Anda di halaman 1dari 12

www.legalitas.

org
KEBIJAKAN FORMULASI KEJAHATAN PERANG
DALAM HUKUM PIDANA NASIONAL *)
Oleh :
Barda Nawawi Arief

1. Kejahatan perang termasuk salah satu jenis kejahatan yang sudah dikenal

sejak dahulu kala (zaman kuno), walaupun baru diatur secara tertulis pada

abad 19 (Deklarasi Den Haag 1899) dan terakhir diatur dalam Statuta Roma

1998. Di beberapa negara lainpun sudah banyak yang mengaturnya di dalam

KUHP, sementara Indonesia belum mengaturnya secara khusus. Oleh karena

itu, sangatlah wajar apabila panitia meminta saya membahas masalah

“keuntungan (kekuatan) dan kerugian (kelemahan) pengaturan kejahatan

perang dalam KUHP”. Namun, dengan tidak mengurangi maksud panitia,


r g
makalah ini diberi judul “Kebijakan Formulasi s o
. Kejahatan Perang Dalam
lit a
g a
Hukum Pidana Nasional”, karena membicarakan masalah pengaturan/peru-
. le
w
musan kejahatan dalam UU pidana (dalam KUHP atau di luar KUHP) pada
ww
hakikatnya termasuk salah satu bagian dari masalah kebijakan legislasi atau

kebijakan formulasi.

2. Dilihat dari kebijakan pengaturan atau kebijakan formulasi, masalah “apa

keuntungan (kekuatan) dan kerugian (kelemahan) merumuskan kejahatan

perang dalam KUHP” hanya merupakan salah satu bahan pertimbangan

dalam mengambil suatu kebijakan (“policy”). Namun permasalahannya bukan

*)
Disajikan pada Seminar “Kejahatan Perang Dalam Hukum Nasional Indonesia”, diselenggarakan
oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan HAM, bekerja sama
dengan International Committee of the Red Cross (ICRC) Delegasi Jakarta, di Hotel Sahid Jakarta, tgl.
29 Desember 2004.

1
www.legalitas.org
hanya itu atau tidak berhenti sampai di situ. Permasalahan selanjutnya yang

lebih penting adalah, bagaimana kebijakan formulasinya (pengaturannya) da-

lam kondisi dan sistem perundang-undangan Indonesia.

3. Dilihat dari sudut kebijakan hukum pidana (“penal policy”), masalah inti dari

kebijakan formulasi adalah masalah kebijakan kriminalisasi. Masalahnya

meliputi, apakah layak kejahatan perang dikriminalisasikan atau dirumuskan/

diformulasikan sebagai perbuatan yang dapat dipidana; perbuatan/akibat/

aspek-aspek apa saja dari kejahatan perang yang perlu dikriminalisasikan

(dijadikan sebagai tindak pidana); bagaimana sistem pidana dan pemidana-

annya/pertanggungjawaban pidananya?

r g
s .o
4. Patut dicatat, bahwa “kriminalisasi kejahatan perang” itu sendiri (dalam arti

li ta
“layakkah/perlukah kejahatan perang dikriminalisasikan”), sebenarnya sudah
a
. l eg
w :
tidak lagi menjadi masalah, karena
w
w
a. Dunia internasional sudah mengakui kejahatan perang sebagai salah satu

“kejahatan internasional” (international crime);

b. Sudah banyak negara yang mengaturnya atau mengkriminalisasikannya

dalam UU, baik di dalam KUHP (antara lain: Albania, Armenia, Australia,

Bulgaria, Latvia, Macedonia, Rep. Demokrasi Jerman, Rep. Federal

Jerman, Romania, Tajikistan, Yugoslavia), maupun dalam UU khusus di

luar KUHP (seperti di Belanda) 1);

c. Hakikat perbuatan materiel dari berbagai aspek kejahatan perang

(seperti “War crime of wilful killing”; “War crime of murder”; “War crime of
1)
Lihat Lampiran -1.

2
www.legalitas.org
torture “; “War crime of inhuman/cruel treatment”; “War crime of biological/

medical experiments”; “War crime of wilfully causing great suffering”; “War

crime of mutilation”; “War crime of enforced sterilization”; “War crime of

treacherously wounding”; “War crime of unlawful confinement”; “War crime of

taking hostages”; “War crime of destroying or seizing the enemy's property”;

“War crime of pillaging”; “War crime of attacking civilian/protected objects”;

“War crime of attacking undefended places”)2), sudah merupakan tindak

pidana menurut KUHP Indonesia.3)

d. Dilihat dari hakikat dan kepentingan hukum yang diserang, kejahatan

perang termasuk salah satu kejahatan terhadap kemanusiaan dan perda-

maian (“crimes against peace and humanity”) yang jelas-jelas berten-


r g
s .o
tangan dengan sistem hukum Indonesia berdasarkan Pancasila yang

li ta
a
sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan perda-
g
le
maian dunia. w.
ww
5. Jadi kriminalisasi kejahatan perang itu sendiri (dalam arti “apakah perlu/layak

kejahatan perang itu dikriminalisasikan atau dirumuskan dalam KUHP”) sudah

tidak bermasalah. Yang masih menjadi masalah adalah, bagaimana kebijakan

formulasinya. Permasalahannya antara lain : (a) di mana diformulasikan (di

dalam KUHP atau di luar KUHP); (b) apa saja yang perlu diformulasikan

2)
Lihat Lampiran (Tabel)-2.
3)
Lihat a.l. pasal-pasal KUHP tentang pembunuhan (Psl. 338 dan 340); penganiayaan berat (Psl. 354);
memaksa/memeras pengakuan (422); merampas kemerdekaan secara melawan hukum (Psl. 333); pencu-
rian yg diperberat (Psl. 363 dan 365); menghancurkan gedung/bangunan (Psl. 200 dan 201); perkosaan
(Psl. 285);

3
www.legalitas.org
(ruang lingkup jenis tindak pidana dan materi/aturannya); dan (c) model for-

mulasinya (pengaturan/perumusannya).

6. Dari bahan komparasi berbagai negara, terlihat pola kebijakan formulasi

kejahatan perang dari sudut penempatan/pengaturannya dan ruang ling-

kupnya, sebagai berikut : 4)

a. Ada yang memasukkan/mengintegrasikan kejahatan perang dalam KUHP

(Albania, Armenia, Australia, Bulgaria, Rep. Demokrasi Jerman, Rep.

Federal Jerman, Latvia, Macedonia, Perancis, Romania, Tajikistan, dan

Yugoslavia,) dan ada yang mengaturnya tersendiri dalam UU khusus di

luar KUHP (Belanda);

b. Pengaturan di dalam KUHP, pada umumnya dimasukkan/diintegrasikan


g
o r
. “Bagian Khusus”, dengan judul
sebagai bagian dari salah satu Bab dalama s
a lit
Bab yang bervariasi :
. leg
w w
1. Di Albania dimasukkan
w dalam Bab I : “Crimes Against Humanity”;
2. Di Armenia dimasukkan dalam Bab 33: “Crime Against Peace and
Human Security”.

3. Di Australia, dimasukkan dalam Chapter 8 : “Offences against


humanity and related offences”,

4. Di Bulgaria dimasukkan dalam Bab 13 “Military Crimes” dan Bab 14


“Crimes Against Peace and Humanity”;

5. Di Finlandia, dimasukkan Chapter 11 – “War crimes and offences


against humanity”;

6. Di Rep. Demokrasi Jerman, dimasukkan dalam Bab I tentang “Crimes


against the Sovereignty of the German Democratic Republic, Peace,
Humanity and Human Rights”.

4)
Lihat Lampiran (Tabel) – 1.

4
www.legalitas.org
7. Di Rep. Federal Jerman, dimasukkan dalam Chapter One: “Crimes
against Peace, High Treason and Endangering the Democatic Rule of
Law”;

8. Di Latvia, dimasukkan dalam Chapter IX : “Crimes against Humanity


and Peace, War Crimes and Genocide”

9. Di Macedonia dimasukkan dalam Bab 34 “Crimes Against Humanity


and International Law”.

10. Di Perancis dimasukkan dalam Title I. “Crimes Against Humanity”,


khususnya dalam Chapter II “Offences against humanity and related
offences”.

11. Di Romania, dimasukkan dalam Title IX: “Crimes Against Peace And
Mankind” dan Title X : “Crimes Against Romania’s Defence Capa-
city”;

12. Di Tajikistan, dimasukkan dalam Chapter 34: “Crime Against the


Peace and Safety of Mankind”;

13. Di Yugoslavia dimasukkan dalam Bab 16: “Criminal Offences/Acts


g
Against Humanity And International Law". .o r
ta s
li
Dari berbagai variasi judul di atas, kebanyakan negara memasukkan ke-
a
. l eg
jahatan perang itu sebagaiwbagian dari “Kejahatan terhadap Perdamaian
w w
dan Kemanusiaan”.

c. Pengaturan di luar KUHP ada dua pola :

1. Diatur dalam UU tersendiri/khusus, yaitu “UU Kejahatan Perang”


seperti di zaman Pra Kemerdekaan yang dibuat oleh Letnan Guber-
nur Jendral Hindia Belanda (H.J. van Mook); 5)

2. Dimasukkan sebagai bagian dari “UU Kejahatan Internasional” (se-


perti “International Crime Act” di Belanda saat ini), yang di dalamnya
juga mengatur “Kejahatan Genocide” dan “Kejahatan terhadap Kema-
nusiaan”.

5)
UU waktu itu ialah “Ordonnantie begripsomschrijving oorlogsmisdrijven” (Ordonansi Perumusan
Pengertian Kejahatan Perang) Stb. 1946 : 44, dan “Ordonnantie Strafrecht Oorlogsmisdrijven”
(Ordonansi Hukum Pidana Kejahatan Perang) Stb. 1946 : 45;

5
www.legalitas.org

d. Ruang lingkup delik dan formulasinya :

∗ Ruang lingkup deliknya berorientasi pada “war crimes” dalam doku-

men-dokumen internasional;

∗ Perumusan (formulasi) deliknya bervariasi :

- Ada yang merumuskannya dalam satu pasal atau satu bab, dan ada

juga yang merinci dalam beberapa pasal/bab;

- Ada yang membedakan kejahatan perang dalam konflik bersenjata

internasional dan non-internasional seperti diatur dalam Statuta

Roma 1998, tetapi ada juga yang tidak membedakan.

- Dalam hal kejahatan perang dirumuskan dalam beberapa pasal,

g
ada yang hanya mengelompokkan beberapa tindak pidana dalam
r
s .o
li ta
satu pasal (seperti pengelompokan “war crimes” dalam Psl. 8 Sta-
g a
le
tuta Roma), tetapi ada juga yang memerinci setiap unsur tindak
w.
ww
pidana dalam satu pasal tersendiri [seperti dalam Statutory Instru-

ment 2001 No. 2505 tentang The International Criminal Court Act

2001 (Elements of Crimes) Regulations 2001, yang merinci “war

crimes” dalam Psl. 8 Statuta Roma 1998 menjadi 71 perumusan

delik]. 6)

7. Mengingat kondisi di Indonesia, ada beberapa alternatif kebijakan formulasi

kejahatan perang yang dapat ditempuh, antara lain :

(1) ditempatkan/diintegrasikan ke dalam KUHP :

a. diintegrasikan ke dalam KUHP yang saat ini berlaku


6)
Yang merumuskan secara rinci, misalnya di KUHP Australia (lihat Lampiran Tabel 3).

6
www.legalitas.org
b. diintegrasikan ke dalam KUHP Baru/Nasional yang akan datang,

sebagai wujud dari kebijakan kodifikasi yang menyeluruh.

(2) ditempatkan/diintegrasikan dalam UU khusus di luar KUHP :

8. Penempatan/pengaturan kejahatan perang dalam KUHP atau di luar KUHP

sama-sama mempunyai segi positif dan negatif. Namun penempatan di dalam

KUHP cukup beralasan, mengingat :

a. KUHP merupakan suatu kodifikasi yang sudah memuat asas-asas dan

aturan pemidanaan yang menyeluruh dan sistematis;

b. Substansi perbuatan materiel dari kejahatan perang dan kepentingan

hukum yang terancam (dan perlu dilindungi), pada hakikatnya sama

dengan yang sudah diatur dalam KUHP; g


.o r
c. Berdasarkann kajian komparasi, banyakt a snegara yang mengatur/menginte-
a li
grasikannya ke dalam KUHP; leg
w .
w w
9. Mengenai perumusan kejahatan perang dalam KUHP, dapat ditempuh de-

ngan alternatif model/pola sebagai berikut :

a. dengan “pola khusus/parsial”, yaitu dimasukkan dalam bab tersendiri (bab

baru/khusus) Buku II KUHP dengan berbagai alternatif judul, antara lain :

“Kejahatan terhadap Kemanusiaan dan Peradaban”; “Kejahatan terhadap

Kemanusiaan dan Perdamaian”; “Kejahatan terhadap Hukum Perang”;

“Kejahatan terhadap Hukum Internasional”; atau merupakan gabungan

dari berbagai judul tersebut.

7
www.legalitas.org
b. dengan “pola terpadu/integral”, yaitu diintegrasikan atau diatur berdekat-

an dengan perumusan delik dalam pasal/bab terkait yang sudah ada

dalam Buku II KUHP dengan memasukkan unsur-unsur spesifik dari

kejahatan perang; unsur-unsur spesifik itu dapat dijadikan sebagai

“faktor/alasan pemberatan pidana”.

10. Sebagai informasi dapat dikemukakan, bahwa untuk sementara RUU KUHP

memilih “pola khusus/parsial” (No. 9a) yang dimasukkan sebagai bagian dari

Bab VIII tentang “Tindak Pidana Yang Membahayakan Keamanan Umum

Bagi Orang, Barang, dan Lingkungan Hidup”. 7) Namun di samping itu, seperti

telah dikemukakan di atas, sebenarnya dapat pula ditempuh dengan formu-

lasi “pola terpadu” (No. 9b). Sebagai contoh, dapat dikemukakan formulasi
g
o r
. “war crimes” yang mengan-
“pola terpadu” sebagai berikut (khususnya a s
untuk
a lit
dung unsur “pembunuhan”) :
. leg
w w
POLA FORMULASI TERPADU/INTEGRAL
w
(Diintegrasikan dengan : TP Pembunuhan)

JENIS TP UNSUR (YANG DIRUMUSKAN) CATATAN


(PASAL/AYAT)

1. Pembunuhan a) merampas nyawa orang lain; Sbr. Acuan :


Biasa; b) dengan sengaja - Psl. 338 KUHP

2. Pembunuhan a) merampas nyawa orang lain; Sbr. Acuan :


Berencana; b) sengaja dan dg. rencana lebih dahulu. - Psl. 340 KUHP

7)
Lihat Lampiran-4.

8
www.legalitas.org

3. Pembunuhan a) membunuh seluruh atau sebagian kelompok bangsa, Sbr. Acuan :


Kelompok ras, kelompok etnis, kelompok agama, - Ps. 8 UU:26/2000
bangsa/ras/
etnis/agama b) dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan
seluruh/sebagian kelompok itu;
(Genocide by
killing) 1. The perpetrator killed one or more persons. Sbr. Acuan :
- Psl. 6a Statuta
2. Such person or persons belonged to a particular national, Roma jo. The ICC
ethnical, racial or religious group. Act 2001 (Elements
of Crimes)
3. The perpetrator intended to destroy, in whole or in part,
that national, ethnical, racial or religious group, as such.

4. The conduct took place in the context of a manifest


pattern of similar conduct directed against that group or was
conduct that could itself effect such destruction.

4. Pembunuhan a) membunuh penduduk sipil; Sbr. Acuan :


Sistematis b) dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas - Ps. 9 26/2000;
Penduduk atau sistematik ;
Sipil r g
c) yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan
secara langsung terhadap penduduk sipil,
s .o
(Crimes li ta
against hu- g a
le
1. The perpetrator killed one or more persons. Sbr. Acuan :
w.
manity of
2. The conduct was committed as part of a widespread or Ps. 7 (1)(a) St.
murder)
ww
systematic attack directed against a civilian population.
3. The perpetrator knew that the conduct was part of or
Roma jo. The ICC
Act 2001 (Elements
intended the conduct to be part of a widespread or of Crimes)
systematic attack against a civilian population.

5. Pembunuhan a) dengan sengaja; ∗ Sbr. Acuan :


Orang Yang b) membunuh orang-orang yang dilindungi dlm. hkm. 8(2)(a)(i) St.
Dilindungi Hk. internasional (dlm. Konvensi Jenewa 1949); Roma jo. The
c) dilakukan dlm. konflik bersenjata internasional; ICC Act 2001
Internasional
(Elements of
Dlm. Konflik
Crimes)
Bersenjata 1. The perpetrator killed one or more persons.
Internasional
2. Such person or persons were protected under one or ∗ Bisa digabung
(War crime of more of the Geneva Conventions of 1949. denganNo. 6 dan
wilful killing) 7.
3. The perpetrator was aware of the factual circumstances
that established that protected status.

4. The conduct took place in the context of and was

9
www.legalitas.org
associated with an international armed conflict.

5. The perpetrator was aware of factual circumstances that


established the existence of an armed conflict.

6. Pembunuhan a) Dengan sengaja; Sbr. Acuan :


Hors de b) Membunuh hors de combat
Combat c) Dalam konflik bersenjata internasional. Ps. 8(2)(b)(vi) St.
Roma jo. The ICC
(War crime of Act 2001 (Elements
1. The perpetrator killed or injured one or more persons. of Crimes)
killing a
person hors 2. Such person or persons were hors de combat.
de combat).
3. The perpetrator was aware of the factual circumstances
that established this status.

4. The conduct took place in the context of and was


associated with an international armed conflict.

5. The perpetrator was aware of factual circumstances


that established the existence of an armed conflict.
r g
s .o
7. Pembunuhan
li ta
a) Membunuh hors de combat, penduduk sipil, petugas Sbr. Acuan :
Hors de g a
medis, petugas agama yg tidak ikut aktif dalam
combat, Pen- pertempuran; le - Psl. 8(2)(c)(i)-1
duduk Sipil, w. St. Roma jo. The
Petugas Me- ww
b) Dilakukan dalam konflik bersenjata internasional. ICC Act 2001 (Ele-
ments of Crimes)
dis/Agama
Dlm Konflik
Bersenjata 1. The perpetrator killed one or more persons.
Internasional
2. Such person or persons were either hors de combat, or
(War crime of were civilians, medical personnel, or religious personnel
murder) taking no active part in the hostilities.

3. The perpetrator was aware of the factual circumstances


that established this status.

4. The conduct took place in the context of and was


associated with an international armed conflict.

5. The perpetrator was aware of factual circumstances that


established the existence of an armed conflict.

8. Kematian a) Melakukan eksperimen medis/ilmiah secara melawan Sbr. Acuan :

10
www.legalitas.org
akibat eks- hukum;
perimen me- b) Terhadap orang dari pihak lawan/musuh; ∗ Ps. 8(2)(b)(x)-2
dis/ilmiah c) Berakibat mati; St.Roma jo. The
d) Dilakukan dlm konflik bersenjata internasional maupun ICC Act 2001
non internasional. (Elements of
(War crime of
medical or Crimes)
scientific ex-
periments) ∗ 8(2)(e)(xi)-2 St.
1. The perpetrator subjected one or more persons to a Roma jo. The
medical or scientific experiment. ICC Act 2001
(Elements of
2. The experiment caused death or seriously endangered Crimes)
the physical or mental health or integrity of such person or
persons.

3. The conduct was neither justified by the medical, dental


or hospital treatment of such person or persons concerned
nor carried out in such person's or persons' interest.

4. Such person or persons were in the power of an adverse


party.

5. The conduct took place in the context of and was


associated with an international armed conflict. r g
s .o
li ta
6. The perpetrator was aware of factual circumstances that
a
established the existence of an armed conflict.
g
le
-------------------------------------------------------------------------------
w.
ww
1. The perpetrator subjected one or more persons to a
medical or scientific experiment.

2. The experiment caused the death or seriously


endangered the physical or mental health or integrity of
such person or persons.

3. The conduct was neither justified by the medical, dental


or hospital treatment of such person or persons concerned
nor carried out in such person's or persons' interest.

4. Such person or persons were in the power of another


party to the conflict.

5. The conduct took place in the context of and was


associated with an armed conflict not of an international
character.

6. The perpetrator was aware of factual circumstances that


established the existence of an armed conflict.

11
www.legalitas.org

Catatan :

- No. urut 1 merupakan “delik induk/pokok”; yang lainnya (No. 2 dst.) merupakan
“faktor/alasan pemberatan pidana” (delik pembunuhan yang diperberat);

- No. 2 dst. dapat dijadikan ayat (2) dst. dari delik No. 1 atau dijadikan delik
(pasal) tersendiri di dalam satu Bab yang sama. Ini yang dimaksud dengan
“formulasi terpadu/integral”.

-o0o-

r g
s .o
li ta
g a
le
w.
ww

12

Anda mungkin juga menyukai