Anda di halaman 1dari 5

KERTAS POSISI PENEGAKAN HUKUM DALAM PROSES PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN TOL

Telah tegas dinyatakan dalam UUD 1945 pasal 33 ayat (3) sebagai landasan hukum pengaturan atas tanah secara nasional bahwa : Bumi, Air, dan Kekayaan Alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Atas landasan ini, sesuai dengan falsafah Pancasila ; tanah sebagai karunia Tuhan yang mempunyai sifat magis-religius harus dipergunakan sesuai dengan fungsinya untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran yang berkeadilan dan tidak dibenarkan untuk dipergunakan sebagai alat spekulasi orang atau masyarakat, bahkan Negara itu sendiri. Tanah mempunyai makna yang sangat strategis karena di dalamnya terkandung tidak saja aspek fisik akan tetapi juga aspek sosial, ekonomi, budaya, bahkan politik serta pertahanan-keamanan dan aspek hukum. Secara teoritis sumber daya tanah memiliki 6 (enam) jenis nilai, yaitu: 1. Nilai produksi, 2. Nilai lokasi, 3. Nilai lingkungan, 4. Nilai sosial, 5. Nilai politik, dan 6. Nilai hukum Secara prinsip atau acapkali dinamakan dengan azas-azas atau bahasa Inggrisnya principle secara konteks hukum1 pengadaan tanah menurut (Soemardjono,2005: 90-91, Oloan Sitorus,2004: 11-13) mencakup: a. penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun harus ada landasan HAK-nya; b. semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa c. cara untuk memperoleh tanah yang sudah di-hak-i oleh seseorang/badan hukum harus melalui kata sepakat antar pihak yang bersangkutan d. Dalam keadaan yang memaksa artinya jalan lain yang ditempuh gagal, maka presiden memiliki kewenangan untuk melakukan pencabutan hak tanpa persetujuan subyek hak menurut UU No.20 tahun 1961 Catatan : Hak bangsa sebagaimana item (b) berkaitan dengan Pasal 33 Ayat (3) UUD yuncto Pasal 1 dan 2 UU Pokok Agraria.
1

Azas dinamakan principles dirumuskan sebagai sesuatu yang ada di belakang atau di balik norma hukum yang memberikan arahan apa yang seyoginya dilakukan, tertuang di dalam sebuah pasal/ ayat, bersifat umum, obyektif, logis. Tugasnya untuk menyelesaikan pertentangan norma (conflict of norms) di dalam suatu sistem hukum tertentu, sehingga harmonisasi dan sinkronisasi akan terwujud (Soedikno Mertokoesoemo.,1985 Mengenal Hukum, Liberty Yogyakarta, hal.31-34)

Kata sepakat sebagaimana item (c) berkaitan dengan UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM & KUH Perdata. Pencabutan hak sebagaimana item (d), berdasar beberapa pakar hukum, telah dilakukan pencabutan terhadap UU tersebut, dan selanjutnya mendasarkan hukum per-tanah-an berdasar mekanisme UUPA dan KUH Perdata. Aktivitas pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan secara teoritik didasarkan pada azas/prinsip tertentu dan terbagi menjadi dua subsistem: a. pengadaan tanah oleh pemerintah karena kepentingan umum b. pengadaan tanah oleh pemerintah karena bukan kepentingan umum (komersial) (Oloan Sitorus.,1995:7 dan 2004: 5) Walaupun tersebut secara normatif pada PerPres No.65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, sesungguhnya jalan tol tidak dapat dimasukan pada ranah kepentingan umum. Argumentasinya karena menurut Kitay (1985) ; (dikutip penulis dari Soemardjono, 2005:78) kepentingan umum mengandung tiga unsur esensial: dilakukan oleh pemerintah, dimiliki oleh pemerintah dan non profit. Realitas menunjukkan bahwa jalan tol pasti bermotifkan profit (Sumardjono.,2005:109). Dengan demikian, argumentasi hukum yang paling tepat untuk jalan tol cara perolehan tanah oleh pemerintah bukan dengan pengadaan tanah, melainkan dengan jual-beli (Oloan Sitorus, 2004: 7). Karena berbagai hal, sehubungan dengan kondisi senyatanya yang terjadi di Jombang, berkaitan dengan proses pengadaan tanah untuk pembangunan ruas jalan TOL Mojokerto-Kertosono, dengan mempertimbangkan : a) berbagai upaya yang dilakukan oleh Pemilik Tanah yang tergabung dalam Jamaah melalui prosedure yang diatur, b) fakta-fakta pelanggaran yang dilakukan oleh instansi serta satuan-satuan tugas pengadaan tanah di lapangan, dan c) saran-saran dari ahli hukum perdata dan pidana, maka, Jamaah Korban Pembangunan TOL (JKPT) telah mengidentifikasi dan mengkaji kondisi tersebut serta berteguh hati untuk menindaklanjutinya secara politik ketata-negaraan dan penegakan hukum. Masalah-Masalah Penegakan Hukum dalam pengadaan tanah untuk pembangunan ruas jalan TOL Mojokerto-Kertosono, terbagi dalam 2 (dua) kondisi, yakni : 1. Ter-BAYAR, masalah hukum yang teridentifikasi adalah : Pemotongan uang pengganti sebesar 2,5 - 3 % oleh Pemerintah Desa. Kecurangan oleh oknum Pemerintah Desa dan Oknum Pejabat Pemerintah Kecamatan/Daerah melalui Titipan Property dalam Dokumen Pengganti, antara lain terdiri dari : bangunan, penambahan item-item jenis tanaman, penambahan item sumur, dan item property lain yang tidak ada. Kecurangan ini dilakukan dengan menyampaikan maksud kepada pemilik, yang selanjutnya uang pengganti akan diambil. Penghilangan kepemilikian Property; artinya : property yang dimiliki oleh pemilik tanah tidak dimasukkan dalam dokumen pengganti, dan karenanya pemilik tanah menjadi rugi (tidak ternilai). Peralihan dan atau Pemecahan Sertifikat Tidak Jelas; pemilik tanah yang telah melepaskan tanah (terlepas dari problem keterpaksaan) telah menyerahkan surat/dokumen kepemilikan (SHM, Girik, Letter C) tanpa perjanjian (terbanyak

tidak tertulis) tentang ; Penyelesaian Dokumen Kepemilikan Sisa Tanah (baik yang terpotong ditengah maupun terpotong disisi kanan atau kiri) Tukar Guling Tanah Kas Desa / Bengkok Perangkat Tidak Sesuai Aturan. Berdasar aturan pelepasan tanah kas desa, dilakukan melalui mekanisme Peraturan Desa tentang Tukar Guling atau Penjualan Assest, dan selanjutnya diletakkan besaran hasilnya dalam APBDesa. Tanah Wakaf, terjadi pada musholla-musholla yang terkena jalur pembangunan. Delegasi kepemilikan menjadi milik publik, dalam hal pelepasan tanah dan bangunan musholla ; semestinya dengan kesepakatan publik sebagai wakil/kuasa pemberi tanah wakaf dan kepemilikan bangunan musholla. Jalan Umum dan saluran air, terjadi disebagian besar wilayah desa yang terkena jalan tol. Sejarah jalan dan saluran air diperoleh dari gotong royong tanah warga, dan dalam hal pembayaran pajak masih terintegrasi dengan tanah hak milik warga. Secara umum, pemilik tanah yang telah terbayar merasa terjadi pelanggaran prosedure pengadaan tanah sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 jo 36 tahun 2005 dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 03 tahun 2007 sebagai aturan pelaksana Peraturan Peresiden. Secara khusus, pemilik tanah yang telah terbayar dan masih terdapat sisa bidang tanah yang belum terbayar/terselesaikan. Dan ini menjadi persoalan tersendiri bagi pemilik tanah. Sedangkan dari aspek penegakan hukum Pidana dan Perdata, diindikasi secara kuat (berdasar data dan fakta), dengan bukti-bukti permulaan yang cukup, telah terjadi tindakan : Penipuan / Pemaksaan Korupsi (pemdes Pemda) Pemalsuan Data dan atau akibat dari salah pengukuran Pengambil-alihan Sepihak Dan, kerugian-kerugian yang nyata dirasakan oleh pemilik tanah atas layanan-layanan yang tidak adil dan manipulatif dari P2T, TPT, Pemerintah Desa, Kecamatan dan Kabupaten, secara umum melalui cara perwakilan- dan atas dasar adanya unsur kerugian yang nyata, akan melakukan langkah-langkah hukum : CLASS ACTION !!! 2. Belum Ter-LEPAS/Ter-BAYAR, masalah hukum yang teridentifikasi adalah : Proses Pengadaan Tanah : Cacat Prosedure, khususnya mekanisme yang terkait langsung dengan kepentingan pemilik hak atas tanah. Dampaknya adalah: 1. Tanahnya terpotong separo (1/2), baik di tengah, disisi kanan dan atau kiri. 2. Bangunan hanya terkena terasnya atau dapurnya saja, dan atau sebaliknya; tersisa dapurnya atau kamar mandi luar rumah, dll. Termasuk; musholla hanya terkena bagian ruang imam sholat. Musyawarah Tidak Fair dan Tidak Dibangun Kesepakatan (padahal dalam Perpres dan PerKep.BPN telah jelas). Dampaknya adalah : 1. Luasan tanah milik tidak tersepakati, sehingga pemilik tanah dirugikan atas luasan, bahkan tidak terbangun kesepakatan mekanisme penyelesaiannya (ini menandaskan tentang arogansi & pemaksaan). 2. Bentuk dan Besar Ganti-Adil tidak tersepakati, sehingga pemilik tanah dirugikan atas bentuk ganti dan besaran ganti. Jika dipaksakan; disamping melanggar ketentuan ganti rugi dalam PerPres. 65/2006 jo 36/2005 dan

Per.Kep.BPN 03/2007 ganti rugi = dapat meningkatkan tarap/ kelangsungan kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik dibanding sebelum terkena TOL, juga melanggar KUH Perdata dan Hak Asasi Kepemilikan Property karena tidak atas dasar kesepakatan/transaksi jual-beli. Keputusan-Keputusan P2T dan Bupati tentang Penetapan/Pengukuhan Harga yang didalamnya juga memuat kepemilikan, luas lahan dan property, tidak atas dasar kebenaran dan ketepatan data. Tidak benar; karena lampiran tanda tangan pemilik tanah manipulatif dan substansi/materi keputusan tidak tersepakati/sepihak (hanya berdasar laporan P2T dan tidak atas dasar kepentingan pemilik tanah). Tidak tepat; karena keputusan tidak atas prosedure yang benar dan atas dasar data-data yang tidak akurat/manipulasi. Property yang melekat pada tanah/bangunan hak milik, banyak yang tidak tercantum/terdata, sebaliknya banyak ditemukan property-property titipan oknum tertentu justru tercantum/terdata. Nama kepemilikan tanah/bangunan dalam dokumen keputusan, beberapa diantaranya tidak sesuai dengan pemilik asli/yang sesungguhnya. Ukuran luas tanah hak milik dalam dokumen keputusan, beberapa diantaranya tidak sesuai dengan ukuran luas yang sesungguhnya dimiliki pemilik hak atas tanah / terdapat luas lahan/tanah yang dikurangi. Secara umum, pemilik tanah yang belum dilepaskan merasa terjadi pelanggaran prosedure pengadaan tanah sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 jo 36 tahun 2005 dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 03 tahun 2007 sebagai aturan pelaksana Peraturan Peresiden. Sedangkan dari aspek penegakan hukum Pidana dan Perdata, diindikasi secara kuat (berdasar data dan fakta), dengan bukti-bukti permulaan yang cukup, telah terjadi tindakan : Penipuan Intimidasi ; tindakan/perbuatan tidak menyenangkan yang juga memenuhi unsur kerugian materiil dan im-materiil. Pemalsuan Data Dan, dari fakta-fakta yang dirasakan oleh pemilik tanah atas layanan-layanan yang tidak adil dan manipulatif dari P2T, TPT, Pemerintah Desa, Kecamatan dan Kabupaten, serta keputusan-keputusan yang tidak atas dasar hukum yang benar dan tepat, maka, secara umum melalui cara perwakilan- dan atas dasar adanya unsur kerugian/potensi kerugian yang nyata, akan melakukan langkah-langkah hukum : PEMBATALAN KEPUTUSAN-KEPUTUSAN MELALUI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA (PTUN) !!! REKOMENDASI Atas dasar win-win solution dan atas dasar kepentingan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pemilik hak atas tanah/property sebagaimana yang dimaksud tujuan dari pembangunan infrastruktur, maka penting untuk dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut : 1. Kembali ke mekanisme musyawarah untuk kesepakatan (luas lahan, bentuk dan besar ganti-untung-adil) sebagaimana yang diusulkan/dijanjikan oleh Komisi A DPRD Kabupaten Jombang, sekaligus menjalankan prosedure secara terbuka.

2. MENGUKUR ULANG tanah/property hak milik (rekomendasi teknis ; mengukur ulang dengan alat manual), termasuk RE-APPRAISAL nilai tanah/ bangunan karena hal ini sangat dimungkinkan dalam ketentuan pengaturan tentang pengadaan tanah untuk infrastruktur. 3. Jika terus diperdebatkan, maka, perlu dilakukan Gelar/Ekspose Berita Acara/ Keputusan / Hasil Taksiran Harga / Dokumen / Kasus, agar menjadi jelas dan terang untuk ditindaklanjuti. 4. Jika terus menjadi konflik, maka, bisa ditempuh cara mediasi dengan mediator yang disepakati para pihak.

Anda mungkin juga menyukai