Anda di halaman 1dari 113

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 SEJARAH Sejarah terbentuknya Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Provinsi DIY adalah diawali dengan adanya Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor : 2 Tahun 2004 tanggal 5 Februari 2004 tentang Pembentukan dan Organisasi Lembaga Teknis Daerah di Lingkungan Propinsi DIY yang mendasari terbentuknya Badan Pengelolaan Keuangan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada tahun 2008 dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor : 6 tahun 2008 tanggal 15 Agustus 2008 tentang Pembentukan dan Organisasi Lembaga Teknis Daerah di Lingkungan Provinsi DIY dan Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 50 Tahun 2008 tentang Rincian Tugas dan Fungsi Dinas dan Unit Pelaksana Teknis pada Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan Dan Aset, maka Badan Pengelolaan Keuangan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berubah menjadi Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DPPKA). Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) Provinsi DIY dibentuk berdasarkan Perda Provinsi DIY Nomor 2 tahun 2004 tentang Pembentukan dan Organisasi Lembaga Teknis Daerah Di Lingkungan Pemerintah Provinsi DIY. Adapun kronologis sampai terbentuknya DPPKA dimulai dari Dinas Keuangan pada tahun 1974 s/d 1975 dipimpin oleh Bapak KRT. Tjitro Kusumo, selanjutnya menjadi Direktorat Keuangan pada tahun 1975 s/d 1976 dipimpin oleh Bapak Drs. H. Heri Susanto. Kemudian berubah nama menjadi Biro Keuangan masih dipimpin oleh Bapak Drs. H. Heri Susanto sampai tahun 1984, sedangkan pada tahun 1985 s/d 1995 dipimpin oleh Bapak Drs. H. Sumaryono kemudian dilanjutkan kepemimpinannya oleh Bapak Drs. Suyud dari tahun 1995 s/d 1997. Selanjutnya Biro Keuangan dipimpin oleh Bapak Drs. Mulyanto dari tahun 1997 s/d 2001 dan berubah menjadi Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) dari tahun 2004 s/d 14 Februari 2008 dibawah pimpinan Bapak Drs. Mulyanto, pada saat itu 1

BPKD merupakan penggabungan dari Biro Keuangan, Dispenda dan Bidang Aset Bapekoinda Provinsi DIY. Bapak Drs. Bambang Wisnu Handoyo mulai dari tanggal 14 Februari 2008 memimpin BPKD sampai sekarang, yang namanya berubah menjadi Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset (DPPKA) Provinsi DIY sejak 15 Februari tahun 2009. Dalam rangka mewujudkan good governance, maka diharuskan kepada pemerintah secara konsisten dan optimal melaksanakan tugas pokok, fungsi dan kinerja. Dengan kondisi ini diharapkan pelaksanaan pemerintah lebih berhasil guna, dan berdaya guna bersih dan bertanggungjawab, sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai dan sebagai bentuk upaya transparansi Keuangan terhadap publik. DPPKA Provinsi DIY dipimpin oleh Kepala Dinas dan dibantu oleh Sekretaris Dinas. Sekretaris Dinas membawahi Subag Umum, Subag Program, Subag Data & TI. Dalam menjalankan tugasnya Kepala DPPKA dibantu oleh 6 bidang yang meliputi: Bidang Anggaran Pendapatan, Bidang Anggaran Belanja, Bidang Pengelolaan Kas Daerah, Bidang Administrasi Keuangan Daerah, Bidang Akuntansi, Bidang Pengelolaan Barang Daerah dan dibantu oleh UPTD yaitu KPPD 4 Kabupaten dan 1 Kota. Bidang Anggaran Pendapatan membawahi 3 Seksi antara lain Seksi Pajak Daerah, Seksi Retribusi dan Pendapatan Lain-lain, Seksi Perimbangan Keuangan Daerah. Bidang Anggaran Belanja membawahi 4 Seksi antara lain Seksi Pemerintahan, Seksi Kesejahteraan Rakyat, Seksi Fisik, Sarpras, dan Seksi Perekonomian. Bidang Pengelolaan Kas Daerah membawahi 4 Seksi antara lain : Seksi Pemerintahan, Seksi Kesejahteraan Rakyat, dan Seksi Fisik, Sarpras, dan Seksi Perekonomian Bidang Bina Administrasi Keuangan Daerah membawahi 3 Seksi yang antara lain : Seksi Bina APBD dan Perhitungan Kab/Kota, Seksi Bina Pengelolaan Keuangan, dan Seksi Administrasi Dana Non APBD. Bidang Akuntansi yang membawahi 4 Seksi yang antara lain: Seksi Pemerintahan, Seksi Kesejahteraan Rakyat, Seksi Fisik, Sarpras, dan Seksi Perekonomian Bidang Pengelolaan Barang Daerah membawahi 3 Seksi yang antara lain Seksi Administrasi Barang Daerah, Seksi Pendayagunaan Barang Daerah, serta seksi Monitoring dan Evaluasi. Unit Pelaksana Teknis (UPTD) Kantor Pelayanan Pajak Daerah (KPPD) menyebar di 4 Kabupaten dan 1 Kota pembentukannya di pimpin oleh Kepala KPPD yang masing2

masing membawahi 1 Kasubag dan 2 Kasi antara lain: Kasubag. Tata Usaha, Kasi Pendaftaran dan Penetapan, Kasi Pembukuan dan Penagihan. 1.2 Visi dan Misi 1.2.1 Visi Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki visi: Terbaik dalam Pengelolaan Keuangan dan Aset pada Tahun 2013 di Indonesia 1.2.2 Misi Misi Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah : 1. Meningkatkan Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah berbasis Teknologi Informasi 2. Meningkatkan Pendapatan Daerah 3. Meningkatkan Pengelolaan Aset Daerah 4. Meningkatkan Sarana, Prasarana, dan SDM dalam Pengelolaan Keuangan yang Transparan dan Akuntabel. 1.3 Tugas dan Fungsi 1.3.1 Tugas Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki tugas : 1. Melaksanakan pengelolaan anggaran pendapatan, anggaran belanja, pengelolaan kas daerah dan akuntansi 2. Pembinaan Administrasi Keuangan Daerah serta menyiapkan bahan perumusan kebijakan 3. Melaksanakan Penatausahaan perlengkapan serta pendayagunaan barang daerah 1.3.2 Fungsi Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki fungsi : 1. Penyusunan program di bidang pengelolaan anggaran pendapatan, anggaran belanja, pengelolaan kas daerah, akuntansi dan pembinaan administrasi keuangan daerah. 2. Perumusan kebijakan teknis di bidang pengelolaan anggaran pendapatan, anggaran belanja, pengelolaan kas daerah, akuntansi dan pembinaan administrasi keuangan daerah. 3. Pengelolaan pajak daerah, retribusi, dan pendapatan lain-lain 4. Penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan perhitungan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. 5. Pelaksanaan pelayanan pengelolaan keuangan 3

6. Pelaksanaan pembinaan administrasi keuangan Kabupaten / Kota, Badan Layanan Umum Daerah dan Badan Usaha Milik Daerah 7. Pengelolaan kas daerah dan akuntansi 8. Penyiapan bahan kebijakan di bidang penatausahaan barang daerah dan pelaksanaan penatausahaan barang daerah serta pendayagunaan barang daerah. 9. Penyiapan bahan koordinasi perumusan kebijakan di bidang penata usahaan barang daerah dan pendayagunaan barang daerah 10. Pelaksanaan inventarisasi pembukuan dan pelaporan barang daerah 11. Pelaksanaan penilaian dan optimalisasi barang daerah 12. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pendayagunaan barang daerah 13. Pelaksanaan tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi (TPTGR) 14. Pelaksanaan pemantauan dan pengevaluasiaan pelaksanaan kebijakan di bidang penatausahaan dan pendayagunaan barang daerah 15. Pemberdayaan sumberdaya dan mitra kerja bidang keuangan dan bidang pengelolaan barang daerah 16. Pelaksanaan kegiatan ketatausahaan 17. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Gubernur sesuai dengan fungsi dan tugasnya. 1.4 Tujuan Dan Sasaran 1.4.1 Tujuan DPPKA antara lain: 1 Mewujudkan sistem pengelolaan keuangan dan Aset daerah berbasis Teknologi Informasi; 2 Mewujudkan Peningkatan pendapatan daerah melalui Intensifikasi dan Ekstensifikasi; 3 Mewujudkan Pengelolaan aset daerah yang optimal; 4 Mewujudkan Peningkatan sarana, prasarana dan SDM dalam pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel; 1.4.2 Sasaran yang hendak dicapai antara lain: 1. 2. 3. 4. Terwujudnya Pengelolaan Pendapatan Daerah dengan berbasis Teknologi Informasi yang optimal; Terwujudnya pengelolaan Belanja Daerah dengan berbasis Teknologi Informasi yang efektif dan efisien; Terwujudnya pengelolaan Kas Daerah dengan berbasis Teknologi Informasi yang efektif dan efisien; Terwujudnya pelaporan keuangan yang akuntabel dan transparan dengan berbasis Teknologi Informasi ;

5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 1.5

Terwujudnya pengelolaan Aset Daerah yang optimal dengan berbasis Teknologi Informasi; Terwujudnya sinkronisasi dan fasilitasi pengelolaan keuangan; Terwujudnya peningkatan pelayanan kepada wajib pajak dan wajib retribusi; Terwujudnya peningkatan sumber-sumber pendapatan asli daerah yang optimal; Terwujudnya peningkatan pendapatan asli daerah sebesar 6% pertahun; Terwujudnya tertib administrasi aset; Terwujudnya legalitas aset; Terwujudnya pendayagunaan aset; Terwujudnya peningkatan sarana dan prasarana; Terwujudnya profesionalisme Sumber Daya Manusia (SDM); Tersedianya SDM dalam keahlian TI, Akuntan dan Penilaian Aset; Terpenuhinya formasi pegawai sesuai dengan kebutuhan;

Dasar Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah 1. 2. 3. 4. UU 17/2003 tentang Keuangan Daerah; UU I/22004 tentang Perbendaharaan Negara; UU 32/ 2004 tentang Pemerintah Daerah; UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; 5. PP 24/ 2005 tentang standar Akuntansi Pemerintah; 6. PP 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

1.6

Sumber Daya Manusia DPPKA Kepegawaian Keadaan Kepegawaian di Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Provinsi DIY terdiri dari Pejabat eselon 2 berjumlah 1 orang, pejabat eselon 3 berjumlah 7 orang terdiri dari sekretaris, Kepala Bidang Anggaran Pendapatan, Kepala Bidang Anggaran Belanja, Kepala Bidang Pengelolaan Kas Daerah, Kepala Bidang Bina Administrasi Keuangan daerah, Kepala Bidang Pengelolaan Barang Daerah. Pejabat eselon 3 (tiga) sebanyak 5 orang terdiri dari Kepala KPPD Kota, Kepala KPPD Bantul, Kepala KPPD Kulonprogo, Kepala KPPD Gunungkidul dan Kepala KPPD Sleman, sedangkan pejabat eselon 4 ada 3 orang dimasing-masing KPPD Kabupaten/ Kota yaitu Kasubbag TU, Kasi Pendaftaran dan Penetapan dan Kasi Pembukuan dan Penagihan. Jabatan fungsional berdasarkan SK pegawai fungsional meliputi 273 orang yang meliputi Kantor Induk dan 5

KPPD di Kabupaten/ Kota. Untuk Kantor Induk mulai dari Sekretariat berjumlah 21 orang masing-masing menyebar di Bagian Umum, Subagian Program, Subagian Data dan TI. Untuk Bidang Anggaran Pendapatan terdiri dari 3 seksi dan 12 jabatan fungsional, Bidang Anggaran Belanja terdiri dari 4 seksi dan 18 jabatan fungsional, Bidang Pengelolaan Kas Daerah terdiri dari 4 seksi dan 17 jabatan fungsional, Bidang Bina Adminitrasi Keuangan daerah terdiri dari 3 seksi dan 11 jabatan fungsional, sedangkan Bidang Akuntasi meliputi 4 seksi yang meliputi 4 seksi dan 16 jabatan fungsional dan Bidang Pengelolaan Barang Daerah terdiri dari 3 seksi dan 18 pejabat fungsional. Untuk Kepala UPTD terdiri dari 1 kepala kantor dan 3 orang pejabat eselon 4 yaitu Kasubbag TU, Kasi Pendaftaran dan Penetapan dan Kasi Pembukuan dan Penagihan Jabatan fungsional untuk kota 26 orang jabatan fungsional, Bantul 31 orang jabatan fungsional, Kulonprogo 13 orang jabatan fungsional, Kabupaten Gunungkidul 14 orang jabatan fungsional dan Kabupaten Sleman sebanyak 31 untuk jabatan fungsional. Tabel: 1 Kepegawaian di DPPKA adalah sebagai berikut: Kepala 1 orang Sekretaris 1 orang Kepala Bidang 6 orang Kepala Seksi Kepala KPPD 5 orang Fungsiona l Umum 113 induk 110 KPPD JUMLA H 150 125 275 orang

25 orang Induk 15 orang KPPD Total Karyawan:

Sumber : DPPKA 2009 1.7 ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS 1.7.1 Peluang 1. Kinerja perekonomian Provinsi DIY yang positif selama beberapa tahun terakhir dipicu oleh kenaikan pertumbuhan pada semua sektor secara variatif; 2. Kinerja pemerintahan yang positif dan profesional berdampak positif terhadap perkembangan dunia usaha, sehingga memberi peluang peningkatan pendapatan pemerintah melalui pajak, retribusi dan pendapatan lain-lain. Peningkatan pendapatan, akan berpengaruh positif terhadap belanja pemerintah daerah; 3. Adanya peraturan perundangan dari pemerintah pusat dalam pengelolaan keuangan daerah; 4. Tersedianya potensi sumber-sumber pendapatan PAD; 5. Kesadaran masyarakat dalam pembayaran PKB dan BBNKB; 6. Adanya Pelayanan samsat dengan sistem online.

1.7.2 Tantangan 1. Kebijakan otonomi daerah berdampak penurunan animo masyarakat luar daerah untuk studi DIY; 2. Krisis Finansial global berpengaruh terhadap dunia usaha dan menimbulkan potensi PHK masal serta penurunan perekonomian DIY; 3. Perkembangan teknologi berbasis teknologi informasi yang cepat dalam pengelolaan keuangan; 4. Optimalisasi aset daerah yang berdaya guna dan berhasil guna yang merupakan potensi PAD; 5. Regulasi yang mantap dalam hal pengelolaan keuangan daerah; 6. Melakukan identifikasi, mengkaji, memonitoring potensi sumber-sumber penerimaan asli daerah; 7. Profesionalisme SDM dibidang teknologi informasi, Penatausahaan Keuangan, Akuntansi dan Penilaian Aset. 1.7.3 Isu Strategis 1. Ketahanan Kinerja PDRB terhadap krisis finansial global; 2. Pendekatan pelayanan kepada wajib pajak; 3. Optimalisasi pemanfaatan aset; 4. Potensi sumber-sumber pendapatan yang secara terus menerus harus digali sehingga dapat meningkatkan PAD.

1.8 Alur Pikir


RPJP DIY Visi: Daerah Istimewa Yogyakarta pada Tahun 2025
sebagai Pusat Pendidikan, Budaya dan Daerah Tujuan Wisata Terkemuka di Asia Tenggara dalam lingkungan Masyarakat yang Maju, Mandiri dan Sejahtera.

Misi: Untuk mewujudkan visi tersebut, maka ditempuh

melalui empat misi pembangunan daerah sebagai berikut: 1. Mewujudkan pendidikan berkualitas, berdaya saing, dan akuntabel yang didukung oleh sumber daya pendidikan yang handal. 2. Mewujudkan budaya adiluhung yang didukung dengan konsep, pengetahuan budaya, pelestarian dan pengembangan hasil budaya, serta nilai-nilai budaya secara berkesinambungan.

RPJMD DIY Tahun 2009-2013

Visi:

Pemerintah Daerah yang katalistik dan masyarakat yang mandiri berbasis kekuatan ekonomi lokal dan sumberdaya manusia yang profesional dan beretika.

Misi:
1. Mengembangkan kualitas sumber daya manusia yang sehat, cerdas, profesional, humanis dan beretika dalam mendukung terwujudnya budaya yang adiluhung. Menguatkan fondasi kelembagaan dan memantapkan struktur ekonomi daerah berbasis pariwisata yang didukung potensi lokal dengan semangat kerakyatan menuju masyarakat yang sejahtera. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas tata

2.

FAKTOR EKSTERNAL

3.

DPPKA PROVINSI DIY Visi:


Terbaik dalam Pengelolaan Keuangan dan Aset pada tahun 2013 Di Indonesia

1. Meningkatkan sistem pengelolaan keuangan dan Aset daerah berbasis Teknologi Informasi; 2. Meningkatkan pendapatan daerah; 3. Meningkatan Pengelolaan aset daerah; 4. Meningkatkan sarana, prasarana dan SDM

Misi:

Adanya krisis global; Perkembangan Teknologi Informasi; Kemampuan teknis SDM SKPD yang masih kurang dalam penyusunan pelaporan keuangan; Peraturan tentang Pengelolaan Keuangan selalu berubah dan saling bertentangan satu sama lain; Kesadaran Pada Wajib Pajak.

Gambar: 1

1.9 Struktur dan Bagan Organisasi Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dipimpin oleh Kepala Dinas dan dibantu oleh Sekretaris Dinas. Dalam menjalankan tugasnya, Kepala Dinas dibantu oleh 6 bidang yang meliputi, Bidang Anggaran Pendapatan, Bidang Anggaran Belanja, Bidang Pengelolaan Kas Daerah, Bidang Bina Administrasi Keuangan Daerah, Bidang Akuntansi, dan Bidang Pengelolaan Barang Daerah dan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) yang tersebar di 4 kabupaten dan 1 Kota.
Struktur Organisasi DINAS PENDAPATAN, PENGELOLAAN KEUANGAN KEPALA DINAS Drs. BAMBANG WISNU HANDOYO LAMPIRAN: PERATURAN DAERAH PROVINSI DIY NOMOR : 06 Tahun 2008 TANGGAl : 15 Agustus 2008
SEKRETARIAT Dra. E. ANI MARSIATI, MSi

DAN ASET
KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL

SUBBAGIAN UMUM Drs. M. SETIAWAN

SUBBAGIAN PROGRAM TRI DARJANTO, SE, MM

SUBBAGIAN DATA DAN TEKNOLOGI INFORMASI Dra. D.RATNA PAMUNGKAS

BIDANG ANGGARAN PENDAPATAN Drs. HARYONO,

BIDANG

MM.

ANGGARAN BELANJA YULIANTO, SE


SEKSI PEMERINTAHAN

BIDANG PENGELOLAAN KAS DAERAH Ir. SIGIT MULYANTO

BIDANG BINA ADMINISTRASI KEUANGAN DAERAH DEWA ISNU BROTO IS., SH

Drs. SUDARSONO, Akt.


SEKSI PEMERINTAHAN GUN WINARTA, SE SEKSI KESEJAHTERAAN

BIDANG AKUNTANSI

BIDANG PENGELOLAAN BARANG DAERAH Ir. ARIS RIYANTA, M.Si.

UPTD

SEKSI PAJAK DAERAH Drs. WIDIANTO


SEKSI RETRIBUSI DAN PENDAPATAN LAIN-LAIN ARI SASONGKO,SE,MM SEKSI PERIMBANGAN KEUANGAN DAERAH SUPRIYANTO, SE.

Drs. DWIARTO S.

ANY WIDYASTUTI, SE
SEKSI KESEJAHTERAAN RAKYAT Dra. SRI

SEKSI PEMERINTAHAN

SEKSI BINA APBD DAN PERHITUNGAN KAB/KOTA Drs. FUAD WAHYU H, M.Si. SEKSI BINA PENGELOLAAN KEUANGAN YULIANTO, SIP SEKSI ADMINISTRASI DANA NON APBD Drs. ARDIANTO EDI P.

SEKSI ADMINISTRASI BARANG DAERAH ADI NUGROHO, SE SEKSI PENDAYAGUNAAN BARANG DAERAH

SEKSI KESEJAHTERAAN RAKYAT ROSE SUTIKNO, SH.

SEKSI FISIK, SARPRAS

PURWANINGSIH SEKSI FISIK, SARPRAS TANTO KUSNANDAR, SIP SEKSI PEREKONOMIAN KARDI, SE.

Ir. E. INTAN M., MSi


SEKSI FISIK, SARPRAS

RAKYAT

Drs. BAMBANG ISNAWAN


SEKSI MONITORING DAN EVALUASI Drs. SUJADI

M. SYAFRUDDIN, BSc
SEKSI PEREKONOMIAN ARIS EKO N., SP, M.Si

RIYADI M., SE, MSi.


SEKSI PEREKONOMIAN
BAMBANG KALIMANTO, SH

Gambar: 2

1.10 Tugas Pokok Sekretariat dan Bidang 1. Sekretariat Sekretariat mempunyai tugas menyelenggarakan ketatausahaan, penyusunan program, pengelolaan data dan informasi, monitoring, evaluasi dan pelaporan kinerja Dinas. 2. Bidang Anggaran Pendapatan Bidang Anggaran Pendapatan mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan pendapatan daerah yang bersumber dari pajak daerah, retribusi dan pendapatan lain-lain serta dana perimbangan. 3. Bidang anggaran Belanja Bidang Anggaran Belanja mempunyai tugas menyusun APBD dan atau perubahan APBD, Anggaran Kas Pemerintah Daerah, Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) dan Surat Penyediaan Dana (SPD). 9

4. Bidang Pengelolaan Kas Daerah Bidang Pengelolaan Kas Daerah mempunyai tugas menghimpun data gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) Daerah beserta tunjangannya, melakukan pencatatan pendapatan dan pengeluaran APBD, mengendalikan pelaksanaan keuangan APBD, dan menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). 5. Bidang Bina Administrasi Keuangan Daerah Bidang Bina Administrasi Keuangan Daerah mempunyai tugas melaksanakan evaluasi rancangan APBD dan atau perubahan APBD Kabupaten/Kota, pembinaan pengelolaan keuangan daerah dan penyusunan laporan keuangan dana non APBD. 6. Bidang Akuntansi Bidang Akuntansi mempunyai tugas menyusun laporan keuangan daerah dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD. 7. Bidang Pengelolaan Barang Daerah Bidang Pengelolaan Barang Daerah mempunyai tugas merencanakan, menatausahakan, mengamankan, menilai, memanfaatkan dan mendayagunakan, monitoring dan evaluasi, penghapusan, pemindahtanganan, pembinaaan pengelolaan barang milik daerah serta merumuskan bahan kebijakan pengelolaan barang milik daerah. 1.11 Uraian Kegiatan DPPKA Provinsi DIY 1. SEKRETARIAT TUGAS: Melaksanakan kearsipan, Kerumahtanggaan, Pengelolaan barang, Kepegawaian, Kehumasan, Kepustakaan, Efisiensi dan Tatalaksana dinas. SUB BAG/SUB BIDANG/SEKSI a. Sub Bagian Umum

FUNGSI Penyusunan program Sub Bagian Umum, Pengelolaan kearsipan, Penyelenggaraan kerumahtanggaan Dinas, Pengelolaan barang Dinas, Pengelolaan data kepegawaian Dinas, Penyiapan bahan mutasi pegawai Dinas, Penyiapan kesejahteraan pegawai Dinas, Penyiapan bahan pembinaan pegawai Dinas, Penyelenggaraan kehumasan Dinas, Pengelolaan kepustakaan Dinas,Penyiapan bahan efisiensi dan tatalaksana Dinas, Pelaksanaan evaluasi dan penyusunan laporan program Sub Bagian Umum. URAIAN TUGAS Pengumpulan data rencana kegiatan Sub Bagian Umum, Penyusunan rencana kegiatan Sub Bagian Umum, Perencanaan kebutuhan sarana kearsipan, Pengolahan kearsipan/naskah dinas, Penggandaan arsip/naskah dinas, Pengelolaan kearsipan/ surat menyurat, Perawatan naskah dinas, Penyediaan barang peralatan kantor, Penyediaan barang perlengkapan kantor, Pelayanan akomodasi, Pemeliharaan kebersihan kantor, Penyelenggaraan rapat dinas, Pengamanan kantor, Penyediaan air dan listrik, Penyediaan sarana komunikasi, Penyusunan RKBU dan RKPBU, Pengadaan sarana dan prasarana, 10

Pencatatan barang/aset dan persediaan, Pemeliharaan/rehabilitasi sarana dan prasarana, Penyusunan laporan bulanan, semesteran dan tahunan, Pelaksanaan iventarisasi aset dinas, Penyusunan neraca aset dinas, Pengelolaan data kepegawaian, Penyiapan mutasi dan usulan CPNS menjadi PNS, Pembuatan usulan kenaikan pangkat, cuti, gaji berkala dan pensiun, Pembuatan kartu penjagaan kenaikan pangkat, gaji berkala dan pensiun, Penyiapan bahan pembinaan dan pengembangan pegawai, Penyiapan bahan kesejahteraan pegawai, Fasilitasi penilaian angka kredit, Pembuatan kartu penjagaan kenaikan pangkat, gaji berkala dan pensiun, Mengusulkan mutasi pegawai Dinas, Penyiapan bahan kesejahteraan pegawai Dinas, Penyiapan bahan pembinaan dan pengembangan pegawai Dinas, Pelayanan tamu, Penanggapan keluhan pelayanan publik,, Perencanaan Kebutuhan bahan pustaka, Pelayanan pustaka Dinas, Pengadaan pustaka Dinas, Pengolahan pustaka Dinas, Pemeliharaan Pustaka Dinas, Penyiapan bahan efisiensi dan tatalaksana Dinas, Pengumpulan data pelaksanaan kegiatan kantor,Pengolahan data pelaksanaan kegiatan kantor, Penyelenggaraan monitoring dan evaluasi kegiatan kantor. b. Sub Bagian Program

TUGAS: Melaksanakan penyusunan program dan laporan kinerja dan Melaksanakan pengelolaan keuangan. FUNGSI Penyusunan program Subbagian Program, Penyusunan program pendapatan, pengelolaan keuangan dan aset, Penyiapan rancangan anggaran, Penyelenggaraan perbendaharaan, Penyelenggaraan Akuntansi Keuangan, Penyelenggaraan verifikasi anggaran, Penyusunan Pertanggungjawaban anggaran, Pengendalian, monitoring dan evaluasi program, Penyusunan laporan program pendapatan, pengelolaan keuangan dan aset, Pelaksanaan evaluasi dan penyusunan laporan program Subbagian Program URAIAN TUGAS Penyusunan Restra DPPKA, Penyusunan Renja DPPKA, Penyusunan Rencana Kerja Tahunan (RKT) dan Penetapan Kinerja, Penyusunan RKA dan DPA, Penyusunan IKU, Penyusunan rencana operasional pelaksanaan kegiatan ROPK, Pengumpulan data dan bahan kegiatan Dinas, Pelaksanaan koordinasi bidang-bidang pengelolaan pendapatan, Pengajuan Kegiatan masing-masing Bidang, Penyiapan data/bahan penyusunan rencana kegiatan dan anggaran SKPD, Pengentrian RKA/DPA aplikasi, Penyiapan SPM selaku SKPD, Penyiapan SP2D selaku SKPKD, Pelaporan Penerimaan Keuangan, Pelaporan Pengeluaran Keuangan, Penyusunan dan entry laporan realisasi keuangan SKPD, Pembuatan laporan realisasi semesteran dan Prognosis SKPD, Penyesuaian antara penerimaan dan pengeluaran, Penyesuaian target dan realisasi anggaran, Penyusunan Laporan Kegiatan Keuangan Dinas, Penyiapan data/bahan, pengolahan data, monitoring dan evaluasi, Penyusunan laporan pelaksanaan program kegiatan, Penyusunan perencanaan kegiatan, Penyusunan RKA SKPD, Penyusunan DPA SKPD, Penyusunan laporan pelaksanaan program/kegiatan APBD, Penyiapan data/bahan evaluasi pelaksanaan program/kegiatan LAKIP Dinas. 11

c.

Sub Bagian Data dan Teknologi Informasi

TUGAS Melaksanakan pengelolaan data dan Melaksanakan pengembangan sistem dan teknologi informasi. FUNGSI Penyusunan program Sub Bagian Data dan Teknologi Informasi, Pengelolaan data dan pelayanan informasi pengelolaan keuangan daerah, Pengembangan sistem informasi pengelolaan keuangan daerah, Pemeliharaan sistem informasi pengelolaan keuangan daerah, Pelaksanaan evaluasi dan penyusunan laporan program Sub Bagian Data dan Teknologi Informasi. URAIAN TUGAS Pengumpulan data rencana kegiatan Sub Bagian Data dan Teknologi Informasi, Penyusunan kegiatan Sub Bagian Data dan Teknologi Informasi, Perencanaan kebutuhan Data dan Teknologi Informasi, Pencarian data dan visualisasi, Pengkopilasian data untuk kebutuhan informasi internal dan eksternal, Penyediaan kebutuhan bahan Publikasi Dinas, Pelaksanaan Integrasi data DPPKA Prov. DIY, Penyajian data interaktif, Pengembangan dan pembangunan rancang bangun aplikasi keuangan daerah, Pembuatan Web DPPKA Provinsi DIY, Pembuatan dan pengembangan Data Base, Pengelolaan Keuangan Daerah, Pemeliharaan Aplikasi SIM Keuangan Induk, Gabungan dan KPPD, SIM Kearsipan, Perpustakaan, Kepegawaian, Pemeliharaan dan pengembangan Web DPPKA Prov. DIY, Pemeliharaan Jaringan Internet, Pengumpulan Data Informasi Dinas, Penyusunan Laporan Tahunan Dinas;

2. BIDANG ANGGARAN PENDAPATAN a. Seksi Pajak Daerah

TUGAS Menyiapkan bahan perumusan kebijaksanaan penetapan dan fasilitasi sengketa pajak daerah. FUNGSI Penyusunan program Seksi Pajak Daerah, perencanaan penerimaan pajak daerah yang bersumber dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB) dan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (PABT-AP), pengumpulan data tentang sumber penerimaan Pajak Daerah dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB) dan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (PABT-AP) dalam rangka perumusan 12

kebijaksanaan, Penyusunan Pedoman Teknis Meliputi Penetapan, Penagihan, pemasukan, pengumpulan serta pelaporan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) dan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (PABT-AP), fasilitasi penyelesaian sengketa dan keberatan pajak daerah, penyelenggaraan monitoring dan evaluasi pengelolaan pajak daerah serta pelaksanaan pembukuan dan pelaporan, pengkajian terhadap obyek pungutan dan analisis kemungkinan adanya pengembangan obyek baru yang dapat dijadikan sumber pendapatan daerah, pelaksanaan evaluasi dan penyusunan laporan program Seksi Pajak Daerah. URAIAN TUGAS Pengumpulan data rencana kegiatan Seksi Pajak Daerah,Penyusunan rencana kegiatan Seksi Pajak Daerah,Pelaksanaan rapat koordinasi dengan SKPD pengelola PKB, BBNKB, PABT-AP dan Perusahaan/Wajib Pungut PBB-KB, Penyusunan rencana anggaran Pajak Daerah, Pengolahan data penerimaan Pajak Daerah, Koordinasi pengolahan data base layanan informasi identitas kendaraan dan pembayaran pajak melalui Short Massage System (SMS), Pengumpulan data penerimaan Pajak Daerah, Penyusunan Dokumen data target dan realisasi Pajak Daerah, Penyusunan Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Penyusunan Petunjuk Teknis tentang PKB dan BBN-KB, Penyusunan Petunjuk Teknis tentang PBB-KB, Penyusunan Petunjuk Teknis tentang PABT-AP, Pelaksanaan Pemberian Keringanan terhadap sanksi administrasi berupa denda dan bunga bagi wajib pajak yang terlambat bayar dan keberatan atas penetapan pajak Daerah, Penyiapan Dokumen Permohonan Keringanan/ pembebasan/ Pengurangan pokok pajak terhadap kendaraan ambulance dan pemadam kebakaran, Penyiapan Usulan Kebijakan Pembebasan Denda/pokok PKB, dan BBNKB, Pelaksanaan kegiatan razia kendaraan bermotor dengan Instansi terkait, Pelaksanaan koordinasi dengan SKPD/Perusahaan pemungut Pajak Daerah, Fasilitasi Penyelenggaraan Pelayanan Samsat Keliling, Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pemungutan Pajak Daerah, Penyelenggaraan Bimbingan Teknis terhadap Aparat pemungut pajak Daerah, Pengkajian terhadap Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan Pajak Daerah, Penyelenggaraan Rakornas/Rakernas tentang Nilai Jual Kendaraan Bermotor dengan Dinas Pendapatan Provinsi seluruh Indonesia, Penyelenggaraan Rakornas/Rakernas tentang PBB-KB dengan Dinas Pendapatan Provinsi seluruh Indonesia dan Wajib Pungut Bahan Bakar, Penggalian Potensi Pajak Daerah, Pelaksanaan Kompilasi Data Pajak Daerah, Pembuatan laporan kegiatan seksi Pajak Daerah, Pelaksanaan evaluasi Penerimaan Pajak Daerah b. Seksi Retribusi dan Pendapatan Lain-Lain TUGAS Melaksanakan pemungutan, administrasi pendapatan yang bersumber dari retribusi dan pendapatan lain-lain termasuk lain-lain pendapatan asli daerah yang sah dan lain-lain pendapatan daerah yang sah

13

FUNGSI Penyusunan program Seksi Retribusi dan Pendapatan Lain-lain, perencanaan penerimaan retribusi daerah dan pendapatan lain-lain termasuk lain-lain pendapatan asli daerah yang sah dan lain-lain pendapatan daerah yang sah, pengumpulan dan pengolahan data tentang sumber-sumber potensi pendapatan daerah dari pemungutan retribusi dan pendapatan lain-lain termasuk lain-lain pendapatan asli daerah yang sah dan lain-lain pendapatan daerah yang sah, penyediaan tanda pembayaran retribusi dan pendapatan lain-lain, Pemungutan, Penagihan, Pemasukan, Pengumpulan Retribusi dan Pendapatan Lain-lain termasuk lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang sah dan lain-lain Pendapatan Daerah yang sah termasuk sumbangan bencana berdasarkan ketentuan yang berlaku, Penyiapan koordinasi, monitoring dan evaluasi pengelolaan retribusi dan pendapatan lain-lain termasuk lain-lain pendapatan asli daerah yang sah dan lain-lain pendapatan daerah yang sah serta melaksanakan pembukuan dan pelaporan, pengkajian terhadap obyek pungutan dan analisis kemungkinan adanya pengembangan obyek baru yang dapat dijadikan sumber pendapatan daerah, pelaksanaan evaluasi dan penyusunan laporan program Seksi Retribusi dan Pendapatan Lain-lain URAIAN TUGAS Pengumpulan data/ bahan rencana kegiatan Seksi Retribusi dan Pendapatan Lain-Lain, Penyusunan rencana kegiatan seksi Retribusi dan Pendapatan Lain-lain, Pelaksanaan koordinasi dengan SKPD pengelola retribusi dan pendapatan lain-lain, Penyusunan rencana anggaran pendapatan dari restribusi dan pendapatan lain-lain, Pengolahan data penerimaan retribusi lelang hasil hutan, Pelaksanaan koordinasi pengolahan data base retribusi dan pendapatan lain-lain dengan SKPD, Pengumpulan data penerimaan retribusi dan pendapatan lain-lain dari SKPD, Pendokumentasian data target dan realisasi retribusi daerah dan pendapatan lain-lain, Pelaksanaan validasi tanda pembayaran retribusi dan pendapatan lain-lain, Penyediaan tanda pembayaran retribusi lelang hasil hutan, Penyediaan mesin validasi tanda pembayaran retribusi dan pendapatan lain-lain, Pemungutan retribusi lelang hasil hutan, Pelaksanaan koordinasi penyelenggaraan lelang hasil hutan dengan KPKLN dan Perum.Perhutani, Pelaksanaan koordinasi pemungutan, penagihan, pemasukan, pengumpulan retribusi dan pendapatan lain-lain dengan Kas Daerah, Pelaksanaan koordinasi pemungutan retribusi dan pendapatan lain-lain dengan SKPD, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi lainnya, Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pemungutan retribusi dan pendapatan lain-lain, Penyelenggaraan forum komunikasi antara Pemerintah Prov.DIY dengan Para Pengusaha, Pengkajian terhadap obyek dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan retribusi dan pendapatan lain-lain, Pelaksanaan koordinasi dengan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi lain terhadap obyek retribusi dan pendapatan lain-lain yang baru, Penyusunan laporan dan evaluasi kegiatan seksi retribusi dan pendapatan lain-lain. c. Seksi Perimbangan Keuangan Daerah TUGAS Menyiapkan Bahan Penetapan Dana Perimbangan

14

FUNGSI Penyusunan Program Seksi Perimbangan Keuangan Daerah; Penyusunan rencana penerimaan dana perimbangan, Penyiapan bahan pelaksanaan penerimaan dana perimbangan, Penyelenggaraan monitoring dan evaluasi pengelolaan dana perimbangan serta melaksanakan pembukuan dan pelaporan, Pelaksanaan intensifikasi dan ekstensifikasi dana perimbangan, Penyiapan bahan koordinasi pelaksanaan pengelolaan dana perimbangan, Pelaksanaan evaluasi dan penyusun laporan kegiatan Seksi Perimbangan Keuangan Daerah. URAIAN TUGAS Pengumpulan bahan/data rencana kegiatan Seksi Perimbangan Keuangan Daerah, Penyusunan rencana kegiatan Seksi Perimbangan Keuangan Daerah, Pelaksanaan koordinasi dan rekonsiliasi target penerimaan dana perimbangan, Penyusunan data rencana penerimaan dana perimbangan, Pelaksanaan koordinasi dan iventarisasi kegiatan pemungutan PBB dan BPHTB, Pengolahan data penerimaan PBB dan BPHTB, Pengolahan data penerimaan PPh OPDN dan PPh Pasal 21, Pengolahan data penerimaan cukai tembakau, Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pengelolaan dana perimbangan, Pelaksanaan rekapitulasi bukti setor dan Kas Daerah, Pelaksanaan entry data penerimaan dana perimbangan, Pembukuan dan pelaporan penerimaan dana perimbangan, Pelaksanaan koordinasi rekonsiliasi data penerimaan dana perimbangan, Pelaksanaan koordinasi intensifikasi dan ekstensifikasi dana perimbangan, Pengadaan barang cetakan (SPPT PBB, STTS PBB, DHKP PBB, SSB, SSP), Fasilitasi pelaksanaan sosialisasi PPh OPDN dan PPh Pasal 21, Pelaksanaan pra rakor dan rakor PBB dan BPHTB, Penyuluhan dalam rangka intensifikasi dan ekstensifikasi dana perimbangan (PBB dan BPHTB, PPh OPDN dan Pasal 21), Penyelengaraan lomba PBB antar Kabupaten/ Kota se-Provinsi DIY, Penyiapan bahan administrasi pengelolaan dana perimbangan, Pelaksanaan koordinasi pengelolaan dana perimbangan, Penyusunan/pembuatan laporan kegiatan Seksi Perimbangan Keuangan Daerah, Pelaksanaan evaluasi kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi dana perimbangan. a. 3. BIDANG ANGGARAN BELANJA Seksi Pemerintahan TUGAS Melaksanakan Penyiapan Bahan Penyusunan APBD dan/atau perubahan APBD di bidang Pemerintahan. FUNGSI Penyusunan program Seksi Pemerintahan, Penyusunan rencana APBD dan/atau perubahan APBD di bidang Pemerintahan, Penyiapan bahan pengesahan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA-SKPD) dan/atau Dokumen Pelaksanaan Perubahan Anggaran (DPPA-SKPD) di Bidang Pemerintahan,Penyiapan bahan rencana anggaran kas di Bidang Pemerintahan, Penyusunan surat penyediaan dana (SPD) untuk SKPD di Bidang Pemerintahan, Penyiapan bahan penghantaran dan nota keuangan APBD di Bidang Pemerintahan, Pelaksanaan evaluasi dan penyusunan laporan program seksi Pemerintahan. 15

URAIAN TUGAS Pelaksanaan inventarisasi bahan/data Keuangan daerah, Pelaksanaan koordinasi intern bidang anggaran belanja dan intern Seksi Pemerintahan, Pelaksanaan penyusunan rencana kerja seksi Pemerintahan, Penyampaian SE Ketua TAPD tentang penyusunan RKA, Pengumpulan usulan RKA-SKPD di bidang pemerintahan, Pelaksanaan koordinasi intern lintas bidang, Pembahasan RKA SKPD di Bidang Pemerintahan, Pembuatan Rancangan Perda APBD murni dan atau APBD Perubahan, Pendampingan SKPD di DPRD Provinsi DIY pembahasan RAPBD murni dan perubahan, Pembahasan evaluasi RAPBD murni dan atau Perubahan di DEPDAGRI, Penyempurnaan RAPBD murni dan atau perubahan sesuai dengan hasil evaluasi DEPDAGRI, Penyusunan RAPERGUB murni dan perubahan penjabaran APBD, Sinkronisasi Pra RKA dengan Bapped, Pencermatan usulan DPA SKPD, Pengesahan DPA SKPD, Pencermatan alokasi anggaran kas SKPD di Bidang Pemerintahan, Penyusunan rencana anggaran kas di Bidang Pemerintahan, Pembuatan Surat Penyediaan Dana (SPD) untuk SKPD di bidang Pemerintahan, Penyusunan bahan penghantaran dan nota keuangan APBD, Pelaksanaan evaluasi kegiatan Seksi Pemerintahan, Penyusunan laporan hasil kegiatan seksi Pemerintahan. b. Seksi Kesejahteraan Rakyat TUGAS Menyusun Laporan Keuangan Daerah dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Bidang Kesejahteraan Rakyat. FUNGSI Penyusunan program Seksi Kesejahteraan Rakyat, Penyusunan rencana APBD dan atau perubahan APBD di bidang Kesejahteraan Rakyat, Penyiapan bahan pengesahan Dokumen Pelaksanaan Angaran (DPA-SKPD) dan atau Dokumen Pelaksanaan Perubahan Anggran (DPPA-SKPD) di Bidang Kesejahteraan Rakyat, Penyiapan bahan rencana anggaran kas di Bidang Kesejahteraan Rakyat, Penyusunan surat penyediaan dana (SPD) untuk SKPD di Bidang Kesejahteraan Rakyat, Penyiapan bahan penghantaran dan nota keuangan APBD di Bidang Kesejahteraan Rakyat,Pelaksanaan evaluasi dan penyusunan laporan program seksi Kesejahteraan Rakyat. URAIAN TUGAS Pelaksanaan inventarisasi bahan/data Keuangan daerah, Pelaksanaan koordinasi intern bidang anggaran belanja dan intern Seksi Kesejahteraan Rakyat, Pelaksanaan penyusunan rencana kerja seksi Kesejahteraan Rakyat, Penyampaian SE Ketua TAPD tentang penyusunan RKA, Pengumpulan usulan RKA-SKPD di bidang Kesejahteraan Rakyat, Pelaksanaan koordinasi intern lintas bidang. Pembahasan RKA SKPD di Bidang Kesejahteraan Rakyat, Pembuatan Rancangan Perda APBD murni dan atau APBD Perubahan, Pendampingan SKPD di DPRD Provinsi DIY pembahasan RAPBD murni dan perubahan, Pembahasan evaluasi RAPBD murni dan atau Perubahan di DEPDAGRI, Penyempurnaan RAPBD murni dan atau perubahan sesuai dengan hasil evaluasi DEPDAGRI, Penyusunan RAPEGUB murni dan perubahan penjabaran APBD, Sinkronisasi Pra RKA dengan Bappeda, Pencermatan usulan DPA SKPD, Pengesahan DPA SKPD, Pencermatan alokasi anggaran kas SKPD di Bidang 16

Kesejahteraan Rakyat, Penyusunan rencana anggaran kas di Bidang Kesejahteraan Rakyat, Pembuatan Surat Penyediaan Dana (SPD) untuk SKPD di bidang Kesejahteraan Rakyat, Penyusunan bahan penghantaran dan nota keuangan APBD, Pelaksanaan evaluasi kegiatan Seksi Kesejahteraan Rakyat, Penyusunan laporan hasil kegiatan seksi Kesejahteraan Rakyat. c. Seksi Fisik dan Sarana Prasarana TUGAS Menyusun Laporan Keuangan Daerah dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Bidang Fisik dan Sarana Prasarana. FUNGSI Penyusunan program Seksi Fisik dan Sarana Prasarana, Penyusunan rencana APBD dan atau perubahan APBD di bidang Fisik dan Sarana Prasarana, Penyiapan bahan pengesahan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA-SKPD) dan atau Dokumen Pelaksanaan Perubahan Anggaran (DPPA-SKPD) di Bidang Fisik dan Sarana Prasarana, Penyiapan bahan rencana anggaran kas di Bidang Fisik dan Sarana Prasarana, Penyusunan surat penyediaan dana (SPD) untuk SKPD di Bidang Fisik dan Sarana Prasarana, Penyiapan bahan penghantaran dan nota keuangan APBD di Bidang Fisik dan Sarana Prasarana, Pelaksanaan evaluasi dan penyusunan laporan program seksi Fisik dan Sarana Prasarana, Pelaksanaan koordinasi intern bidang anggaran belanja dan intern Seksi Fisik dan Sarana Prasarana. URAIAN TUGAS Pelaksanaan koordinasi dengan instansi terkait di Seksi Fisik dan Sarana Prasarana, Pelaksanaan penyusunan rencana kerja seksi Seksi Fisik dan Sarana Prasarana, Pengumpulan usulan RKA-SKPD di bidang Seksi Fisik dan Sarana Prasarana, Pembahasan intern seksi Fisik dan Sarana Prasarana, Pendampingan SKPD di Komisi D (bidang Fisik dan Sarana Prasarana) pembahasan RKA, Pembuatan Rancangan Perda APBD dan atau APBD Perubahan, Pendampingan SKPD di Panitia Anggaran DPRD Prop DIY pembahasan RAPBD murni dan perubahan, Pembuatan APBD (Perda APBD) murni dan perubahan, Pembuatan Pergub APBD murni dan perubahan, Pencermatan usulan DPA SKPD, Pengusulan pengesahan DPA SKPD murni dan perubahan, Penyusunan rencana anggaran kas di bidang Fisik dan Sarana Prasarana, Pembuatan Surat Penyediaan Dana (SPD) untuk SKPD di bidang Fisik dan Sarana Prasarana, Penyusunan bahan penghantaran dan nota keuangan APBD di bidang Fisik dan Sarana Prasarana, Pelaksanaan koordinasi kegiatan intern seksi Fisik dan Sarana Prasarana, Pelaksanaan evaluasi hasil kegiatan seksi Fisik dan Sarana Prasarana. d. Seksi Perekonomian TUGAS Penyiapan Bahan Penyusunan APBD dan atau Perubahan APBD, Anggaran Kas Pemda, Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) dan Surat Penyediaan Dana (SPD).

17

FUNGSI Penyusunan program Seksi Perekonomian, Penyusunan rencana APBD dan atau perubahan APBD di bidang Perekonomian, Penyiapan bahan pengesahan Dokumen Pelaksanaan Angaran (DPA-SKPD) dan atau Dokumen Pelaksanaan Perubahan Anggran (DPPA-SKPD) di Bidang Perekonomian, Penyiapan bahan rencana anggaran kas di Bidang Perekonomian, Penyususnan surat penyediaan dana (SPD) untuk SKPD di Bidang Perekonomian, Penyiapan bahan penghantaran dan nota keuangan APBD di Bidang Perekonomian, Pelaksanaan eveluasi dan penyusunan laporan program seksi Perekonomian. URAIAN TUGAS Pelaksanaan koordinasi intern bidang anggaran belanja dan intern seksi, Pelaksanaan koordinasi dengan instansi terkait di bidang Perekonomian, Pelaksanaan penyusunan rencana kerja seksi Perekonomian, Pengumpulan usulan RKA-SKPD di bidang Perekonomian, Pembahasan intern seksi Perekonomian, Pendampingan SKPD di Komisi D (bidang Perekonomian) pembahasan RKA, Pembuatan Rancangan Perda APBD dan atau APBD Perubahan, Pendampingan SKPD di Panitia Anggaran DPRD Prop DIY pembahasan RAPBD murni dan perubahan, Pembuatan APBD (Perda APBD) murni dan perubahan, Pembuatan Pergub APBD murni dan perubahan, Pencermatan usulan DPA SKPD, Pengusulan pengesahan DPA SKPD murni dan perubahan, Penyusunan rencana anggaran kas di bidang Perekonomian, Pembuatan Surat Penyediaan Dana (SPD) untuk SKPD di bidang Perekonomian, Penyusunan bahan penghantaran dan nota keuangan APBD di bidang Perekonomian, Pelaksanaan koordinasi kegiatan intern seksi Perekonomian, Pelaksanaan evaluasi hasil kegiatan seksi Perekonomian. 4. BIDANG PENGELOLAAN KAS DAERAH a. Seksi Pemerintahan TUGAS Melakukan Pencatatan Pendapatan Penatausahaan dan Pengendalian Pengeluaran atas beban rekening kas daerah serta pelaksanaan potongan fihak ke tiga (PFK) dibidang pemerintahan. FUNGSI Penyusunan program Seksi Pemerintahan, Pencatatan pendapatan, penatausahaan dan pengendalian pengeluaran atas beban rekening Kas Daerah oleh Bank yang ditunjuk di Bidang Pemerintahan, Penghimpunan data gaji pegawai negeri sipil (PNS) Daerah beserta tunjangannya pada SKPD, potongan pihak ke tiga (PFK) yang terdiri dari iuran wajib pegawai (IWP), tabungan perumahan dan iuran pemerintah daerah di Bidang Pemerintahan, Pengujian atas tagihan pihak ketiga dan surat perintah membayar (SPM) yang diajukan oleh pengguna anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran atas beban rekening kas daerah di Bidang Pemerintahan, Penyiapan bahan Penolakan surat perintah membayar (SPM), surat perintah pencairan dana (SP2D) di Bidang Pemerintahan, Pengendalian Pelaksanaan realisasi keuangan APBD di Bidang Pemerintahan, Penyusunan laporan realisasi pendapatan dan pengeluaran APBD secara berkala di 18

Bidang Pemerintahan, Pelaksanaan Evaluasi dan Penyusunan Laporan Program seksi Pemerintahan. URAIAN TUGAS Pengumpulan bahan/data Keuangan daerah, Pelaksanaan inventarisasi bahan/data Keuangan daerah, Penyusunan kegiatan Seksi Pemerintahan, Pengumpulan data pendapatan SKPD Seksi Pemerintahan, Pencatatan data dan rakapitulasi pendapatan Seksi Pemerintahan, Pencatatan pengeluaran SKPD Seksi Pemerintahan, Pemutakhiran data Pegawai Neseri Sipil Daerah pada SKPD Seksi Pemerintahan, Penghitungan gaji PNS daerah pada Pemutakhiran data Pegawai Neseri Sipil Daerah, pada SKPD Seksi Pemerintahan, Pelaporan realisasi gaji bulanan dan semesteran, Penelitian SPM LS dari pihak ketiga Seksi Pemerintahan, Penelitian SPM-LS gaji dari Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran Seksi Pemerintahan, Penelitian SPM UP/GU/TU dari Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran Seksi Pemerintahan, Pembuatan register penolakan SPM Seksi Pemerintahan, Penyiapan bahan penerbitan SP2D Seksi Pemerintahan, Pengendalian realisasi Pendapatan SKPD per triwulan, semesteran, Seksi Pemerintahan, Pengendalian realisasi pengeluaran SKPD per triwulan, semesteran Seksi Pemerintahan, Penyusunan laporan realisasi pendapatan SKPD per bulan Seksi Pemerintahan, Penyusunan laporan realisasi pengeluaran SKPD perbulan Seksi Pemerintahan, Pelaksanaan evaluasi realisasi kegiatan Seksi Pemerintahan, Penyusunan laporan kegiatan Seksi Pemerintahan. b. Seksi Kesejahteraan Rakyat TUGAS Melakukan Pencatatan Pendapatan Penatausahaan dan Pengendalian Pengeluaran atas beban rekening kas daerah serta pelaksanaan potongan fihak ke tiga (PFK) dibidang Kesejahteraan Rakyat. FUNGSI Penyusunan program Seksi Kesejahteraan Rakyat, Pencatatan pendapatan, penatausahaan dan pengendalian pengeluaran atas beban rekening Kas Daerah oleh Bank yang ditunjuk di Bidang Kesejahteraan Rakyat, Penghimpunan data gaji pegawai negeri sipil (PNS) Daerah beserta tunjangannya pada SKPD, potongan pihak ke tiga (PFK) yang terdiri dari iuran wajib pegawai (IWP), tabungan perumahan dan iuran pemerintah daerah di Kesejahteraan Rakyat, Pengujian atas tagihan pihak ketiga dan surat perintah membayar (SPM) yang diajukan oleh pengguna anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran atas beban rekening kas daerah di Bidang Kesejahteraan Rakyat, Penyiapan bahan Penolakan surat perintah membayar (SPM), surat perintah pencairan dana (SP2D) di Bidang Kesejahteraan Rakyat, Pengendalian Pelaksanaan reaisasi keuangan APBD di Bidang Kesejahteraan Rakyat, Penyusunan laporan realisasi pendapatan dan pengeluaran APBD secara berkala di Bidang Kesejahteraan Rakyat, Pelaksanaan Evaluasi dan Penyusunan Laporan Program seksi Kesejahteraan Rakyat. URAIAN TUGAS Pengumpulan bahan/data Keuangan daerah, Pelaksanaan inventarisasi bahan/data Keuangan daerah, Penyusunan kegiatan Seksi Kesejahteraan Rakyat, Pengumpulan data 19

pendapatan SKPD Seksi Kesejahteraan Rakyat, Pencatatan data dan rekapitulasi pendapatan Kesejahteraan Rakyat, Pencatatan pengeluaran SKPD Seksi Kesejahteraan Rakyat, Pemutakhiran data Pegawai Neseri Sipil Daerah pada SKPD Kesejahteraan Rakyat, Penghitungan gaji PNS daerah pada Pemutakhiran data Pegawai Neseri Sipil Daerah pada SKPD Kesejahteraan Rakyat, Pelaporan realisasi gaji bulanan dan semesteran, Penelitian SPM LS dari pihak ketiga Seksi Kesejahteraan Rakyat, Penelitian SPM-LS gaji dari Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran Seksi Kesejahteraan Rakyat, Penelitian SPM UP/GU/TU dari Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran Seksi Kesejahteraan Rakyat, Pembuatan register penolakan SPM Seksi Kesejahteraan Rakyat, Penyiapan bahan penerbitan SP2D Seksi Kesejahteraan Rakyat, Pengendalian realisasi Pendapatan SKPD per triwulan, semesteran, Seksi Kesejahteraan Rakyat, Pengendalian realisasi pengeluaran SKPD per triwulan, semesteran Seksi Kesejahteraan Rakyat , Penyusunan laporan realisasi pendapatan SKPD per bulan Seksi Kesejahteraan Rakyat, Penyusunan laporan realisasi pengeluaran SKPD per bulan Seksi Kesejahteraan Rakyat, Pelaksanaan evaluasi realisasi kegiatan Seksi Kesejahteraan Rakyat, Penyusunan laporan kegiatan Seksi Kesejahteraan Rakyat c. Seksi Fisik dan Sarana Prasarana TUGAS Melakukan Pencatatan Pendapatan Penatata usahaan dan Pengendalian Pengeluaran atas beban rekening kas daerah serta pelaksanaan potongan fihak ke tiga (PFK) dibidang Fisik dan Sarana Prasarana FUNGSI Penyusunan program Seksi Fisik dan Sarana Prasarana; Pencatatan pendapatan, penatausahaan dan pengendalian pengeluaran atas beban rekening Kas Daerah oleh Bank yang ditunjuk di Bidang Fisik dan Sarana Prasarana; Penghimpunan data gaji pegawai negeri sipil (PNS) Daerah beserta tunjangannya pada SKPD, potongan pihak ke tiga (PFK) yang terdiri dari iuran wajib pegawai (IWP), tabungan perumahan dan iuran pemerintah daerah di Bidang Fisik dan Sarana Prasarana; Pengujian atas tagihan pihak ketiga dan surat perintah membayar (SPM) yang diajukan oleh pengguna anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran atas beban rekening kas daerah di Bidang Fisik dan Sarana Prasarana, Penyiapan bahan Penolakan surat perintah membayar (SPM), surat perintah pencairan dana (SP2D) di Bidang Fisik dan Sarana Prasarana, Pengendalian Pelaksanaan reaisasi keuangan APBD di Bidang Fisik dan Sarana Prasarana Penyusunan laporan realisasi pendapatan dan pengeluaran APBD secara berkala di Bidang Fisik dan Sarana Prasarana Pelaksanaan Evaluasi dan Penyusunan Laporan Program seksi Fisik dan Sarana Prasarana URAIAN TUGAS Pengumpulan bahan/data Keuangan daerah; Pelaksanaan inventarisasi bahan/data Keuangan daerah Penyusunan kegiatan Seksi Fisik dan Sarana Prasarana, Pengumpulan data pendapatan SKPD Seksi Fisik dan Sarana Prasarana, Pencatatan data dan rakapitulasi pendapatan Fisik dan Sarana Prasarana, Pencatatan pengeluaran SKPD Seksi Fisik dan Sarana Prasarana Pemutakhiran data Pegawai Negeri Sipil Daerah pada SKPD Seksi Fisik dan Sarana Prasarana, Penghitungan gaji PNS daerah pada Pemutakhiran data 20

Pegawai Negeri Sipil Daerah pada SKPD Seksi Fisik dan Sarana Prasarana, Pelaporan realisasi gaji bulanan dan semesteran, Penelitian SPM LS dari pihak ketiga Seksi Fisik dan Sarana Prasarana, Penelitian SPM-LS gaji dari Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran Seksi Fisik dan Sarana Prasarana, Penelitian SPM UP/GU/TU dari Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran Seksi Fisik dan Sarana Prasarana, Pembuatan register penolakan SPM Seksi Fisik dan Sarana Prasarana, Penyiapan bahan penerbitan SP2D Seksi Fisik dan Sarana Prasarana. Pengendalian realisasi Pendapatan SKPD per triwulan, semesteran, Seksi Fisik dan Sarana Prasarana, Pengendalian realisasi pengeluaran SKPD per triwulan, semesteran Seksi Fisik dan Sarana Prasarana. Penyusunan laporan realisasi pendapatan SKPD perbulan Seksi Fisik dan Sarana Prasarana; Penyusunan laporan realisasi pengeluaran SKPD per bulan Seksi Fisik dan Sarana Prasarana. Pelaksanaan evaluasi realisasi kegiatan Seksi Fisik dan Sarana Prasarana; Penyusunan laporan kegiatan Seksi Fisik dan Sarana Prasarana. d. Seksi Perekonomian TUGAS Melakukan Pencatatan Pendapatan Penata usahaan dan Pengendalian Pengeluaran atas beban rekening kas daerah serta pelaksanaan potongan fihak ke tiga (PFK) dibidang perekonomian FUNGSI Penyusunan program Seksi Perekonomian; Pencatatan pendapatan, penatausahaan dan pengendalian pengeluaran atas beban rekening Kas Daerah oleh Bank yang ditunjuk di Bidang Perekonomian; Penghimpunan data gaji pegawai negeri sipil (PNS) Daerah beserta tunjangannya pada SKPD, potongan pihak ke tiga (PFK) yang terdiri dari iuran wajib pegawai (IWP), tabungan perumahan dan iuran pemerintah daerah di Bidang Perekonomian; Pengujian atas tagihan pihak ketiga dan surat perintah membayar (SPM) yang diajukan oleh pengguna anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran atas beban rekening kas daerah di Bidang Perekonomian; Penyiapan bahan Penolakan surat perintah membayar (SPM), surat perintah pencairan dana (SP2D) di Bidang Perekonomian; Pengendalian Pelaksanaan realisasi keuangan APBD di Bidang Perekonomian; Penyusunan laporan realisasi pendapatan dan pengeluaran APBD secara berkala di Bidang Perekonomian; Pelaksanaan Evaluasi dan Penyusunan Laporan Program seksi Perekonomian. URAIAN TUGAS Pengumpulan bahan/data Keuangan daerah; Pelaksanaan inventarisasi bahan/data Keuangan daerah; Penyusunan kegiatan Seksi Perekonomian; Pengumpulan data pendapatan SKPD Seksi Perekonomian; Pencatatan data dan rakapitulasi pendapatan Seksi Perekonomian; Pencatatan pengeluaran SKPD Seksi Perekonomian; Pemutakhiran data Pegawai Negeri Sipil Daerah pada SKPD Seksi Perekonomian; Penghitungan gaji PNS daerah pada Pemutakhiran data Pegawai Neseri Sipil Daerah pada SKPD Seksi Perekonomian; Pelaporan realisasi gaji bulanan dan semesteran, Penelitian SPM LS dari pihak ketiga Seksi Perekonomian; Penelitian SPM-LS gaji dari Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran Seksi Perekonomian; Penelitian SPM UP/GU/TU dari Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran Seksi Perekonomian; Pembuatan 21

register penolakan SPM Seksi Perekonomian; Penyiapan bahan penerbitan SP2D Seksi Perekonomian; Pengendalian realisasi Pendapatan SKPD per triwulan, semesteran, Seksi Perekonomian; Pengendalian realisasi pengeluaran SKPD per triwulan, semesteran Seksi Perekonomian; Penyusunan laporan realisasi pendapatan SKPD per bulan Seksi Perekonomian. Penyusunan laporan realisasi pengeluaran SKPD per bulan Seksi Perekonomian; Pelaksanaan evaluasi realisasi kegiatan Seksi Perekonomian; Penyusunan laporan kegiatan Seksi Perekonomian. 5. BIDANG BINA ADMINISTRASI KEUANGAN DAERAH a. Seksi Bina APBD dan Perhitungan Kabupaten/Kota TUGAS Melaksanakan evaluasi rancangan APBD dan atau perubahan APBD Kabupaten/Kota. FUNGSI Penyusunan Program Seksi Bina APBD dan Perhitungan Kabupaten/Kota; Pelaksanaan evaluasi APBD dan atau perubahan APBD dan rancangan pertanggungjawaban APBD Kabupaten/Kota; Pelaksanaan Evaluasi rancangan penjabaran APBD penjabaran pertanggungjawaban APBD Kabupaten/Kota; Pembinaan Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten/Kota; Pelaksanaan evaluasi dan penyusunan laporan program Seksi Bina APBD dan Perhitungan Kabupaten/Kota. URAIAN TUGAS Pengumpulan data/bahan kegiatan dari Satuan Kerja DPPKA Kabupaten/Kota; Penyusunan rencana kegiatan Seksi; Pelaksanaan koordinasi intern lintas bidang; Pelaksanaan evaluasi RAPBD murni dan perubahan Kabupaten/ Kota; Penyusunan Draft SK Gubernur Hasil evaluasi RAPBD murni dan perubahan Kabupaten/ Kota; Pelaksanaan konsultasi timbal balik hasil evaluasi RAPBD murni dan perubahan Kabupaten/ Kota; Pelaksanaan evaluasi pertanggungjawaban APBD murni dan perubahan Kabupaten/ Kota; Penyusunan Draft SK Gubernur Hasil evaluasi pertanggungjawaban APBD murni dan perubahan Kabupaten/ Kota; Pelaksanaan konsultasi timbal balik hasil evaluasi pertanggungjwaban APBD murni dan perubahan Kabupaten/ Kota; Pelaksanaan evaluasi rancangan penjabaran APBD; Penyusunan Draft SK Gubernur Hasil evaluasi rancangan penjabaran APBD; Pelaksanaan konsultasi timbal balik hasil evaluasi rancangan penjabaran APBD; Pelaksanaan evaluasi penjabaran pertanggungjawaban APBD Kabupaten/Kota; Penyusunan Draft SK Gubernur Hasil evaluasi penjabaran pertanggungjawaban APBD Kabupaten/Kota; Pelaksanaan konsultasi timbal balik hasil evaluasi penjabaran pertanggungjawaban APBD Kabupaten/Kota. Penyelenggaraan forum komunikasi Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten/ Kota; Penyusunan kajian analisis tentang pelaksanaan APBD Kabupaten/ Kota; Pelaksanaan monitoring Pengelolaan Keuangan Daerah; Pelaksanaan evaluasi kegiatan Seksi Bina APBD dan Perhitungan Kabupaten/Kota; Penyusunan laporan hasil kegiatan Seksi Bina APBD dan Perhitungan Kabupaten/Kota.

22

b. Seksi Bina Pengelolaan Keuangan TUGAS Melaksanakan pembinaan pengelolaan keuangan daerah FUNGSI Penyusunan program Seksi Bina Pengelolaan Keuangan Daerah, Penyusunan system dan prosedur pengelolaan keuangan daerah, Penyiapan bahan penetapan koordinator pengelola keuangan daerah, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) dan Pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang; Penyiapan bahan penetapan bendahara dan bendahara pembantu, Penyiapan bahan penetapan pejabat yang diberi kewenangan untuk melakukan pemungutan penerimaan daerah, pengelolaan utang dan piutang daerah, pengelolaan barang milik daerah dan pejabat yang bertugas melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan membayar, Pembinaan pengelolaan keuangan daerah, BLU dan BUMD; Pelaksanaan Evaluasi dan penyusunan laporan program seksi bina pengelolaan keuangan; URAIAN TUGAS Pengumpulan data/bahan kegiatan dari/Satuan Kerja DPPKA; Penyusunan rencana kegiatan Seksi; Pelaksanaan koordinasi intern lintas bidang; Pelaksanaan koordinasi dan konsultasi penyusunan system dan prosedur pengelolaan keuangan daerah; Penyusunan Rancangan Peraturan Gubernur DIY tentang system dan prosedur pengelolaan keuangan daerah; Pelaksanaan koordinasi penetapan koordinator pengelola keuangan daerah, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) dan Pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang; Penyusunan Rancangan Keputusan Gubernur tentang penetapan koordinator pengelola keuangan daerah, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD), pejabat pengguna anggaran/pengguna barang. Pelaksanaan koordinasi penetapan bendahara dan bendahara pembantu; Penyusunan keputusan Gubernur tentang penetapan bendahara dan bendahara pembantu; Pelaksanaan koordinasi penetapan pejabat yang diberi kewenangan untuk melakukan pemungutan penerimaan daerah, pengelolaan utang dan piutang daerah, pengelolaan barang milik daerah dan pejabat yang bertugas melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan membayar; Penyusunan keputusan Gubernur tentang penetapan pejabat yang diberi kewenangan untuk melakukan pemungutan penerimaan daerah, pengelolaan utang dan piutang daerah, pengelolaan barang milik daerah dan pejabat yang bertugas melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan membayar; Pelaksanaan pembinaan BUMD; Pelaksanaan koordinasi, konsultasi, fasilitasi dan evaluasi BUMD; (Koordinasi dengan Perekonomian); Pelaksanaan Penilaian BLUD; Pelaksanaan koordinasi, konsultasi, fasilitasi dan evaluasi BLUD; Penyusunan Rancangan Keputusan Gubernur tentang Penetapan Status BLUD; Penyusunan Rancangan Keputusan Gubernur tentang aturan pola pengelolaan keuangan BLUD; Pelaksanaan evaluasi realisasi kegiatan Seksi Bina Pengelolaan Keuangan; Penyusunan laporan kegiatan seksi bina pengelolaan keuangan daerah.

23

c. Seksi Bina Administrasi Dana Non APBD TUGAS Melaksanakan penyusunan laporan keuangan dana Non APBD. FUNGSI Penyusunan program Seksi Bina Administrasi Dana Non APBD, Penyusun laporan realisasi keuangan semesteran, catatan atas laporan keuangan semesteran dan neraca semesteran dana non APBD; Penyusun laporan realisasi keuangan akhir tahun, catatan atas laporan keuangan, arus kas dan neraca dana non APBD; Pengadministrasian dan penyusunan realisasi keuangan dana penanggulangan bencana; Pelaksanaan evaluasi dan penyusunan laporan program Seksi Bina Administrasi Dana Non APBD. URAIAN TUGAS Pengumpulan data/bahan kegiatan Seksi Bina Administrasi Dana Non APBD; Penyusunan rencana kegiatan Seksi; Pelaksanaan koordinasi intern lintas bidang; Penyusunan SK Gubernur Pengelola Dana Dekonsentrasi; Penyusunan SK Gubernur unit akuntansi pembantu pengguna Anggaran wilayah (UAPPA-W) Dekonsentrasi/ Tugas Pembantuan; Penyusunan laporan realisasi keuangan Dana non APBD tiap semesteran; Penyusunan catatan atas laporan keuangan dan Non APBD tiap semesteran; Penyusunan Arus Kas dan Neraca Dana Non APBD tiap semester ; Penyusunan Laporan realisasi Keuangan Tahunan dana non APBD; Penyusunan catatan atas laporan keuangan tahunan dana non APBD; Penyusunan arus Kas dan Neraca Tahunan Dana Non APBD; Pengadministrasian keuangan dana penanggulangan bencana; Penyusunan Laporan realisasi Dana Penanggulangan bencana. Pengevaluasian kegiatan Seksi Bina Administrasi Dana Non APBD; Penyusunan laporan kegiatan Seksi Bina Administrasi Dana Non APBD. 6. BIDANG AKUNTANSI a. Seksi Pemerintahan TUGAS Menyusun Laporan Keuangan Daerah dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Bidang Pemerintahan. FUNGSI Penyusunan program Seksi Pemerintahan; Pencatatan dan penyusunan laporan realisasi semester pertama dan prognosis. URAIAN TUGAS Pencatatan dan penyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD; Penyusunan bahan penghantaran pertanggungjawaban APBD; Evaluasi dan penyusunan laporan program;Pengumpulan bahan/ data rencana kegiatan Seksi Pemerintahan; Penyusunan inventarisasi bahan/data Seksi Pemerintahan; Penyusunan rencana kegiatan Seksi Pemerintahan; Pencatatan realisasi APBD bulanan dari SKPD di Bidang Pemerintahan; Pendampingan penyusunan laporan realisasi dan prognosis di SKPD 24

Bidang Pemerintahan; Pengumpulan data realisasi SKPD semester I dari SKPD di Bidang Pemerintahan; Pengkopilasian realisasi APBD semester I dari SKPD di Bidang Pemerintahan; Pencatatan realisasi APBD tahunan dari SKPD di Bidang Pemerintahan; Pendampingan penyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD di SKPD Bidang Pemerintahan; Pengumpulan data realisasi APBD, Persediaan, Aset Tetap, Investasi dan Ekuitas dari SKPD di Bidang Pemerintahan; Pengkopilasian realisasi APBD dan neraca dari SKPD di Bidang Pemerintahan; Pengkopilasian rancangan Peraturan Gubernur dari seluruh SKPD; Pengkopilasian laporan keuangan dari seluruh SKPD; Penyiapan Bahan Rancangan Keputusan Gubernur tentang Kebijakan Akuntansi; Asistensi penyusunan laporan keuangan akhir tahun; Penyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD seluruh SKPD; Pendampingan pembahasan Pertanggungjawaban APBD di DPRD; Pengkonsilidasian Laporan Keuangan melalui SIPKD; Penyelesaian/tindak lanjut hasil temuan pengawasan/ Pemeriksaan; Penyiapan bahan pidato penghantaran pertanggungjawaban pelaksanaan APBD; Pelaksanaan koordinasi dengan instansi terkait Pelaksanaan evaluasi kegiatan seksi; Penyusunan laporan pelaksanaan kegiatan seksi b. Seksi Kesejahteraan Rakyat TUGAS Menyusun Laporan Keuangan Daerah dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Bidang Kesejahteraan Rakyat. FUNGSI Penyusunan program Seksi Kesejahteraan Rakyat; Pencatatan dan penyusunan laporan realisasi semester pertama dan prognosis; Pencatatan dan penyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD; Evaluasi dan penyusunan laporan program. URAIAN TUGAS Penyusunan rencana kegiatan dan anggaran Seksi Kesejahteraan Rakyat; Pembinaan dan pengembangan SIPKD; Pencatatan realisasi APBD bulanan dari SKPD di Bidang Kesejahteraan Rakyat; Pendampingan penyusunan laporan realisasi dan prognosis di SKPD Bidang Kesejahteraan Rakyat; Pengumpulan data realisasi SKPD semester I dari SKPD di Bidang Kesejahteraan Rakyat; Pengkopilasian realisasi APBD semester I dari SKPD di Bidang Kesejahteraan Rakyat; Pencatatan realisasi APBD bulanan dari SKPD di Bidang Kesejahteraan Rakyat; Pendampingan penyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD di SKPD Bidang Kesejahteraan Rakyat; Pengumpulan data realisasi APBD, Persediaan, Aset Tetap, Investasi dan Ekuitas dari SKPD di Bidang Kesejahteraan Rakyat; Pengkopilasian realisasi APBD dan neraca dari SKPD di Bidang Kesejahteraan Rakyat; Pengkopilasian rancangan Peraturan Gubernur dari seluruh SKPD; Pengkopilasian laporan keuangan dari seluruh SKPD; Penyiapan Bahan Rancangan Keputusan Gubernur tentang Kebijakan Akuntansi; Asistensi penyusunan laporan keuangan akhir tahun; Penyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD seluruh SKPD; Penyelesaian/tindak lanjut hasil temuan pengawasan Seksi Kesejahteraan Rakyat; Pelaksanaan koordinasi dan evaluasi pelaksanaan program kegiatan Seksi Kesejahteraan Rakyat; Penyusunan laporan program Seksi Kesejahteraan Rakyat. 25

c. Seksi Fisik dan Sarana Prasarana TUGAS Menyusun Laporan Keuangan Daerah dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Bidang Fisik dan Sarana Prasarana FUNGSI Penyusunan program Seksi Fisik dan Sarana Prasarana; Pencatatan dan penyusunan laporan realisasi semester pertama dan prognosis; Pencatatan dan penyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD; Evaluasi dan penyusunan laporan program. URAIAN TUGAS Penyusunan rencana kegiatan dan anggaran Seksi Fisik dan Sarana Prasarana; Pembinaan dan pengembangan SIPKD; Pencatatan realisasi APBD bulanan dari SKPD di Bidang Fisik dan Sarana Prasarana; Pendampingan penyusunan laporan realisasi dan prognosis di SKPD Bidang Fisik dan Sarana Prasarana; Pengumpulan data realisasi SKPD semester I dari SKPD di Bidang Fisik dan Sarana Prasarana; Pengkopilasian realisasi APBD semester I dari SKPD di Bidang Fisik dan Sarana Prasarana; Pencatatan realisasi APBD bulanan dari SKPD di Bidang Fisik dan Sarana Prasarana; Pendampingan penyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD di SKPD Bidang Fisik dan Sarana Prasarana; Pengumpulan data realisasi APBD, Persediaan, Aset Tetap, Investasi dan Ekuitas dari SKPD di Bidang Fisik dan Sarana Prasarana; Pengkopilasian realisasi APBD dan neraca dari SKPD di Bidang Fisik dan Sarana Prasarana; Pengkopilasian rancangan Peraturan Gubernur dari seluruh SKPD; Pengkopilasian laporan keuangan dari seluruh SKPD; Penyiapan Bahan Rancangan Keputusan Gubernur tentang Kebijakan Akuntansi; Asistensi penyusunan laporan keuangan akhir tahun; Penyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD seluruh SKPD; Penyelesaian/tindak lanjut hasil temuan pengawasan Seksi Fisik dan Sarana Prasarana; Pelaksanaan koordinasi dan evaluasi pelaksanaan program kegiatan Seksi Fisik dan Sarana Prasarana; Penyusunan laporan program Seksi Fisik dan Sarana Prasarana. d. Seksi Perekonomian TUGAS Menyusun Laporan Keuangan Daerah dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Bidang Perekonomian. FUNGSI Penyusunan Program Seksi Perekonomian; Pencatatan dan penyusunan laporan realisasi semester pertama dan prognosis; Pencatatan dan penyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD; Pelaksanaan Evaluasi dan Penyusunan Laporan Program Seksi Perekonomian. URAIAN TUGAS Penyusunan rencana kegiatan dan anggaran Seksi Perekonomian; Pembinaan dan pengembangan SIPKD; Pencatatan realisasi APBD bulanan dari SKPD di Bidang Perekonomian; Pendampingan penyusunan laporan realisasi dan prognosis di SKPD 26

Bidang Perekonomian; Pengumpulan data realisasi APBD semester I dari SKPD di Bidang Perekonomian; Pengkopilasian realisasi APBD semester I dari SKPD di Bidang Perekonomian; Pencatatan realisasi APBD bulanan dari SKPD di Bidang Perekonomian. Pendampingan penyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD di SKPD Bidang Perekonomian;Pengumpulan data realisasi APBD, Persediaan, Aset Tetap, Investasi dan Ekuitas dari SKPD di Bidang Perekonomian; Pengkopilasian realisasi APBD dan neraca dari SKPD di Bidang Perekonomian; Pengkopilasian rancangan Peraturan Gubernur dari seluruh SKPD; Pengkopilasian laporan keuangan dari seluruh SKPD; Penyiapan Bahan Rancangan Keputusan Gubernur tentang Kebijakan Akuntansi; Asistensi penyusunan laporan keuangan akhir tahun; Penyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD seluruh SKPD; Penyelesaian/tindak lanjut hasil temuan pengawasan Seksi Perekonomian; Pelaksanaan koordinasi dan evaluasi pelaksanaan program kegiatan Seksi Perekonomian; Penyusunan laporan program Seksi Perekonomian. 7. BIDANG PENGELOLAAN BARANG DAERAH a. Seksi Administrasi Barang Daerah TUGAS Melaksanakan Administrasi Barang Milik Daerah FUNGSI Penyusunan Program Seksi Administrasi Barang Daerah; Penyusunan Rencana Kebutuhan Barang Milik Daerah (RKBMD) dan Rencana Kebutuhan Pemeliharaan Barang Milik Daerah (RKPBMD); Penyusunan Daftar Kebutuhan Barang Milik Daerah (DKBMD) dan Daftar Kebutuhan Pemeliharaan Barang Milik Daerah (DKPBMD); Penyusunan Rekapitulasi Laporan hasil pengadaan Barang/jasa Pemerintah Daerah; Penyusunan Penetapan Status Penggunaan Barang Milik Daerah. URAIAN TUGAS Pelaksanaan Pendataan Dan menyusun laporan Barang Milik Daerah; Pelaksanaan Pensertifikatan Tanah; Pelaksanaan Evaluasi dan Pelaporan program seksi; Pengumpulan bahan/ data rencana kegiatan Seksi Administrasi Barang Daerah; Pelaksanaan Inventarisasi Rencana Kegiatan Seksi Administrasi Barang Daerah; Penyusunan Kegiatan Seksi Administrasi Barang Daerah; Penyusunan SE tentang RKBMD dan RKPBMD; Pelaksanaan koordinasi Pelaksanaan Penyusunan RKBMD dan RKPBMD. Pengumpulan data RKBMD dan RKPBMD; Penyusunan RKBMD dan RKPBMD; Pelaksanaan koordinasi Penyusunan DKBMD dan DKPBMD; Pengumpulan data DKBMD dan DKPBMD; Penyusunan DKBMD dan DKPBMD; Penyusunan rencana Keputusan Gubernur tentang DKBMD dan DKPBMD; Pengumpulan data Pengadaan Barang/Jasa SKPD; Penyusunan Laporan Hasil Pengadaan Barang/Jasa; Pengumpulan data untuk mengetahui status barang; Penyusunan SE untuk ditindaklanjuti SKPD; Kompilaasi pengajuan status penggunaan SKPD; Pembuatan Penetapan Status Penggunaan Barang Milik Daerah; Pengumpulan Data Barang Inventaris Milik Daerah; Penyusunan Laporan Daftar Mutasi Barang Milik Daerah; Penyusunan Buku Inventaris Barang Milik Daerah; Penyusunan Buku Induk Inventaris Barang Milik Daerah; 27

Rekapitulasi Inventaris Barang Milik Daerah; Pelaksanaan Sensus Barang Milik Daerah Lima Tahunan; Pendataan Tanah Pemerintah Daerah; Identifikasi tanah; Fasilitasi dan koordinasi pensertifikatan tanah; Penyusunan Evaluasi dan Pelaporan Pelaksanaan; Program seksi Administrasi Barang Daerah. b. Seksi Pendayagunaan Barang Daerah TUGAS Memanfaatkan dan mendayagunakan barang daerah. FUNGSI Penyusunan program seksi pendayagunaan barang daerah. URAIAN TUGAS Pelaksanaan penilaian barang daerah; Penyiapan bahan koordinasi pelaksanaan pengadaan barang milik daerah; Pelaksanaan pemanfaatan dan pendayagunaan barang milik daerah; Pelaksanaan pengamanan barang milik daerah; Penyusunan evaluasi pelaporan pelaksanaan program seksi pendayagunaan barang daerah; Pengumpulan bahan/ data rencana kegiatan Seksi Pendayagunaan Barang Daerah; Pelaksanaan inventarisasi bahan/data; Penyusunan kegiatan seksi Pengumpulan bahan/ data rencana kegiatan Seksi Pendayagunaan Barang Daerah ; Pelaksanaan inventarisasi data barang milik daerah; Pelaksanaan koordinasi dalam rangka klarifikasi data barang milik daerah yang akan dioptimalkan; Monitoring barang milik daerah; Pemeliharaan barang milik daerah yang akan dioptimalkan; Penetapan nilai barang daerah; Pelaksanaan inventarisasi bahan/masalah dalam pelaksanaan pengadaan barang milik daerah; Penyusunan standarisasi dokumen pengadaan dan dokumen kontrak;Pelaksanaan Lokakarya/Workshop konsep standarisasi dokumen pengadaan dan dokumen kontrak. Pelaksanaan koordinasi dalam rangka pemanfaatan dan pendayagunaan barang milik daerah Penetapan jenis pemanfaatan dan pendayagunaan barang milik daerah Pelaksanaan Survey harga barang setempat Penetapan besaran kontribusi/harga dan jangka waktu terhadap barang yang dimanfaatkan/didayagunakan Penyusunan dokumen pemanfaatan dan pendayagunaan (BA Negosiasi, Keputusan Gubenur, Perjanjian, dan BA Penyerahan). Pencatatan/inventarisasi terhadap barang yang akan diamankan; Pemagaran/pemasangan papan tanda kepemilikan/penjagaan; Koordinasi dalam rangka penyelesaian masalah untuk negosiasi (musyawarah) dan penerapan hukum (legalitas) terhadap barang milik daerah yang bermasalah dengan pihak lain; Penjaminan barang milik pemerintah daerah; Pengumpulan bahan/ data rencana kegiatan Seksi Seksi Pendayagunaan Barang Daerah; Pelaksanaan inventarisai pelaksanaan pemanfaatan dan pendayagunaan barang milik daerah; Pelaksanaan monitoring dan evaluasi; Penyusunan laporan kegiatan seksi. c. Seksi Monitoring dan Evaluasi TUGAS Melaksanakan Monitoring dan Evaluasi, Penatausa-haan dan Penghapusan, Pembinaan Pengelolaan Barang Milik Daerah serta melaksanakan Tuntutan Ganti Rugi (TGR).

28

FUNGSI Penyusunan Program Seksi Monitoring dan Evaluasi; Pelaksanaan penatausahaan dan penghapusan barang milik daerah; Pelaksanakan pembinaan pengelolaan barang milik daerah; Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pengelolaan barang milik daerah; Pelaksanaan pemindah-tanganan barang milik daerah; Penyiapan bahan dan pelaksanaan Tuntutan Ganti Rugi (TGR); Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pro-gram Seksi Monitoring dan Evaluasi. URAIAN TUGAS Pengumpulan bahan/ data rencana kegiatan Seksi Monitoring dan Evaluasi; Pelaksanaan inventarisasi bahan/data kegiatan; Penyusunan kegiatan Seksi Monitoring dan Evaluasi; Penghimpunan usulan penghapusan dari SKPD; Peninjauan fisik barang yang diusulkan penghapusan dari SKPD; Penilaian dan penaksiran barang yang akan dihapus; Pengolahan data penghapusan barang Penetapan Legalitas penghapusan barang dari data inventaris; Penarikan dan pengamanan barang penghapusan; Penyusunan Rancangan Perda tentang Pengelolaan Barang milik Daerah; Penetapan Pengurus dan Penyimpan Barang; Sosialisasi Perda tentang Pengelolaan Barang Daerah; Bimbingan teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah; Pembinaan Pengelolaan Barang Milik Daerah kepada Pengurus dan Penyimpan Barang; Pelaksanaan Penyerahan dan Serah Terima Hasil Kegiatan; Penyusunan Pedoman Penatausahaan pengelolaan barang daerah; Pelaksanaan monitoring pengelolaan Barang Daerah; Pengevaluasian pelaksanaan pengelolaan Barang Daerah; Pelaporan pelaksanaan pengelolaan barang daerah; Penetapan Legalitas pemindahtanganan barang penghapusan; Pelaksanaan Penjualan barang pengha-pusan; Pelaksanaan hibah/pemusnahan barang penghapusan. Pengidentifikasian kasus/masalah yang diajukan TGR; Verifikasi terhadap yang diajukan TGR; Penyiapan bahan pertimbangan terha-dap kasus yang menyang-kut TGR. Pembahasan penyelesaian TGR; Penyelesaian TGR; Pengevaluasian pelaksanaan kegiatan Seksi Monitoring dan Evaluasi.; Penyusunan Laporan Hasil Kegiatan Seksi. 8. KANTOR PELAYANAN PAJAK DAERAH (KPPD) KABUPATEN/ KOTA SE-PROVINSI DIY Struktur Organisasi KPPD Kabupaten/ Kota Kepala Kantor Kepala Kantor

Kasubbag Kasubbag Tata Usaha Tata Usaha

Kasi Pendaftaran Kasi Pendaftaran dan Penetapan dan Penetapan Gambar: 3

Kasi Pembukuan Kasi Pembukuan dan Penagihan dan Penagihan

29

A. Sub Bagian Tata Usaha TUGAS Melaksanakan kearsipan, keuangan, kepegawaian, pengelolaan barang, kerumahtanggaan, kehumasan, kepustakaan serta penyusunan program dan laporan kinerja. FUNGSI Penyusunan program Sub Bagian Tata Usaha; Penyusunan program Kantor; Pengelolaan kearsipan; Pengelolaan keuangan; Penyelenggaraan kepegawaian; Penyelenggaraan kerumahtanggaan; Penyelenggaraan kehumasan; Pengelolaan barang; Pengelolaan kepustakaan; Pengelolaan data, pelayanan informasi dan pengembangan sistem informasi; Monitoring, evaluasi dan penyusunan laporan program. URAIAN TUGAS Penyusunan rencana kegiatan Sub Bagian Tata Usaha; Pelaksanaan koordinasi dan fasilitasi dengan Instansi Teknis Terkait; Pengumpulan bahan/data rencana kegiatan Kantor; Pelaksanaan inventarisasi kegiatan Kantor ; Penyusunan konsep rencana kegiatan kantor; Perencanaan Kebutuhan Sarana kearsipan; Pengelolaan Kearsipan/naskah dinas, Penggadaan Arsip/Naskah Dinas Penyusunan Konsep RKA-DPA, Pembayaran/penerimaan keuangan; Penatausahaan keuangan; Pengelolaan Gaji; Penyusunan Perubahan Anggaran; Pelaksanaan verifikasi keuangan Pelaksanaan akuntansi keuangan; Penyusunan Pertanggungjawaban Keuangan (bulanan dan tahunan); Penyusunan Laporan Bulanan, triwulanan, Semesteran, Prognogsis dan Tahunan; Penyusunan Neraca Keuangan; Penyusunan Usulan RKT, PKT, Lakip; Pengelolaan data kepegawaian; Penyiapan bahan mutasi dan usulan CPNS menjadi PNS; Pembuatan kartu penjagaan kenaikan pangkat, gaji berkala , tunjangan keluarga dan pensiun; Pembuatan usulan kenaikan pangkat, cuti, gaji berkala dan pensiun; Pembuatan kartu penjagaan kenaikan pangkat, gaji berkala dan pensiun; Penyiapan bahan pembinaan dan pengembangan pegawai; Penyiapan bahan kesejahteraan pegawai; Fasilitasi Penilaian Angka Kredit Untuk Jabatan Fungsional Tertentu. Penyediaan barang peralatan kantor; Penyediaan barang perlengkapan kantor; Pelayanan akomodasi; Pemeliharaan kebersihan kantor; Penyelenggaraan rapat; Pengamanan kantor; Penyediaan air dan listrik; Penyediaan sarana komunikasi; Pelayanan tamu; Pembuatan bahan informasi; Penyelenggaraan sosialisasi kepada masyarakat; Penyiapan bahan tanggapan keluhan pelayanan. Pembuatan RKBU dan RKPBU Penyediaan/pengadaan barang; Pencatatan barang/aset dan persediaan; Pemeliharaan/rehabilitasi sarana dan prasarana; Penyusunan laporan aset bulanan, Triwulan semesteran dan tahunan; Penyusunan neraca aset; Penyusunan Berita Acara Penyerahan Hasil Kegiatan; Perencanaan Kebutuhan Kepustakaan; Pengadaan Bahan Pustaka Pelayanan pustaka Dinas; Pengolahan pustaka Dinas.Pemeliharaan dan Penyimpanan Pustaka Dinas, Perencanaan pengembangan teknologi informasi (TI); Pelayanan informasi bahan pengambilan keputusan; Pengelolaan database kantor; Pemasukan data rencana kegiatan, pelaksanaan kegiatan dan capaian kerja. Penyiapan Bahan Website, Pengumpulan data pelaksanaan kegiatan Kantor; Pengolahan data pelaksanaan kegiatan Kantor ; Penyelenggaraan monitoring dan evaluasi kegiatan Kantor; Penyusunan laporan hasil monitoring dan evaluasi Kegiatan Kantor; Penyusunan tindak lanjut hasil pemeriksaan Kegiatan Kantor; Penyusunan 30

Laporan Kegiatan Kantor Bulanan, Triwulanan, Semesteran dan Tahunan. Pengumpulan Bahan Laporan Pelaksanaan Kegiatan Kantor; Pengolahan dan Penyusunan laporan pelaksanaan kegiatan Sub Bagian Tata Usaha. B. Seksi Pendaftaran dan Penetapan TUGAS Melaksanakan pendataan dan penetapan pajak daerah, restribusi dan pendapatan lain-lain. FUNGSI Penyusunan Program Seksi Pendaftaran dan Penetapan; Pelaksanaan pelayanan pendaftaran wajib pajak; Pengelolaan berkas arsip pajak daerah; Pelaksanaan pendataan subyek dan obyek pajak daerah, retribusi dan pendapatan lain-lain; Penyelenggaraan pemeriksaan verifikasi dan perhitungan penetapan pajak daerah, restribusi dan pendapatan lain-lain; Penyiapan data pertimbangan keberatan pajak daerah; Pelaksanaan evaluasi dan penyusunan laporan program Seksi Pendaftaran dan Penetapan. URAIAN TUGAS Penyusunan rencana kegiatan pendataan, pendaftaran dan penetapan pajak daerah retribusi dan pendapatan lain-lain; Koordinasi dan fasilitasi dengan Instansi Teknis Terkait; Penyelenggaraan pendaftaran subyek dan obyek pajak daerah, restribusi dan pendapatan lain-lain; Penerbitan SPPKB (Surat Pendaftaran dan Pendapatan Kendaraan Bermotor); Penerbitan Fiskal Daerah dan Antar Daerah; Perencanaan Kebutuhanan Sarana dan Prasarana Arsip KBM; Pelaksanaan penataan berkas arsip KBM; Penyimpanan berkas arsip KBM; Pemeliharaan berkas arsip KBM; Pelayanan mutasi berkas arsip KBM; Pelaksanaan verifikasi data subyek dan obyek pajak daerah, restribusi dan pendapatan lain-lain; Penyiapan dan pengiriman surat pemberitahuan jatuh tempo PKB; Pelaksanaan tindak lanjut pengiriman surat pemberitahuan jatuh tempo PKB; Penyelenggaraan pemeriksaan subyek dan obyek pajak daerah, restribusi dan pendapatan lain-lain; Pelaksanaan verifikasi subyek dan obyek pajak daerah, restribusi dan pendapatan lain-lain; Pelaksanaan perhitungan, penetapan dan koreksi pajak daerah, restribusi dan pendapatan lain-lain; Penerbitan surat ketetapan pajak daerah, restribusi dan pendapatan lain-lain. Penyiapan bahan pertimbangan keberatan pajak daerah;Pencatatan data keberatan pajak daerah; Penyiapan surat pengantar permohonan keberatan pajak daerah; Penyimpanan arsip permohonan keberatan pajak daerah; Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Laporan Pelaksanann Seksi; Penyusunan laporan pelaksanaan kegiatan Seksi. C. Seksi Pembukuan dan Penagihan TUGAS Melaksanakan pelaporan dan penagihan tunggakan pajak daerah, restribusi dan pendapatan lain-lain. FUNGSI Penyusunan program Seksi Pembukuan dan Penagihan; Pelaksanaan pencatatan penerimaan penerimaan pajak daerah, restribusi dan pendapatan lain-lain; Pelaksanaan pembukuan penerimaan pembayaran pajak daerah, restribusi dan pendapatan lain-lain; 31

Pelaksanaan pelaporan penyelenggaraan penerimaan dan piutang pajak daerah, restribusi dan pendapatan lain-lain; Pelaksanaan penagihan pada wajib pajak; Pelaksanaan evaluasi dan penyusunan laporan program Seksi Pembukuan dan Pelaporan. URAIAN TUGAS Penyusunan rencana kegiatan pencatatan, pembukuan penerimaan dan penagihan pajak daerah, restribusi dan pendapatan lain-lain; Koordinasi dan fasilitas dengan Instansi Teknis Terkait; Penyelenggaraan penerimaan dan penyetoran pajak daerah, restribusi dan pendapatan lain-lain; Pelaksanaan pencatatan penerimaan dan penyetoran pajak daerah, restribusi dan pendapatan lain-lain; Penyelenggaraan penerimaan dan penyetoran tunggakan pajak daerah, restribusi dan pendapatan lain-lain; Pelaksanaan pencatatan penerimaan dan penyetoran tunggakan pajak daerah, restribusi dan pendapatan lain-lain; Penyelenggaraan inventarisasi dan verifikasi pajak daerah, restribusi dan pendapatan lainlain; Pelaksanaan inventarisasi dan verifikasi tunggakan pajak daerah, restribusi dan pendapatan lain-lain; Penyelenggaraan pembukuan penerimaan pembayaran pajak daerah, restribusi dan pendapatan lain-lain; Pelaksanaan pembukuan penerimaan pembayaran pajak daerah, restribusi dan pendapatan lain-lain; Penyusunan laporan Penyelenggaraan penerimaan dan piutang pajak daerah, restribusi dan pendapatan lainlain; Penerbitan dan pengiriman surat pemberitahuan keterlambatan pajak kendaraan bermotor; Penerbitan dan pengiriman surat peringatan keterlambatan pajak kendaraan bermotor; Penerbitan dan pengiriman surat panggilan kepada wajib pajak; Pelaksanaan penagihan langsung kepada wajib pajak; Penyelenggaraan pencatatan dan pembukuan hasil penagihan; Pengumpulan Bahan Laporan Pelaksanaan Kegiatan Seksi; Penyusunan laporan pelaksanaan kegiatan Seksi.

32

BAB II ARAH PENGELOLAAN KEUANGAN DAN KEBIJAKAN PROGRAM 2.1 Arah Pengelolaan Pendapatan Daerah Otonomi daerah dan desentralisasi berimplikasi pada semakin luasnya kewenangan daerah untuk mengatur dan mengelola Pendapatan Daerah. Sehubungan dengan hal tersebut, maka secara bertahap daerah dituntut untuk mengupayakan kemandirian pendapatannya dengan mengoptimalkan seluruh potensi pendapatan yang dimilikinya. Dalam konteks pengelolaan pendapatan daerah di DIY, proporsi sumber pendapatan utama daerah yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan proporsi rata-rata dibawah 40% dari total pendapatan daerah, maka perlu adanya strategi-strategi dalam rangka peningkatan PAD di waktu yang akan datang. Disamping itu, sumbersumber pendapatan lainnya juga perlu ditingkatkan, antara lain bagian laba Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), lain-lain pendapatan yang sah, dana perimbangan bagi hasil pajak dan bagi hasil bukan pajak, sehingga dalam kurun waktu lima tahun mendatang, proporsi DAU secara bertahap dapat mulai digantikan oleh sumbersumber pendapatan yang dapat diupayakan oleh daerah. Berdasarkan penjabaran kondisi keuangan serta kebijakankebijakan yang mempengaruhi perekonomian daerah, sebagaimana telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, kebijakan umum pendapatan daerah tahun 20092013 adalah sebagai berikut: 1. Intensifikasi dan Ekstensifikasi Pendapatan Daerah Adapun sumber-sumber pendapatan daerah di DIY berasal dari berbagai komponen, yaitu: a. Pajak Daerah yang meliputi Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dan Pajak Pengambilan serta Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. b. Retribusi Daerah yang meliputi Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha dan Retribusi Perizinan Tertentu. Retribusi Jasa Umum terutama berasal dari Retribusi Pelayanan Kesehatan, Retribusi Pelayanan Bidang Kehutanan dan Perkebunan, Retribusi Pelayanan Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Retribusi Jasa Usaha terdiri dari pemakaian kekayaan daerah yang berasal dari sewa tanah dan bangunan, sewa rumah dinas, penitipan kendaraan bermotor, sewa penginapan/pesanggrahan/villa, sewa gedung Graha Wana Bhakti Yasa, sewa gedung/ruangan/aula/asrama, bidang perikanan dan kelautan, bidang perhubungan dan bidang perpustakaan daerah, retribusi Pasar Grosir dan/atau pertokoan, Retribusi Perijinan Tertentu berasal dari Retribusi Izin Pos dan Telekomunikasi. c. Hasil Perusahaan Milik Daerah (PMD) dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan yang meliputi hasil penyertaan modal pada PT. Anindya Mitra Internasional, PD Taru Martani, BPD DIY dan Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP). d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah dimaksudkan untuk menampung penerimaan-penerimaan dari Pendapatan Asli Daerah di luar Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah 33

yang Dipisahkan. Penerimaan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah antara lain terdiri dari Hasil Penjualan Aset Daerah Yang Tidak Dipisahkan, Jasa Giro, Penerimaan Bunga Deposito, Pemanfaatan lahan jalan untuk pemasangan iklan. e. Penerimaan dari dana perimbangan yang meliputi: Bagi hasil pajak, bagi hasil bukan Pajak, DAU, DAK dan penerimaan lain-lain. f. Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah berasal dari Sumbangan dari Badan/Lembaga/Organisasi Swasta Dalam Negeri dan dari Pendapatan Lain-lain. Dari berbagai penerimaan tersebut, selama lima tahun terakhir terjadi kecenderungan kenaikan penerimaan daerah dari Pajak dan Retribusi Daerah. Akan tetapi pada sisi yang lain, penerimaan pendapatan dari Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan mengalami kecenderungan terus menurun terutama pada periode 2005-2008. Terkait dengan arah pengelolaan keuangan peningkatan pendapatan daerah, maka Pemerintah Provinsi DIY perlu melakukan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan PAD yaitu dengan: a. Perbaikan Manajemen Melalui perbaikan manajemen diharapkan setiap potensi pendapatan daerah dapat direalisasikan. Manajemen yang profesional dapat dicapai dengan peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan perbaikan serta penyederhanaan sistem dan prosedur. Perbaikan manajemen ini baik pada internal Pemerintah Provinsi DIY maupun pada BUMD. b. Peningkatan Investasi Peningkatan investasi dapat didorong dengan membangun iklim usaha yang kondusif bagi berlangsungnya investasi. 2. Optimalisasi Aset Daerah Pemerintah Provinsi DIY memiliki aset yang dapat lebih dioptimalkan pemanfaatannya untuk pelayanan kepada masyarakat maupun untuk peningkatan pendapatan. Optimalisasi aset daerah dapat dicapai dengan perbaikan pengelolaan aset, peningkatan kerjasama dengan pihak lain/swasta, dan pembentukan badan usaha baru yang khusus untuk pengoptimalan aset daerah. Disamping itu, optimalisasi aset DIY juga dapat dilaksanakan melalui kerjasama dengan pihak lain/swasta, baik dalam bentuk Build Operating Transfer (BOT) maupun Kontrak Konsesi. 3. Peningkatan Dana Perimbangan dan Bagi Hasil Dana yang berasal dari DAU perlu dikelola dengan sebaikbaiknya, meskipun relatif sulit untuk memperkirakan jumlah realisasinya karena bergantung pada pemerintah pusat. Sumber dana yang berasal dari Dana Alokasi Khusus (DAK) juga dapat diupayakan peningkatannya melalui penyusunan programprogram unggulan yang dapat diajukan untuk dibiayai dengan DAK. Bagi hasil pajak provinsi dan pusat dapat diupayakan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Pendapatan bagi hasil sangat terkait dengan aktivitas perekonomian daerah. Dengan demikian semakin meningkatnya aktivitas ekonomi akan berkorelasi dengan naiknya pendapatan yang berasal dari bagi hasil, oleh karena itu Pemerintah Daerah harus mendorong peningkatan aktivitas perekonomian.

34

2.2 Arah Pengelolaan Belanja Belanja Daerah diarahkan untuk dapat mendukung pencapaian visi dan misi pembangunan lima tahun ke depan ditambah satu tahun transisi. Sesuai dengan visi pembangunan yang telah ditetapkan, belanja daerah dapat digunakan sebagai instrumen pencapaian visi tersebut. Pengelolaan belanja sejak proses perencanaan, pelaksanaan hingga pertanggungjawaban harus memperhatikan aspek efektifitas, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas. Belanja harus diarahkan untuk mendukung kebijakan yang telah ditetapkan dengan memperhatikan perbandingan antara masukan dan keluaran (efisiensi). Keluaran dari belanja dimaksud seharusnya dapat dinikmati hasilnya oleh masyarakat (efektifitas). Selanjutnya alokasi anggaran perlu dilaksanakan secara terbuka berdasarkan skala prioritas dan kebutuhan (transparansi), selain itu pengelolaan belanja harus diadministrasikan dan dipertanggungjawabkan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku (akuntabilitas). Arah pengelolaan belanja daerah tahun 2009-2013 adalah sebagai berikut: 1. Efisiensi dan Efektivitas Anggaran Dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat meningkatkan pelayanan pada masyarakat yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan kualitas pelayanan masyarakat dapat diwujudkan dengan meningkatkan kompetensi sumber daya manusia aparatur daerah, terutama yang berhubungan langsung dengan kepentingan masyarakat. 2. Prioritas Penggunaan anggaran diprioritaskan untuk mendanai kegiatan-kegiatan penyediaan infrastruktur dan peningkatan pendapatan masyarakat serta penyediaan pelayanan kesehatan dan pendidikan, guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Disamping itu, prioritas penggunaan anggaran juga diarahkan untuk mendanai program strategis pada sektor-sektor unggulan Provinsi DIY, seperti sektor Pariwisata, Budaya dan Pendidikan. 3. Tolok ukur dan target kinerja Belanja daerah pada setiap kegiatan harus disertai tolok ukur dan target pada setiap indikator kinerja yang meliputi masukan, keluaran dan hasil sesuai dengan tugas pokok dan fungsi. 4. Efisiensi belanja langsung Belanja langsung diupayakan untuk mendukung tercapainya tujuan pembangunan secara efisien dan efektif. Belanja langsung disusun atas dasar kebutuhan nyata masyarakat, sesuai strategi pembangunan untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Efisiensi belanja langsung untuk pembangunan infrastruktur publik dapat dikerjasamakan dengan pihak swasta. 5. Transparan dan akuntabel Setiap pengeluaran belanja, dipublikasikan dan dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, melalui publikasi masyarakat sehingga mudah dan tidak mendapatkan hambatan dalam mengakses informasi belanja. Pertanggungjawaban belanja tidak hanya menyangkut aspek administrasi keuangan, tetapi juga proses, keluaran dan hasil.

35

2.3 Kebijakan Umum Anggaran Pengelolaan Keuangan Daerah merupakan rangkaian siklus Anggaran dan Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang pelaksanaannya dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan/pemeriksaan sampai kepada pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBD yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemberlakuan anggaran kinerja memungkinkan adanya surplus atau defisit pada penyusunan APBD. Untuk menutup defisit dan surplus diperlukan pembiayaan daerah. Jika pembiayaan diperlukan untuk menutup defisit anggaran berjalan, arah pengelolaan pembiayaan harus berdasarkan prinsip kemampuan dan kesinambungan fiskal daerah. Pembiayaan defisit anggaran antara lain bersumber dari pinjaman daerah, sisa lebih perhitungan anggaran, dana cadangan dan penjualan aset. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hadiah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri, Pemerintah daerah berhak melakukan pinjaman daerah dengan ketentuan besaran pinjaman daerah tidak melebihi kemampuan daerah dalam mengembalikan pinjaman. Hal ini tercermin dari besaran rasio kemampuan membayar kembali pinjaman atau Debt Services Coverage Ratio (DSCR) minimal sebesar 2,5. coverage. Selanjutnya untuk pengeluaran pembiayaan diprioritaskan pada pengeluaran yang bersifat wajib, antara lain untuk pembayaran hutang pokok yang telah jatuh tempo. Setelah pengeluaran wajib terpenuhi, maka pengeluaran pembiayaan diarahkan untuk penyertaan modal kepada BUMD yang berorientasi keuntungan dan bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Dengan penyertaan modal yang dilakukan diharapkan dapat menghasilkan bagi hasil laba yang dapat meningkatkan pendapatan daerah sekaligus kinerja lembaga yang mendapat tambahan modal dalam melayani masyarakat. Secara lebih rinci Kebijakan Umum Anggaran Provinsi DIY Tahun 2009-2013 adalah sebagai berikut: 1. Pendapatan Daerah Sejalan dengan kebutuhan pendanaan pembangunan daerah yang terus meningkat, pemerintah daerah merencanakan intensifikasi dan ekstensifikasi pendapatan yang bisa diupayakan oleh daerah sendiri (PAD), yang bersumber dari pusat (Dana Perimbangan), serta pendapatan lainlain. Saat ini sumber pendapatan dari PAD masih relatif kecil dibandingkan dengan dana perimbangan. Kebijakan umum pendapatan daerah diarahkan untuk mendorong peningkatan pendapatan daerah melalui mobilisasi pendapatan asli daerah dan penerimaan daerah lainnya. Pendapatan daerah diperkirakan Tahun 20092013 mengalami pertumbuhan rata rata sekitar 6%. Pertumbuhan tersebut didorong oleh pertumbuhan pada komponen PAD dan komponen dana perimbangan yang masingmasing diperkirakan memiliki ratio pertumbuhan ratarata sekitar 40,9% dan 25,4%. Pertumbuhan lain-lain pendapatan, pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil perusahaan daerah akan menjadi faktor yang penting dalam mendorong pertumbuhan dana perimbangan yang akan diperoleh.

36

Khusus untuk pendapatan lainlain yang sah, bagi hasil dari Pemerintah Provinsi berperan penting sebagai salah satu sumber pendapatan dalam mendukung pendanaan berbagai program dan kegiatan. Bagi hasil dari Pemerintah Provinsi ini antara lain Pajak Kendaraan Bermotor/Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (PKB/BBNKB), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) dan lainlain. Pendapatan bagi hasil Pemerintah Provinsi ini sangat terkait dengan aktivitas ekonomi daerah. Pemerintah Daerah dapat berperan dalam memberikan insentif dan dorongan aktivitas perekonomian daerah. Adapun perkiraan pendapatan daerah Provinsi DIY berikut pertumbuhannya pada tahun 20092013 dapat dilihat pada Tabel berikut:

TAHUN 2009 - 2013

37

Tabel: 2 PROYEKSI PENDAPATAN DAERAH TAHUN 2009-2013

38

KODE REK

URAIAN JUMLAH PENDAPATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH Pajak Daerah Retribusi Daerah Hsl Pengelolaan Kekayaan Daerah Yg Dipisahkan Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah DANA PERIMBANGAN Bagi Hasil Pajak/Bagi Hasil Bukan Pajak Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Khusus LAIN-LAIN PENDAPATAN DAERAH YANG SAH

TARGET 2008 1.161.986.63 0.223,42 547.887.175. 315,00 486.168.175.8 41,00 33.144.872.64 0,00 12.768.526.83 4,00 15.805.600.00 0,00 590.574.676. 643,42 59.333.281.64 3,42 511.773.395.0 00,00 19.468.000.00 0,00

TARGET 2009 1.221.594.24 0.781,42 596.850.801. 653,00 524.567.434.5 00,00 32.935.463.78 5,00 14.071.903.36 8,00 25.276.000.00 0,00 618.381.981. 128,42 61.052.031.12 8,42 523.919.950.0 00,00 33.410.000.00 0,00

TARGET 2010 1.294.889.895 .228,31 632.661.849.7 52,18 556.041.480.57 0,00 34.911.591.612 ,10 14.916.217.570 ,08 26.792.560.000 ,00 655.484.899.9 96,13 64.715.152.996 ,13 555.355.147.00 0,00 35.414.600.000 ,00

TARGET 2011 1.376.467.95 8.627,69 672.519.546. 286,57 591.072.093.8 45,91 37.111.021.88 3,66 15.855.939.27 7,00 28.480.491.28 0,00 696.780.448. 695,88 68.792.207.63 4,88 590.342.521.2 61,00 37.645.719.80 0,00

TARGET 2012 1.470.067.7 79.814,37 718.250.87 5.434,05 631.264.996. 227,43 39.634.571.3 71,75 16.934.143.1 47,83 30.417.164.6 87,04 744.161.51 9.207,20 73.470.077.7 54,05 630.485.812. 706,75 40.205.628.7 46,40

TARGET 2013 1.572.972.5 24.401,38 768.528.43 6.714,44 675.453.545. 963,35 42.408.991.3 67,77 18.119.533.1 68,18 32.546.366.2 15,13 796.252.82 5.551,71 78.612.983.1 96,84 674.619.819. 596,22 43.020.022.7 58,65

4 41 411 412 413 414 42 421 422 423

43

23.524.778.2 65,00

6.361.458.00 0,00

6.743.145.480 ,00

7.167.963.64 5,24

7.655.385.1 73,12

8.191.262.1 35,23

Tabel: 3 PROYEKSI PERTUMBUHAN PENDAPATAN DAERAH TAHUN 2009 - 2013 (dalam persentase) TA TA TA TA TA KODE URAIAN 201 201 201 REK 2008 2009 0 1 2 4 41 411 412 413 JUMLAH PENDAPATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH Pajak Daerah Retribusi Daerah Hsl Pengelolaan Kekayaan Daerah Yg Dipisahkan 27,47 30,27 5,13 8,94 6,00 6,00 6,00 6,00 6,00 6,30 6,30 6,30 6,30 6,30 6,80 6,80 6,80 6,80 6,80 39

TA 2013 7,00 7,00 7,00 7,00 7,00

28,30 7,90 125,1 3 -0,63 10,2 3,21 1

414 42 421 422 423

Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah DANA PERIMBANGAN Bagi Hasil Pajak/Bagi Hasil Bukan Pajak Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Khusus

8,57 20,85

59,9 2 4,71 2,90 2,37 71,6 1 72,9 6

6,00 6,00 6,00 6,00 6,00

6,30 6,30 6,30 6,30 6,30

6,80 6,80 6,80 6,80 6,80

7,00 7,00 7,00 7,00 7,00

LAIN-LAIN PENDAPATAN 43 DAERAH YANG SAH Sumber : DPPKA 2009

-94,16

6,00

6,30

6,80

7,00

2. Belanja Daerah Kebijakan umum belanja daerah diarahkan pada peningkatan efisiensi, efektifitas, transparansi, akuntabilitas melalui penetapan prioritas alokasi anggaran. Kebijakan belanja daerah juga diarahkan untuk mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan dalam rangka memperbaiki kualitas dan kuantitas pelayanan publik. Belanja daerah dikelompokan ke dalam belanja langsung dan tidak langsung yang masing-masing kelompok dirinci kedalam jenis belanja. Untuk belanja tidak langsung, jenis belanjanya terdiri atas belanja pegawai, belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan keuangan, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, dan belanja tidak terduga. Sementara itu, untuk belanja langsung jenis belanjanya terdiri atas belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja modal. Prinsip efisiensi dan efektifitas harus diterapkan pada semua pos belanja daerah tersebut di atas.

40

1. Belanja Tidak Langsung Arah kebijakan belanja tidak langsung sampai dengan 2013 diperkirakan akan didominasi oleh belanja pegawai yang masih merupakan proporsi terbesar. Proyeksi pengeluaran belanja pegawai yang menjadi beban APBD DIY diperkirakan sebesar 38,4 %. Proporsi pengeluaran belanja tidak langsung terbesar kedua adalah pada belanja bagi hasil kepada kabupaten dengan presentasi sebesar 19,7%. Kemungkinan dalam lima tahun ke depan pemerintah akan menaikkan kembali gaji PNS, sehingga selama lima tahun mendatang diperkirakan belanja tidak langsung akan mengalami kenaikan yang cukup signifikan terutama untuk biaya gaji tetap. Kenaikan gaji PNS tersebut dibiayai oleh sumber pendapatan dari DAU. Dengan demikian kenaikan gaji pegawai diharapkan dapat diikuti oleh kenaikan DAU. Belanja yang signifikan pada kelompok belanja tidak langsung adalah belanja bantuan sosial. Alokasi bantuan sosial diarahkan kepada masyarakat dan berbagai organisasi baik profesi maupun kemasyarakatan. Alokasi belanja bantuan sosial ditujukan untuk memberdayakan masyarakat. Mekanisme anggaran yang dilaksanakan adalah block grant, artinya masyarakat dapat merencanakan sendiri sesuai dengan kebutuhan, sepanjang tidak keluar dari peraturan yang berlaku. Selain itu, belanja bantuan sosial digunakan untuk meningkatkan akses dan pelayanan dasar bagi masyarakat. 2. Belanja Langsung Belanja langsung adalah belanja pemerintah daerah yang berhubungan langsung dengan program dan kegiatan. Program dan kegiatan yang diusulkan pada belanja langsung disesuaikan dengan kebijakan umum APBD, prioritas dan plafon anggaran, dan Rencana Strategis SKPD. Belanja langsung terdiri atas belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja modal. Belanja pegawai dalam belanja langsung ini berbeda dengan belanja pegawai pada belanja tidak langsung. Belanja pegawai pada belanja langsung antara lain untuk honorarium, uang lembur, belanja beasiswa pendidikan, dan belanja kursus. Belanja langsung untuk jangka waktu lima tahun ke depan diarahkan pada pencapaian visi dan misi lima tahun Provinsi DIY, antara lain untuk peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan, kesehatan, pengurangan kemiskinan, eksplorasi potensi pariwisata serta perbaikan infrastruktur untuk peningkatan pelayanan jasa. Besarnya dana yang dikeluarkan untuk masingmasing kegiatan juga diperkirakan akan meningkat. Sementara itu, khusus untuk belanja modal, pengeluaran belanja modal pada lima tahun mendatang diprioritaskan untuk membangun prasarana dan sarana yang mendukung tercapainya Visi Pembangunan Provinsi DIY. Kebijakan belanja daerah hingga tahun 2013 diperkirakan akan didominasi oleh belanja tidak langsung dengan rata-rata proporsinya terhadap belanja total adalah sebesar 51,69%, sedangkan untuk belanja langsung diperkirakan sekitar 51,03% atau sisanya. Proyeksi belanja hingga tahun 2013 adalah sebagai berikut:

41

Proyeksi Belanja Provinsi DIY 2009-2013

Sumber: Lap.Ket Pertanggungjawaban Akhir Masa Jabatan Gubernur DIY 20032008, diolah. Gambar: 4

42

Tabel: 4 Proyeksi Anggaran Belanja Daerah Tahun Anggaran 20092013 2010 2011 2.594.732.315.375,2 3.149.123.716.336,3 BELANJA DAERAH 5 7 BELANJA TIDAK 1.298.598.360.467,5 1.494.982.278.345,2 LANGSUNG 2 8 1.296.133.954.907,7 1.654.141.437.991,1 BELANJA LANGSUNG 938.126.471.824,37 3 0 Sumber: Lap.Ket Pertanggungjawaban Akhir Masa Jabatan Gubernur DIY 2003-2008, diolah. URAIAN 2009 2.040.340.914.414,1 2 1.102.214.442.589,7 6 2012 3.703.515.117.297,5 0 1.691.366.196.223,0 4 2.012.148.921.074,4 6 2013 4.257.906.518.258,62 1.887.750.114.100,79 2.370.156.404.157,83

42

Tabel: 5 Proporsi Anggaran Belanja Tidak Langsung dan Belanja Langsung terhadap Total Belanja APBD Tahun Anggaran 2009-2013 URAIAN BELANJA TIDAK LANGSUNG BELANJA LANGSUNG TOTAL BELANJA 2009 45,98 54,02 2010 49,95 63,65 2011 52,53 47,47 2012 54,33 45,67 2013 55,66 44,34 Rata-rata Proporsi 51,69 51,03 100,00

100,0 113,6 100,0 100,0 100,0 0 0 0 0 0 Sumber: Lap.Ket Pertanggungjawaban Akhir Masa Jabatan Gubernur DIY 2003-2008, diolah.

3.

Pembiayaan Daerah Dengan diberlakukannya anggaran kinerja, maka dalam penyusunan APBD dimungkinkan adanya defisit maupun surplus. Pembiayaan defisit anggaran antara lain bersumber dari pinjaman daerah, sisa lebih perhitungan anggaran, dana cadangan dan penjualan aset. Pemerintah daerah juga berhak melakukan pinjaman daerah. Selain dilakukan secara hati-hati sesuai dengan kemampuan keuangan daerah, pinjaman yang dilakukan harus tepat sasaran. Alokasi pinjaman daerah selain memberikan pemasukan pada PAD juga diharapkan mampu untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi dengan berkembangnya sektor perdagangan dan jasa. Selanjutnya untuk pengeluaran pembiayaan diprioritaskan pada pengeluaran yang bersifat wajib, antara lain untuk pembayaran hutang pokok yang telah jatuh tempo. Setelah pengeluaran wajib terpenuhi, maka pengeluaran pembiayaan diarahkan untuk penyertaan modal kepada BUMD yang berorientasi keuntungan dan bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Dengan penyertaan modal yang dilakukan diharapkan dapat menghasilkan bagi hasil laba yang dapat meningkatkan pendapatan daerah sekaligus kinerja lembaga yang mendapat tambahan modal dalam melayani masyarakat. Untuk lebih jelasnya proyeksi pembiayaan Provinsi DIY Tahun Anggaran 20082013 dapat dilihat pada grafik berikut:

43

Proyeksi Pembiayaan Provinsi DIY 20082013

Sumber: Lap.Ket Pertanggungjawaban Akhir Masa Jabatan Gubernur DIY 20032008, diolah. Gambar: 5 4. Dampak Resiko Ekonomi pada Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan Pembangunan provinsi DIY Krisis ekonomi yang melanda dunia saat ini perlu mendapat perhatian yang serius dari Pemerintah Provinsi DIY terutama dari sisi dampaknya pada pendapatan, belanja dan pembiayaan. Dampak krisis pada pendapatan terutama akan dirasakan pada penerimaan pajak daerah, retribusi daerah dan dari hasil Perusahaan Milik Daerah (PMD) dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan yang meliputi hasil penyertaan modal pada PT. Anindya Mitra Internasional, PD Taru Martani, BPD DIY, dan Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP). Dari sisi pajak dan retribusi, Pemerintah Provinsi DIY akan mewaspadai turunnya pendapatan dari penerimaan pajak dan retribusi seiring dengan menurunnya ekonomi dan kualitas hidup masyarakat sebagai obyek pajak dan retribusi. Dari sisi pendapatan yang berasal dari pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, diperkirakan akan terjadi penurunan laba dari hasil penyertaan pada BUMD sebagai akibat turunnya permintaan dan naiknya harga bahan baku. Dari sisi belanja, krisis ekonomi akan berakibat pada semakin beratnya beban belanja APBD provinsi DIY. Kenaikan beban belanja DIY ini terutama disebabkan dari kenaikan Standar Satuan Harga (SSH) yang digunakan sebagai dasar untuk penyusunan anggaran belanja, sehingga akan menyebabkan semakin beratnya beban APBD Provinsi DIY. Penerapan prinsip efisiensi, efektifitas dan ekonomis (3E) dalam belanja merupakan solusi yang bisa digunakan dalam penetapan anggaran belanja pada periode mendatang. 44

Dari sisi pembiayaan, Pemerintah Provinsi DIY perlu menyiapkan dana untuk menutup defisit sebagai akibat lebih besarnya belanja daripada pendapatan dalam APBD. Di samping itu, perlu pula untuk terus mencari sumber alternatif dana dari sumber-sumber lain di luar pendapatan rutin yang diterima Pemerintah Provinsi DIY.

2.4 Kebijakan DPPKA


Kebijakan pada dasarnya merupakan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh yang berwenang untuk dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk dalam pengembangan ataupun pelaksanaan program/kegiatan guna tercapainya kelancaran dan keterpaduan dalam perwujudan sasaran, tujuan serta visi dan misi instansi. Kebijakan yang ditetapkan sebagai berikut: 1. Pendekatan Pelayanan kepada Wajib Pajak; 2. Penggunaan software aplikasi dalam penyusunan APBD. 2.5 Program Program adalah kumpulan kegiatan yang sistematis dan terpadu untuk mendapatkan hasil yang dilaksanakan oleh satu atau beberapa instansi pemerintah ataupun dalam rangka kerja sama dengan masyarakat, guna mencapai sasaran tertentu. Sedangkan Program DPPKA sebagai berikut: 1. Pelayanan Administrasi Perkantoran. 2. Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur. 3. Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Aparatur. 4. Peningkatan Pengembangan Sistem Pelaporan Kinerja dan Keuangan. 5. Peningkatan dan Pengembangan Pengelolaan Keuangan Daerah. 6. Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Tentang APBD Kabupaten/ Kota. 7. Peningkatan Sistem Pengawasan Internal dan Pengendalian Pelaksanaan Kebijakan KDH. 8. Optimalisasi Pemanfaatan Teknologi Informasi. 9. Penataan Peraturan Perundang-undangan. 10. Peningkatan sistem pengawasan internal dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kepala daerah.

45

BAB III PEMECAHAN MASALAH 3.1 Kendala Adapun yang menjadi kendala di Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset antara lain: 1) Kurangnya Sumber Daya Manusia yang memiliki kemampuan dalam Teknologi Informasi, Akuntansi serta penilaian aset; 2) Transformasi birokrasi bagi pegawai masih memerlukan proses waktu yang cukup; 3) Sarana dan prasarana yang masih kurang memadai yang diarahkan kepada pengelolaan perkantoran modern yang mendukung pengelolaan keuangan yang berbasis teknologi informasi; 4) Interkoneksi jaringan komputer yang terbangun belum seluruhnya menjangkau bidang karena masih ada yang belum terjangkau sehingga hambatan untuk perkantoran berbasis teknologi informasi belum tuntas. Solusinya antara lain: 1) Perlu adanya penambahan wawasan pengetahuan tentang teknologi informasi, keahlian dalam bidang akuntansi dan penilaian aset, sehingga dapat cepat mengantisipasi dan mengatasi akan seringnya perubahan/ dinamika peraturan perundang-undangan dari pemerintah pusat tentang pengelolaan keuangan. 2) Agar ada tindak lanjut untuk alih profesionalisme melalui penyiapan generasi baru dengan cara penjaringan pegawai baru (CPNS) sesuai ketugasan dengan latar belakang disiplin ilmu sehingga sejalan dengan arah pemikiranya menuju profesionalisme pegawai. 3) Perlu adanya kursus/pelatihan yang berupa Bimbingan Teknis (Bimtek) secara continue agar lebih dapat meningkatkan ketrampilan sesuai dengan bidang yang digeluti. 4) Perlu disediakan sarana dan prasarana yang memadai agar dapat mempercepat proses penyesuaian pekerjaan. 5) Adanya penempatan kantor pada satu lokasi untuk memudahkan koordinasi dan proses pelayanan kepada mitra secara terpadu. 6) Pengembangan Data teknologi informasi merupakan faktor dominan dalam pengintegrasian data, data keuangan akan tersedia dan memudahkan dalam pelayanan kepada publik. 3.2 Hambatan: 1. Sistem pelayanan yang belum online antara Samsat se Provinsi DIY dengan DPPKA Induk. 2. Data kegiatan yang harus diketik ulang mengakibatkan pelayanan menjadi agak terhambat. 3. Petugas di Samsat harus diberi review ulang tentang bagaimana cara memberikan pelayanan kerja yang baik kepada masyarakat. 4. Masih kurangnya tenaga SDM di bidang Teknologi dan Informasi. 46

Pemecahan 1) Sosialisasi, pembinaan, pelatihan dan pendampingan kepada SKPD tentang pengelolaan keuangan daerah (PP). 2) Penyesuaian jadwal proses penyusunan APBD dan mempercepat penerapan aplikasi penyusunan APBD (IP).

47

BAB IV Keuangan Daerah 4.1 Pendahuluan Implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia baru saja beranjak dari usianya yang keenam tahun. Suatu kebijakan yang masih relatif muda usia setelah kebijakan yang sangat tersentralisir dilakukan di Indonesia oleh Pemerintahan Orde Baru. Perubahan kebijakan manajemen publik yang sangat revolusioner ini ditandai dengan lahirnya UU No. 22 dan No. 25 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pada akhir Pemerintahan Megawati, pada tahun 2004, kedua UU ini direvisi menjadi UU No. 32 dan No. 33 Tahun 2004. Layaknya suatu perubahan yang mendasar, masih sering dirasakan adanya kekurangan dalam pengaturan mengenai keuangan daerah yang termuat dalam Bab VIII Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah ini secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, pemisahan kewenangan dan Administrasi Keuangan Negara (APBN) dan Keuangan Daerah (APBD). Kedua, sumber penerimaan daerah dalam APBD. Ketiga, manajemen pengelolaan keuangan daerah, khususnya APBD. a.Ringkasan Permasalahan Berkaitan dengan pemisahan kewenangan dan administrasi keuangan, terdapat satu pembantuan. Dalam proses alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) terdapat permasalahan yang penting diselesaikan yaitu berkaitan dengan dana dekonsentrasi dan tugas mendasar berkaitan dengan kriteria khusus dalam proses alokasi DAK. Permasalahan regulasi keuangan daerah yang ketiga berkaitan dengan proses alokasi DAU yang seharusnya perlu ditegaskan kembali mengenai bobot setiap variabel yang digunakan dalam pertimbangan penentuan celah fiskal serta mekanisme alokasinya berkaitan dengan kelembagaan. Permasalahan lain yakni berkaitan dengan pengaturan pedoman tentang pengelolaan APBD yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. b. Permasalahan: Elaborasi Pengaturan Keuangan Daerah dalam UU No.32/2004 b.1 Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan b.1.1 Defenisi Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Mengacu pada UU No.32/2004 Pasal 1 dinyatakan bahwa Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Sedangkan Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Menurut PP No. 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah menyebutkan bahwa Dana Dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam 48

rangka pelaksanaan dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk investasi vertikal pusat di daerah. Dana Tugas Pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh Daerah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan. Merujuk pada definisi di atas, Dana Dekonsentrasi yang akan menjadi fokus bahasan, tidak lain adalah implikasi dari pelimpahanan kewenangan pemerintah pusat kepada gubernur untuk urusan yang didekonsentrasikan. Provinsi mempunyai kedudukan sebagai daerah otonom sekaligus adalah wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja gubernur untuk melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan yang dilimpahkan kepadanya. Berkaitan dengan itu maka Kepala Daerah Otonom disebut Gubernur yang berfungsi pula selaku Kepala Wilayah Administrasi dan sekaligus sebagai wakil Pemerintah. Gubernur selain sebagai pelaksana atas asas desentralisasi, juga melaksanakan asas dekonsentrasi. Urgensi mengenai dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan ini semakin meningkat mengingat jumlahnya dari tahun ke tahun semakin bertambah. Data sementara yang dilansir oleh Departemen Keuangan RI pada tahun 2006 misalnya mencatat bahwa besarnya dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan mencapai lebih dari Rp 30 Trilyun atau lebih dari tiga kali lipat dibandingkan dana yang sama pada tahun 2005 atau tumbuh sebesar lebih dari 200%. Perkembangan total Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan tahun 2005 dan 2006 tersebut dapat ditunjukkan pada Gambar 5 berikut ini: Perkembangan Jumlah Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan di Indonesia Tahun 2005 2006 (Dalam Milyar Rp)

Gambar: 6
Sumber: Depkeu RI, 2007

49

Dari total dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan tersebut, Kementerian dan Lembaga terbesar yang menyalurkannya adalah Departemen Pendidikan Nasional yaitu sekitar 59% dari total dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan pada tahun 2006 disusul dengan Departemen Kesehatan dan Departemen Pertanian yang memiliki kontribusi lebih dari 10%. Total ketiga departemen ini memiliki porsi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan lebih dari 84%. Pada tahun 2006, nilai dana dekonsentrasi sekitar 5 kali lipat dibandingkan dengan dana tugas pembantuan, memiliki pola berbeda jika dibandingkan dengan tahun 2005 dimana nilai alokasi dana tugas pembantuan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan dana dekonsentrasi. Hal ini tidak terlepas dari menurunnya jumlah alokasi dana tugas pembantuan yang dilakukan oleh Departemen Pekerjaan Umum pada tahun 2006 dibandingkan dengan tahun 2005. Detail distribusi alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan menurut Kementerian dan Lembaga pada tahun 2006 dapat diperlihatkan pada tabel berikut ini: Tabel 6 : Alokasi Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Tahun 2006 menurut Kementerian dan Lembaga (dalam Jutaan Rupiah)

umber: Depkeu RI diolah dari data sementara RKA-KL Maret 2006 Satu hal yang penting menjadi perhatian dalam era manajemen publik yang lebih terdesentralisir saat ini, proporsi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan terhadap total belanja dalam APBN mengalami peningkatan dari 1,94% pada tahun 2005 menjadi 4,3% pada tahun 2006. Dengan menggunakan perbandingan terhadap total belanja ke daerah 50

dalam APBN, proporsi ini meningkat dari 6,58% tahun 2005 menjadi 13,61% pada tahun 2006. Kondisi ini tidak terlepas dari pertumbuhan nilai dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net. Sangat lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan belanja ke daerah dan total belanja dalam APBN. Sebagai ilustrasi, total dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan tumbuh sebesar 203% sedangkan total belanja ke daerah dalam APBN hanya tumbuh sebesar 47%. Perkembangan ini tentunya tidak terlalu menggembirakan bagi perkembangan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia. Dalam era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal saat ini, pemerintah pusat seharusnyalah memberikan alokasi dana yang lebih besar kepada pemerintahan daerah dalam wilayah kewenangannya. Pertanyaan mendasar berikutnya adalah berkaitan dengan distribusi aliran dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan berdasarkan provinsi. Data pada tahun 2006 memperlihatkan bahwa kawasan di Indonesia yang terbesar menerima dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan adalah provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan Bali yaitu sekitar 37,8% dari total dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan pada periode tersebut. Detail distribusi dari aliran dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan tersebut menurut kawasan dapat ditunjukkan pada Gambar 7 berikut ini: Distribusi Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan menurut Kawasan di Indonesia, 2006 (dalam Persentase)

Gambar: 7 Gambaran di atas memberikan satu pertanyaan penting mengenai proses penentuan besaran alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan menurut provinsi. Hal ini merupakan salah satu permasalahan utama berkaitan dengan dana dekonsentrasi yang juga diatur dalam UU No.32 Tahun 2004 serta UU No.33 Tahun 2004 mengenai Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Detail permasalahan mengenai dana dekonsentrasi ini dapat diperlihatkan pada bagian berikut ini

51

b.1.2 Permasalahan Dana Dekonsentrasi Secara umum, ada dua kelompok besar permasalahan yang dihadapi dalam kebijakan dana dekonsentrasi saat ini, yaitu berkaitan dengan proses manajemen pengelolaan dana dekonsentrasi serta kriteria penentuan jumlah alokasi dan potensi ketidakmerataan fiskal antar daerah. Kedua kelompok permasalahan tersebut akan dijelaskan di bawah ini. b.1.2.a Manajemen pengelolaan Dana Dekonsentrasi Permasalahan pertama yang berkaitan dengan dana dekonsentrasi ini berkaitan dengan manajemen pengelolaan dana dekonsentrasi. Pasal 155 UU No.32/2004 Ayat (3) menyatakan bahwa administrasi pendanaan penyelenggaraan urusan pemerintahan dan dilaksanakan oleh Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net.www.parle.net Pemerintahan daerah yang dibiayai oleh APBN dan APBD dilakukan secara terpisah. Pengelolaan secara terpisah ini menimbulkan potensi permasalahan yang sangat besar menyangkut siapa yang bertanggung jawab dalam pengelolaan dana dekonsentrasi tersebut. Menurut ketentuan, gubernur wajib mempertanggungjawabkan dana tersebut kepada pemerintah pusat dalam hal ini adalah departemen teknis yang berkaitan dengan dana dekonsentrasi tersebut. Dalam kenyataannya, Anggota DPRD di tingkat provinsi hanya dilaporkan saja dan Gubernur tidak wajib mempertanggungjawabkannya di hadapan anggota DPRD. Pertanggungjawaban dilakukan kepada departemen teknis yang memiliki dana dekonsentrasi tersebut. Sistem pertanggungjawaban semacam ini mengundang permasalahan yang berpotensi merugikan negara. Pernyataan oleh Auditor Utama Keuangan Negara II Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) misalnya, menyebutkan akuntabilitas dana dekonsentrasi yang sudah dialirkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sejak tahun 2000 masih lemah karena penggunaannya tidak dilaporkan dalam APBN, neraca pemerintah pusat atau di APBD. Apabila kondisi ini terus dibiarkan, dana yang mencapai sekitar Rp 28,75 trilyun bisa dijadikan sarana untuk pencucian aset sehingga berpotensi tindak pidana. (Kompas, 29 Januari 2007) Lebih lanjut, keberadaan dana dekonsentrasi dana yang diambil dari APBN dan disalurkan melalui departemen teknis yang masih memiliki kaitan kepentingan dengan daerah itu tidak tercatat secara akuntansi. Dengan demikian, harus dilacak hingga ke realisasi fisik di lapangan untuk mengetahui penggunaan anggarannya. Selama ini daerah hanya menerima dananya, tetapi menolak mengakui sebagai bagian dari kekayaannya pada saat diminta pertanggungjawaban. Pelacakan dana tersebut harus dilakukan departemen yang menyalurkannya dan perlu diawasi oleh instansi pengawasan internal di departemen tersebut. BPK sempat menguji sebagian dari keberadaan dana itu hingga ke fisik, namun ternyata tidak sesuai dengan laporan pemerintah pusat meskipun pemerintah pusat telah mengatur manajemen dana dekonsentrasi, dalam kenyataannya muncul beberapa kelemahan yang akan mengurangi akuntabilitas penggunaannya. Dana dekonsentrasi secara rinci dijelaskan lebih lanjut dalam UU No. 33 Tahun 2004 (yaitu Pasal 87 sampai dengan Pasal 93), PP No. 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, dan Surat Keputusan Menteri Keuangan (SK Menkeu) RI No. 523/KMK.03/2000 tentang tatacara Penganggaran, Penyaluran Dana Pertanggungjawaban dan Pelaporan Pelaksanaan 52

Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004, ketentuan umum dari pendanaan dekonsentrasi meliputi: a). Pendanaan dalam rangka dekonsentrasi dilaksanakan setelah adanya pelimpahan wewenang pemerintah melalui kementrian negara/lembaga kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah. b). Pelaksanaan pelimpahan wewenang sebagaimana didanai oleh pemerintah c). Pendanaan oleh pemerintah disesuaikan dengan wewenang yang dilimpahkan. d). Kegiatan dekonsentrasi di daerah dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang ditetapkan oleh Gubernur. e). Gubernur memberitahukan rencana kerja dan anggaran kepada kementrian negara/lembaga yang berkaitan dengan kegiatan Dekonsentrasi di Daerah kepada DPRD. f). Rencana kerja dan anggaran diberitahukan kepada DPRD pada saat pembahasan RAPBD. Pendanaan dekonsentrasi dialokasikan untuk kegiatan yang bersifat nonfisik. (antara lain: koordinasi perencanaan, fasilitasi, pelatihan, pembinaan,pengawasan, dan pengendalian) Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net. Lebih jauh lagi, menurut PP No. 106 Tahun 2000, asas umum dari pendanaan dekonsentrasi adalah: a) Kewenangan pemerintah pusat di daerah provinsi dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. b) Kewenangan dilaksanakan oleh Dinas Provinsi sebagai perangkat daerah provinsi. c) Penyelenggaraan dekonsentrasi dibiayai atas beban pengeluaran pembangunan APBN. d) Pencatatan dan pengelolaan keuangan dalam penyelenggaraan dekonsentrasi dilakukan secara terpisah dari APBD. e) Gubernur memberitahukan kepada DPRD tentang kegiatan dekonsentrasi. Permasalahan muncul karena adanya aliran dana dari departemen teknis pada level pemerintah pusat kepada dinas teknis yang menimbulkan potensi masalah koordinasi. Koordinasi antara dinas teknis di daerah menyangkut penyelenggaraan kegiatan dekonsentrasi dengan unit kerja yang bertanggungjawab dalam perencanaan daerah tentunya bukan tanpa biaya. Seperti diketahui bersama, permasalahan koordinasi merupakan permasalahan yang sangat besar dalam manajemen publik di Indonesia termasuk pada level pemerintahan daerah. Meskipun kepala daerah harus melaporkan rencana kegiatan yang akan dibiayai melalui dana dekonsentrasi kepada DPRD pada saat pembahasan APBD, dalam implementasinya pemberitahuan alokasi dana dekonsentrasi ke pemerintah daerah diinformasikan setelah APBD ditetapkan. Implikasinya, hal ini dapat menyebabkan potensi permasalahan double financing dari program pemerintah. Yaitu, suatu kegiatan dalam program pemerintah daerah berpotensi dibiayai dua kali yang bersumber dari dana 53

dekonsentrasi dan dana APBD. Tentunya hal ini menimbulkan inefisiensi yang sangat besar dalam manajemen keuangan publik. Akuntabilitas penggunaan dana dekonsentrasi di daerah juga dipacu oleh ketentuan bahwa Gubernur hanya melaporkan kepada DPRD dan bukan mempertanggungjawabkannya kepada DPRD. Kontrol DPRD terhadap pertanggungjawaban dan manajemen dana dekonsentrasi ini berkurang apalagi saat pelaporan tersebut dana dekonsentrasi belum dialokasikan kepada daerah saat pembahasan APBD. Sebagai contoh adalah apa yang diungkapkan oleh Panitia Anggaran DPRD Provinsi Jawa Barat bahwa meskipun adanya mekanisme pemberitahuan oleh Gubernur kepada DPRD terkait program-program yang menyangkut dana dekonsentrasi, dalam kenyataannya DPRD tidak pernah tahu apa saja yang sudah dilakukan terkait dengan penyerapan dana tersebut. Implikasinya, kewenangan DPRD untuk mengawasi aktivitas eksekutif pemerintahan daerah menjadi tidak efektif. (Pikiran Rakyat, 10 Januari 2007) Selain permasalahan manajemen pengelolaan dana dekonsentrasi, permasalahan terbesar kedua adalah kriteria penentuan jumlah alokasi dana dekonsentrasi per provinsi dan potensi ketidakmerataan fiskal antardaerah. Permasalahan ini akan dijelaskan pada bagian berikut ini. b.1.2.b Kriteria penentuan jumlah alokasi dan potensi ketidakmerataan fiskal antar Daerah Permasalahan mendasar kedua dari alokasi dana dekonsentrasi ini adalah bagaimana caranya pemerintah pusat menentukan besaran alokasi dana tersebut kepada setiap provinsi di Indonesia. Hingga saat ini, sangat sulit diambil kesimpulan apakah dana dekonsentrasi dialokasikan kepada daerah dengan menggunakan pertimbangan kesenjangan antara kapasitas dan kebutuhan fiskal daerah. Meskipun demikian, dana dekonsentrasi merupakan salah satu unsur dalam sistem perimbangan keuangan antara pemerintah (Pusat) dan pemerintah daerah. Dimana perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintahan daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia. wparlTransparan dan bertanggungjawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan (Pasal 1 UU No.32/2004). Jika melihat pengertian perimbangan keuangan di atas, terlihat bahwa dana perimbangan juga memperhitungkan besaran dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dalam kenyataannya, hal ini tentunya tidak dijalankan sepenuhnya mengingat proses penentuan dana perimbangan yang terlebih dahulu dilakukan diikuti dengan penentuan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Jika dirunut sebaliknya, maka dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak ditentukan dengan mempertimbangkan dana perimbangan serta lebih memperhitungkan usulan kegiatan (proyek) dari departemen teknis menurut lokasi proyeknya. Implikasi lebih jauh dari tidak dipertimbangkannya kemampuan fiskal daerah dalam alokasi dana dekonsentrasi ini adalah potensi semakin buruknya ketimpangan fiskal antar daerah. Untuk membuktikan hal ini, dilakukan estimasi indikator-indikator yang memperlihatkan pemerataan kemampuan fiskal antar

54

daerah yaitu Indeks Williamson. Secara formula, Indeks Williamson dapat didefinisikan sebagai berikut:

Di mana : fi= jumlah penduduk daerah i n= jumlah penduduk seluruh daerah yi= nilai variabel kemerataan yang akan diukur untuk daerah i y = rata-rata nilai variabel kemerataan yang akan diukur Penting dicatat bahwa semakin rendah nilai Indeks Williamson semakin baik pemerataan fiskal antar daerah. Variabel pemerataan fiskal antar daerah yang akan diukur terdiri dari: 1. Dana Alokasi Umum (DAU) ditambah dengan Dana Penyeimbang (DP) Murni dibagi dengan jumlah penduduk (DAU perkapita); 2. DAU ditambah DP Murni ditambah dengan dana dekonsentrasi dibagi dengan jumlah penduduk; 3. DAU ditambah DP Murni ditambah dengan Dana Tugas Pembantuan dibagi dengan jumlah penduduk; 4. DAU ditambah DP Murni ditambah dengan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan dibagi dengan jumlah penduduk. Penilaian tentang variabel-variabel di atas dilakukan dengan menggunakan data rekonsiliasi, yaitu data mengenai dana perimbangan setiap kabupaten/kota dalam satu provinsi ditambah dengan dana di tingkat pemerintah provinsi yang sama. Penilaian Indeks Williamson ini menggunakan data pada tahun 2005 dikarenakan ketersediaan data penduduk per provinsi yang hanya dapat diperoleh hingga tahun 2005. Dari hasil perhitungan, dapat diperoleh apakah nilai indeks Williamson kemampuan fiskal daerah akan meningkat jika dimasukkan data mengenai dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dengan peningkatan nilai indeks Williamson ini, tentunya dapat diambil kesimpulan bahwa pemerataan fiskal antar daerah akan semakin memburuk. Hasil perhitungan indeks Williamson tersebut dapat ditunjukkan pada Gambar 7 berikut ini: Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net.

55

Perhitungan Indeks Williamson Tahun 2005

Gambar: 8

56

Hasil perhitungan pada Gambar di atas memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan nilai Indeks Williamson jika Dana Alokasi Umum yang dialokasikan kepada setiap pemerintahan daerah ditambah dengan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Kondisi ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan ketidakmerataan fiskal antar provinsi akibat adanya alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan ini. Temuan ini memperkuat dugaan awal bahwa alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak memperhitungkan kemampuan fiskal antar daerah sehingga berdampak buruk pada pemerataan kemampuan fiskal antar daerah. Pilihan variabel pemerataan fiskal berdasarkan Dana Alokasi Umum perkapita didasarkan pada tujuan awal dari alokasi dana alokasi umum sebagai bagian dari desentralisasi fiskal untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik kepada masyarakat di daerah. Tidak dimasukkannya variabel dana perimbangan perkapita sebagai dasar perhitungan dimotivasi pula oleh suatu fakta bahwa dana bagi hasil yang dialokasikan kepada pemerintah daerah sangat bergantung pada keunggulan daerah khususnya daerah yang kaya sumber daya alam dan memiliki aktivitas perekonomian yang sangat dominan di Indonesia. Seperti diduga, adanya faktor dana bagi hasil yang ditambahkan dengan dana alokasi umum perkapita akan memperburuk nilai Indeks Williamson1. Pertimbangan penggunaan DAU perkapita yang menjadi basis penilaian juga dimotivasi oleh peraturan perundang-undangan dimana DAU dialokasikan kepada masing-masing daerah juga harus memperhitungkan aspek pemerataan fiskal antar daerah. Lebih jauh, pemerintah pusat harus memberikan kriteria yang transparan dalam mengalokasikan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan ini. Jika tidak, timbul potensi yang sangat besar daerah dengan kemampuan fiskal yang tinggi akan memperoleh dana 1 hasil perhitungan Indeks Williamson untuk variabel dana perimbangan perkapita mencapai angka 0,71 Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net.www.parlemen.net Dekonsentrasi yang besar bila ini terjadi, ketimpangan pembangunan antar daerah di Indonesia akan menjadi bertambah besar. Perkembangan pertumbuhan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang lebih besar dari pertumbuhan belanja ke daerah dalam APBN tentu tidak sejalan dengan semangat otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia. Bahkan, sejumlah kalangan memiliki usulan yang sangat ekstrim agar dana dekonsentrasi ini dihapuskan dan didaerahkan dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK). Tentunya usulan ekstrim ini juga perlu ditanggapi secara hati-hati. Pertanyaan menarik yang penting untuk dijawab adalah apakah secara statistik hubungan antara jumlah Dana Alokasi Umum (DAU) atau Dana Perimbangan secara umum berhubungan positif dan signifikan dengan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan di daerah tersebut. Jika terbukti, maka kita dapat menyimpulkan bahwa semakin tinggi DAU atau Dana Perimbangan suatu provinsi maka dana dekonsentrasinya akan semakin tinggi pula (berhubungan positif). Tentunya, kondisi ini memperkuat dugaan sebelumnya bahwa telah terjadi salah alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan dari aspek lokasi kegiatan dekonsentrasi. Pengujian ini akan dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi bivariate. Analisis ini merupakan pelengkap dari analisis Indeks Williamson mengingat dalam perhitungan Indeks Williamson kita tidak akan memperoleh nilai signifikansi dari indeks. 57

Sedangkan dalam teknik korelasi ini, kita akan dapat menyimpulkan kesimpulan secara statistik karena terdapat uji signifikansi. Uji korelasi ini dilakukan untuk sejumlah variabel kapasitas fiskal daerah dengan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Hasil perhitungan uji korelasi tersebut dapat terlihat pada tabel berikut ini: Tabel 7 : Hasil Pengujian Korelasi

Hasil perhitungan di atas memperlihatkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan seluruh proksi variabel kemampuan fiskal daerah dengan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Temuan di atas menunjukkan bahwa korelasi dana dekonsentrasi dengan DAU maupun DP relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Dana Tugas Pembantuan. Angka korelasi ini pun semakin meningkat pada tahun 2006 dibandingkan dengan tahun 2005. Sejumlah kalangan berpendapat jika dana dekonsentrasi dialokasikan pada daerah yang memiliki kemampuan fiskal yang tinggi tidak terlepas dari besarnya jumlah penduduk di provinsi tersebut. Sebagai ilustrasi, dana departemen pendidikan akan dialokasikan lebih besar pada provinsi dengan jumlah penduduk yang besar karena penduduk adalah objek dari pembangunan bidang pendidikan. Namun, hasil korelasi DAU perkapita dan DP perkapita dengan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan perkapita memperlihatkan korelasi positif yang signifikan pula. Hubungan positif ini jelas menunjukkan adanya gejala misalokasi dari dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan dimana semakin besar kemampuan fiskal suatu daerah malah memperoleh dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang lebih besar. Hal ini tentunya akan diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net. Memperburuk pemerataan fiskal antar daerah dan berimplikasi lebih jauh pada pemerataan pembangunan antar daerah. Lebih jauh, terdapat satu persoalan mendasar dalam alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yaitu menyangkut pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pangkal dari permasalahan dari kewenangan dekonsentrasi ini adalah adanya kewenangan bersama antara pemerintah pusat dan daerah. Hingga saat ini pengaturan yang berlaku tidak membagi secara jelas batasan-batasan dari kewenangan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah dalam kewenangan bersama tersebut. Sebagai ilustrasi, kewenangan pada bidang pendidikan dasar dan menengah seharusnya secara jelas membatasi sejauh mana peranan pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menghindari adanya kegiatan yang sama dibiayai dari dua sumber pembiayaan yang berbeda, yaitu APBD dan APBN. Tanpa adanya pembatasan kewenangan yang jelas, maka akan sangat sulit pula menetapkan formulasi alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang adil dan 58

transparan. Hasil workshop yang dilakukan bersama dengan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) juga mengungkapkan adanya gejala baru dimana departemen teknis mendirikan balai-balai (unit pelaksana teknis) di daerah khususnya pada Departemen Pekerjaan Umum. Unit inilah yang akan melaksanakan kegiatan pembangunan infrastruktur yang dibiayai oleh APBN di daerah. Implikasinya, alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan departemen ini berkurang secara drastis pada tahun 2006 dibandingkan dengan 2005 karena dilaksanakan sendiri oleh instansi vertikal di daerah. Ada anggapan bahwa kebijakan ini merupakan langkah mundur dalam era desentralisasi fiskal dimana kewenangan pemerintah pusat di daerah menjadi meningkat. b.2 Dana Alokasi Khusus b.2.1 Defenisi dan perkembangan Dana Alokasi Khusus UU No.32/2004 Pasal 157 menyatakan tentang sumber-sumber pendapatan daerah dan salah satunya adalah Dana Perimbangan yang di dalam Pasal 159 dijelaskan terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus. Merujuk pada UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah Pasal 39 dan UU No.32/2004 Pasal 162 menyatakan bahwa Dana Alokasi Khusus (DAK) dialokasikan kepada pemerintah daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah. Kegiatan khusus tersebut sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam APBN. Secara komprehensif, dapat ditulis ulang pengertian dari DAK yaitu dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Pada awal implementasi desentralisasi fiskal di Indonesia tepatnya periode 2001 2002, Dana Alokasi Khusus yang terdapat di dalam struktur belanja daerah dalam APBN adalah Dana Alokasi Khusus yang berasal dari Dana Reboisasi (DAK DR). Dengan adanya DAK DR ini, 40% dari penerimaan negara yang berasal dari Dana Reboisasi disediakan kepada daerah sebagai DAK. Namun, sejak tahun 2003 terdapat jenis perkembangan DAK yaitu DAK yang bukan bersumber dari Dana Reboisasi atau biasa dikenal dengan DAK Non DR. Sejak adanya revisi UU No.25/1999, mulai tahun 2006 DAK DR dialihkan menjadi salah satu komponen dana bagi hasil. Bagian ini akan lebih memfokuskan pada pembahasan DAK Non DR yang selanjutnya disingkat DAK. Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net. Pada awalnya, bidang yang tercakup dalam DAK Non DR ini hanya terdiri dari 4 bidang yaitu pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan prasarana pemerintah. Hingga tahun 2005, sudah terdapat 6 bidang dengan tambahan bidang kelautan dan perikanan serta bidang pertanian. Pada tahun 2006, ada tambahan satu bidang yaitu lingkungan hidup. Perkembangan jumlah alokasi DAK Non DR ini dapat ditunjukkan pada tabel berikut ini: Tabel: 8 Perkembangan Jumlah Alokasi DAK (Milyar Rp)

59

Dari tabel di atas terlihat bahwa alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2006, peningkatan nilai DAK ini meningkat secara drastis yaitu sekitar 188% menjadi Rp 11,6 trilyun dan terus meningkat pada tahun 2007. Bidang pendidikan dan infrastruktur memiliki nilai alokasi DAK terbesar relatif dibandingkan dengan sektor lainnya. Semakin meningkatnya besaran alokasi DAK ini akan meningkatkan pentingnya transparansi dalam formulasi alokasinya pada setiap pemerintah daerah di Indonesia. Dalam pengertian DAK disebutkan pula bahwa daerah yang menerima DAK ini merupakan daerah tertentu. Dalam penentuan daerah tertentu ini, disebutkan sejumlah kriteria yang terpenuhi oleh suatu daerah untuk menerima alokasi DAK. Kriteria tersebut secara garis besar terbagi menjadi tiga yaitu kriteria umum, kriteria khusus dan kriteria teknis. Dalam bentuk gambar, proses penentuan daerah penerima DAK berdasarkan kriterianya dapat ditunjukkan pada Gambar 9 berikut ini: Kriteria Penentuan Daerah Penerima DAK

60

Gambar: 9 Sesuai dengan Pasal 40 UU No.33/2004 dinyatakan bahwa alokasi DAK mempertimbangkan kriteria umum ini ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan Keuangan Daerah dalam APBD. Kriteria umum dihitung untuk melihat kemampuan APBD untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan dalam rangka pembangunan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD dikurangi belanja pegawai. Dalam bentuk formula, kriteria umum tersebut dapat ditunjukkan pada beberapa persamaan di bawah ini: Kemampuan Keuangan Daerah = Penerimaan Umum APBD Belanja Pegawai Daerah Penerimaan Umum = PAD + DAU + (DBH DBH DR) Belanja Pegawai Daerah = Gaji PNSD Dimana: PAD = Pendapatan Asli Daerah APBD = Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DAU = Dana Alokasi Umum DBH = Dana Bagi Hasil DBHDR = Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi PNSD = Pegawai Negeri Sipil Daerah

61

Perhitungan Indeks Fiskal Netto (IFN) dilakukan dengan membagi kemampuan keuangan daerah dengan rata-rata nasional kemampuan keuangan daerah. Jika IFN tersebut lebih kecil dari satu, atau dengan kata lain daerah tersebut memiliki kemampuan keuangan daerah lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata nasional, maka daerah tersebut mendapatkan prioritas dalam memperoleh DAK.

Selain kriteria umum, kriteria khusus juga dipergunakan dalam alokasi DAK. Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah. Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah Undang-Undang yang mengatur tentang kekhususan suatu daerah, seperti Undang-Undang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua. Seluruh daerah (Kabupaten/Kota) di Provinsi NAD dan Papua akan diprioritaskan mendapatkan DAK. Selain itu, setiap tahunnya ditetapkan beberapa karakteristik khusus yang dimasukkan dalam kriteria khusus. Kondisi dari penetapan kriteria khusus inilah yang akan menjadi kelemahan dalam kebijakan alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) dan akan dibahas pada bagian berikut ini. Satu hal dalam alokasi DAK, besaran DAK dialokasikan dengan pertamatama menentukan daerah yang layak. Penentuan daerah yang layak dialokasikan DAK ini menggunakan pertimbangan kriteria umum dan kriteria khusus. Besaran alokasi DAK untuk setiap daerah dan setiap bidang ditentukan dengan menggunakan kombinasi dari bobot dari kriteria teknis dan bobot daerah yang berasal dari kriteria umum dan kriteria khusus. Mekanisme alokasi DAK tersebut dapat diperlihatkan pada Gambar 9 sebagai berikut:

62

Mekanisme Alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK)

Gambar: 10 Berdasarkan gambar di atas, terdapat sejumlah prosedur yang harus dilakukan dalam pengalokasian DAK kepada masing-masing daerah. Langkah-langkah tersebut secara sistematis adalah sebagai berikut: 1). Tentukan apakah daerah tersebut memenuhi kriteria umum, yaitu daerah tersebut memiliki kemampuan Keuangan daerah dibawah nilai ratarata nasional kemampuan keuangan daerah. 2). Jika memenuhi kriteria umum tersebut, maka daerah tersebut layak memperoleh alokasi DAK. 3). Jika tidak memenuhi, maka kita lihat kriteria khusus yang pertama, yaitu apakah daerah tersebut merupakan daerah yang memiliki pengaturan otonomi khusus atau tidak. 4). Jika daerah tersebut adalah daerah otonomi khusus, maka secara otomatis daerah tersebut layak mendapatkan alokasi DAK. 5). Jika daerah tersebut bukan daerah otonomi khusus, maka lihat kembali kriteria khusus yang kedua, yaitu karakteristik kewilayahannya yang ditunjukkan dengan Indeks Karakteristik Wilayah (IKW). 6). Gabungkan IKW dengan IFN (Indeks Fiskal Netto) untuk menghasilkan Indeks Daerah (ID). 7). Jika suatu daerah memiliki nilai indeks daerah kurang dari satu, maka daerah tersebut secara otomatis layak mendapatkan alokasi DAK. 63

8). 9).

10). 11). 12). 13). 14). 15).

Jika nilai ID tersebut lebih besar dari satu, maka daerah tersebut tidak layak mendapatkan alokasi DAK. Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net. Dapat disimpulkan, dari langkah 1 8 di atas, daerah yang layak mendapatkan alokasi DAK adalah (1) daerah yang memiliki kemampuan keuangan daerah dibawah rata-rata nasional, (2) daerah otonomi khusus, dan (3) daerah yang memiliki nilai Indeks Daerah kurang dari satu. Dari semua daerah yang layak memperoleh alokasi DAK, tentukan nilai Indeks Fiskal Wilayah (IFW) yang merupakan fungsi dari IFN dan IKW. Tentukan Bobot Daerah (BD) dengan mengalikan nilai IFW dengan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) Dari semua daerah yang layak, tentukan nilai Indeks Teknis (IT) setiap bidang DAK dan pada setiap daerah. Tentukan Bobot Teknis (BT) dengan mengalikan Indeks Teknis dengan IKK Tentukan Bobot DAK sebagai hasil penambahan Bobot Daerah (BD) dengan Bobot Teknis (BT). Setelah ditentukan Bobot DAK, tentukan besar alokasi DAK bagi setiap daerah.

b.2.2 Permasalahan Dana Alokasi Khusus Permasalahan pertama dan utama dari dana alokasi khusus (DAK) adalah menyangkut kriteria khusus. Seperti yang ditunjukkan pada gambar mengenai mekanisme alokasi DAK, daerah yang memiliki kemampuan fiskal di atas rata-rata tidak berarti tidak layak (eligible) untuk menerima DAK karena harus mempertimbangkan kriteria khusus. Yang menjadi permasalahan adalah kriteria khusus untuk daerah dengan karakteristik tertentu merupakan ketentuan yang sangat fleksibel sehingga akan sangat mudah diubahubah dan memungkinkan semakin besarnya jumlah daerah yang memiliki kemampuan fiskal di atas rata-rata menerima alokasi DAK. Jika ini terjadi, maka fungsi DAK yang dapat menjadi matching grant, suatu alokasi dana perimbangan untuk meningkatkan pemerataan kemampun fiskal antar daerah, akan menjadi berkurang efektivitasnya. Sebagai ilustrasi, dalam alokasi DAK Non DR tahun 2005, dinyatakan pula bahwa Provinsi Maluku dan Maluku Utara sebagai daerah pasca konflik juga layak untuk mendapatkan DAK. Daerah-daerah khusus yang mendapatkan prioritas memperoleh DAK dengan pertimbangan kriteria khusus adalah Kawasan Timur Indonesia, pesisir dan kepulauan, perbatasan darat, tertinggal/terpencil, penampung program transmigrasi, rawan banjir dan longsor. Sesuai dengan hasil rapat kerja DPR RI dan Pemerintah mengenai belanja daerah, kriteria khusus ini sendiri dijabarkan dalam beberapa hal, antara lain: 1). Peraturan tentang otonomi khusus NAD dan Papua 2). Daerah Kabupaten/Kota yang memiliki karakteristik kewilayahan yang akan dirumuskan dalam Indeks Karakteristik Wilayah (IKW), yaitu daerah pesisir dan kepulauan, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah tertinggal/terpencil, dan daerah yang masuk kategori ketahanan pangan. Kriteria umum dan kriteria khusus ini digabung rumusannya menjadi Indeks Fiskal Wilayah 64

(IFW). Daerah dengan IFN atau IFW lebih kecil dari satu layak mendapatkan DAK. Kata-kata atau perlu digarisbawahi karena sifatnya bukan bersifat komplemen namun substitusi. Yaitu, meskipun daerah tersebut memiliki IFN yang lebih besar daripada satu, masih dimungkinkan mendapatkan DAK jika memenuhi kriteria karakteristik wilayah penerima DAK. 2 Keputusan Menteri Keuangan RI No 505/KMK.02/2005 tentang Penetapan Alokasi dan Pedoman Umum Pengelolaan DAK Non DR TA 2005 Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net. 3). Kesepakatan Panja (panitia kerja) itu juga menyepakati untuk menambah beberapa kriteria khusus yang digunakan dalam menentukan penerima DAK 2006, yaitu: a. Daerah yang menerima DAU tetap. b. Daerah yang prosentase kenaikan DAU-nya lebih kecil dari prosentase kenaikan gaji pegawai. c. Daerah rawan banjir/longsor. d. Daerah penampung dan penerima pengungsi. e. Daerah penerima transmigrasi. f. Daerah pasca konflik. g. Daerah rawan pangan/kekeringan. h. Daerah yang memiliki pulau terluar. Jika dilihat dari kriteria khusus pada alokasi DAK Tahun 2006, terdapat perluasan kriteria yang sangat besar sehingga memperbesar jumlah daerah penerima DAK. Dengan kondisi semacam ini, akan sangat sulit mengklasifikasikan DAK menjadi dana perimbangan yang bersifat khusus pada daerah tertentu. Bahkan, beberapa kriteria khusus tersebut secara jelas memperlihatkan bahwa daerah tersebut memiliki kemampuan fiskal yang relatif baik (di atas rata-rata) seperti daerah yang menerima DAU tetap dan daerah dengan persentase kenaikan DAU yang lebih kecil dibandingkan dengan belanja gaji pegawai. Implikasinya, penggunaan kriteria khusus seperti ini, atau kriteria khusus yang bersifat fleksibel, akan memperbesar kemungkinan diperolehnya alokasi DAK bagi daerah yang memiliki kemampuan fiskal di atas rata-rata nasional. Selain kriteria khusus bagi daerah yang tidak memiliki batasan, cara menentukan IKW juga tidak secara transparan dijelaskan. Mengingat keputusan kriteria khusus ini dilakukan saat pembahasan Panja Belanja Daerah antara DPR RI dan Pemerintah, dapat ditarik dugaan kuat bahwa perhitungan IKW ini pun tidak dilakukan secara tepat. Jika IKW tidak dihitung secara tepat dan transparan, maka proses perhitungan IFW pun memiliki karakteristik yang sama. Jika ini terjadi, maka proses penentuan daerah yang menerima alokasi DAK akan menjadi semakin tidak transparan dan akan berimplikasi buruk pada kepercayaan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Lebih jauh, proses alokasi DAK pada masing-masing daerah akan menjadi proses yang sangat kental muatan politisnya yang akan berdampak negatif dalam manajemen publik di negara ini. Seiring dengan perkembangan kecenderungan peningkatan alokasi DAK pada seluruh pemerintahan daerah di Indonesia, kejelasan perhitungan setiap indeks dalam kriteria khusus dan kriteria teknis serta data dasar yang dijadikan dasar perhitungan nilai Bobot Daerah dan Bobot Teknis, menjadi mutlak diperlukan. Pemerintah seperti halnya dalam alokasi DAU 65

seharusnyalah terus memberikan sosialisasi dan contoh perhitungan mengapa suatu daerah menerima alokasi DAK seperti yang ditetapkan. Adanya ketersediaan data dasar yang memadai ini pula akan memberikan kemampuan bagi pemerintah daerah untuk memperkirakan besaran alokasi DAK dari pemerintah pusat pada tahun anggaran berikutnya. Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net b.3 Dana Alokasi Umum b.3.1 Definisi dan perkembangan Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Desentralisasi mengandung pengertian penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implikasinya, DAU dialokasikan kepada setiap daerah dalam rangka menjalankan kewenangan pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. DAU yang merupakan transfer pemerintah pusat kepada daerah bersifat block grant, yang berarti daerah diberi keleluasaan dalam penggunaannya sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah dengan tujuan untuk menyeimbangkan kemampuan keuangan antar daerah. Jumlah DAU dari tahun ke tahun terus mengalami pertumbuhan dari sisi jumlah alokasi. Selain DAU, pada tahun 2001 pemerintah pusat juga mengeluarkan Dana Kontijensi kepada pemerintah daerah. Perkembangan alokasi DAU kepada masingmasing daerah juga menemui babak baru karena adanya sikap pemerintah daerah yang tidak mau menerima DAU yang lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sikap ini kemudian dikenal dengan hold harmless. Dari sisi Dana Perimbangan (DP), pemerintah pusat kemudian mengintrodusir jenis dana perimbangan yang baru yaitu dana perimbangan yang dialokasikan untuk mempertahankan beberapa daerah yang secara formula akan menerima DAU yang lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dalam perkembangannya, dana penyeimbang ini berubah menjadi DP Murni dikarenakan adanya jenis DP yang lain yaitu DP Ad-hoc yang muncul karena adanya kebijakan pemerintah pusat mengenai Gaji PNS Daerah (DP Ad-hoc I) dan peningkatan pelayanan dasar dan kesejahteraan masyarakat (DP Ad-hoc II). Perkembangan jumlah total alokasi DAU dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah serta DP Murninya dapat ditunjukkan pada tabel berikut ini: Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net.

66

Tabel: 9 Perkembangan Jumlah Total Alokasi DAU dan Dana Penyeimbang Tahun 2001 2007

Jika dalam UU No. 25 tahun 1999 dinyatakan bahwa jumlah DAU total sekurangkurangnya 25% dari Penerimaan Dalam Negeri (PDN) Netto, pada UU No.34 tahun 2004 telah meningkatkan porsinya menjadi sekurang-kurangnya 26% dari PDN Netto. Jumlah ini juga telah diterapkan dalam alokasi DAU tahun 2006 yang mencapai lebih dari Rp 145,66 trilyun. Berbeda dengan UU No. 25 tahun 1999 yang secara tegas menyatakan proporsi bagian provinsi dan kabupaten/kota yaitu masing-masing sebesar 10% (untuk provinsi) dan 90% (untuk kabupaten/kota), dalam UU No. 33 tahun 2004 menyatakan bahwa proporsi DAU antara daerah provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan imbangan kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini dimungkinkan akan menimbulkan masalah baru, yaitu ketidakjelasan dalam penentuan alokasi DAU bagi provinsi dan kabupaten/kota. Namun, pada tahun 2006, bagian 10% untuk provinsi dan bagian 90% untuk kabupaten/kota tersebut masih dipergunakan. b.3.2 Formula dan permasalahan Dana Alokasi Umum Formula alokasi DAU yang baru pula tidak mengenal istilah Alokasi Minimum (AM) yang berganti nama menjadi Alokasi Dasar (AD). Jika pada Alokasi Minimum terdapat komponen lumpsum, maka dalam AD tidak terdapat komponen ini lagi dan hanya terdiri dari Belanja Pegawai, yang diukur dengan menggunakan Gaji Pegawai 67

Negeri Sipil (PNS) Daerah, yaitu gaji pokok ditambah tunjangan keluarga dan tunjangan jabatan sesuai dengan peraturan penggajian PNS. Perbedaan mendasar dalam penentuan jumlah juga terjadi. Pada formula sebelumnya, jumlah AM dan alokasi berdasarkan kesenjangan (celah) fiskal ditetapkan terlebih Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net. Dahulu dan dibagi berdasarkan proporsi, dan dalam formula yang baru, AD tersebut harus dapat menjamin bahwa keseluruhan belanja pegawai dapat terpenuhi. Implikasinya, sisa dari total DAU dikurangi dengan AD adalah jumlah alokasi yang akan dibagikan kepada setiap daerah berdasarkan formula celah fiskal. Sebagai ilustrasi, kebijakan tentang jumlah alokasi DAU tersebut dapat ditunjukkan pada Gambar: 10 Bentuk umum formula alokasi DAU kepada masing-masing daerah secara formula dapat ditunjukkan pada persamaan berikut ini: DAU = AD + CF Dimana: DAU = Dana Alokasi Umum AD = Alokasi Dasar = Gaji PNS Daerah CF = Celah Fiskal = KbF KpF KbF = Kebutuhan Fiskal KpF = Kapasitas Fiskal Kebijakan Jumlah Alokasi DAU Berdasarkan UU No.33 tahun 2004

Gambar: 11

68

Dari persamaan di atas, perbedaan pertama dengan rumusan UU No. 25 tahun 1999 adalah digantikannya Alokasi Minimum menjadi Alokasi Dasar yang tidak memiliki komponen lumpsum. Sedangkan komponen kedua, yaitu alokasi DAU berdasarkan celah (kesenjangan) fiskal secara prinsip tidak terjadi perbedaan dengan rumusan dalam UU No. 25 tahun 1999. Secara indikatif, terjadi perubahan indikator dan proses perhitungan untuk kapasitas dan kebutuhan fiskal. Sesuai dengan revisinya, terdapat sedikit perubahan dalam perhitungan kebutuhan dan kapasitas fiskal. Indeks kemiskinan relatif tidak lagi mempengaruhi kebutuhan fiskal, digantikan dengan dua jenis indeks yaitu Indeks Pembangunan Manusia serta Indeks Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita. Sedangkan dari sisi kapasitas fiskal, PAD estimasi bukan lagi menjadi komponen kapasitas fiskal, namun nilai PAD aktualah yang menjadi indikasi dari kapasitas fiskal tersebut. Tabel: 10 Perkembangan Penggunaan Variabel dalam Perumusan DAU

Dalam bentuk diagram, formula umum dari DAU menurut UU No.33 tahun 2004 digambarkan dalam Gambar: 12

69

Formula Umum DAU menurut UU No.33/2004

70

Gambar: 12 Rumusan tentang kebutuhan fiskal (KbF) dapat ditunjukkan sebagai berikut:

Sebagai ilustrasi, bobot untuk tahun 2006 telah disepakati bahwa Indeks Penduduk (IP) memiliki bobot 30%, Indeks Luas Wilayah (IW) 15%, Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) 30%, Indeks PDRB per kapita (IPDRB/kap) 15% dan IPM sebesar 10%. Selain itu, TBR dihitung berdasarkan total belanja daerah dalam realisasi APBD TA. 2004 (dua tahun sebelumnya) dibagi dengan jumlah daerah dengan mengecualikan daerah-daerah yang memiliki data belanja yang outlier (pencilan) sangat tinggi seperti DKI Jakarta. Sedangkan rumusan tentang kapasitas fiskal sendiri relatif sama dengan cara menurut UU No. 25 tahun 1999 dengan sedikit perubahan penggunaan data PAD, dimana menurut UU No. 33 tahun 2004, PAD diukur dengan menggunakan PAD realisasi dua tahun sebelum dialokasikannya DAU tahun yang bersangkutan. Secara lengkap rumus kapasitas fiskal tersebut adalah:

71

Setelah dihitung nilai kebutuhan dan kapasitas fiskal seperti dengan menggunakan cara di atas, maka langkah berikutnya adalah menghitung besarnya alokasi berdasarkan kesenjangan fiskal. Alokasi DAU yang berdasarkan kesenjangan fiskal untuk setiap daerah ini dapat dilakukan dengan sejumlah langkah yaitu: a). Tentukan nilai kesenjangan fiskal atau fiscal gap (FG) yang merupakan selisih antara nilai kebutuhan fiskal (KbF) dengan kapasitas fiskal (KpF). FG = KbF KpF Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net. b). Tentukan nilai kesenjangan fiskal yang sudah dinormalisasi (FG*). Normalisasi yang dimaksud adalah dengan aturan sebagai berikut: - Jika nilai FG > 0 atau KbF > KpF maka FG* = FG Jika nilai FG < 0 atau KbF maka FG* = 0.en.net c). Tentukan Indeks FG* yang merupakan rasio antara FG* dengan total FG*. Untuk daerah yang memiliki kesenjangan fiskal negatif, tentunya nilai Indeks FG* nya akan menjadi nol.

d). Jumlah DAU yang berdasarkan kesenjangan fiskal ini ditentukan dengan mengalikan Indeks FG* dengan jumlah total alokasi DAU (baik provinsi maupun kabupaten/kota). Sebagai ilustrasi, cara perhitungan alokasi DAU berdasarkan kesenjangan fiskal ini dapat ditunjukkan pada Gambar 10 berikut ini: Penentuan Alokasi DAU berdasarkan Kesenjangan Fiskal Setiap Daerah

72

Gambar: 13 Dalam melakukan alokasi DAU menurut formula, dibutuhkan data dasar, perhitungan variabel dan penetapan bobot setiap variabel sedemikian rupa hingga diperoleh alokasi DAU yang akan menghasilkan indeks pemerataan fiskal terendah. Pengalaman penggunaan bobot tersebut dapat diperlihatkan pada tabel berikut ini:

73

Tabel: 11 Komponen, Variabel dan Bobot Penyusun DAU Tahun 2001-2006

Dalam penentuan bobot setiap variabel ini dapat dilakukan dengan menggunakan dua skenario yaitu predetermined (ditentukan sebelumnya) dan best result (hasil terbaik) dari indikator kinerja pemerataan fiskal. Setiap skenario tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan. Dengan menggunakan skenario predetermined, formula alokasi DAU menjadi tidak dinamis mengikuti perkembangan kesenjangan fiskal setiap daerah namun memiliki tingkat kepastian bobot yang transparan bagi semua daerah. Sebaliknya, skenario best result mengikuti perkembangan dinamis daerah sehingga dapat diperoleh kinerja formula bobot terbaik namun memiliki banyak kemungkinan sehingga sulit dapat diyakinkan bahwa formulasi bobot tersebut adalah formula terbaik. Hingga tahun 2005, Indonesia membagi dua kategori besar indikator kebutuhan fiskal yaitu indikator kependudukan yang terdiri dari indeks penduduk dan indeks kemiskinan relatif serta indikator kewilayahan yang terdiri dari indeks luas wilayah dan indeks kemahalan konstruksi. Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia.ww.parleme.net Bobot setiap indikator ditetapkan melalui skenario predetermined yaitu 50% untuk indikator kependudukan dan 50% untuk indikator kewilayahan. Namun, alokasi setiap bobot untuk setiap indeks dalam indikator tersebut ditetapkan berdasarkan skenario best result. Akibat adanya tambahan variabel Indeks PDRB perkapita dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) skenario predetermined semacam ini tidak dapat 74

diidentifikasi secara jelas. Implikasinya, skenario best result akan memiliki cakupan yang sangat luas karena berkaitan dengan proses permutasi yang sangat besar jumlah kemungkinannya. Dari penjelasan di atas, satu permasalahan utama dari penentuan bobot variabel kebutuhan fiskal adalah proses best result yang memiliki banyak kemungkinan sehingga seluruh pemerintahan daerah tidak dapat menjamin bahwa bobot yang menghasilkan alokasi DAU tersebut memberikan indeks pemerataan fiskal terbaik. Seharusnya, pemerintah pusat mengatur bahwa bobot setiap indeks kebutuhan fiskal ditentukan minimal, misalnya 5%, dan memiliki simulasi-simulasi bobot untuk setiap tambahan 5%. Dengan aturan semacam ini, jumlah proses simulasi menjadi dapat dibatasi sehingga dapat dinilai berapa bobot setiap indeks yang akan memberikan kinerja terbaik. Terlepas dari bobot, permasalahan yang juga sangat penting berkaitan dengan DAU adalah berkaitan dengan data dasar. Penyediaan data dasar berdasarkan sumber resmi pemerintah memang telah diatur. Sayangnya, publikasi data dasar tidak diberikan dalam waktu yang cepat sebagai dasar pertimbangan pemerintah dalam alokasi DAU. Bahkan, sebaiknya publikasi data dasar tersebut dikeluarkan sebelum alokasi DAU ditetapkan. Banyak persoalan memang mengingat sering pulanya keterlambatan dari pemerintah daerah dalam memberikan data yang akurat khususnya berkaitan dengan APBD. Penjelasan data dasar sebagai pertimbangan pemerintah pusat kepada setiap pemerintah daerah saja tidaklah cukup. Mengingat, proses alokasi DAU membutuhkan data dasar seluruh pemerintah daerah di Indonesia untuk dapat menilai apakah proses alokasi DAU telah dilakukan dengan benar. Dalam periode ke depan, pemerintah penting memberikan sosialisasi yang cukup tentang data dasar dan formula yang digunakan dalam pertimbangan alokasi DAU. b.4 Pengelolaan APBD Hal lain yang diatur dalam Bab Keuangan Daerah dalam UU No.32/2004 adalah berkaitan dengan APBD yaitu secara tegas diatur dalam Paragraf Ketujuh Pasal 179 194. Pada bagian akhir bab itu dalam UU ini Pasal 194 secara tegas mengatur bahwa penyusunan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan daerah diatur lebih lanjut dengan perda yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Terdapat satu permasalahan mendasar tentang penentuan pedoman pemerintah pusat dalam pengelolaan APBD khususnya mengenai dokumen pencatatan APBD. Sebelum lahirnya UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, struktur APBD mengenal belanja rutin dan pembangunan. Namun, dalam sistem pencatatan ini terdapat sejumlah kelemahan antara lain masalah honorarium bias dalam belanja pembangunan, dimana masih tercatatnya komponen gaji pegawai dalam proyek pembangunan oleh pemerintah daerah. Seiring dengan keinginan pemerintah untuk menerapkan anggaran kinerja (performance budgetting), Departemen Dalam Negeri sebagai pembina pemerintahan daerah, mengeluarkan format pencatatan APBD dalam bentuk Keputusan Menteri Dalam Negeri No.29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Implikasinya, pencatatan APBD yang selama ini mengikuti format MAKUDA (Manual Keuangan Daerah) 75

berubah menjadi format yang baru seperti yang diatur dalam Kepmendagri Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net. Respon pemerintah daerah dalam menerapkan Keputusan Menteri Dalam Negeri ini berbeda-beda. Ada yang menerapkannya pada tahun 2003 dan ada yang tidak menerapkannya hingga tahun 2005. Belum selesai respon dari pemerintahan daerah terhadap pengaturan dalam Kepmendagri No.29 Tahun 2002 tersebut, Pemerintah pusat melalui Departemen Dalam Negeri mengeluarkan peraturan baru yang mengubah kembali struktur pencatatan dan APBD yang tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No.13 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Implikasi lebih jauh, Pemerintah Daerah harus kembali mengubah struktur pencatatan dalam APBD karena lahirnya pedoman yang baru ini. Adanya pergantian pedoman dalam waktu yang relatif cepat tersebut tentunya akan menyulitkan analisis untuk menggunakan standar yang tepat dalam menilai perkembangan manajemen desentralisasi fiskal. Implikasi lebih jauh, pergantian pedoman dalam waktu yang cepat akan membingungkan pemerintah daerah serta tentunya tidak tanpa biaya. Berdasarkan kondisi ini, maka pemerintah perlu menjamin bahwa penggunaan pedoman pengelolaan APBD tersebut akan digunakan dalam waktu yang relatif lama sehingga analisis terhadap pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dapat dilakukan secara tepat karena menggunakan perbandingan data yang terstandarisasi. Implikasinya, dalam penyusunan pedoman, Pemerintah Pusat harus mempertimbangkan banyak hal dan bukan perbaikan pedoman yang bersifat temporer. Perkembangan dinamis dari pemerintahan daerah harus seoptimal mungkin dipertimbangkan sehingga pedoman pengelolaan APBD dapat digunakan daerah dalam waktu yang relatif panjang. b.5 Peran DPD dalam hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah Permasalahan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia semakin meningkat kompleksitasnya seiring dengan peningkatan kewenangan dan jumlah dana yang ditransfer dari pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah. Kehadiran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) didasarkan pada amandemen UUD 1945 pada Pasal 22C dan 22D. Dalam amandemen UUD 1945 tersebut, DPD dapat mengajukan kepada DPR dan ikut membahas RUU serta mengawasi pelaksanaan yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. DPD juga dapat memberikan pertimbangan kepada DPR serta mengawasi pelaksanaan APBN serta RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. Urgensi peranan DPD menjadi penting mengingat setiap provinsi diwakili oleh empat orang perwakilannya dalam keanggotaan DPD sehingga akan memberikan proses politik yang menunjukkan keterwakilan kepentingan daerah yang merata. Kontrol ini menjadi penting untuk menjamin agar proses pembangunan daerah dan sinkron dengan kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat juga dapat memperhatikan kepentingan pemerintahan daerah dalam pengambilan kebijakan. Komunikasi dan koordinasi antar pemerintah pusat dan pemerintahan daerah menjadi penting untuk mencapai tujuan pembangunan nasional. 76

Berkaitan dengan dana perimbangan, hal ini berkaitan dengan besaran anggaran APBN yang didaerahkan. Data memperlihatkan bahwa belanja daerah ini semakin meningkat dari tahun ke tahun. Implikasinya, proses alokasi dana ini menjadi meningkat kandungan politisnya. Padahal, sebagian besar belanja daerah tersebut haruslah dialokasikan berdasarkan pertimbangan pemerataan pembangunan antar daerah. Sulit menjamin bahwa proses alokasi akan tercapai jika tidak dikontrol oleh pihak yang tidak semua daerah diwakili kepentingannya. Jumlah perkembangan alokasi belanja daerah dalam APBN tersebut dapat diperlihatkan pada tabel berikut ini: Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net Tabel: 12 Perkembangan Jumlah Belanja ke Daerah dalam APBN, 2004 2007 (Rp Milyar)

Seperti diketahui, pagu belanja daerah dalam APBN ditetapkan bersama oleh panitia anggaran eksekutif dan legislatif dalam hal ini anggota DPR RI. Besaran pagu belanja daerah tersebut kemudian dialokasikan pada masing-masing pemerintah daerah berdasarkan formula tertentu. Alokasi dana belanja daerah ke masing-masing daerah merupakan hasil kesepakatan antara Panitia Kerja Belanja Daerah DPR RI dan Pemerintah. Implikasinya, secara implisit, DPR RI ikut menetapkan dana perimbangan kepada masing-masing daerah. Padahal, penetapan alokasi Dana Alokasi Umum dilakukan berdasarkan Peraturan Presiden sedangkan alokasi dana perimbangan yang lain ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Panitia kerja tersebut tidaklah mewakili pemerintah daerah secara merata antar daerah sehingga akan sangat sulit menjamin bahwa proses alokasi dana perimbangan dapat dilakukan secara adil, transparan dan mempertimbangkan kesenjangan fiskal setiap daerah.

77

Agar dapat terjadi proses politik yang lebih berimbang kekuatannya antar daerah, sudah selayaknyalah anggota DPD RI diajak untuk memberikan pendapat dalam proses alokasi dana perimbangan kepada masing-masing daerah. Lebih jauh, dalam penetapan alokasi dana perimbangan kepada masing-masing daerah DPD RI ikut menyepakati hal tersebut. Anggota DPD secara nyata merupakan keterwakilan masyarakat di daerah karena dipilih langsung melalui Pemilihan Umum. Dengan mengasumsikan bahwa setiap anggota DPD RI akan membela kepentingan daerahnya, maka proses penetapan dana perimbangan kepada masing-masing daerah merupakan proses politik yang sempurna. Gambaran usulan mekanisme pembahasan alokasi dana belanja daerah dalam APBN kepada masing-masing pemerintah daerah tersebut dapat ditunjukkan pada Gambar 14 berikut ini:

78

Gambar: 14 Peranan DPD RI tentunya tidak terbatas pada pembahasan alokasi dana pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. DPD juga dapat berperan dalam mempertimbangkan aspek daerah dalam setiap kegiatan di departemen teknis baik dalam bentuk dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan seperti yang dinyatakan pada bagian awal bab ini. Selain itu, DPD dapat berperan dalam menjembatani kepentingan daerah dan pemerintah pusat untuk mencapai tujuan pembangunan nasional. c.Solusi c.1 Tentang Dana Konsentrasi dan Tugas Pembantuan Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan dan beberapa rekomendasi kebijakan berkaitan dengan manajemen dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yaitu: 1). Terdapat permasalahan manajemen dana dekonsentrasi berkaitan dengan pemisahan terpisah dari dana yang dibiayai oleh APBN dan APBD seperti yang dinyatakan dalam Pasal 155 UU No.32/2004. Pengaturan ini harus ditambah dengan pernyataan bahwa Gubernur juga harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan dekonsentrasi tersebut kepada DPRD. Seperti diketahui, ketentuan yang berlaku saat ini hanya bersifat melaporkan dan tidak diimplementasikan secara efektif mengingat alokasi dana. Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan ditetapkan kepada masing-masing provinsi setelah APBD ditetapkan. Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia..parlemen.net 2). Pengaturan perundang-undangan di bawah undang-undang juga harus secara tegas menyatakan kapan batas akhir dari pemerintah pusat menetapkan alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan kepada masing-masing daerah. Batas waktu ini hendaknya seiring dengan penetapan dana perimbangan kepada setiap daerah. Waktu penetapan ini hendaknya seiring dengan periode pembahasan APBD tahun anggaran berikutnya dengan rentang waktu yang masuk akal untuk memperoleh APBD yang berkualitas. 3). Pemerintah pusat juga harus memperbaiki pengaturan perundang-undangan mengenai pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan

79

pemerintahan daerah. Penegasan tentang pembagian kewenangan ini akan memberikan dasar yang lebih transparan dalam pengalokasian dana dekonsentrasi. 4). Berkaitan dengan formula alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan, pemerintah pusat juga harus mempertimbangkan bahwa formula tersebut memiliki aspek pemerataan fiskal antar daerah. c.2 Tentang DAK Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat sejumlah hal yang harus diperbaiki dalam manajemen alokasi DAK. Hal ini mengingat adanya keinginan dari pemerintah untuk mengubah bentuk kebijakan Dana Dekonsentrasi menjadi DAK, seiring dengan peningkatan signifikan dari besaran alokasinya. Meskipun DAK diatur secara terbatas dalam UU No.32/2004, namun dalam pembahasan revisi UU ini seharusnya memberikan masukan yang besar bagi implementasi formulasi DAK pada peraturan perundangundangan lainnya. Usulan perbaikan kebijakan manajemen alokasi DAK tersebut antara lain: 1). Memberikan batasan terhadap kriteria khusus sehingga bukan merupakan sesuatu kriteria yang mudah diperbesar sehingga tidak menyebabkan proses politik yang tidak transparan. 2). Proses alokasi DAK juga harus mempertimbangkan agar tidak ada daerah dengan kemampuan fiskal yang tinggi memperoleh DAK sehingga memperburuk kemampuan fiskal antar daerah. 3). Proses perhitungan DAK juga memerlukan penjelasan pada peraturan yang bersifat teknis secara transparan. Misalnya, bagaimana proses perhitungan indikator setiap kriteria khusus dan teknis, penentuan Indeks Karakteristik Wilayah, dan Indeks Fiskal Wilayah. Proses perhitungan yang transparan akan meningkatkan kredibilitas dari proses alokasi DAK. 4). Pemerintah juga perlu menerbitkan data dasar yang digunakan dalam proses alokasi DAK untuk kepentingan tranparansi dalam proses penyalurannya. c.3 Tentang DAU Meskipun DAU diatur secara terbatas dalam UU No.32/2004, namun dalam pembahasan revisi UU ini seharusnya memberikan masukan yang besar bagi implementasi formulasi DAU pada peraturan perundang-undangan lainnya. Usulan perbaikan kebijakan manajemen alokasi DAU tersebut antara lain: 1). Pemerintah pusat penting mengkategorikan indeks-indeks kebutuhan fiskal dalam kategori utama yaitu Indikator Kependudukan dan Kewilayahan serta menggunakan skenario predetermined untuk menetapkan bobot setiap indikator. 2). Penting pula dinyatakan bobot minimal setiap indeks serta kelipatan nilai setiap indeks dalam penentuan kebutuhan fiskal. 3). Pemerintah perlu mempublikasikan data dasar sebelum alokasi DAU ditetapkan. Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net. 4.2 Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) 80

Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, berdasarkan pasal 15 ayat 1 PP RI Nomor 105 Tahun 2000, Struktur APBD merupakan satu kesatuan, yang terdiri dari: Pendapatan Daerah, Belanja Daerah dan Pembiayaan. Anggaran daerah pada hakekatnya merupakan salah satu alat untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Jadi APBD adalah merupakan rencana kerja pemerintah daerah dalam satu tahun dalam bentuk uang (Bastian, 2001). Pada pos anggran pendapatan jumlah-jumlah yang tertera merupakan jumlah minimal yang harus dicapai (target minimal) sedang pada pos anggaran belanja jumlah yang tertera adalah merupakan batasan tertinggi dalam pengeluaran-pengeluaran. APBD merupakan perangkaan yang masih merupakan perkiraan, sedangkan pelaksanaanya harus didukung dengan adanya dana yang nyata dan riil. Dengan demikian APBD yang disusun harus benar-benar dapat mencerminkan kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan potensi dan keanekaragaman yang dimiliki setiap daerah. Asas Umum Pengelolaan Keuangan Daerah, asas umum pengelolaan keuangan daerah pasal 4 PP RI No. 105 tahun 2000 tentang pengelolaan dan tanggung jawab keuangan daerah adalah sebagai berikut Pengelolaan Keuangan Daerah dilakukan secara tertib, taat pada Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, efisiensi, efektif, dan transparan dan tanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatuhan. Implikasi dari pasal tersebut adalah pelaksanaan anggaran saja, tetapi juga pada pertangungjawaban keuangan daerah. Prinsip dan Asas Anggaran Menurut Bastian (2001:18), prinsip dan asas anggaran dalam menyusun APBD adalah: 1. Asas Alokasi dan Distribusi yang Adil; Dalam menyusun anggaran harus memperhatikan efisiensi alokasi dan efektifitas distribusi sebagai macam kegiatan secara adil untuk mencapai tujuan sasaran yang jelas. Dengan demikian, maka perlu disusun suatu skenario anggaran yang dimiliki kekuatan untuk memprioritaskan pembangunan (alokasi) dan pembagian hasil pembangunan (distribusi secara adil). 2. Alokasi Partisipasi (keterlibatan masyarakat) Secara Simultan Keteribatan masyarakat dalam menyusun program pembangunan secara simultan sangat penting dalam penyusunan anggaran. Usulan kegiatan dari masyarakat (lintas kultural, Agama, dan gender) dapat disatukan oleh institusi musyawarah pembangunan desa dan kelurahan. Selanjutnya dilakukan rekap pada tingkat kecamatan dan selanjutnya diinvestarisir pada tingkat kabupaten. Prinsip Bootom up ini akan menjadikan anggaran pembangunan memilki legimasi yang kuat dari masyarakat karena mempunyai semangat akuntabilitas. Selain itu, perlu diperhatikan bahwa penyusunan anggaran harus mampu menarik perhatian masyarakat dan swasta untuk terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Pengelolaan yang demikian akan melibatkan pihak masyarakat secara transparan dan kompetitif, sehingga pengelolaan keuangan daerah akan benar-benar bertumpu pada kekuatan publik. 3. Transparasi dan Akuntabilitas Anggaran Transparasi tentang Anggaran Daerah merupakan salah satu persyaratan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan bertanggungjawab, maka APBD 81

harus dapat memberikan informasi yang jelas tentang tujuan, sasaran, hasil dan manfaat dengan yang diperoleh masyarakat dari satu kegiatan atau proyek yang dianggarkan. Maka perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan proyek dan kegiatan harus dilaksanakan secara terbuka dapat dipertanggungjawabkan secara teknis maupun ekonomis kepada pihak legislatif, masyarakat maupun pihak-pihak independen yang memerlukan. 4. Disiplin dan Tertib Anggaran APBD disusun dengan berorientasi pada kebutuhan masyarakat tanpa harus meninggalkan keseimbangan antara pembiayaan penyelenggaraan pemerintah, pembangunan dan pelayanan masyarakat, kemudian anggaran yang disusun harus diperlukan berlandaskan asas efisiensi, tepat guna, tepat waktu, dan dapat dipertanggungjawabkan. Jadi tertib anggaran adalah bahwa dalam proses penyusunan anggaran harus berdasarkan pada ketentuan/peraturan yang berlaku sehingga terdapat suatu keseragaman proses penyusunan. Tertib anggaran juga bertujuan agar anggaran daerah (APBD) memiliki sinergi dengan anggaran pendapatan (APBN) yang pada akhirnya akan memunculkan suatu informasi tentang sumber daya ekonomi yang dimiliki oleh negara dan daerah. 5. Keadilan Anggaran Keadilan merupakan salah satu misi utama yang diemban pemerintah daerah dalam melakukan berbagai kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan anggaran daerah. Sehingga pelayanan umum akan meningkat dan kesempatan kerja juga akan makin bertambah apabila fungsi alokasi dan distribusi dalam pengelolaan telah dilakukan dengan benar, baik melalui alokasi belanja maupun mekanisme perpajakan serta retribusi yang lebih adil dan transparan. Hal tersebut mengharuskan pemerintah daerah untuk merasionalkan pengeluran atau belanja secara adil untuk dapat dinikmati hasilnya secara proporsional oleh para wajib pajak, retribusi maupun masyarakat luas. 6. Efisiensi dan Efektifitas Anggaran Dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan baik untuk dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maskimal yang mengacu pada kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, untuk dapat mengendalikan tingkat efisiensi dan efektifitas anggaran, maka dalam perencanaan perlu ditetapkan secara jelas tujuan, sasaran, hasil dan manfaat yang akan diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan atau proyek yang diprogramkan. 7. Format Anggaran Pada dasarnya APBD disusun berdasarkan format anggaran surplus defisit (deficit budget format). Selisih antara pendapatan dan belanja mengakibatkan terjadinya surplus defisit, dapat ditutupi melalui sumber pembiayaan pinjaman dan atau terjadi difisit, dapat ditutupi melalui sumber pembiayaan pinjaman dan atau penerbitan obligasi daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 8. Anggaran Disusun dengan Pendekatan Pertanggungjawaban Sementara Analisis Pelaksanaan Dengan Pendekatan Hasil Pertanggungjawaban yang dimaksud adalah pertanggungjawaban berupa laporan keuangan daerah yang terdiri dari Neraca (Lap. Posisi Keuangan) daerah, Lap 82

Surplus/Defisif (Laporangn Kenerja Keuangan), Laporan Aktivitas/Ekuitas Netto dan Laporan Arus Kas. Analisa pelaksanaan APBD dilakukan dengan orientasi hasil yang diperoleh. Artinya proses pelaksanaan APBD tidak hanya ditinjau dari habis tidaknya dana yang dianggarkan melainkan pada outcome yang diukur melalui analisa prestasi sinergi antar unit kerja di pemerintah daerah. 9. Struktur APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari: 1. Pendapatan daerah; 2. Belanja daerah; 3. Pembiayaan daerah. Selisih antara anggaran pendapatan daerah dengan anggaran belanja daerah mengakibatkan terjadinya surplus atau defisit APBD. Surplus anggaran terjadi apabila anggaran pendapatan daerah diperkirakan lebih besar dari anggaran belanja daerah. Dalam hal ini APBD diperkirakan surplus, diutamakan untuk pembayaran pook utang, penyertaan modal (investasi) daerah, pemberiaan pinjaman kepada pemerintah pusat/daerah. Transfer ke dana cadangan dan sisa lebih tahun anggaran berjalan. Defisit Anggaran terjadi apabila anggaran pendapatan daerah diperkirakan lebih kecil dari anggaran belanja daerah. Dalam hal APBD diperkirakan defisit, ditetapkan pembiayaan untuk menutup defisit tersebut yang diantarannya bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran. Penggunaan dana cadangan penerimaan pinjaman hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan dan penerimaan kembali pemberian pinjaman atau penerimaan piutang.

Tabel: 13 Berdasarkan uraian tersebut Struktur APBD adalah sebagai berikut : I. II. Pendapatan Belanja Surplus/ Defisit III Pembiayaan Defisit STRUKTUR APBD xxx xxx (-) xxx +/Penerimaan Pembiayaan - Sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu; 83

Surplus

Penggunaan dana cadangan; Penerimaan pinjaman; Hasil penjualan Aset daerah yang dipisahkan; Penerimaan kembali pemberian pinjaman atau penerimaan piutang.

Pengeluaran pembiayaan - Transfer ke dana cadangan - Penyertaan modal - Pembayaran hutang jatuh tempo - Pemberian pinjaman - Sisa lebih tahun berjalan

4.3 Pendapatan Daerah Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui Rekening Kas Umum Daerah, yang menambah ekuitas dana lancar, yang merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Pendapatan daerah dari: a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) b. Dana Perimbangan; c. Lain-lain pendapatan daerah yang sah. Pendapatan Asli Daerah merupakan pendapatan daerah yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah. Hasil pengelolaan kekayaan daerah dipisahkan, dan lainlain pendapatan asli daerah yang sah. Dana perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu daerah dalam mendanai kewenangannya. Juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintah antara pusat dan daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintah antar daerah sehingga merupakan sistem transfer dana dari pemerintah. Lain-lain pendapatan daerah yang sah adalah pendapatan yang diterima seperti pendapatan hibah, dana darurat, dana bagi hasil dari provinsi dana penyesuaian dari otonomi khusus dan bantuan keuangan dari provinsi dan pemerintah daerah lain. 1. Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disingkat PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. PAD yang merupakan sumber penerimaan daerah sendiri perlu terus ditingkatkan agar dapat menanggung sebagian beban belanja yang diperluaskan untuk penyelenggaraan pemerintah dan kegiatan pembangunan yang setiap tahun meningkat sehingga kemandirian otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab dapat dilaksanakan. Sebagaimana diatur dalam pasal 6 Undang-undang Nomor 84

33 Tahun 2004, tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyatakan sumber-sumber PAD terdiri dari: a.1 Pajak Daerah; a.2 Retribusi Daerah; a.3 Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; a.4 Lain-lain PAD yang sah. Penjelasan a.1, a.2, a.3, a.4 yaitu : Pajak dan Retribusi Pajak dan Retribusi dasar pemungutan berdasarkan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Aturan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 pajak yang dipungut pemerintah provinsi berbeda obyeknya dengan pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota. Adapun jenis pajak yang dikelola/ dipungut oleh pemerintah provinsi sebanyak 4 jenis yang terdiri dari: 1. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; 2. Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; 3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; 4. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air diserahkan kepada daerah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan paling sedikit 30% (tiga puluh persen). Hasil penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan diserahkan kepada daerah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan paling sedikit 70% (tujuh puluh persen).Bagi hasil pajak untuk kabupaten/kota ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Daerah Provinsi dengan memperhatikan aspek pemerataan dan potensi. Jenis-jenis pajak yang dikelola/dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota adalah sebagai berikut: 1. Pajak Hotel; 2. Pajak Restoran; 3. Pajak Hiburan 4. Pajak Reklame 5. Pajak Penerangan Jalan 6. Pajak Pengambilan dan Pengelolaan Bahan Galian C 7. Pajak Parkir Selain jenis pajak tersebut dengan Peraturan Daerah Pemerintah kabupaten/kota dapat ditetapkan jenis pajak lainnya sesuai kriteria yang ditetapkan dalam undang-undang. Penetapan jenis pajak lainnya harus benarbenar bersifat spesifik dan potensial didaerah. 85

Piutang pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kadaluwarsa dapat dihapuskan. Tata cara penghapusan piutang pajak yang sudah kadaluwarsa diatur dengan Peraturan Daerah. Retribusi daerah yang selanjutnya disebut retribusi sebagai mana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Jenis-jenis Retribusi jasa Umum adalah: a. Retribusi Pelayanan Jasa Umum; b. Retribusi Pelayanan Kesehatan; c. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akte Catatan Sipil; d. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat; e. Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum; f. Retribusi Pelayanan Pasar; g. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor. h. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran; i. Retribusi Penggantian Baiaya Cetak Peta; j. Retribusi Pengujian Kapal Perikanan. Retribusi Jasa Usaha adalah pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial, karena pada dasarnya jasa tersebut dapat disediakan oleh swasta yang meliputi pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan daerah yang belum dimanfaatkan secara normal. Jenis-jenis retribusi jasa usaha adalah: a. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah; b. Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan; c. Retribusi tempat Pelelangan; d. Retribusi terminal; e. Retribusi Tempat Usaha Parkir; f. Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa; g. Retribusi Penyedotan Kakus; h. Retribusi Rumah Potong Hewan; i. Retribusi Pelayanan Pelabuhan Kapal; j. Retribusi Tempat Rekreasi dan Olah Raga; k. Retribusi Penyeberangan di Atas Air; l. Retribusi Pengelolaan Limbah Cair; m. Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah. Retribusi perizinan tertentu adalah retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan. Pengaturan pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana dan sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Jenis-jenis retribusi perizinan tertentu adalah: 86

a. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan; b. Retribusi izin Tempat penjualan Minuman Berakohol; c. Retribusi Izin Ganggunan; d. Retribusi Izin Trayek. Jenis retribusi jasa umum dan retribusi perizinan tertentu untuk daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota ditetapkan sesuai dengan kewenangan masing-masing daerah sebagaimana diatur dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sedang jenis retribusi jasa usaha, untuk daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota ditetapkan sesuai dengan jasa/pelayanan yang diberikan oleh masing-masing daerah. Selain jenis retribusi yang telah disebutkan diatas dengan Peraturan Daerah dapat ditetapkan jenis retribusi lainnya sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam undang-undang Piutang retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kadaluwarsa dapat dihapuskan melalui keputusan kepala daerah. Tata cara penghapusan piutang retribusi yang sudah kadaluarsa diatur dengan Peraturan Daerah. Sehubungan pemungutan pajak dan retribusi daerah hal yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah daerah sesuai dengan amanat pasal 7 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyatakan dalam upaya meningkatkan PAD. Menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi, menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah dan kegiatan import/ eksport. Peraturan daerah tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi adalah peraturan daerah yang mengatur pengenaan pajak dan retribusi oleh daerah terhadap obyek-obyek yang telah dikenakan pajak oleh pajak pusat, sehingga menyebabkan menurunnya daya saing daerah. Contoh pungutan yang dapat menghambat kelancaran mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah kegiatan import/eksport antara lain adalah retribusi izin masuk kota. Pajak/retribusi atas pengeluaran/pengiriman barang dari satu daerah ke daerah lain. Kewenangan SKPD melakukan pemungutan pendapatan asli daerah sesuai dengan pasal 10 Undang-undang Nomor 17 tentang Keuangan Negara. Pasal 7 ayat 2 huruf (e) dan pasal 10 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 58 Tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah. Dan Pasal 7 Ayat (2) huruf (e) dan Pasal 10 huruf (f) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah menyatakan pemungutan pajak dilakukakan oleh pejabat Pengelolaan Keuangan Daerah sehingga pasal tersebut mengisyaratkan penggabungan dari Keuangan/Bagian Keuangan dengan Dinas Pendapatan Daerah kedalam Badan Pengelolaan Keuangan Daerah sedang retribusi dilakukan oleh SKPD lainnya sebagai penguna anggaran. 5. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah. Jenis hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan terdiri dari: 87

a. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD; b. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/BUMD; c. Agen laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarkat. Jenis lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, disediakan untuk menggambarkan penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam jenis pajak daerah, retribusi daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan mencakup: a. Hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan; b. Hasil pemanfatan atau pendayagunaan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; c. Jasa giro; d. Bunga deposito; e. Penerimaan atas tuntutan ganti rugi; f. Penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah serta keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; g. Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan; h. Pendapatan denda pajak dan denda retribusi; i. Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan; j. Pendapatan dari pengembalian; k. Fasilitas sosial dan fasilitas umum; l. Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan m. Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan. 2. Dana Perimbangan

Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari Pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi bertujuan untuk menciptakan keseimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sebagaimana diatur dalam pasal 10 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyatakan dana perimbangan terdiri atas: 1. Dana Bagi Hasil; 2. Dana Alokasi Umum; 3. Dana Alokasi Khusus. Dana perimbangan yang terdiri atas 3 (tiga) jenis sumber dana, merupakan pendanaan pelaksanaan desenralisasi yang alokasinya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain karena masing-masing jenis dana perimbangan tersebut saling mengisi dan melengkapi. Pencantuman dana perimbangan dalam APBN dimaksudkan untuk memberikan kepastian pendanaan bagi daerah. Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari APBN yang dibagihasilkan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu dengan memperhatikan potensi daerah 88

penghasil. Dana bagi hasil terdiri dari dana bagi hasil bersumber dari pajak dan dana bagi hasil sumber daya alam. Dana bagi Hasil yang bersumber dari pajak terdiri atas: 1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); 2. Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB); 3. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang pribadi dalam negeri dan PPH Pasal 21; Dana bagi hasil yang Bersumber Daya Alam berasal dari: a. Kehutanan; b. Pertambangan Umum; c. Perikanan; d. Pertambangan minyak bumi; e. Pertambangan gas bumi; f. Pertambangan Panas Bumi. DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan antar daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. DAU suatu daerah ditentukan atas dasar kecilnya celah fiskal (Fiscal Gap) suatu daerah. Yang merupakan selisih antara kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah (Fiscal capacity). Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif Kecil. Sebaliknya daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alkasi DAU relatif besar. Secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal. DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah.

3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah. Lain-lain pendapatan daerah yang sah mencakup: a. Hibah/bantuan dari pemerintah, pemerintah daerah lainnya, badan lembaga/ organisasi swasta dalam negeri, kelompok masyarakat/perorangan, dan lembaga luar negeri yang tidak mengikat; b. Dana darurat dari pemerintah dalam rangka penanggulangan korban/kerusakan akibat bencana alam dan krisis solvabilitas; c. Dana bagi hasil pajak dari provinsi kepada kabupaten/kota; d. Dana penyesuaian dan dana otonomi khusus yang ditetapkan oleh pemerintah; e. Bantuan keuangan dari provinsi atau dari pemerintah daerah lainnya. 4. Belanja Daerah

89

Belanja daerah meliputi semua pengeluaran dari rekening Kas Umum Daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah. Belanja daerah diklasifikasikan menurut: a. Fungsi; b. Organisasi; c. Program; d. Kegiatan; e. Kelompok belanja; f. Jenis belanja. Klasifikasi menurut fungsi adalah klasifikasi yang didasarkan pada fungsi-fungsi utama pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan kepada msyarakat. Klasifikasi belanja menurut Fungi terdari dari: Klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan yang bersifat wajib dan urusan bersifat pilihan yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Klasifikasi fungsi pengelolaan keuangan negara Klasifikasi belanja menurut urusan wajib, urusan pilihan dan fungsi pengelolaan keuangan negara. Yang dimaksud dengan urusan wajib adalah urusan yang sangat mendasar yang berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar kepada masyarakat yang wajib diselenggarakan oleh pemerintah daerah diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan palayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem sosial. Yang dimaksud dengan urusan yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintah yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, keabsahan, dan potensi keunggulan daerah yang bersangkutan, antara lain pertambangan, perikanan, pertanian, perkebunan, kehutanan dan pariwisata. Secara rinci klasifikasi belanja menurut urusan wajib, urusan pilihan dan fungsi pengelolaan keuangan negara adalah sebagai berikut: Klasifikasi belanja menurut urusan wajib mencakup: Pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan rakyat, penataan ruang, perencanaan pembangunan, perhubungan, lingkungan hidup, pertanahan, kependudukan dan catatan sipil, pemberdayaan perempuan, keluarga berencana dan keluarga sejahtera, sosial, tenaga kerja, koperasi usaha kecil dan menengah, penanaman modal, kebudayaan, pemuda dan olah raga, kesatuan bangsa dan politik dalam negeri, pemerintahan umum, kepegawaian, pemberdayaan masyarakat dan desa, statistik, arsip, komunikasi dan informatika. Klasifikasi belanja menurut urusan pilihan mencakup Pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, pariwisata, kelautan dan perikanan, perdagangan, perindustrian dan transmigrasi.

90

Klasifikasi belanja menurut fungsi pengelolaan keuangan negara adalah sebagai berikut. Pelayanan, ketertiban dan ketentraman, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, agama, pendidikan, serta perlindungan sosial. Klasifikasi belanja menurut organisasi, program dan kegiatan Yang dimaksud dengan klasifikasi belanja menurut organisasi pemerintah daerah seperti Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD. Dinas, Badan. Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan dan Kelurahan disesuaikan dengan susunan organisasi pemerintah daerah. Sedang klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan dengan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan daerah berdasarkan organisasi pemerintah. Program adalah : instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi pemeritah/lembaga atau masyarakat yang dikoordinasikan oleh isntansi pemerintah untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi anggaran. Kegiatan adalah : bagian dari program yang dilaksanakan oleh suatu atau beberapa satuan kerja, sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu program dan terdiri dari sekumpulan tindakan pengarahan sumber daya, baik yang berupa personil (SDM) barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana atau kombinasi dari beberapa atau semua jenis sumber daya tersebut sebagai masukan (input) untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk barang/jasa. Kelompok belanja dan jenis belanja Untuk memudahkan penilaian kewajaran biaya suatu program atau kegiatan, belanja pada setiap SKPD diklasifikasikan berdasarkan kelompok belanja yaitu: 1. Belanja Tidak Langsung; 2. Belanja Langsung. Pengelompokan belanja tersebut selain untuk mempermudah penilaian ewajaran biaya suatu program dan kegiatan, juga untuk menilai capaian kinerja setiap SKPD sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Belanja Tidak Langsung : adalah belanja yang penganggarannya tidak dipengaruhi secara langsung oleh adanya usulan program atau kegiatan. Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan setiap bulan dalam satu tahun anggaran sebagai konsekuensi dari kewajiban pemerintah daerah secara periodik pegawai yang bersifat tetap (pembayaran gaji dan tunjangan) dan/atau kewajiban untuk pengeluaran belanja lainnya yang umum diperlukan secara periodik. Karakteristik belanja tidak langsung antara lain sebagai berikut: Dianggarkan setiap bulan dalam satu tahun (bukan untuk setiap program atau kegiatan) oleh masing-masing SKPD; Jumlah anggaran belanja tidak langsung sulit diukur atau sulit dibandingkan secara langsung dengan output program atau kegiatan tertentu. Kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari: a. Belanja pegawai; b. Belanja bunga; c. Belanja subsidi d. Belanja hibah; 91

Belanja bantuan sosial; Belanja bagi hasil; Bantuan keuangan, dan Belanja tidak terduga. Belanja Pegawai. Merupakan belanja kompensasi, dalam bentuk gaji dan tunjangan, serta penghasilan lainnya yang diberikan kepada PNS yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, termasuk dalam pengertian tersebut uang representasi dan tunjangan pimpinan dan anggota DPRD serta gaji dan tunjangan kepala daerah dan wakil kepala daerah serta penghasilan dan penerimaan lainnya yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dianggarkan dalam belanja pegawai. Selain penghasilan yang telah disebutkan sesuai pasal 63 ayat (2) Peraturan Pemerintah Pasal 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Pasal 39 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah menyatakan pemerintah daerah dapat memberikan tambahan penghasilan kepada PNS berdasarkan pertimbangan yang obyektif dengan memperhatikan kemampuan keuangan daerah dan memperoleh persetujuan DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tambahan penghasilan diberikan dalam rangka peningkatkan kesejahteraan pegawai berdasarkan beban kerja atau tempat bertugas atau kondisi kerja atau kelangkaan profesi atau prestasi kerja. Belanja Bunga digunakan untuk menganggarkan pembayaran bunga utang yang dihitung atas kewajiban pokok utang (principal outstanding) berdasarkan perjanjian pinjaman jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Belanja Subsidi digunakan untuk menganggarkan bantuan biaya produksi kepada perusahaan/lembaga tertentu yang menghasilkan produk atau jasa pelayanan umum masyarakat agar harga jual produksi/jasa yang dihasilkan dapat terjangkau oleh masyarakat banyak. Perusahaan/lembaga penerimaan belanja subsidi harus terlebih dahulu dilakukan audit sesuai dengan ketentuan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dan wajib kepada kepala daerah. Peraturan pelaksanaan penganggaran belanja subsidi dituangkan dalam peraturan kepala daerah. Belanja Hibah digunakan untuk menganggarkan pemberian hibah dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa kepada pemerintah yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat/perorangan yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya. Bantuan Sosial digunakan untuk menggambarkan pemberian bantuan dalam bentuk uang dan/atau barang kepada masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bantuan sosial diberikan tidak secara terus menerus/tidak berulang setiap tahun anggaran. Selektif dan memiliki kejelasan peruntukan penggunaannya. Belanja bagi hasil digunakan untuk menggambarkan dana bagi hasil yang bersumber dari pendapatan provinsi kepada kabupaten/kota atau pendapatan kabupaten/kota kepada pemerintah desa atau pendapatan pemerintah daerah tertentu kepada pemerintah daerah lainnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Bantuan Keuangan digunakan untuk menganggarkan bantuan kabupaten/kota. pemerintah desa dan kepada pemerintah daerah lainnya atau dari pemerintah

e. f. g. h.

92

kabupaten/kota kepada pemerintah desa dan pemerintah daerah lainnya dalam rangka pemerataan dan/atau peningkatan kemampuan keuangan. Belanja tidak terduga merupakan belanja untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa atau tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam dan bantuan sosial yang tidak diperkirakan sebelumnya, termasuk pengembalian atas kelebihan penerimaan daerah tahun-tahun sebelumnya yang telah ditutup. Penganggaran belanja tidak langsung dan belanja tidak terduga sebagaimana diatur pada pasal 97 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah menyatakan belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, dan belanja bantuan keuangan, serta belanja tidak terduga hanya dianggarkan dalam RKA SKPD pada Satuan Kerja Pengelolaan Keuangan Daerah (SKPD), sehingga pada SKPD lainnya dalam RKA SKPD untuk belanja tidak langsung, hanya menganggarkan belanja pegawai. Belanja Langsung adalah belanja yang penganggarannya dipengaruhi secara langsung oleh adanya program atau kegiatan. Karakteristik belanja langsung adalah sebagai berikut: Dianggarkan untuk setiap program atau kegiatan yang diusulkan; Jumlah anggaran belanja langsung suatu program atau kegiatan dapat diukur atau dibandingkan secara langsung dengan output program atau kegiatan yang bersangkutan. Valiabilitas jumlah setiap jenis belanja langsung dipengaruhi oleh target kinerja atau tingkat pencapaian yang diharapkan dari program atau kegiatan yang bersangkutan. Kelompok belanja langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari: a. Belanja pegawai; b. Belanja barang dan jasa, dan c. Belanja modal. Belanja Pegawai digunakan untuk pengeluaran honorarium/upah dalam melaksanakan program dan kegaitan pemerintah daerah. Menurut konsep Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 pembayaran honorarium bagi pegawai honorer/pegawai tidak tetap dianggap merupakan bagian dari kegiatan. Dengan konsep tersebut pegawai honorer/pegawai tidak tetap adalah bagian dari kegiatan dilain pihak dalam prakteknya penerimaan pegawai honorer/pegawai tidak tetap dilaksanakan karena terbatasnya pegawai negeri khususnya daerah baru, sehingga apabila konsep tersebut diterapkan menimbulkan pertanyaan bagaimana dengan kegiatan yang waktu pelaksanaannya hanya 3 bulan atau 6 bulan apakah pegawai honorer dibayar sesuai dengan jangka waktu kegiatan. Belanja barang dan jasa digunakan untuk pengeluaran pembelian pengadaan barang yang nilai manfaatnya kurang dari 12 (dua belas) bulan dan/atau pemakaian jasa dalam melaksanakan programan pemerintah daerah. Pembelian/pengadaan barang dan/atau pemakaian jasa mencakup belanja barang pakai habis, bahan/material, jasa kantor, premi asuransi perawatan kendaraan bermotor, cetak/pengadaan, sewa rumah/ gedung/parkir, sewa sarana mobilitas, sewa alat berat, sewa perlengkapan dan peralatan kantor, makanan dan minuman, pakaian dinas dan atributnya, pakaian kerja, pakaian khusus dan hari-hari tertentu. Perjalanan dinas, perjalanan dinas pindah tugas dan pemulangan pegawai. Belanja Modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai 93

manfaat lebih dari 12 (duabelas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintah. Seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin. Gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan dan aset tetap lainnya. Nilai pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang dianggarkan dalam belanja modal hanya sebesar harga beli bangunan/ aset. Belanja honorarium panitia pengadaan dan administrasi pembelian/pembangunan untuk memperoleh setiap aset yang dianggarkan pada belanja modal dianggarkan pada belanja pegawai dan/atau belanja dan jasa. Belanja langsung yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja modal untuk melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah dianggarkan pada belanja SKPD berkenan. Pembiayaan Daerah Pembiayaan daerah meliputi semua transaksi keuangan untuk menutup defisif atau untuk memanfaatkan surplus, yang dirinci menurut urusan pemerintah daerah, organisasi, kelompok, jenis pembiayaan. Pembiayaan daerah terdiri dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan Penerimaan pembiayaan mencakup : a. Sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SILPA); b. Pencairan dan cadangan; c. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan; d. Penerimaan pinjaman daerah; e. Penerimaan kembali pemberian pinjaman dan f. Penerimaan piutang daerah. Pengeluaran Pembiayaan mencakup: a. Pembentukan dana cadangan; b. Penyertaan modal (investasi) pemerintah daerah; c. Pembayaran pokok utang dan d. Pemberian pinjaman daerah. Pembiayaan netto merupakan selisih antara penerimaan pembiayaan dengan pengeluaran pembiayaan. Jumlah pembiayaan netto harus dapat menutup defisit anggaran. Pembiayaan daerah hanya dianggarkan dalam RKA SKPD Satuan Kerja Pengelolaan Keuangan Daerah.
Tabel: 14 APBD Tahun 2007 Total Se-Provinsi Daerah Istimea Yogyakarta KODE DESKRIPSI 1 PENDAPATAN DAERAH 1.1 Pendapatan asli daerah 1.1.1 Pajak daerah 1.1.2 Retribusi daerah 1.1.3 Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan 1.1.4 Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah 1.2 Dana perimbangan

5.

(dalam jutaan rupiah) NILAI 3.984.313,22 716.508,69 482.649,57 146.541,48 34.310,60 53.007,04 3.086.911,75

94

1.2.1 1.2.2 1.2.3 1.2.4 1.3 1.3.1 1.3.2 1.3.3 1.3.4 1.3.5 1.3.6 2 2.1 2.1.1 2.1.2 2.1.3 2.1.4 2.1.5 2.1.6 2.1.7 2.1.8 2.1.9 2.2 2.2.1 2.2.2 2.2.3

Dana bagi hasil pajak/bagi hasil bukan pajak Dana alokasi umum Dana alokasi khusus Lain-lain Lain-lain pendapatan daerah yang sah Hibah Dana darurat Dana bagi hasil pajak dari Provinsi dan Pemda lainnya Dana penyesuaian dan otonomi khusus Bantuan keuangan dari Provinsi atau Pemda lainnya Lain-lain pendapatan daerah yang sah BELANJA DAERAH Belanja tidak langsung Belanja pegawai Belanja bunga Belanja subsidi Belanja hibah Belanja bantuan sosial Belanja bagi hasil kpd Prov/Kab/Kota dan Desa Belanja bantuan keuangan kpd Prov/Kab/Kota dan Desa Belanja tidak terduga Lain-lain Belanja langsung Belanja pegawai Belanja barang dan jasa Belanja modal Surplus/Defisit 3 PEMBIAYAAN DAERAH 3.1 Penerimaan pembiayaan 3.2 Pengeluaran pembiayaan Sumber: Ringkasan Buku APBD

206.587,75 2.704.390,00 175.934,00 0,00 180.892,78 4.686,48 0,00 128.888,20 21.500,00 8.318,10 17.500,00 4.284.827,51 2.671.205,12 2.038.851,60 1.220,29 6.920,76 1.159,50 207.350,46 169.108,64 159.613,89 86.979,97 0,00 1.613.622,39 314.902,83 701.981,44 596.738,13 -300.514,29 307.325,81 373.721,86 66.396,05

95

BAB V Statistik Keuangan Daerah 5.1 Gambaran Umum

Penyelenggaraan pemerintah daerah sebagai sub sistem pemerintah negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah dinyatakan bahwa penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional. Pemberiaan wewenang ini diwujudkan dengan pengaturan pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional dan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Prinsip dasar pemberian otonomi didasarkan atas pertimbangan bahwa daerahlah yang lebih mengetahui kebutuhan dan standar pelayanan bagi masyarakat didaerahnya. Atas dasar pertimbangan ini, maka pemberian otonomi diharapkan akan lebih mampu memacu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat pada akhirnya. Tujuan otonomi daerah menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa, dan peran aktif masyarakat serta peningkatan pendayagunaan potensi daerah secara optimal. Pelaksanaan otonomi daerah dilakukan dengan memenuhi azas desentralisasi, dekonsentralisasi dan tugas perbantuan penyelenggaraan tugas perbantuan. Penyelenggaraan tugas-tugas desentralisasi semakin berkembang sejalan dengan tuntutan pelaksanaan tugas pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Agar daerah dapat mengurus dan mengatur rumahtangganya sendiri dengan sebaik-baiknya, maka perlu memiliki sumber pembiayaan yang cukup. Wujud otonomi daerah dengan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab menuntut pemerintah daerah agar dapat meningkatkan penerimaan dan mengoptimalkan pengeluaran. Peranan pemerintah daerah dalam menggali dan mengembangkan berbagai potensi daerah akan sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas pemerintah, pembangunan dan pelayanan masyarakat di daerah. Selanjutnya, berkaitan dengan hakekat otonomi daerah yaitu yang berkenaan dengan pelimpahan wewenang pengambilan kebijakan, pengelolaan dana publik dan pengaturan kegiatan dalam rangka penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan masyarakat, maka peranan data keuangan daerah sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi sumber-sumber pembiayaan daerah serta jenis dan besar belanja yang harus dikeluarkan agar perencanaan keuangan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Karena data statistik keuangan daerah dapat memberikan gambaran perkembangan anggaran dan realisasi, baik penerimaan maupun pengeluaran dan analisanya yang merupakan informasi penting terutama untuk membuat kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah dan melihat kemampuan atau tingkat kemandirian daerah.

96

Tabel: 15 Luas Wilayah, Realisasi Pendapatan dan Belanja Pemerintah Provinsi DIY dan Kabupaten/ Kota di Provinsi DIY tahun 2006 Pemerintah Luas Realisasi Realisasi Rasio Daerah Wilayah Pendapatan Belanja Pendapatan (Km) (Juta Rupiah) (juta Rupiah) Terhadap (1) (2) (3) (4) (5) Provinsi 3.185,80 881.144,85 850.630,25 1,0359 D.I. Yogyakarta Kab. Kulonprogo 586,27 448.371,80 458.909,86 0,9770 Kab. Bantul 506,85 599.619,65 545.132,14 1,1000 Kab. 1.485,36 527.352,23 503.624,61 1,0471 Gunungkidul Kab. Sleman 574,82 702.929,58 609.765,41 1,1528 Kota Yogyakarta 32,50 519.022,24 496.768. 1,0448 Dari tabel tersebut dapat kita amati, rasio pendapatan/penerimaan daerah terhadap seluruh belanja yang dikeluarkan untuk Provinsi DI. Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Sleman, dan Kota Yogyakarta lebih dari 1, hal ini berarti bahwa realisasi pendapatan yang diperoleh pada tahun 2006 dapat mencukupi kebutuhan belanja daerah. Provinsi D.I. Yogyakarta dengan luas wilayah 3.185,80 Km, jumlah pendapatan yang diterima pada tahun 2006 sebesar 881,1 milyar rupiah. Sedangkan total pembelanjaan Pemerintah Provinsi DIY sebesar 850,6 milyar rupiah. Dengan demikian pada tahun 2006 Pemerintah Provinsi DIY ada surplus keuangan sekitar 3,59 persen dari pendapatan yang diterima. Realisasi pendapatan daerah kabupaten/kota tahun 2006, yang terendah di Kabupaten Kulonprogo. Dengan luas wilayah 586,27 km dan jumlah penduduk 374,112 jiwa, realisasi pendapatan 448,4 milyar ternyata belum mencukupi kebutuhan belanjanya, atau dengan kata lain mengalami defisit. Sedangkan Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Sleman, dan Kota Yogyakarta mengalami rasio pendapatan/penerimaan terhadap pengeluaran/belanja diatas 1 atau mengalami surplus anggaran. Salah satu syarat yang diperlukan (necwessary condition) untuk melaksanakan kewenangan otonomi daerah sebagaimana uraian sebelumnya, adalah tersedianya sumber-sumber pembiayaan. Sumber pembiayaan pemerintah daerah tersebut telah diatur dengan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yaitu disamping sumber pembiayaan dari pemerintah diatasnya (berupa dana perimbangan) juga sumber pembiayaan dari dalam sendiri. Ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonomi mampu berotonomi, adalah daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumbersumber keuangan sendiri, sedangkan ketergantungan pada bantuan pemerintah pusat harus seminimal mungkin, sehingga Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi bagian terbesar dari pendapatan keuangan daerah. Pengelolaan PAD yang baik adalah pengelolaan PAD yang mampu meningkatkan penerimaan daerah secara berkesinambungan, seiring dengan perkembangan perekonomian dan tanpa mengurangi alokasi faktor-faktor peroduksi dan keadilan. 97

Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-perundangan yang berlaku. Menurut no 22 Tahun 1999, sumber-sumber penerimaan daerah yang dimaskud dalam pos Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari: Hasil Pajak Daerah, Hasil Retribusi Daerah, Hasil Perusahaan Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Lainnya yang Dipisahkan. Serta lainlain PAD yang syah. Jenis-jenis pajak yang dikelola pemerintah provinsi terdiri dari: Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Bermotor, serta Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Sedangkan jenis pajak yang dikelola pemerintah kabupten/kota yaitu: Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan dan Pengelolaan Bahan Galian Golongan C, dan Pajak Parkir. Besarnya persentase PAD terhadap total pendapatan daerah menunjukan besarnya sumbangan PAD daerah terhadap total pendapatan daerah. Sumbangan realisasi PAD pemerintah provinsi DIY tahun 2006 relatif besar mencapai hampir separuh (49,54%) dari total pendapatan pemerintah daerah provinsi DIY. Semakin besar persentase PAD terhadap total pendapatan maupun terhadap total belanja, sangat diharapkan dalam rangka pelaksanaan penyelengaraan otonomi daerah. Persentase PAD terhadap belanja daerah menunjukkan kemampuan daerah untuk mencukupi belanja daerah sendiri. Besar persentase PAD terhadap belanja daerah pemerintah provinsi DIY juga cukup besar. Dimana 51,31% dari belanja daerah pada tahun 2006 dapat dicukupi dengan PAD pemerintah provinsi DIY. Sedangkan sumbangan PAD masing-masing pemerintah Kabupaten/Kota seprovinsi DIY terhadap total pendapatan ataupun terhadap total belanja tahun 2006 dapat dilihat pada tabel 16 berikut: Tabel: 16 Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD), serta Persentasenya terhadap Pendapatan dan Belanja Daerah Pemerintah Provinsi DIY dan lima kabupaten/kota se Provinsi DIY pada tahun 2006 Pemerintah Realisasi Realisasi Realisasi Persentase Persentase Daerah Pendapatan Belanja Pendapatan PAD thd PAD thd (Juta (Juta Asli Daerah Pendapatan Belanja Rupiah) Rupiah) (PAD) (Juta Rupiah) (1) (2) (3) (4) (5) (6) Provinsi 881.144,85 850.630,25 436.482,09 49,54 51,31 D.I. Yogyakarta Kab. Kulonprogo 448.371,80 458.909,86 35.203,28 7,85 7,67 Kab. Bantul 599.619,65 545.132,14 44.005,31 7,34 8,07 Kab. 527.352,23 503.624,61 29.801,04 5,65 5,92 Gunungkidul Kab. Sleman 702.929,58 609.765,41 90.710,10 12,90 14,88 Kota Yogyakarta 519.022,24 496.768,98 96.419,46 18,58 19,41

98

Besarnya sumbangan PAD terhadap pendapatan pemerintah kabupaten/kota di provinsi DIY masih kecil. Dari lima kabupaten/kota di DIY hanya dua kabupaten/kota yang sumbangan PAD-nya diatas 10 persen. Yakni Kabupten Sleman dengan sumbangan PAD 12,90 persen dan Kota Yogyakarta 18,58 persen. Sedangkan Kabupaten Kulonprogo. Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Gunungkidul sumbangan PAD terhadap total pendapatan masih relatif kecil (dibawah 10 persen). Secara umum masih perlu program-program untuk memacu pendapatan daerah yang berasal dari PAD. Upaya meningkatkan kemampuan penerimaan daerah, khususnya penerimaan dari Pendapatan Asli Daerah harus diarahkan pada usaha yang terus menerus dan berlanjut agar pendapatan asli daerah tersebut terus meningkat, sehingga pada akhirnya diharapkan akan dapat memperkecil ketergantungan terhadap sumber penerimaan dari pemerintah diatasnya (Pemerintah Pusat). Upaya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah tersebut, pada dasarnya dapat ditempuh melalui upaya intensifikasai dan ekstensifikasi pendapatan asli daerah, adalah suatu tindakan atau usaha untuk memperbesar penerimaan dengan cara melakukan pemungutan yang lebih giat, ketat, dan teliti. Ekstensifikasi adalah usaha-usaha untuk menggali sumber-sumber pendapatan asli daerah yang baru, namun dalam rangka ekstensifikasi khususnya yang bersumber dari pajak daerah dan retribusi daerah tidak boleh bertentangan dengan kebijakan pokok nasional dan Undangundang Nomor 34 Tahun 2000 tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 25 Tahun 199, sumber-sumber penerimaan daerah selain dari PAD juga berasl dari dana perimbangan, pinjaman daerah, serta lain-lain penerimaan yang syah. Dana Perimbangan terdiri dari bagian daerah dari perimbangan, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Bagian daerah dari perimbangan terdiri dari: Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Sumber Daya Alam (Kehutanan, Perikanan, Pertambangan, Minyak Dan Gas Bumi). Bagian Daerah dari Perimbangan bagi Pemerintah Provinsi DIY dalam tabel lampiran yakni pos Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak sebesar 40,4 milyar rupiah, atau sekitar 4,58 persen dari total pendapatan Pemerintah Provinsi DIY. Sedangkan rasio Bagian Daerah dari Perimbangan untuk pemda kabupaten/kota di provinsi DIY yang terdiri dari pos bagi hasil pajak dan bukan pajak serta pos dana perimbangan dari provinsi, persentase terhadap total pendapatan tahun 2006 berkisar antara 7-15 persen. Dasar perolehan dan perimbangan dapat dilihat pada tabel 17.

99

Tabel 17: Dasar Perimbangan Keuangan dan Bagian Daerah Jenis Pungutan Pusat Provinsi Kabupaten/Kota Kabupaten/Kota (Persen) (Persen) Penghasil lain (Persen) (persen) (1) (2) (3) (4) (5) 1. PBB 0 16,2 74,8 0 2. BPHTB 0 20 80 0 3. Minyak Bumi 85 3 6 6 4. Gas Bumi 70 6 12 12 5. Pertambangan Umum a. Land-Rent (Iuran 20 16 64 0 Tetap) b. Royalty iuran 20 16 32 32 eksplorasi 6. Kehutanan A. ihpi 20 16 64 0 B. Provisi Sumber 20 16 32 32 Daya Hutan 7. Perikanan 20 0 80 0 Sumber pendapatan lain yang sangat berperan sampai sekarang adalah dana Alokasi Umum (DAU). DAU adalah dana yang bersal dari APBD yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dua puluh lima persen (25%) dari penerimaan APBN (penerimaan dari minyak dan gas, penerimaan pajak serta penerimaan dari non migas dan non pajak) dialokasikan untuk DAU. Sepuluh persen (10 persen) DAU dibagi ke provinsi, dan sembilan puluh persen (90%) dibagi ke kabupaten/kota. Peranan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan daerah terus diusahakan untuk lebih meningkatkan keselarasan dengan pembangunan daerah terus diusahakan untuk lebih meningkatkan keselarasan dengan pembangunan nasional, hal ini dimaskud untuk lebih mewujudkan otonomi daerah yang lebih nyata dan bertanggung jawab. Pemerintah daerah terus berupaya untuk mendapatkan dan meningkatkan sumbersumber mengenai daerah baik yang telah dimanfaatkan selama ini maupun menggali sumber-sumber yang baru. Salah satu usaha untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan perbaikan dan penyempurnaan dalam bidang keuangan daerah, melalui Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang dilaksanakan secara efektif dan efisien. Dalam rangka keperluan analisis dan pengambilan keputusan maupun memenuhi kelengkapan informasi tentang keuangan negara untuk berbagai keperluan, maka data statistik mengenai keuangan daerah menjadi semakin diperlukan, antara lain: 1. Sebagai bahan dalam penyusunan neraca ekonomi seperti pendapatan regional/ nasional, tabel input dan neraca arus dana; 2. Memberikan informasi tentang realisasi Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah Provinsi dan Kabupten/ kota; 100

3. Untuk mengetahui potensi dan peranan sumber dana dari masing-masing daerah. 4. Sebagai informasi bagi pemerintah pusat, untuk menentukan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk daerah. 5.2 Ruang lingkup Pengumpulan data statistik keuangan daerah dibedakan antara lain: 1. Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi. Data statistik keuangan pemerintah daerah provinsi bersumber dari Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) Provinsi DIY; 2. Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten/ Kota Data statistik keuangan pemerintah kabupaten/kota dikumpulkan dari KPPD kabupaten/kota di wilayah provinsi D.I. Yogyakarta. 5.3 Konsep dan Definisi Pendapatan Daerah Pendapatan daerah terdiri dari: 1. Bagian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Adalah penerimaan daerah dari berbagai sumber-sumber pendapatan daerah yang bersangkutan dalam membiayai kegiatan, yang terdiri dari : pajak daerah, retribusi daerah, hasil laba perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah, serta lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. a. Pajak daerah Adalah pungutan yang dilakukan pemerintah daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pajak daerah ini dapat dibedakan dalam dua kategori yaitu pajak daerah yang ditetapkan oleh peraturan daerah dan pajak negara yang pengelolaan dan penggunaannya diserahkan kepada daerah. b. Pajak Kendaraan Bermotor Pajak yang dikenakan kepada orang/badan sebagai pemilik kendaraan bermotor beroda dua atau lebih yang digunakan didarat untuk mengangkut orang atau barang yang digerakan oleh motor dengan menggunakan bahan bakar bensin, solar, gas, minyak tanah, campuran bensin dengan minyak lain, serta berada dalam lalu lintas bebas. Pemilik kendaraan bermotor adalah orang atau badan-banab hukum yang namanya tercantum dalam Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) dan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK); c. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Yaitu bea yang dikenakan atas badan atau orang yang menerima penyerahan kendaraan bermotor dalam hak milik atau ahli waris. Penyerahan dalam hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan/keadaan yang antara lain dalam bentuk: jual beli, hibah, warisan, hadiah dan pemasukan dalam persekutuan perusahaan; d. Pajak Kendaraan di atas Air Yaitu pajak yang dipungut dari orang atau badan yang dimiliki alat angkut air, yang digerakan oleh motor, layar atau tenaga manusia;

101

e. Denda Pajak Denda-denda pajak yang dikenakan terhadap wajib pajak yang melanggar ketentuan perpajakan yang berlaku. f. Retribusi Daerah Yaitu pungutan daerah sebagai pembayaran/pemakaian atau karena memperoleh jasa pekerjaan, usaha atau milik daerah bagi yang berkepentingan atau karena jasa yang diberikan olelh daerah. Atau dengan kata lain retribusi adalah pungutan yang dilakukan sehubungan dengan suatu jasa atau fasilitas yang diberikan oleh pemerintah secara langsung dan nyata kepada pembayar. g. Pengujian Kendaraan Bermotor Yang dimaksud disini adalah besarnya retribusi dalam penyelesaian pengujian kendaraan bermotor oleh DLLAJR setempat; rangka

h. Uang Leges Adalah pungutan biaya leges dalam rangka penyelesaian surat-surat kendaraan bermotor oleh DLLAJR seperti BBNKB, STNK, pembayaran PKB dan sumbangan wajib dana kecelakaan lalu lintas jalan, berdasarkan surat edaran Mendagri tentang petunjuk pelaksanaan administrasi manunggal dibawah satu atap. i. Hasil Laba Perusahaan Milik Daerah Adalah penerimaan yang berupa laba Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), yang terdiri dari bagian laba Bank Pembangunan Daerah, Perusahaan Daerah Air Minum, bagian laba dari BUMD lainnya dan penyertaan modal daerah kepada pihak ketiga. j. Penerimaan Lain-lain Yaitu pendapatan asli daerah dari pajak daerah, retribusi daerah, dan bagian laba BUMD misalkan hasil penjualan barang milik daerah, penjualan barang-barang bekas, penerimaan cicilan kendaraan bermotor/rumah dinas, penerimaan sewa rumah dinas/bangunan dan tanah milik pemerintah daerah dan lain-lain. k. Dana Perimbangan Adalah dana yang bersumber dari pemerintah pusat (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan ini terdiri dari bagi hasil pajak/bukan pajak, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). l. Bagi Hasil Pajak Bagi hasil pajak terdiri dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, penerimaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, pajak penghasilan orang dan pribadi (termasuk pph pasal 21) dan lain-lain. 102

m. Bagi Hasil Bukan Pajak Penerimaan bagi hasil bukan pajak terdiri dari Iuran Hasil Hutan (IHH), iuran hak pengusahaan hutan, pemberian hak atas tanah negara, landrent, iuran eksplorasi/eksploitasi/royalty pertambangan umum, hasil pertambangan minyak/gas alam, hasil perikanan dan lain-lain. n. Dana Alokasi Umum (DAU) Adalah transfer dana dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang dimaksudkan untuk menutup kesenjangan fiskal (fiscal gap) dan pemerataan kemampuan fiskal antar daerah dalam rangka membantu kemandirian pemerintah daerah menjalankan fungsi dan tugasnya melayani masyarakat. o. Dana Alokasi Khusus (DAK) Adalah dana yang disediakan kepada daerah untuk memenuhi kebutuhan khusus. Ada tiga kriteria dari kebutuhan khusus seperti ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu: - Kebutuhan tidak dapat diperhitungkan dengan menggunakan rumus dana alokasi umum. - Kebutuhan merupakan komitmen atau prioritas nasional; - Kebutuhan untuk membiayai kegiatan reboisasi dan penghijauan oleh daerah Penghasil. Dengan demikian DAK pada dasarnya merupakan transfer yang bersifat spesifik untuk tujuan tujuan yang sudah digariskan. Penerimaan Lainnya Adalah penerimaan dari pemerintah pusat dan/atau dari instansi pusat, serta dari daerah lainnya. Penerimaan lainnya terdiri dari dana darurat bencana alam, dana bantuan umum, dana bantuan khusus, penerimaan dari daerah lain dalam rangka kerjasama dan lain-lain. a. Belanja Aparatur Daerah Adalah bagian belanja: belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, serta belanja modal/pembangunan yang dialokasikan pada atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat dan dampaknya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat (publik). b. Belanja Pelayanan Publik Adalah bagian belanja berupa: belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, serta belanja modal/pembangunan yang dialokasikan pada atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat, dan dampaknya secara langsung dinikmati oleh masyarakat (publik). c. Belanja Administrasi Umum Adalah belanja tidak langsung yang dialokasikan pada kegitan non investasi (tidak menambah aset). 103 2.

d. Belanja Operasi dan Pemeliharaan Adalah belanja langsung yang digunakan untuk membiayai kegiatan non investasi (tidak menambah aset). e. Belanja Modal/ Pembangunan Adalah belanja langsung yang digunakan untuk membiayai kegiatan investasi (menambah aset). - Penerimaan dari daerah lain dalam rangka kerja sama; - Penerimaan lain-lain. f. Uang Pemeriksaan/ Pembantaian Adalah biaya retribusi yang dikenakan untuk pemeriksaan hewan/ternak yang dimasukkan ke atau melalui wilayah tingkat I, termasuk didalamnya adalah besarnya retribusi pemotongan. g. Uang Sewa Tanah/Bangunan Adalah penerimaan retribusi yang berasal dari sewa menyewa rumah dan tanah yang dikelola dinas-dinas provinsi. h. Uang Sepadan/Ijin Bangunan Adalah biaya retribusi yang dikenakan/dipungut oleh pemerintah daerah terhadap setiap surat Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. i. Pelelangan Ikan Adalah biaya retribusi yang dikenakan atas penyelenggaraan pelelangan ikan. j. Pengujian Mutu Ikan Olahannya Adalah biaya rertibusi yang diharuskan atas pengujian laboratorium dari mutu ikan dan hasil olahannya. k. Ijin Penangkapan Ikan dan Hasil Laut Adalah biaya atau retribusi yang dikenakan atas ijin usaha penangkapan ikan dan hasil Laut. l. Ijin Usaha Indusri Pariwisata Adalah pungutan retribusi yang dikenakan sehubungan dengan ijin usaha pariwisata. Biaya bimbingan/penyusuluhan dan fasilitas kesejahteraan buruh. Adalah pungutan biaya sehubungan dengan penyediaan sarana fasilitas kesejahteraan buruh swasta di wilayah daerah tingkat I.

104

m. Bahan Galian Golongan C Adalah pungutan yang dikenakan atas ijin usaha pertambangan bahan galian golongan C atau bahan galian yang bukan strategis atau bukan vital. Pengendalian pemboran, pengambilan dan pembuangan air untuk perusahaan industri. Adalah pungutan yang berasal dari pemboran, pengembilan dan pembuangan air untuk perusahaan industri, badan hukum lainnya, badan sosial, dan perorangan. n. Sewa Equipment Jalan Adalah sewa menyewa peralatan berat milik pemerintah provinsi, yang biasanya dilakukan Kimpraswil. Ijin Trayek Angkutan Umum. Adalah pungutan atas ijin trayek angkutan penumpang umum di wilayah pemeritnah daerah tingkat I. o. Penerimaan dari Dinas-dinas Penerimaan dari dinas-dinas merupakan penerimaan daerah yang tidak merupakan penerimaan pajak darah dan retribusi daerah. Misalnya: Dinas Pertanian, Dinas Kesehatan, Dinas Peternakan, Dinas Perikanan dan lain-lain. Jumlah penerimaan dari dinas-dinas yang ada dicantumkan pada kolom yang tersedia. p. Penerimaan Lain-lain Yang termasuk dalam rincian ini antara lain: hasil penjualan milik daerah, penjualan barang-barang bekas, penerimaan cicilan kendaraan bermotor roda empat dan roda dua, cicilan rumah yang dibangun oleh pemerintah daerah. Penerimaan jasa giro, pelelangan ikan, penerimaan setoran, cicilan utang, penerimaan setoran biaya pembinaan lembaga keuangan pedesaan, penerimaan biaya untuk mengikuti prakualifikasi dan lain-lain. q. Dana Perimbangan Adalah kelompok sumber pembiayaan desentralisasi yang alokasinya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, mengingat tujuan masing-masing jenis penerimaan tersebut saling mengisi dan melengkapi. r. Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Yaitu merupakan penerimaan pemerintah daerah dari pajak bumi dan bangunan. Bagi Hasil Pajak Lainnya. Apabila terdapat penerimaan pajak lainnya, maka masukan pada rinci. s. Bagi Hasil Bukan Pajak Penerimaan bagi hasil bukan pajak terdiri dari: Iuran Hasil Hutan (IHH) Adalah merupakan bagian bagi hasil bukan pajak. Penerimaan Iuran Hasiln Pengusahaan Hutan (IHPH) Adalah penerimaan iuran atas pemberian ijin pengusahaan hutan. Penerimaan Sumbangan Retribusi Cengkeh (SRC) 105

Penerimaan Dana Rehabilitasi Kopra (DRK). Adalah penerimaan bagi hasil bukan pajak berdasarkan KEPRES/Pemberian Hak Atas Tanah Pemerintah Adalah bagian uang pemasukan pemberian hak atas tanah berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri; Kompensasi BBM; Bagi Hasil Landrent Adalah penerimaan dari pemegang hak kuasa pertambangan. t. Sumbangan Sumbangan adalah penerimaan dari pemerintah pusat atau dari negara yang terdiri dari: ganjaran, subsidi/bantuan pembiayaan sekolah negeri, subsidi/bantuan operasionil rumah sakit umum daerah, subsidi pembangunan dan pemeliharaan obyek pariwisata daerah, tunjangan penghasilan kepala desa dan perangkat desa, sumbangan biaya prajabatan dan sumbangan lainnya. u. Bantuan Adalah merupakan seluruh bantuan pembangunan atas dasar Instruksi Presiden, dikelompokan sebagai berikut: Bantuan Pembangunan Tingkat I; Bantuan Pembangunan Lainnya, Adalah selain bantuan pembangunan Daerah Tingkat I v. Bagian Penerimaan Pembangunan Adalah penerimaan pembangunan daerah tingkat I yang berasal dari pinjaman dan digunakan untuk pembangunan, Penerimaan tersebut dirinci menurut sumber pinjaman sebagai berikut: w. Pinjaman untuk Pemerintah Daerah Pinjaman dari Departemen Keuangan. Pinjaman dari Bank Pembangunan Asia (ADB). Bantuan kredit lainnya. x. Pinjaman untuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pinjaman ini dijamin oleh pemerintah daerah, terdiri dari: Pinjaman luar negeri; Pinjaman lainnya. Urusan kas dan perhitungan (UKP) yang dimaksud dengan UKP yaitu setiap penerimaan yang tidak mempengaruhi penerimaan pemerintah Dati I: Iuran Wajib Pegawai; Penerimaan kembali panjar pegawai Penerimaan kembali panjar kerja; Penerimaan kembali lain-lain; Penerimaan kembali untuk pihak ketiga Potongan besar; Subsidi penyediaan gaji daerah bawahan; 106

Subsidi penyediaan dana pensiun daerah bawahan; Potongan biaya pungutan PBB Penerimaan pajak penghasilan; Hutang kelebihan penerimaan gaji/pensiun; Penerimaan amal KORPRI; Ganjaran untuk anjungan pemerintah daerah di TMII y. Pengeluaran Rutin Belanja rutin harus dapat dibiayai dari pendapatan daerah sendiri sesuai dengan pasal 64 ayat (5) UU No. 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintah daerah. Pengeluaran ini terdiri dari berbagai pos, dimulai dengan pos Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I. Kemudian pos-pos ini dijumlahkan berdasarkan banyaknya dinas/lembaga yang ada di bawah pemerintah daerah masing-masing yang dibiayai dengan APBD. Dari pos-pos pengeluaran yang ada, kemudian dirinci menurut 10 jenis pengeluaran/belanja yaitu: Belanja pegawai; Belanja barang; Belanja pemeliharaan Belanja perjalanan dinas; Belan lain-lain; Anggaran pinjaman/hutang & bunga Ganjaran pinjaman/hutang & bunga Ganjaran/subsidi dan sumbangan kepada daerah bawahan; Pensiunan/ bantuan dan onderstand; Pengeluaran yang tidak termasuk bagian lain; Pengeluaran tidak terduga. Dari jenis pengeluaran di atas, dapat dirinci lagi seuai dengan kebutuhan atau peraturan masing-masing daerah: z. Pengeluaran Pembangunan Pengeluaran pembangunan pada hakekatnya adalah pengeluaran yang digunakan untuk pembiayaan proses perubahan, yang merupakan kemajuan dan perbaikan menuju ke arah yang ingin dicapai. Pada umumnya biaya pembangunan tersebut sudah diprogram didalam daftar isian proyek, pengeluaran pembangunan semua diprogramkan dalam berbagai proyek di setiap sektor/sub sektor. Berdasarkan data gabungan rencana dan realisasi Anggara Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten dan kota (tidak termasuk pemerintah provinsi DIY) sampai dengan triwulan III-2007, kinerja keuangan pemerintah daerah dilihat dari sisi penerimaan pencapaiannya cukup baik, namun terlihat belum optimal pada sisi pengeluarannya cukup baik, namun terlihat belum optimal pada sisi pengeluarannya. Pos pendapatan mampu terealisasi sebesar Rp. 2.594 miliar atau 83,32% dari anggaran yang ditetapkan sebesar Rp. 735 miliar, padahal sebelumnya keuangan pemerintah daerah ditetapkan difisit sebesar Rp, 223 miliar.

107

Tabel 18: Realisasi APBD No. A 1 2 3 B 1 Uraian Pendapatan Pendapatan Asli Daerah Pendapatan transfer Lain-lain Pendapatan Yang Sah BELANJA Belanja Operasi a. Belanja Pegawai b. Belanja Barang c. Belanja Bunga d. Belanja Subsidi e. Belanja Hibah f. Belanja Bantuan Sosial g. Belanja Bantuan Keuangan Belanja Modal Belanja Tidak Terduga Transfer SURPLUS/DEFISIT PEMBIAYAAN Penerimaan Daerah Pengeluaran Daerah APBD 2007 3.113.030 303,192 2,770,614 39.224 3,338,382 2.765,944 2,024,682 466,293 1,156 6,839 1,160 163,151 102,663 522,920 47,137 2,381 (225,352) 234,047 295,624 61,577 Realisasi APBD 2,593.913 255.583 2,315,943 22,386 1,858,738 1.681,320 1,321,982 214,714 890 5,397 410 82,890 55,037 172,782 4,636 735.175 233,559 272,903 39,344 Juta rupiah % 83.32 84.30 83.59 57.07 55.68 60.79 65.29 46.05 76.99 78.91 35.34 50.81 53.61 33.04 9.83 (326.23) 99.79 92,31 63.89

2 3 4 C D 1 2

Berdasarkan wilayah, realisasi pendapatan pemerintah kabupaten dan kota ratarata mencapai di atas 75%. Pemerintah kabupaten Bantul mampu merealisasikan pendapatan sebesar 106,64% atau Rp. 740 miliar di atas anggaran yang telah ditetapkan sebesar Rp. 694 miliar. Realisasi pendapatan tertinggi selanjutnya terdapat pada pemeritah kabupaten Sleman dan realisasi sebesar 79,67%, diikuti oleh pemerintah kabupaten Gunungkidul sebesar 76,75%, pemerintah kabupaten Kulonprogo sebesar 73,07%. Disisi pengeluaran, pemerintah kabupaten Bantul kembali memiliki persentase tertinggi, yaitu sebesar 80,82%, diikuti oleh pemerintah kabupaten Gunungkidul sebesar 58,14%, pemerintah kabupaten Sleman sebesar 55,57%, pemerintah kabupaten Kulonprogo sebesar 44,67% dan terakhir kembali pemerintah kota Yogyakarta mencatat persentase realisasi terendah yaitu sebesar 34,33%. Dengan demikian, disemua wilayah terjadi surplus anggaran, dimana berdasarkan APBD yang telah ditetapkan pada semua wilayah justru diperkirakan mengalami defisit anggran. Surplus tertinggi terdapat pada pemerintah kota Yogyakarta sebesar Rp. 216 miliar, diikuti oleh pemerintah kabupaten Sleman sebesar Rp. 160 miliar, pemerintah kabupaten Kulonprogo sebesar Rp. 131 miliar, pemerintah kabupaten Bantul sebesar Rp. 108

125 miliar dan terakhir adalah pemerintah kabupaten Gunungkidul sebesar Rp. 104 miliar. 3. Pendapatan Daerah DIY Realisasi penerimaan/pendapatan DIY (kecuali pemerintah provinsi DIY) sampai dengan triwulan III-2007 mencapai 84,30% berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) Rp. 256 miliar, pendapatan transfer Rp. 2.316 miliar dan lain-lain pendapatan yang sah sebesar Rp. 22 miliar. PAD DIY terutama disumbang oleh retribusi daerah sebesar Rp. 92 miliar, pajak daerah sebesar Rp. 90 miliar, lain-lain PAD sebesar Rp. 52 miliar dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan sebesar Rp. 21 miliar. Namun demikian, persentase realisasi APBD tertinggi terdapat pada pos lain-lain PAD sebesar 126, 61%, selanjutnya pos hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan sebesar 91,27 %b, pajak daerah sebesar 86,20% dan realisai terkecil terdapat pada pos retribusi daerah sebesar Rp. 68,62% Berdasarkan wilayah, persentase realisasi PAD tertinggi terdapat pada pemerintah kabupaten Bantul sebesar 118,81% atau Rp. 55 miliar dari anggaran yang telah ditetapkan sebesar Rp. 46 miliar. Wilayah lainnya mampu merealisasikan PAD pada kisaran 75%, kecuali pemerintah kabupaten Gunungkidul dengan realisai sebesar 69,52% atau Rp. 27 miliar. Tabel : 19 Pendapatan Daerah Juta Rupiah No. Uraian A 1 2 3 4 B. 1 a b c d 2 a b 3 Pendaptan Asli DAerah Pajak Daerah Retribusi Daerah Hasil; Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Transfer Transfer Pemerintah PusatDana Perimbangan Dana Bagi Hasil Pajak Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (SDA) Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Khusus Transfer Pemerintah Pusat Lainnya Dana Otonomi Khusus Dana Penyesuaian Transfer Pemerintah Provinsi Total APBD 2007 Realisasi APBD 303,192 104,607 134,251 23,112 41,222 2,770,614 2,612,014 168,213 856 2,267,011 175,934 39,000 8,000 31,000 119,600 255,583 90,175 92,122 21,095 52,191 2,315,943 2,204,602 115,553 872 1,976,791 111,387 30,542 1,086 29,456 80,798 % Realisasi thd APBD 84.30 86.20 68.62 91.27 126,61 83.59 84.40 68.69 101.82 87.20 63.31 78.31 13.58 95.02 67.56 109

a Penciptaan Bagi Hasil Pajak b Penciptaan Bagi Hasil Lainnya C. Lain-lain Pendapatan Yang Sah a Pendapatan Hibah b Pendapatan Lainnya JUMLAH

119,600 39,224 6,364 32.860 3,113,030

80,798 22.386 513 21.873 2,593,913

67.56 57.07 8.07 66.57 83.32

Dana bagi hasil pajak sebesar 5,24%, Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar 5,05% dan dana bagi hasil bukan pajak sebesar 0,04%, realisasi tertinggi terdapat pada pos dana bagi hasil bukan pajak sebesar 101,82% dan terendah terdapat pada pos DAU sebesar 87,20% Berdasarkan wilayahnya pemerintah yang mampu merealisasikan pendapatan transfer pemerintah pusat dana perimbangan tertinggi adalah pemerintah kabupaten Bantul yaitu sebesar 103,54% atau Rp.614 miliar, dan persentase terendah terdapat pada pemerintah kabupaten Kulonprogo sebesar 76,26% atau Rp.332 miliar. Realisasi transfer pemerintah pusat-lainnya terdiri dari dana otonomi khusus sebesar Rp. 1 miliar dan dana penyesuaian sebesar Rp. 29 miliar. Transfer pemerintah pusat lainnya ini hanya terdapat pada pemerintah kabupaten Bantul dan pemerintah kabupaten Sleman yang terealisasi masing-masing sebesar 168,32% dan 13,58%. Transfer pemerintah provinsi sebesar Rp. 81 miliar merupakan pendapatan bagi hasil pajak, dimana realisasi tertinggi masih terdapat pada pemerintah kabupaten Bantul sebesar 114,75%, diikuti oleh pemerintah kabupaten Sleman sebesar 62,56%, pemerintah kota Yogyakarta sebesar 50,00% dan pemerintah kabupaten Kulonprogo sebesar 35,14%. Pos lain-lain pendapatan yang sah sebesar Rp. 22 miliar terdiri dari pendapatan hibah dan pendapatan lainnya masing-masing sebesar Rp. 0,5 miliar dan Rp. 22 miliar. Pada pos ini, hanya 3 wilayah yang telah merealisasikan, yaitu pemerintah kabupaten Kulonprogo sebesar 219,15% atau Rp. 2 miliar, pemerintah kabupaten sebesar 60,93% atau Rp. 8 miliar. 4. Belanja Daerah Belanja pemerintah kabupaten dan kota di DIY sampai dengan triwulan III-2007 tercatat sebesar Rp. 1.859 miliar atau terealisaikan 57,07% dari APBD 2007 sebesar Rp. 3.336 miliar. Belanja daerah tersebut mencakup belanja operasai sebesar Rp. 1.681 miliar (90,45%), belanja modal sebesar Rp. 173 miliar (9,30) dan belanja tidak terduga sebesar Rp. 5 miliar (0,25%). Realisasi tertinggi terdapat pada pos belanja operasi sebesar 60,79%, diikuti oleh belanja modal dan belanja tidak terduga masing-masing sebesar 33,04% dan 9,83% Belanja operasi didominasi oleh belanja pegawai sebesar Rp. 1.322 miliar (78,63), selanjutnya diikuti oleh belanja barang sebesar Rp. 215 miliar (12,77%). Sedangkan pos belanja lainnya hanya memiliki porsi kurang dari 5%, yaitu belanja bantuan sosial Rp. 83 miliar (4,93%), belanja bantuan keuangan Rp. 55 miliar (3,27%), belanja subsidi Rp. 5 miliar (0,32). belanja bunga Rp. 0,89 miliar (0,05%) dan belanja hibah Rp. 0,41 miliar (0,02%). 110

Tabel: 20 Belanja Daerah Juta Rupiah No. Uraian Total Realisasi % Realisasi APBD thd APBD A Belanja Operasi 2,765,944 1,681,320 60.79 1 Belanja Pegawai 2,024,682 1,321,982 65.29 2 Belanja Barang 466,293 214,714 46.05 3 Belanja Bunga 1,156 890 76.99 4 Belanja Subsidi 6,839 5,397 78.91 5 Belanja Hibah 1,160 410 35.34 6 Belanja Bantuan Sosial 163,151 82,890 50.81 7 Belanja Bantuan Keuangan 102,663 55,037 53.61 B Belanja Modal 522,920 172,782 33.04 C Belanja Tidak Terduga 47,137 4,636 9.83 D Transfer 2,381 Jumlah 3,338,382 1,858,738 55.68 Wilayah yang mampu merealisasi belanja operasi tertinggi adalah pemerintah kabupaten Bantul sebesar Rp. 514 miliar atau 80,95% dari anggaran yang telah ditetapkan sebesar Rp. 635 miliar. Sedangkan wilayah yang memiliki persentase realisasi belanja operasi terendah adalah pemerintah kota Yogyakarta sebesar Rp. 224 miliar atau 40% dari anggaran yang telah ditetapkan sebesar Rp. 559 miliar. APBD 2007 Sedangkan belanja modal yang merupakan cerminan berjalannya proyek-proyek pemerintah telah terealisasi 33,04. Berdasarkan wilayah, pemerintah kabupaten Bantul memiliki presentase realisasi belanja modal tertinggi, yaitu sebesar 80,46% diikuti oleh pemerintah kabupaten Sleman dan pemerintah kabupaten Gunungkidul masing-masing sebesar 29,49% dan 25,64%. Sedangkan pemerintah kabupaten Kulonprogo dan pemerintah kota Yogyakarta hanya mampu merealisasi kurang dari 10,00%.Selain mampu merealisasikan belanja operasi dan belanja modal dengan persentasi tertinggi, pemerintah kabupaten Bantul juga tercatat memiliki persentase realisasi tertinggi terhadap pos belanja tidak terduga yakni sebesar 60,56%. Pos belanja tidak terduga ini hanya terdapat di 4 wilayah. Selain pemerintah kabupaten Bantul, realisasi pos ini terdapat pada pemerintah kabupaten Gunungkidul sebesar 15,24%, pemerintah kota Yogyakarta sebesar 10,30% dan pemerintah kabupaten Kulonprogo sebesar 0,64%.

111

112

Anda mungkin juga menyukai