejabat KPKN yang ditunjuk dan Bendaharawan yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan tersebut di atas, dapat dikenakan sanksi berdasarkan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Jika tindakan tersebut memenuhi unsur pidana dapat dikenakan sanksi pidana. Lain-lain a. Kepala KPKN dalam hal terjadi permasalahan dalam pelaksanaan surat edaran ini, agar menghubungi Kantor Pelayanan Pajak setempat. Kepala KPKN diinstruksikan agar segera menyampaikan ketentuan ini kepada Bendaharawan Rutin/Proyek di wilayah kerjanya; Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Anggaran diminta untuk mengawasi pelaksanaan surat edaran ini. Sejak berlakunya Surat Edaran Direktur Jenderal Anggaran ini, Surat Edaran Direktur Jenderal Anggaran Nomor SE-17/A/1989 tanggal 25 Januari 1989 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemungutan PPN dan PPn BM oleh KPKN dan Bendaharawan, dinyatakan tidak berlaku.

7.

b.

c.

d.

Demikian untuk dilaksanakan

Direktur Jenderal Anggaran ttd A. Anshari Ritonga NIP. 060027032

Dokumen ini dibuat secara spesifik untuk www.ortax.org

Dalam tulisan sebelumnya diungkapkan bahwa pengertian mengenai istilah penyerahan BKP maupunpenyerahan JKP sudah pernah dimuat dalam memori penjelasan Pasal 13 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 143 Tahun 2000. Kemudian dalam bulan Agustus 2011, Dirjen Pajak menerbitkan SE-50/PJ./2011 yang isinya tidak berbeda dengan PP tersebut. a. Saat Penyerahan BKP untuk Barang Berwujud Bergerak

Dalam memori penjelasan Pasal 13 ayat (1), PP Nomor 143 Tahun 2000 menegaskan bahwa saat penyerahan barang bergerak tidak selalu dikaitkan berbagai syarat penyerahan yang lazim terjadi dalam dunia perdagangan. Dengan bahasa sederhana dapat dikatakan bahwa UU PPN tidak peduli dengan arti penyerahan yang lazim dalam dunia perdagangan atau bisnis. UU PPN, masih menurut penjelasan Pasal 13 ayat (1) tadi, menganut pendirian bahwa penyerahan barang bergerak telah terjadi pada saat barang tersebut dikeluarkan dari penguasaan PKP dengan maksud langsung atau tidak langsung untuk diserahkan kepada pihak lain. Oleh karena itu, PPN terutang pada saat barang diserahkan kepada pihak kedua atau pembeli atau pada saat barang diserahkan melalui juru kirim, pengusaha angkutan, perusahaan angkutan, atau pihak ketiga lainnya untuk atau atas nama pihak kedua atau pembeli. Dalam upaya memahami penjelasan dalam Pasal 13 ayat (1) tersebut, penulis mencoba mengambil satu ilustrasi yang sering terjadi dalam praktik sebagai berikut: PT ABC menjual BKP kepada pembelinya di luar kota. PT ABC mengirimkan BKP tersebut melalui perusahaan ekspedisi pada tanggal 30 September 2011 dan BKP sampai di tangan pembeli tanggal 1 Oktober 2011 (ini dibuktikan dengan tanggal tanda terima barang yang dikeluarkan oleh perusahaan ekspedisi). Lazimnya dalam praktik bisnis, penyerahan untuk transaksi tersebut dianggap terjadi tanggal 1 Oktober 2011 yaitu pada saat BKP sampai di tangan pembelinya. Tetapi, jika mengacu kepada penjelasan Pasal 13 ayat (1) PP Nomor 143 Tahun 2001 di atas, penyerahan BKP justru dianggap telah terjadi pada tanggal 30 September 2011 pada saat penjual BKP menyerahkannya kepada perusahaan ekspedisi (juru kirim). Penjelasan Pasal 13 ayat (1) PP Nomor 143 Tahun 2000 tersebut juga senada dengan penjelasan Dirjen Pajak dalam Surat Edaran (SE) Dirjen Pajak Nomor SE-50/PJ./2011 tanggal 3 Agustus 2011. Meski terlihat seperti mengutip penjelasan PP Nomor 143 Tahun 2000 tadi, namun dalam butir 2 SE tersebut terdapat penjelasan tambahan sebagai berikut: Prinsip akrual sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang PPN tersebut di atas mencerminkan bahwa penentuan saat terutangnya pajak atas penyerahan barang dan penyerahan jasa dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai sejalan dengan norma dalam prinsip akuntansi yang berlaku umum. Dalam prinsip akuntansi yang berlaku umum, penyerahan barang dianggap telah terjadi apabila risiko dan manfaat kepemilikan barang telah berpindah kepada pembeli dan jumlah pendapatan dari transaksi tersebut dapat diukur dengan handal. Demikian juga dengan penyerahan jasa diakui pada saat pendapatan atas penyerahan jasa tersebut telah dapat diestimasi atau diukur dengan handal. Dalam sistem akrual, pendapatan atau piutang diakui pada saat terjadinya transaksi tersebut, tanpa melihat apakah atas transaksi tersebut telah dibayar ataupun belum dibayar. Pengakuan pendapatan atau pencatatan piutang dicerminkan dengan penerbitan invoice/faktur penjualan yang sekaligus menjadi dokumen sumber dan sebagai dasar pencatatan pengakuan pendapatan atau pencatatan piutang. Dari penjelasan tersebut, penulis berpendapat bahwa dalam hal uang pembayaran belum diterima (baik sebagian atau seluruhnya), maka saat yang ditetapkan sebagai saat penyerahan BKP adalah pada saat penjual mencatat penyerahan barang itu sebagai piutang atau penjualan. Dengan mencatat atau mengakui piutang atau penjualan, berarti penjual secara nyata telah mengalihkan risiko dan manfaat atas barang tersebut kepada pembeli. Dengan begitu, maka secara PPN-pun atas penyerahan itu sudah terutang PPN dan sudah harus diterbitkan Faktur Pajak. Jika penegasan dalam butir 2 SE-50/PJ./2011 tersebut diterapkan pada ilustrasi yang penulis sampaikan di atas, di mana PT ABC menyerahkan barang jualannya kepada pembeli di luar kota melalui perusahaan ekspedisi, maka pembuatan Faktur Pajak atas penjualan tersebut dapat dilakukan pada tanggal-tanggal berikut: 1. 2. Jika pada saat menyerahkan barang jualannya kepada perusahaan ekspedisi (tanggal 30 September 2011), PT ABC sudah mencatat Piutang dan Penjualan dalam bukunya, maka saat penyerahan BKP dan pembuatan Faktur Pajak adalah tanggal 30 September 2011; Akan tetapi, jika pada saat menyerahkan ke perusahaan ekspedisi PT ABC hanya mencatat Barang dalam Perjalanan (debit) dan Persediaan Barang Dagangan atau Inventory (credit) kemudian pada saat menerima laporan penerimaan barang oleh pembeli PT ABC mencatat Piutang (debit) dan Penjualan (credit), maka saatpenyerahan BKP dan pembuatan Faktur Pajak adalah tanggal 1 Oktober 2011 (note: ini hanya mungkin dilakukan jika ketentuan akuntansi umum/SAK memperbolehkan). b. Saat Penyerahan BKP untuk Barang Berwujud Tidak Bergerak

Dalam penentuan saat penyerahan barang tidak bergerak, PP tersebut menjelaskan bahwa PPN menganut pendirian bahwa penyerahan hanya dapat dilakukan bila barang tersebut secara fisik telah ada. Dan saat yang ditentukan sebagai saat penyerahan BKP dalam hal ini adalah pada saat surat atau akte perjanjian yang mengakibatkan perpindahan hak atas barang tersebut ditandatangani oleh pihak yang bersangkutan. Untuk mempertegas pemahaman kata penyerahan BKP tidak bergerak, PP Nomor 143 Tahun 2000 memberikan tiga buah contoh transaksi. Dalam contoh pertama diilustrasikan terjadi perjanjian jual beli rumah yang surat perjanjiannya ditandatangani tanggal 1 Mei 2001. Sementara perjanjian penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai rumah dibuat dan ditandatangani tanggal 1 September 2001. Mengenai ilustrasi dalam contoh pertama tersebut, UU PPN menetapkan bahwa saat penyerahan BKP adalah tanggal 1 September 2001. Namun demikian, dalam kalimat lanjutannya, pasal tersebut mengatakan bahwa apabila sebelum surat atau akte tersebut dibuat/ditandatangani rumahnya telah diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli, maka PPN terutang (yang menjadi saat penyerahan BKP dan saat terutangnya PPN) adalah pada saat rumah tersebut secara nyata diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerima barang. Lalu apa maksud dari kata yang dicetak miring itu? Kapan sebenarnya saat yang dimaksud dengan saat secara nyata diserahkan atau berada dalam penguasaan? Menurut penulis, jika itu tidak dikaitkan dengan keharusan bukti hitam di atas putih (tanpa perlu akte atau perjanjian tertulis, maksudnya), maka yang dimaksud dengan saatsecara nyata diserahkan atau berada dalam penguasaan adalah pada saat kunci rumah tersebut diserahkan kepada pembeli. Bukankah sejak pembeli menerima kunci itu pembeli sudah dapat dikatakan menguasai rumah karena bisa menempatinya kapan saja? Kemudian dalam ilustrasi kedua, memori penjelasan Pasal 13 ayat (2) PP Nomor 143 Tahun 2000 menggambarkan sebuah rumah siap pakai dijual dan serahkan secara nyata tanggal 1 Agustus 2001. Dalam contoh ini, saat pajak terutang adalah tanggal 1 Agustus 2001. Namun sekali lagi PP tersebut menegaskan bahwa bilamana sebelum surat atau akte tersebut dibuat atau ditandatangani, barang tidak bergerak telah diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerimanya, maka pajak terutang pada saat barang terebut diserahkan secara nyata atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerima barang. Di sini juga tidak dijelaskan apa maksud dari kata barang tidak bergerak telah diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli. Namun menurut pemahaman penulis, yang dimaksud mungkin adalah saat kunci rumah siap pakai tersebut diserahkan kepada pembeli atau penerimanya. Terakhir, dalam Contoh 3, diilustrasikan sebuah rumah siap pakai dijual dan diserahkan secara nyata tanggal 1 Agustus 2001 sementara perjanjian jual belinya ditandatangani tanggal 1 September 2001. Saat pajak terutang menurut PP Nomor 143 Tahun 2000 adalah tanggal 1 Agustus 2001. Di sini juga tidak dijelaskan apa maksud dari kata diserahkan secara nyata... Namun sekali lagi menurut pendapat penulis, itu adalah saat kunci rumah diserahkan. Pamulang, 16 Oktober 2011

PPnBM merupakan jenis pajak yang merupakan satu paket dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai. Namun demikian, mekanisme pengenaan PPnBM ini sedikit berbeda dengan PPN. Berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang PPN, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan terhadap : 1. penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; 2. impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah. Dengan demikian, PPnBM hanya dikenakan pada saat penyerahan BKP Mewah oleh pabrikan (pengusaha yang menghasilkan) dan pada saat impor BKP Mewah. PPnBM tidak dikenakan lagi pada rantai penjualan setelah itu. Adapun fihak yang memungut PPnBM tentu saja pabrikan BKP Mewah pada saat melakukan penyerahan atau penjualan BKP Mewah. Sementara itu, PPnBM atas impor BKP mewah dilunasi oleh importir berbarengan dengan pembayaran PPN impor dan PPh Pasal 22 Impor. Dasar Pertimbangan Pengenaan PPnBM 1. perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi; 2. perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah; 3. perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional; 4. perlu untuk mengamankan penerimaan negara; Pengertian BKP Mewah 1. bahwa barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau 2. barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau 3. pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; atau 4. barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau 5. apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat, seperti minuman beralkohol. Pengertian Menghasilkan PPnBM dikenakan pada saat Pengusaha yang menghasilan BKP Mewah menyerahkan kepada fihak lain. Termasuk dalam pengertian menghasilkan adalah sebagai berikut ; 1. merakit : menggabungkan bagian-bagian lepas dari suatu barang menjadi barang setengah jadi atau barang jadi, seperti merakit mobil, barang elektronik, perabot rumah tangga, dan sebagainya; 2. memasak : mengolah barang dengan cara memanaskan baik dicampur bahan lain atau tidak; 3. mencampur : mempersatukan dua atau lebih unsur (zat) untuk menghasilkan satu atau lebih barang lain;

4. mengemas : menempatkan suatu barang ke dalam suatu benda yang melindunginya dari kerusakan dan atau untuk meningkatkan pemasarannya; 5. membotolkan : memasukkan minuman atau benda cair ke dalam botol yang ditutup menurut cara tertentu; Tarif, Kelompok dan Jenis BKP Mewah Berdasarkan Pasal 8 Undang-undang PPN, ditentukan : 1. Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen). 2. Atas ekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen). 3. Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan kelompok Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. 4. Jenis Barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Peraturan Pemerintah yang mengatur pengelompokan BKP yang tergolong mewah ini adalah PP Nomor 145 Tahun 2000 yang kemudian mengalami beberapa perubahan dengan PP Nomor 60Tahun 2001, PP Nomor 7 Tahun 2002, PP Nomor 6 Tahun 2003, PP Nomor 43 Tahun 2003, PP Nomor 55 Tahun 2004, PP Nomor 41 Tahun 2005 dan PP Nomor 12 Tahun 2006. Adapun Keputusan Menteri Keuangan yang mengatur jenis barang yang dikenakan PPnBM adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 570/KMK.04/2000, 381/KMK.03/2001, 141/KMK.03/2002, 39/KMK.03/2003 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 620/PMK.03/2004.

Anda mungkin juga menyukai