Anda di halaman 1dari 12

240

Moh. Nasir Cholis

Moh. Nasir Cholis AKTUALITAS TEKS NASH DAN DIMENSI RAY DALAM PERWUJUDAN SYARIAH

Abstract : Nowadays, all Moslem have to face many problems due to the developing issues in the world, caused by the interaction with any other cultures. The text of Nash only explains the primary matters as in the other side the new issues developing quickly must be answered by Syariah. In this case, ijtihad has the main role. Ijtihad is the maximum effort of thinking in finding and implementing the message of law written in the text of Nash. The product of thoughts of ijtihad is being the other sources of law beside the holy Quran and Sunnah. Within the prominent of AshShahabah, Umar ibn al Khattab is a man of the first rank in giving fatwa in facing many social changes in the context of Syariah sociotext related to the condition of societies. He has a bravery in implementing the spirit of the Quran, in a way that he promoted the spirit of Syariah rather than the literal of the text of Syariah when the Maslahat needs. For example, Umar didnt apply the law of cutting hand to the thief in the era of poverty and there are many others in the matter of dimension of Ray in Syariah implementation.

Hukum Islam. Vol. IV No. 2. Desember 2005

241 A. PENDAHULUAN

Moh. Nasir Cholis

Al-Quran pada mulanya diwahyukan sebagai respon terhadap situasi komunitas tertentu, yang kemudian secara ilmiah tumbuh dan berkembang lebih luas, dengan tersebarnya Islam ke berbagai penjuru dan kebanyakan problematika yang dihadapi kaum muslimin di masa Rasulullah sudah barang tentu berbeda dengan yang dihadapi oleh generasi yang datang sesudahnya. Hal ini terjadi disamping karena proses kemasyarakatan yang berjalan terus menerus, juga disebabkan oleh kontak dan saling berinteraksi antar umat Islam dan budaya lain yang bersentuhan. Oleh karena itu al-Quran hanya memuat sebagian kecil hukum-hukum secara detail dan sunnah yang terbatas pada kasus-kasus yang terjadi dimasa Rasulullah. Maka untuk memecahkan persoalan-persolan baru terutama yang berhubungan persoalanpersoalan kemasyarakatan diperlukan adanya ijtihad. Ijtihad merupakan pikiran maksimal manusia yang dikerjakan secara intensif dalam menemukan dan menerapkan pesan-pesan hukum yang termuat atau tersirat pada suatu teks (nash) agama atau preseden ternyata telah dapat mengaktualkan aturan-aturan Islam pada setiap waktu dan keadaan. Ijtihad itu sudah ada sejak proses penetapan hukum itu dimulai, bahkan sejak ajaran Islam itu memasuki bidang syariat pada masa Nabi di Madinah, baik dilakukan oleh Nabi sendiri maupun para sahabatnya. Namun produk-produk ijtihad Nabi itu kemudian menjadi sunnah yang merupakan sumber hukum yang kuat setingkat di bawah al-Quran. Demikian pula dengan produk ijtihad sahabat sejauh mendapat legitimasi dari Nabi. Untuk melihat lebih jauh tentang pengklasifikasian metode pendekatan ijtihad melalui teks atau konteks nash dalam menetapkan suatu ketentuan hukum yang dipakai oleh mazhab yang masih berkembang pada era modern ini, itu dapat diketahui lewat penjelasan berikut.

Hukum Islam. Vol. IV No. 2. Desember 2005

242 B. PEMBAHASAN

Moh. Nasir Cholis

1. Elemen Rayi Dalam Mazhab Umari Dibukanya peluang ijtihad oleh Nabi kepada para sahabat itu mempunyai dampak positif, dengan adanya legalitas syarI bagi para ulama pasca rasul untuk melalukan kajian hukum tersebut dan terbentuknya suatu metode kajian hukum yang mendapat legalitas dan dapat dijadikan acuan dalam pengembangan lebih lanjut.1 Umar Ibnu Khattab (W. 23 H / 1644 M) adalah salah seorang sahabat terbesar sepanjang sejarah Islam sesudah Nabi Muhammad SAW. kebesarannya terletak kepada keberhasilannya, baik sebagai negarawan yang bijaksana maupun sebagai mujtahid yang ahli, dalam membangun sebuah negara besar yang ditegaskan atas prinsip-prinsip keadilan, persamaan dan persaudaraan yang diajarkan oleh gurunya Muhammad SAW dalam kedudukannya sebagai mujtahid. Umar termasuk pada ranking pertama dalam tujuh besar sahabat Nabi yang banyak memberikan fatwa dan orang yang terdepan membawa panjipanji rayi. 2 Dalam menghadapi perubahan-perubahan sosial ia memandang preseden-preseden historis yang berasal dari Rasulullah dalam konteks sosio teks syariah sering dikaitkannya dengan kondisi masyarakat dan kurun waktu dimana teks-teksnya timbul pertama kali. Generasi-generasi Islam belakangan terlihat kurang dapat belajar dari Umar. Dan kalaupun ada, jumlahnya sedikit. Itulah barangkali yang disindir oleh Iqbal. Memang sebagai hambatan yang cukup mengganjal, masih ada kalangan Islam yang menjadi historis dalam pandangan sejarahnya, karena tidak dapat menempatkan masa lalu itu, dalam konteksnya yang riil untuk kemudian dilihat dari suatu perspektif kebekuan-kebekuan yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Untuk menerobos kebekuan-kebekuan ini semangat Umar perlu dikembangkan. Dalam waktu yang belum melewati satu generasi, Umar telah dapat memandang sejarah masyarakat Islam itu sebagai bagian dari pengalaman Islam. Baginya pemahaman yang benar terhadap alQuran dan Sunnah hanya dapat dilakukan melalui peristiwa-peristiwa
Hukum Islam. Vol. IV No. 2. Desember 2005

243

Moh. Nasir Cholis

dan pengalaman masyarakat Islam. Dia melihat Nabi sebagai manusia yang bekerja mengubah sejarah sesuai dengan kehendak dan risalah Tuhan. Dengan demikian wahyu yang dibawanya dan perbuatanperbuatan yang dilakukannya tidak dapat dilepaskan dari situasi sejarah yang aktual pada masanya. Allah berfirman dan Nabi merealisasikannya, walau tidak hanya untuk konteks waktu dan tempat tertentu.3 Umar bin Khattab sesuai dengan pemerintahannya yang panjang dan berkembangnya masyarakat Islam yang sudah luas, maka beliaulah yang paling berani merealisasikan jiwa al-Quran. Beliau banyak berpegang kepada ruh hukum Islam, daripada bunyi tekstualnya. 4 Khalifah Umar Ibn Khattab banyak menghadapi peristiwaperistiwa yang belum pernah dihadapi oleh siapapun. Dibawah pemerintahannya banyak negara yang dikuasainya dan kebudayaankebudayaan masyarakat yang berbeda dibawah kekuasaannya memerlukan perhatian yang serius. Oleh karena itu beliau berijtihad bukan hanya terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya, akan tetapi beliau berijtihad berdasarkan kemaslahatan yang dibukukan oleh al-Quran dan sunnah Rasul dan mengambil petunjuk dari kemaslahatan tersebut dalam menetapkan hukum peristiwaperistiwa itu. Beliau berbuat sesuai dengan jiwa syariat, bukan menurut aksara nash syariat saja. 5 Beliaulah yang pertama kali membentuk tentara yang digaji setiap bulan, menyusun dewan-dewan jawatan dan menyangkut pegawai membagi sistem pemerintahan dengan sistem daerah, mengadakan pengawasan di pasar-pasar, mengontrol timbangan dan takaran, penjagaan tata tertib dan kebersihan jalan-jalan, penetapan tahun kalender Islam berdasarkan hijriah Rasulullah dan pengaturan perjalan pos. Beberapa buah peristiwa yang sudah jelas ketentuannya di dalam nash, namun beliau tetap menggunakan ijtihad berdasarkan kemaslahatan tersebut dalam mengambil keputusan hukum. Apa yang

Hukum Islam. Vol. IV No. 2. Desember 2005

244

Moh. Nasir Cholis

beliau lakukan sesuai dengan jiwa syariat, namun bukan menurut interpretasi belaka. 1. Kasus potong tangan pidana pencurian Dalam al-Quran dijelaskan bahwa hukuman (tindakan pidana) pencurian adalah pencurian potong tangan. Hukuman ini tercantum dalam surat al-Maidah ayat 38. Secara garis besarnya, pencurian dalam hukum Islam dibagi kepada dua macam, yaitu: pencurian yang di pidana dengan hukuman potong tangan dan pencurian yang di hukum tazir. 6 Hukuman tazir dilakukan apabila tidak terpenuhinya syarat-syarat pencuri yang mengharuskan hukuman had. Beberapa hal yang perlu diperhatikan terhadap kejahatan pelaku pencurian yang diancam dengan hukuman potong tangan adalah: a. Pencuri sudah mukallaf (baligh dan berakal) b. Pencurian itu atas kemauan sendiri c. Tidak terdapat subhat (semi milik).7 Umar Ibn Khattab dikabarkan pernah tidak melaksanakan hukuman tersebut sewaktu masyarakat sedang mengalami musibah kekurangan persediaan makanan dan bahaya kelaparan. 8 Peristiwa ini terjadi pada masa kemarau panjang, yang karena kegersangan tanah yang tidak pernah ditimpa hujan selama sembilan bulan terus menerus, bumi berubah menjadi seperti abu, sehingga tahun itu dikenal dengan tahun abu. Diperkiran tahun abu ini terjadi menjelang akhir tahun kesebelas hijriah, yang meliputi daerah-daerah Hijaz dan Najd.9 2. Kasus Muallaf Dalam surat at-Taubah ayat 60, Allah menerangkan bahwa antara golongan yang berhak menerima zakat ialah golongan muallaf. Menurut Sayyid Sabiq, pengertian al-Muallaf Qulubuhum sebagaimana yang dikutip dalam tafsir al-Mannar, yaitu sekelompok orang yang dibujuk agar tidak melakukan kejahatan terhadap orangorang Islam, atau orang-orang yang jasanya diharapkan untuk membantu dan membela kaum muslimin. 10
Hukum Islam. Vol. IV No. 2. Desember 2005

245

Moh. Nasir Cholis

Menurut pendapat Umar bagian muallaf hanya diadakan ketika Islam masih lemah dan pembagian zakat kepada muallaf disyariatkan lantaran sesuatu illat (alasan-alasan dibalik solusi-solusi dan keputusan tersebut). Oleh karena itu illat itu telah hilang maka hukum itu tidak dilaksanakan lagi. 11 Dalam kasus muallaf, nampaknya Umar memang tidak melihat adanya kemaslahatan untuk meneruskan pemberian kepada orangorang yang mendapat sebelumnya dan kalau diteliti lebih mendalam perbuatan Umar sejalan dengan kandungan ayat 60 surat at-Taubah. Secara umum ayat tersebut tidak mengatur bagaimana seharusnya dan sebaiknya membagi harta zakat kepada mustahiqnya yang delapan macam itu. Oleh karena itulah ulama dengan mempergunakan argumentasi mereka masing-masing berbeda pendapat disamping ada yang mengharuskannya. Penyebab terjadinya perbedaan pendapat itu menurut Ibn Rusyd ialah adanya sebagian ulama yang terikat oleh tekstual ayat, yang menghendaki pembagian kepada semua kelompok sedangkan yang lainnya berpegang kepada makna esensial dari ayat yang tujuannya untuk menyelesaikan suatu problem sosial dalam masyarakat Islam. 12 Dikalangan sahabat, disamping Ibn Abbas, Umar Ibn Khattab memahami ayat sesuai dengan makna dan jiwanya. Nampaknya ia tidak terikat oleh tuntutan tekstual ayat tersebut dan kalau diperlukan ia membolehkan pendogmaannya terhadap suatu kelompok saja. Hal ini yang kemudian dikembangkan oleh Imam Abu Hanifah. Masa ini disebut masa keemasan fiqh Islam. Pada periode ijtihad dan keemasan inilah muncul imam Abu Hanifah, imam Malik, imam asy-SyafiI dan imam Ahmad bin Hanbal. Selain keempat imam itu, pada periode ini juga bermunculan mujtahid lain, seperti imam Zaid bin Ali bin Husein Zainal Abidin (w. 122 H) dan imam Jafar as-Sadiq. Keduanya dikenal sebagi mujtahid dikalangan Syiah, serta imam Abdur Rahman al-Auzai, yang dianggap sebagai imam yang telah punah. 13

Hukum Islam. Vol. IV No. 2. Desember 2005

246

Moh. Nasir Cholis

2. Elemen Teks Nash Dalam Mazhab Alawy Sebagaimana para fuqoha-fuqoha lain dalam lapangan hukum Islam, orang-orang Syiah yaitu pembela dan pendukung Khalifah Ali r.a. serta keturunan-keturunan juga mempunyai kegiatan dalam mengambil konsepsi hukum tersendiri dengan berpedoman kepada sumber syariat yang diyakininya yaitu al-Quran yang ditafsirkan menurut dasar-dasar pendirian mereka dan interpretasi pemahaman yang diberikan oleh imam-imam mereka, juga memakai hadits sebagai sumber hukum yang sama-sama dimiliki oleh semua orang Syiah. Adanya imam-imam yang terus berganti-ganti sesudah wafatnya Ali. Oleh karena tidak adanya kesepakatan tentang penetapan imam-imam tersebut, maka mereka terbagi menjadi beberapa golongan, diantaranya ialah golongan Syiah Ismailiyah, Syiah Jafariyah dan Syiah Zaidiyah. Golongan Syiah Jafariyah kebanyakan bertempat di Iran dan Iraq, tidak sedikit mereka yang bertempat tinggal di India. Golongan ini mempunyai mazhab fiqh tersendiri dengan fuqoha dan mujtahidnya yang tidak sedikit dan yang telah memungkinkan fiqh tersebut mencapai kualitas yang tinggi dalam pembahasanpembahasan aturan dasar dan kesanggupannya untuk mengikuti perkembangan zaman, sehingga menyamai fiqh Sunni (dalam mazhab empat). Dasar-dasar mazhab Syiah Jafariyah adalah al-Quran, Hadits, Ijma dari keturunan Ali (ahlu bait), pikiran dan pendapat imam-imam Syiah tersebut mendapatkan kedudukan yang tinggi sekali, karena dianggap sebagai bagian dari hadits yang harus diterima tanpa adanya pertimbangan pikiran untuk menerima atau menolaknya, karena mereka terjamin dari kesalahan dan tidak berbeda dengan Nabi dalam menerima wahyu melalui malaikat Jibril. Bagi selain imam-imam mereka tidak boleh melakukan ijtihad semasa hidup imam. Baru setelah imam tersebut tidak ada, maka orang lain boleh melakukan ijtihad; tetapi dalam bentuk memperluas pengertian pendapatpendapat imam tersebut.14

Hukum Islam. Vol. IV No. 2. Desember 2005

247

Moh. Nasir Cholis

Orang-orang Syiah berpandangan bahwa imam-imam itu masum dan kemasumannya itu melahirkan kompetensi pemahaman ayat-ayat al-Quran yang tidak bisa dijangkau oleh para ulama lain, termasuk para sahabat besar. Oleh karena itu, akal imam secara mandiri mampu melahirkan pemikiran-pemikiran hukum tanpa melakukan kajian analogis. Tokoh-tokoh Syiah amat fanatis dengan keluarga Rasulullah SAW dan keutamaannya, hanya menerima hadits-hadits yang disampaikan oleh keluarganya. Sedangkan yang disampaikan oleh para sahabat selain Ali tidak mereka terima, karena pengakuan mereka terhadap kekhalifahannya Abu Bakar dan Umar yang keduanya menurut kekuasaan hak Ali, seperti membuat mereka fasik, dan orang yang fasik tidak dapat dipercaya segala informasi keagamaan yang disampaikan oleh mereka. Pada hakekatnya, perbedaan prinsipil antara Syiah dan Sunni terletakpada persoalan tokoh pengganti Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin umat sepeninggal beliau, baik bidang pemerintahan maupun dalam hal-hal spiritual keagamaan. Kaum Syiah berpendapat bahwa pemegang jabatan itu ditetapkan dan diwasiatkan oleh Nabi Muhammad SAW, dalam hal ini yang ditunjuk oleh beliau ialah Imam Ali bin Abi Thalib. Sedangkan Ahlusunnah berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW wafat tanpa mewasiatkan jabatan tersebut kepada siapapun. Akibatnya, kaum Syiah tidak seperti kaum muslimin lainnya, hanya mau berpegang pada apa yang mereka terima dari ahlul bait, keluarga Nabi Muhammad SAW dan keturunan beliau dalam segala hal yang bersangkutan dengan pemahaman-pemahaman keagamaan. Dan juga mereka selalu berpegang teguh dengan pendirian bahwa Imam Ali dan keturunannya dari istrinya Fatimah adalah suatu kelompok yang berhak menduduki jabatan khalifah dan kepemimpinan tertinggi umat. Ada beberapa dalil yang mereka jadikan sebagai hujjah untuk memperkuat argumentasinya ini, diantaranya adalah :

Hukum Islam. Vol. IV No. 2. Desember 2005

248

Moh. Nasir Cholis

a. Telah berkata amirul Muminin Ali bin Abi Thalib: kearah manakah kamu akan pergi? Dan bagaimanakah kamu akan dapat tertipu? Sedangkan panji-panji (kebenaran) telah ditegakkan, bukti-bukti pun telah jelas. Mercusuar telah dinyalakan. Maka bagaimana kamu dapat diselewengkan? Bahkan bagaimana kamu disesatkan, sedangkan kerabat-kerabat Nabimu berada ditengahtengah kamu? Maka itulah tonggak kebenaran, panji-panji agama, lidah-lidah yang selalu berkata benar. Tempatkanlah mereka dengan penuh perhatian, sebagaimana onta-onta yang haus mandatangi mata air pelepas dahaga. Wahai manusia, penutup para Nabimu. Merekayang mati diantara kamu sesungguhnya merekatiada mati. Maka yang hancur luluh tulang belulangnya diantara kamu, sesungguhnya ia tiada hancur. Maka jangan kamu ucapkan apa yang kamu tiada mengerti sebab kebenaran sejati adalah justru kamu ingkari. Janganlah kamu menyalahkan orang yang kamu tiada memiliki alasan apapun untuk menyalahkannya, yaitu kau bukan aku (dalam segala perbuatanku), telah berpegang teguh pada peninggalan Rasulullah yang terpenting yaitu alQuran dan menitipkan kepadamu peninggalan beliau yang lain yaitu keluarga beliau. 15 b. Dan telah berkata pula Imam Ali: Jagalah keluarga ahlul bait Nabimu, tetaplah bersama mereka, ikuti jejak mereka. Sebab mereka tak pernah menyelewengkan kamu dari petunjuk (yang benar). Dan mereka takkan mengembalikan kamu kedalam kegelapan kekafiran. Jika mereka berhenti, berhentilah. Jika mereka bergerak, bergeraklah. Jangan mendahului dari mereka, nanti kamu bisa tersesat. C. PENUTUP Kesimpulan Terjadinya proses perubahan masyarakat secara terus menerus seiring dengan pertukaran waktu meniscayakan munculnya berbagai macam problematika sosial kemasyarakatan yang menuntut adanya solusi dari permasalahan tersebut sebagai hukum baru (ijtihad).
Hukum Islam. Vol. IV No. 2. Desember 2005

249

Moh. Nasir Cholis

Karena tekstual nash hanya memuat segelintir hukum yang mendetail untuk memecahkan persoalan hukum. a. Dimasa Umar banyak menjumpai masalah baru yang belum pernah dijumpai bentuk kebijakan yang diambil, oleh karena itu beliau berijtihad untuk mencarikan solusinya berdasarkan kemaslahatan yang terdapat di dalam nash. Beliau menetapkan suatu hukum berdasarkan kemaslahatan sesuai dengan yang dikehendaki oleh jiwa nash. b. Sumber-sumber syariat mazhab alawy yang mereka yakini yaitu: al-Quran yang ditafsirkan menurut dasar pendirian mereka, hadits serta pemikiran-pemikiran (ijtihad) dilakukan oleh para imam mereka yang harus ditaati secara konsisten walaupun hal itu bertentangan dengan interpretasi lain.

Hukum Islam. Vol. IV No. 2. Desember 2005

250 Endnotes :
1

Moh. Nasir Cholis

4 5 6 7 8

10 11 12 13

14

15

Syaban Muhammad Ismail, at-Tasyrik al-Islam, (Cairo: Maktabah Nadhdhah al-Mishriyah, 1985), hal. 235. T.M. Hasby ash-Shiddiqi, Syariat Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Yogyakarta: IAIN al-Jamiah al-Islamiyah al-Hukumiyah, 1381 H), hal. 23. Amin Nuruddin, Ijtihad Umar Ibn Khattab, (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), hal. 136. Ibid, hal. 142. Mukhtar Yahya, Op.Cit, hal. 377-378. Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, cet. IV, 1983), hal. 23. Ibid. Ibn Qoyyim, Syams al-Din Muhammad Ibn Abi Bakr al-Jauziah ilam alMuwaqiin an Rab alamin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), hal. 16. Thoha Husein, al-Syaikah, Terj. Ali Audah, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1988), hal. 211. Sayyid Sabiq, Op.Cit, Jilid I, hal. 320. T.M. Hasby ash-Shiddiqi, Op.Cit, hal. 20. Ibn Rusyd, Bidajatul Mujtahid, juz. I, (Singapura: Sulaiman Mara, tt), hal. 275. Nasrun Haroen, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hal. 671. Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hal. 148. A. Syarifuddin al-Musawi, Dialog Sunnah dan Syiah, Terj. Muhammad alBaqir, (Bandung: Mizan, 1990), hal. 26-27.

Moh. Nasir Cholis, Dosen Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum UIN Sultan Syarif Kasim Riau Pekanbaru. Alumni Sarjana (S1) IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1978).

Hukum Islam. Vol. IV No. 2. Desember 2005

251

Moh. Nasir Cholis

Hukum Islam. Vol. IV No. 2. Desember 2005

Anda mungkin juga menyukai