Anda di halaman 1dari 3

Hubungan antara personal background dengan kemampuan retorika dosen

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Berbicara atau bertutur merupakan kegiatan yang paling sering dilakukan orang dalam kehidupan bermasyarakat. Sebelum dikenal adanya tulisan, bertutur sudah digunakan sebagai alat komunikasi. Seiring perkembangan zaman, kegiatan bertutur memiliki peranan penting bagi kehidupan bermasyarakat dan berbudaya. Sering kita temui daerah dengan kebudayaan yang baik memiliki kebiasaan bertutur yang baik pula, sesuai dengan ungkapan bahasa menggambarkan budaya setempat. Berbicara menjadi suatu hal yang penting dalam keseharian. Berbicara dipergunakan untuk berkomunikasi, menyampaikan informasi, menyampaikan maksud, sampai digunakan untuk berdebat. Kecakapan dalam berbicara untuk menyampaikan suatu ide merupakan kecerdasan linguistik, bagian dari delapan kecerdasan yang disampaikan oleh Howard Gardner pada tahun 1983 dalam bukunya Frames of Mind. Kecerdasan ini pada dasarnya dimiliki oleh setiap manusia dengan kadar kemampuannya yang berbedabeda. Untuk memiliki kemampuan ini ternyata bukanlah hal yang mudah. Banyak orang yang mampu merumuskan sebuah gagasan dengan baik, namun kesulitan dalam hal penyampaiannya. Dalam penyampaiannya pun harus jelas dan sistematis agar mudah dipahami oleh pendengar. Dahulu kemampuan berbicara yang baik hanya dimiliki oleh orang yang mempunyai status atau fungsi tertentu seperti kepala suku saat upacara adat, pemakaman, kelahiran, dan sebagainya. Penguasaan mantra, kata-kata bijak, dan nasehat yang diberikan kepada masyarakat menjadi kelebihan yang mereka miliki jika dibandingkan dengan orang lain. Kemampuan berbicara inilah yang membuat para kepala suku dihormati dan disegani oleh masyarakatnya. Kemampuan berbicara ini juga berkembang di Yunani dan Roma dengan tokohnya seperti Socrates dan Aristoteles. Mereka menyebut kemampuan berbicara ini dengan retorika yang berasal dari bahasa Latin rhetorica yang berarti ilmu berbicara/bertutur. Awalnya mereka menganggap ilmu ini untuk memenangkan suatu kasus. Namun, penggunaan retorika kini sudah bergeser pada ilmu yang mengajarkan tindak dan usaha bertutur untuk membina saling pengertian. Sesuai yang dikatakan oleh I Gusti Ngurah Oka.: Retorika adalah ilmu yang mengajarkan tindak dan usaha yang efektif dalam persiapan, penataan dan penampilan tutur untuk membina saling pengertian dan kerja sama serta kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat. Pemanfaatan retorika dalam kehidupan sehari-hari antara lain: secara spontan atau intuitif, secara tradisonal atau konvensional, dan secara terencana. Pemamanfaatan retorika secara spontan atau intuitif ini sering terjadi dalam kehidupan bertutur seharihari. Biasanya pembicara tidak banyak mempersiapkan bahan materi yang akan dibicarakan. Jadi lebih bersifat spontan. Pemanfaatan retorika secara tradisional yaitu dengan mengikuti konvensi atau kesepakatan yang sudah diberikan oleh generasi sebelumnya. Seperti penghormatan kepada pejabat dengan menggunakan kalimat Yang terhormat, ..... Pemanfaatan retorika secara terencana maksudnya ialah, penggunaan retorika yang direncanakan sebelumnya secara sadar diarahkan ke suatu tujuan yang jelas Pemanfaatan retorika secara terencana dibagi menjadi bidang politik, bidang usaha atau ekonomi, karyawan bahasa, bidang kesenian, dan bidang pendidikan. Pada bidang pendidikan, pemanfaatan retorika secara terarah tampak lebih menonjol lagi pada proses pengajaran di dalam kelas. Pendidikan merupakan pilar utama dalam usaha memajukan bangsa dengan mencetak generasi yang cerdas dan mandiri. Pendidikan menjadi sarana dalam mewujudkan citacita bangsa, yaitu mencerdaskan bangsa. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pendidikan, bangsa yang peduli dengan pendidikan, dan bangsa yang mengedepankan pendidikan. Sebuah negara akan terpuruk bila pendidikan yang diselenggarakan negara tersebut kurang atau tidak baik. Dalam dunia pendidikan, khususnya mata pelajaran Bahasa Indonesia, berbicara

menjadi kompetensi yang harus dimiliki siswa. Berbicara menjadi bagian catur tunggal, yaitu menyimak, membaca, berbicara, dan menulis yang tidak dapat dipisahkan dari keempat keterampilan berbahasa tersebut. Bila satu saja dari keempat keterampilan itu tidak ada, maka dapat dipastikan orang tersebut akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain. Dalam kurikulum mata pelajaran Bahasa Indonesia pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasyah Aliyah (MA), pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi dengan baik dan benar, secara efektif dan efisien, baik lisan maupun tulisan. Selain itu pembelajaran bahasa Indonesia bertujuan untuk menumbuhkan apresiasi terhadap karya sastra di Indonesia. Dalam pembelajaran kemampuan berbahasa, kemampuan berbicara sering terabaikan karena yang ditekankan dan mendapat perhatian lebih ialah kemampuan menulis. Padahal tujuan utama pembelajaran bahasa ialah untuk berkomunikasi. Bukan hanya tulisan tetapi juga lisan. Oleh karena itu, diperlukan perhatian yang khusus untuk kemampuan berbicara. Diperlukan keseriusan dalam hal ini. Diperlukan strategi dan metode yang tepat agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Pada kurikulum kurikulum mata pelajaran Bahasa Indonesia pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) / Madrasyah Aliyah (MA), salah satu Standar Kompetensi berbicara pada kelas XII yaitu pidato, merupakan kemampuan yang harus dikuasai oleh siswa. Kompetensi Dasar yang harus dimiliki setelah proses pembelajaran adalah siswa mampu berpidato tanpa teks dengan menggunakan pelafalan, intonasi, nada, dan sikap yang tepat. Dalam penerapannya, pembelajaran berpidato pada tingkat SMA ternyata belum memberikan hasil yang memuaskan. Siswa cenderung menjadi pribadi yang sulit berbicara di depan umum. Hal utama yang menjadi penyebab biasanya adalah faktor keragu-raguan atau keberanian dari siswa. Siswa khawatir berkata salah ketika berpidato. Bahan pembicaraan yang sudah dipersiapkan menjadi hilang ketika berada di depan orang banyak untuk berpidato. Dari sekian banyak siswa tentunya ada beberapa siswa yang mampu tampil dengan berani dan percaya diri. Hal ini karena adanya pembiasaan yang dilakukan karena siswa tersebut mempunyai pengalaman dalam berorganisasi yang menuntut mereka untuk sering berinteraksi dengan banyak orang. Keberanian dan percaya diri memang merupakan modal utama dalam berpidato, namun tidak cukup hanya kedua hal itu saja. Dalam berpidato, siswa dituntut mampu memilih kata dan menyusun kalimat dengan baik serta memahami faktor-faktor lain seperti pelafalan yang baik, intonasi, dan sikap yang tepat. Metode yang paling sering digunakan guru dalam pembelajaran berpidato adalah guru menjelaskan faktor-faktor yang dinilai dalam berpidato. Kemudian siswa diminta untuk berpidato. Setelah itu, performa siswa tersebut dievaluasi secara bersama-sama. Metode ini memang baik untuk memberikan pemahaman tentang faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam berpidato. Namun, dalam hal praktek tentunya siswa menampilkan hanya sebatas pengetahuannya saja. Kecuali bila siswa memiliki pengalaman lomba berpidato atau memiliki jabatan ketua pada suatu organisasi yang sering diminta untuk berpidato. Bagi siswa yang belum memiliki pengalaman yang cukup mengenai pidato maka sangatlah perlu siswa tersebut melihat sebuah contoh dalam berpidato. Dalam hal inilah seorang guru harus memberikan sebuah model yang dapat dipelajari oleh siswa. Model itu dapat dilakukan oleh guru ataupun selain guru. Seperti pendapat Albert Bandura dalam teori sosial learning yang menyatakan bahwa proses belajar dimulai dari meniru, maka dalam belajar berpidato alangkah baiknya bila siswa mencontoh pemidato yang baik. Dengan contoh ini siswa akan mendapatkan gambaran mengenai cara berpidato yang baik. Contoh ini dapat dijadikan model dalam pembelajaran berpidato. Media merupakan alat komunikasi dalam pendidikan. Media pendidikan menjadi alat bantu untuk menyampaikan pesan yang diberikan oleh guru kepada siswa. Penggunaan media tidaklah asal saja tetapi harus dengan pertimbangan bahwa penggunaan media tersebut sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Jangan sampai media yang telah dipersiapkan tidak sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan. Dengan bantuan media, proses dan hasil pembelajaran diharapkan menjadi lebih baik

jika dibandingkan tanpa menggunakan media. Media tidak terbatas hanya pada alat saja secara luas media bisa termasuk manusia, benda ataupun peristiwa yang memungkinkan anak didik memperoleh pengetahuan dan keterampilan. Menurut Syaiful Bahri dan Aswan Zain, sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai tempat bahan pengajaran terdapat atau asal untuk belajar seseorang , media inilah yang dapat membantu memperkaya wawasan siswa dalam belajar. Dalam proses pembelajaran, model merupakan media yang dapat dijadikan sumber untuk belajar. Model ini dapat dicontoh dan dikembangkan oleh siswa. Oleh karena itu, media bisa pula guru atau model yang diberikan di luar pihak guru, seperti model dalam berpidato yang telah disebutkan sebelumnya. Mengenai model mana yang harus dipilih kita harus melihat kualitas model itu sendiri. Sesuatu yang akan dijadikan model diusahakanlah yang terbaik karena akan dicontoh dan mungkin dikembangkan oleh siswa setelah mengamati model tersebut. Dalam model untuk berpidato beberapa hal pokok yang wajib menjadi kriteria, yaitu kemampuan linguistik, kemampuan mempersuasi, dan kemampuan memotivasi. Ketiga hal tersebut terangkum dalam ilmu retorika. Motivator bisnis merupakan salah satu profesi yang menggunakan ilmu retorika. Kemampuan retorika sangat berguna dan membantu untuk menunjang profesi ini. Tugas utama sebagai motivator bisnis ialah mampu mempersuasi para pendengar agar termotivasi untuk melakukan saran-saran yang diberikan olehnya. Layaknya seorang orator dalam sebuah kampanye, seorang motivator bisnis harus tampil dengan percaya diri dan mampu meyakinkan pendengarnya dengan sikap dan kata-kata yang diungkapkannya. Dengan kriteria ini seorang motivator bisnis merupakan model yang layak untuk pembelajaran berpidato karena dengan predikatnya sebagai seorang motivator maka tentunya ia harus memiliki kriteria-kriteria tersebut. Pemodelan retorika motivator bisnis ini berlaku sebagai media pada saat pembelajaran berpidato. Pemberian model yang baik akan mempermudah siswa dalam belajar. Dengan media, pemodelan retorika motivator bisnis ini diharapkan memberikan wawasan yang lebih baik kepada siswa untuk berpidato serta siswa dapat mengembangkan kemampuannya dalam berpidato sehingga dapat meyakinkan pendengarnya.

Anda mungkin juga menyukai