Anda di halaman 1dari 12

Jurnal Geoaplika (2006) Volume 1, Nomor 3, hal.

101 110
Ismail Hasjim

Kebijakan Pemanfaatan Airtanah di Jawa Barat

Diterima: 10 Agustus 2006 Disetujui : 5 Sept. 2006 Dipresentasikan: 20 Sept.2006 Geoaplika 2006

Sari Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan industri di Jawa Barat, permintaan akan pemenuhan kebutuhan air bersih meningkat dengan pesat. Kebutuhan air bersih ini tidak dibarengi dengan daya dukung lingkungan yang memadai, terutama dari kualitas dan kuantitas air permukaan yang semakin menurun. Akibatnya pemanfaatan airtanah di masa lalu menjadi tidak terkendali, menyebabkan menurunnya muka airtanah, terbentuknya cekungancekungan kritis beserta akibatakibat ikutan lainnya seperti amblesan tanah, intrusi air polutan, dan lain-lainnya. Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, bahwa airtanah merupakan sumberdaya alam yang terbatas, kerusakannya sulit dipulihkan, dan bahwasanya pendayagunaan sumber daya air harus mengutamakan air permukaan. Hal tersebut mendasari disusunnya kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan airtanah di Jawa Barat, yang mana dalam pelaksanaannya membutuhkan peran serta dan komitmen yang kuat dari semua pihak . Terkait hal di atas, peran dari para pakar maupun akademisi sangat dibutuhkan terutama dalam penyajian data dan analisis ilmiah mengenai konfigurasi akifer, parameter-parameter hidrogeologis, serta rekayasa pemulihan cekungan airtanah yang kritis dan rusak.

Abstract Demand for clean water in West Java Province is ever increasing along with the increase in population and industrial development. This need for clean water is not sufficiently supported by environmental carrying capacity, especially with the declining condition of both quality and quantity of surface water. The aforementioned condition has resulted in uncontrollable exploitation of groundwater, causing the decline of water table, the forming of critical groundwater basins, as well as other negative impacts such as land subsidence, intrusion of polluted water, etcetera. It is stated in Law Number 7 Year 2004 about Water Resources, that groundwater is a kind of natural resource which is limited, its damage is unrepairable, and that the utilization of water resource has to put surface water as the major option. Therefore, the successful implementation of policy for groundwater planning and management in West Java Province requires support and strong commitment from related parties. In supporting the policy implementation, the role of scientific field is of prime importance, especially in providing data and analysis of hydrogeological parameters to define the configuration of aquifers, as well as engineering efforts to repair the already critical or damaged groundwater basins.

Ismail Hasjim * Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Jawa Barat Jl. Sukarno Hatta 576 Bandung Telp.(022) 7562049, 7506967 Fax (022) 7562048

* Alamat korespondensi

Permasalahan
Air sebagai unsur pokok dalam menunjang kehidupan baik untuk kepentingan rumah tangga maupun untuk kegiatan ekonomi, dapat dipenuhi dari sumber air permukaan atau dari airtanah. Pada saat ini di Jawa Barat khususnya, airtanah masih menjadi andalan utama untuk memenuhi kebutuhan hajat hidup dibandingkan air permukaan, karena memiliki beberapa kelebihan antara lain sebarannya luas, kualitas relatif lebih baik, infrastruktur yang dibutuhkan lebih sederhana, dan pengaturan pemanfaatannya lebih mudah. Data menunjukkan bahwa kegiatan pengambilan airtanah di wilayah Jawa Barat terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (Tabel 1). Tabel 1. Rekapitulasi pengambilan air tanah
Volume (m3)

Cekungan Airtanah di Jawa Barat


Airtanah di alam terdapat pada lapisan batuan pembawa air yang disebut akifer yang membentuk suatu cekungan airtanah yang dibatasi oleh batasbatas hidrogeologi dimana berlangsung proses pengimbuhan, pengaliran dan pelepasan airtanah (Todd, 1980). Cekungan airtanah meliputi wilayah yang batas-batas horizontalnya tidak sama dengan batas administrasi pemerintahan, maka suatu cekungan airtanah dapat meliputi beberapa Kabupaten/Kota atau provinsi yang selanjutnya disebut sebagai cekungan lintas Kabupaten/Kota atau Provinsi. Berdasarkan keputusan Menteri ESDM Nomor 716.K/40/MEM/2003 tentang Batas Horizontal Cekungan Airtanah di Pulau Jawa dan Madura, bahwa di wilayah Jawa Barat terdapat 27 buah cekungan airtanah yang terdiri dari 8 cekungan lokal, 15 cekungan lintas Kabupaten/Kota dan 4 cekungan lintas Provinsi (Gambar 1). Dengan demikian, pengelolaan sumber daya airtanah seyogyanya dilakukan berdasarkan konsep One groundwater basin, one planning, one integrated management. Untuk 15 Cekungan Airtanah di Jawa Barat yang bersifat lintas Kabupaten/Kota, Dinas Pertambangan dan Energi telah menyusun Rencana Induk Pemanfaatan Airtanah yang menjadi acuan kebijakan bagi Kabupaten/Kota terkait dalam pengelolaan airtanah di wilayahnya.

2002

2003

2004

2005

Volume (m3) 102.268.037 127.223.556 148.860.293 169.134.333

Pengelolaan Airtanah di Jawa Barat


Pengelolaan Airtanah di Jawa Barat terutama mengacu kepada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber daya Air, dimana dinyatakan kewenangan provinsi yaitu : Mengatur, menetapkan dan memberi rekomendasi teknis atas penyediaan, pengambilan, peruntukan, penggunaan dan pengusahaan airtanah pada cekungan airtanah lintas Kabupaten/Kota (Pasal 15). Sedangkan yang menjadi objek pengelolaan yaitu 15 cekungan lintas Kabupaten/Kota yang terdapat di Jawa Barat sebagaimana dikemukakan terdahulu. Di dalam UU No. 7/2004 tersebut telah diamanatkan mengenai pendayagunaan airtanah yang berbunyi : Pendayagunaan sumber daya air didasarkan pada keterkaitan antara air hujan, air permukaan, dan airtanah dengan mengutamakan pendayagunaan air permukaan (Pasal 26). Serta terdapat uraian mengenai karakteristik airtanah yaitu : Airtanah merupakan salah satu sumber daya air yang keberadaannya terbatas dan kerusakannya dapat mengakibatkan dampak yang luas serta pemulihannya sulit dilakukan (Pasal 37).

Hal tersebut mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan antara pengambilan dan kemampuan pengimbuhan airtanah yang ditandai dengan semakin menurunnya permukaan airtanah bahkan di beberapa daerah kondisinya sudah mencapai kriteria kritis. Dari hasil kajian yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Jawa Barat serta data-data dari DTLGKP, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, diketahui bahwa terdapat tiga cekungan airtanah (CAT) yang sudah memiliki zona kritis, yaitu CAT Bandung, CAT Bogor dan CAT Bekasi Karawang. Dari ketiga cekungan tersebut CAT Bandung merupakan cekungan yang tingkat kerusakannya paling parah, di beberapa tempat sudah dalam kondisi kritis (Departemen ESDM, 2005). Pengukuran di beberapa tempat menunjukkan penurunan muka airtanah sejak tahun 1960 sampai tahun 2005 antara 66 69 meter. Kerusakan sumber daya airtanah ini akan semakin parah apabila tidak segera dilakukan langkah-langkah pengendalian secara sinergis melalui strategi kebijakan pengelolaan airtanah yang utuh menyeluruh dan dilaksanakan secara terkoordinasi.

Jurnal Geoaplika (2006) Volume 1, Nomor 3, hal. 101 110

Gambar 1. Cekungan air tanah di Jawa Barat

Sejalan dengan hal di atas, Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah menyusun Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Airtanah, yang diantaranya memuat pengelolaan airtanah secara utuh dan bulat mulai dari perencanaan, pendayagunaan, perizinan, konservasi, sampai pengendalian. Perda tersebut telah pula ditindaklanjuti dengan petunjuk pelaksanaannya berupa Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2006 Tentang Pendayagunaan Airtanah. Di dalam Pergub tersebut diantaranya termuat pemanfaatan airtanah berdasarkan zonasi pendayagunaannya. Selain itu, Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2001 tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, yang pada prinsipnya kebijakan pengelolaan airtanah didasarkan pada upaya konservasi airtanah dan tidak menjadikannya sebagai sumber pendapatan daerah yang harus terus ditingkatkan perolehannya dari tahun ke tahun. Adapun pola pikir dari Perda 16 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Airtanah mulai dari inventarisasi sampai pengawasan pengendalian adalah sebagaimana diuraikan dalam Gambar 2. Sebagai bentuk langkah kebijakan operasional, strategi yang ditempuh adalah sebagai berikut :

Untuk Zona Kritis dilakukan pengurangan debit pengambilan airtanah sebesar 8% per tahun Untuk zona Rawan dilakukan pengurangan debit pengambilan airtanah sebesar 5% per tahun Penambahan resapan air ke dalam tanah sebesar 4% per tahun Melakukan berbagai upaya substitusi dengan air permukaan Mengatur sebaran titik pengambilan airtanah berdasarkan kapasitas optimum akifer guna menghindari terbentuknya zona kritis dan zona rawan

Strategi dan kebijakan tersebut di atas selanjutnya diimplementasikan dalam bentuk Kegiatan operasional sebagai berikut : 1) Pengurangan debit melalui syarat teknis daftar ulang ijin (SIPA) Setiap pemegang ijin pengambilan airtanah diwajibkan melakukan daftar ulang setiap dua tahun sekali, untuk dilakukan penilaian berdasarkan kapasitas akifer yang ada. Melalui kegiatan ini di CAT Bandung pada tahun 2003 berhasil dilakukan pengurangan volume pengambilan airtanah sebesar 4.100 m3 per hari dan pada tahun 2004 berkurang lagi sebesar 1.775 m3 per hari, sehingga total selama dua

PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR TANAH


EVALUASI INVENTARISASI INVENTARISASI

KONSERVASI KONSERVASI DAERAH-2 DAERAHDAERAH-2 RESAPAN RESAPAN

POTENSI SUMBERDAYA AIR BAWAH TANAH

Memenuhi Memenuhi Pembatasan Pembatasan Pengambilan Pengambilan

PENDAYAGUNAAN BENTUK PENYAJIAN


-

PERENCANAAN

PERIZINAN PERIZINAN
Pajak Pembayaran Air Tanah Air Bawah

PETA ZONASI PETA ZONASI KUALITAS KUALITAS NERACA AIR NERACA AIR

RUTR KAWASAN LINDUNG

PEMANFAATAN U/ KEBUTUHAN MASYARAKAT

BINWASDAL

BINWASDA

DAERAH DAERA
Kegiatan Pembangunan
Kajian Hidrogeologi Sumur Resapan Kualitas Air Sumur Injeksi Sumur Pantau RUTR

KAS

Gambar 2. Bagan pola pikir Perda 16 Tahun 2001

Jurnal Geoaplika (2006) Volume 1, Nomor 3, hal. 101 110


tahun telah berhasil dilakukan pengurangan volume pengambilan airtanah di CAT Bandung sebesar 5.875 m3 per hari. Sedangkan untuk seluruh wilayah Jawa Barat pada tahun 2003 berhasil dilakukan pengurangan sebesar 10.295 m3 per hari dan tahun 2004 sebesar 9.033 m3 per hari, sehingga total pengurangan volume pengambilan airtanah di wilayah Jawa Barat sebesar 19.328 m3 per hari (Distamben, 2004). 2) Penertiban pengambilan airtanah Kegiatan ini bertujuan untuk mengendalikan pengambilan airtanah terutama terhadap yang belum berijin. Kriteria hasil kegiatan penertiban antara lain : - Penutupan sumur, jika lokasi titik terdapat di zona kritis, volume pengambilan melebihi , dll - Penyegelan atau penutupan sementara - Legalisasi, hanya diterapkan untuk zona rawan dan aman yang dinilai tidak menimbulkan dampak lingkungan yang berarti Dari hasil kegiatan penertiban sejak tahun 2001-2005 telah ditertibkan 3729 titik sumur bor, dan telah diambil tindakan berupa penutupan sumur ilegal sebanyak 344 titik dan 1523 ditindaklanjuti proses ijinnya. 3) Sosialisasi upaya konservasi airtanah penghematan dan secara terpadu, serta menerapkan langkah uji coba dan pengembangan upaya pemulihan kondisi airtanah di daerah kritis dengan sistem pengisian kembali secara buatan (artificial recharge) dengan memanfaatkan air hujan sebagai air baku.

Pengelolaan Cekungan Kritis: Kasus CAT Bandung


Sebagaimana telah disebutkan, di Jawa Barat telah terbentuk 3 Cekungan Airtanah yang berada dalam kondisi kritis, CAT Bandung, CAT Bogor, dan Cekungan Bekasi-Karawang. Eksploitasi sumber daya airtanah yang tidak terkendali di CAT Bandung khususnya telah mengakibatkan timbulnya dampakdampak negatif bagi lingkungan, antara lain: a. Penurunan muka airtanah, di Cekungan Bandung intensitas penurunan tertinggi umumnya terjadi pada lokasi-lokasi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi (pusat-pusat industri ) (Tabel 2). Penurunan permukaan tanah atau amblesan (land subsidence), merupakan dampak lanjutan dari penurunan muka airtanah sehingga kekosongan pori-pori pada lapisan batuan atau tanah mengalami pemampatan akibat kehilangan tekanan pori pada massa batuan. Pada daerah yang telah mengalami penurunan muka tanah dapat dicirikan dengan semakin meluasnya wilayah yang mengalami bencana banjir. Data sebagaimana tercantum pada Tabel 3 berikut ini memperlihatkan sebaran lokasi yang mengalami penurunan muka tanah. Terjadinya penurunan kualitas airtanah, yang disebabkan oleh infiltrasi unsur-unsur pencemar baik yang berasal dari limbah domestik maupun perembesan unsur-unsur logam yang terdapat pada lapisan tanah atau batuan itu sendiri. Berdasarkan analisis kualitas air yang dilakukan secara tahunan oleh Dinas Pertambangan dan Energi, diindikasikan telah terjadi perubahan pada kualitas air di Cekungan Bandung pada tahun 2003 sebesar 46,89% tidak layak minum.

b.

Dalam berbagai kesempatan Dinas Pertambangan dan Energi aktif melakukan sosialisasi penghematan dan konservasi serta upaya pemulihan kondisi airtanah kepada masyarakat dan pelaku industri. Selain itu dibeberapa lokasi industri telah pula dilakukan uji coba daur ulang pada instalasi IPAL milik perusahaan dengan menggunakan mineral zeolit sebagai media proses pengolahan, antara lain dilakukan di lokasi PT.Cocacola, KPBS Pangalengan, PT.Kahatex, Pabrik Kertas Leces dan pabrik tahu Cibuntu. 4) Koordinasi dan kerjasama Untuk mengimplementasikan strategi dan kebijakan pengelolaan airtanah di Jawa Barat perlu dilakukan koordinasi dan kerjasama dengan para pihak terkait, terutama dalam hal rehabilitasi lahan kritis terutama di daerah-daerah resapan, pengembangan potensi sumber air permukaan seperti pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)

c.

Berdasarkan Rencana Induk Pemanfaatan Airtanah Cekungan Bandung Soreang (Distamben, 2002) diketahui bahwa luas zona kritis pada tahun 2002 diperkirakan telah mencapai 6,125 km2 ( Gambar 3). Berdasarkan simulasi numerik, diprediksi bahwa pada tahun 2013 luas zona kritis di CAT Bandung akan bertambah sebesar 60% atau sekitar 9,8 km2 apabila diasumsikan pemanfaatan airtanah oleh masyarakat dan industri dianggap tetap.

Tabel 2. Penurunan muka air tanah yang terjadi di CAT Bandung


No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Daerah Cimahi Leuwigajah,Cimindi,Utama, Cibaligo Cijerah,Cibuntu,Garuda,Arjona, Maleber, Husen, Ps.kaliki Buah Batu.Kiaracondong, Kb.waru Dayeuh Kolot Jl.Moh.Toha Cicaheum,Uj.berung,Gedebage, Cipadung, Cibiru PT.Grandtex (AWLR) PT. Bintang Agung (AWLR) Cikeruh,Rancaekek,Cimanggung, Cikancung PT.Kewalram (AWLR) Bojongsalam (AWLR) Sekitar Majalaya Ciparay,Banjaran,Pamengpeuk Katapang,Soreang Bojongkunci (AWLR) Cipedung (AWLR) 31,72 - 50,17 m BMT 7,7 - 29,39 m BMT 1,51 - 30,85 m BMT 6,78 - 23,57 m BMT 16 - 49,5 m BMT 22,7 - 49,5 m BMT 25,67 - 66,64 m BMT 1,61 - 3,1 3,0 - 12,26 1,47 1,63 - 2,12 1,63 2,12 0,52 - 3,85 2,01 0,44 0,32 - 3,9 0,89 - 4,57 0,38 - 1,6 0,77 0,38 m/tahun m/tahun m/tahun m/tahun m/tahun m/tahun m/tahun m/tahun m/tahun m/tahun m/tahun m/tahun m/tahun m/tahun Lokasi Penelitian Kedudukan MAT 10-25 m BMT 41,05 - 71,4 m BMT 29,9 - 51,54 m BMT Fluktuasi Penurunan 7,19 3,11 - 15,12 1,27 - 4,32 m/tahun m/tahun m/tahun

Tabel 3. Penurunan muka tanah yang terjadi di CAT Bandung (Periode 1996 2000) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Daerah Cimahi - Leuwigajah Bojongsoang Kopo Banjaran Dayeuhkolot Gedebage Ujungberung Majalaya Rancaekek Cicalengka Besar Penurunan (cm) 84,5 83,9 18,9 63,9 20,8 24,3 20,6 8,4 11,8 44,5 Rata-2 Penurunan (cm/tahun) 21,1 20,9 4,7 15,9 5,2 6,1 5,2 2,1 2,9 11,1

Sumber : Abidin, 2000 dalam Sonsang 2000

Jurnal Geoaplika (2006) Volume 1, Nomor 3, hal. 101 110

Strategi Penerapan Kebijakan


Memperhatikan hal tersebut, disepakati bahwa arah kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk wilayah cekungan airtanah yang sudah terdapat zona kritis harus segera dilakukan upaya pemulihan dan pembatasan pengambilan airtanah. Kebijakan ini disusun dalam upaya untuk mencapai kondisi yang lebih baik sesuai dengan skenario yang telah disusun, yaitu : a. b. c. Merubah Zona Kritis menjadi Zona Rawan Merubah Zona Rawan menjadi Zona Aman Memperluas Zona Aman

k.

Memberikan alternatif pengganti sumur bor melalui pembuatan sistem tangki penampungan air di bawah tanah (Underground Tank System) yang sumber airnya dipasok dari mata air yang ada di sekitar wilayah Kota Bandung.

Kondisi yang Diharapkan


Jika skenario tersebut dapat diimplementasikan melalui strategi dan kebijakan yang telah ditetapkan dan dilaksanakan secara konsisten, diharapkan hasil akhir kondisi pemulihan Cekungan Airtanah Bandung dapat terwujud pada tahun 2013 yang diindikasikan dengan hilang atau berkurangnya zona kritis di CAT Bandung, sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 4.

Adapun langkah-langkah yang diterapkan dalam rangka pengendalian pemanfaatan airtanah di Cekungan Airtanah yang sudah terdapat zona kritis adalah : a. Tidak menerbitkan ijin baru di Zona Rawan dan Zona Kritis. b. Pengurangan debit pengambilan airtanah untuk Zona Kritis dan Zona Rawan. c. Penambahan resapan air ke dalam tanah baik secara alami maupun artifisial. d. Melakukan berbagai upaya substitusi dengan air permukaan. e. Menerapkan sistem pajak dengan sistem progresif yang didasarkan pada perhitungan Nilai Perolehan Air f. Mengatur sebaran titik pengambilan airtanah di Zona Aman berdasarkan kapasitas pengambilan optimum setiap akifer, guna menghindari terbentuknya Zona Kritis dan Zona Rawan baru. g. Melakukan berbagai uji coba pengolahan air limbah di beberapa lokasi industri dengan memanfaatkan jenis bahan galian zeolit yang telah diaktifasi h. Melakukan uji coba pemulihan dengan cara meresapkan air hujan langsung dari atap bangunan parik ke dalam akifer menengah (kedalaman sekitar 100-120 m) terutama untuk daerah-daerah yang sudah mengalami kondisi kritis airtanah. i. Melakukan upaya penertiban terhadap para pengambil airtanah secara intensif j. Memberikan masukan dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Jawa Barat guna mempertahankan laju pertumbuhan di daerahdaerah resapan.

Penutup
Berdasarkan uraian di atas, terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian kita semua : 1. Airtanah merupakan sumber daya alam yang memiliki kemampuan terbatas; kondisi airtanah yang rusak agar dipulihkan terlebih dahulu dengan tidak mengganggu akifer di bawahnya. 2. Secara prinsip airtanah tidak dikembangkan bagi pemenuhan kebutuhan industri, sehingga harus segera diupayakan substitusi dari air permukaan. 3. Pengelolaan airtanah harus dilakukan dalam satu manajemen berdasarkan azas konservasi dan optimalisasi pemanfaatan. 4. Upaya pemulihan cekungan kritis merupakan suatu keharusan untuk segera diimplementasikan tidak lagi merupakan wacana, sehingga perlu adanya komitmen dari semua pihak. 5. Diperlukan kesamaan persepsi dari pihak-pihak terkait dalam memahami permasalahan airtanah ini, agar pengelolaan airtanah di Jawa Barat dapat dilaksanakan secara efektif, berhasil guna, dan sesuai dengan azas-azas konservasi. 6. Dibutuhkan dukungan dari kalangan ilmuwan dalam rangka pengelolaan airtanah yang lebih baik. Peran para pakar maupun akademisi sangat signifikan terutama dalam penyajian data dan analisis ilmiah mengenai konfigurasi akifer, parameter-parameter hidrogeologis, serta rekayasa pemulihan cekungan airtanah yang sudah kritis atau rusak.

Daftar Pustaka
Distamben, 2002. Rencana Induk Pendayagunaan Air Bawah Tanah Cekungan BandungSoreang. Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Jawa Barat bekerjasama dengan ITB, Bandung.

Distamben, 2004. Pemantauan Kondisi Air Bawah Tanah Cekungan BandungSoreang. Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Jawa Barat bekerjasama dengan DGTL, Bandung. Todd, 1980. Groundwater Hydrology. Wiley & Sons, New York.

Sonsang, 2000. Studi Awal Pemantauan Penururunan Tanah di Wilayah Bandung Dengan Metode Survey GPS. Skripsi, ITB, Bandung. Departemen ESDM, 2005. Airtanah di Indonesia dan Pengelolaannya. Dirjen GSDM, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta.

Jurnal Geoaplika (2006) Volume 1, Nomor 2, hal. 071 078


6 40
0 1

10 7 10

10 7 20

10 7 30

10 7 40

10 7 50

10 8 00

6 4

U
C ik a l o n g w e t an

L e m ba n g R a jam a n d al a P a d ala r an g

15

15 Km

6 50

6 5

C im a h i B a t u ja j a r

K A BU PATE N S U M E D AN G
U ju n g b e r u n g

C i l i l in

K O TA BA N D U NG

C ile u n y i

C ic a le n g k a
7 00
0 1

G u n u n g h a lu S o re an g B a n ja r an C ip a ra y M a j a la y a N ag rek

7 0

C iw id e y

M aru y un g

K A B U PA T E N B A N D U N G
P a n g a le n g a n C ib u n i

Z ona r it is Zona KKritis Zona awa n ZonaRRawan Zona Aman


7 1
0

7 10

S a n to s a

7 20

7 2 10 7 10
0 1

10 7 20

10 7 30

10 7 40

10 7 50

10 8 00

Gambar 3. Luasan zona kritis CAT Bandung pada tahun 2002

ZONA RAWAN ZONA AMAN

Gambar 4. Kondisi Akhir CAT Bandung pada tahun 2013 yang diharapkan jika skenario upaya konservasi dan pemulihan dapat terlaksana dengan baik.

Jurnal Geoaplika (2006) Volume 1, Nomor 3, hal. 101 110

Gambar 4. Kondisi Akhir CAT Bandung pada tahun 2013 yang diharapkan jika skenario upaya konservasi dan pemulihan dapat terlaksana dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai