Anda di halaman 1dari 2

Topik Utama Koran Kampus edisi September-Oktober Sistem Penilaian FKUI: Garis Besar dan Transparansinya Mencetak dokter-dokter

unggul merupakan tantangan bagi setiap fakultas kedokteran. Oleh karena itu, isu terkait sistem pendidikan yang diberlakukan cukup penting diperhatikan. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) sebagai salah satu fakultas kedokteran favorit di Indonesia telah memberlakukan Kurikulum Fakultas Kedokteran (Kurfak) 2005 sejak tahun 2005. Pada tahun ini FKUI telah meluluskan angkatan pertama yang menjalani Kurfak 2005. Tahukah Anda, pemberlakuan sistem baru (sejak tahun 2005) ini ternyata turut mengubah sistem penilaian di FKUI? Kurikulum Fakultas Kedokteran (KURFAK) 2005 adalah kurikulum yang sekarang diterapkan di FKUI. Perubahan mendasar yang terjadi dengan diubahnya sistem pendidikan ini adalah proporsi komponen penilaian itu sendiri. Sebelum pemberlakuan Kurfak 2005, 100% penilaian berdasarkan kemampuan teori melalui berbagai jenis ujian. Pada Kurfak 2005, penilaian didasarkan kepada filosofi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yaitu kompetensi dan proses belajar. Oleh karena itu, ditetapkanlah proporsi penilaian yang menggabungkan keterampilan memperoleh ilmu dan pengetahuan yang didapat. Hal ini tertuang dalam Keputusan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Nomor: 073/SK/D/FKUI/2010 tentang Ketentuan Evaluasi Program Pendidikan Strata 1 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Keputusan tersebut menyatakan bahwa rentang proporsi penilaian proses belajar adalah 40-60%, begitu pun proporsi nilai pengetahuan yang didapat. Dalam lingkup modul, proporsi penilaian ini diatur dalam Buku Rancangan Pembelajaran (BRP) oleh tim modul di bawah pengawasan oleh Medical Education Unit (MEU). Persentase masing-masing komponen merupakan wewenang penuh dari tim modul selama berada dalam rentang yang telah digariskan. Sebagai tambahan, nilai batas minimal dari tiap komponen adalah 55 atau C. Hal itu dimaksudkan agar mahasiswa tetap serius dalam melaksanakan ujian apapun meskipun bobot dari nilai ujian yang bersangkutan memiliki persentase yang kecil dalam perhitungan nilai akhir modul. Nilai minimal ini digunakan untuk standar penentuan remedial selepas modul berakhir. Penentuan nilai akhir ini diserahkan kepada tim inti tiap modul. Lain modul preklinik, lain pula stase klinik. Pada masa klinik, terdapat perbedaan sistem penilaian antara stase satu dengan stase lainnya. Persentase 4060% tidak berlaku lagi. Ada beberapa stase yang tetap mengutamakan teori dan ada pula stase lebih mementingkan keterampilan daripada teori. Hal tersebut menjadi wewenang sepenuhnya dari pengurus stase yang bersangkutan. Tidak hanya dalam penentuan bobot tiap komponen penilaian, pengurus modul juga berhak memutuskan cara publikasi nilai modul masing-masing. Sebenarnya, sejak terbentuknya sistem SIAK-NG, pemajangan nilai dihindari agar

hanya orang bersangkutan yang boleh melihat. Hal ini bermaksud untuk menghormati perasaan mahasiswa yang mendapatkan nilai kurang baik dan menghindari kesenjangan antara calon-calon sejawat. Idealnya, cara publikasi nilai disepakati oleh tim pengurus modul dan mahasiswa. Apakah metode publikasi seperti ini memenuhi kriteria transparansi yang diharapkan mahasiswa? Hal ini agaknya bersifat subjektif. Dr. Muzakir Tanzil, SpM, anggota senior sekaligus mantan ketua MEU berkata, Sistem pendidikan di FKUI masih kurang dalam hal akuntabilitas dan transparansi. Hal ini juga disampaikan oleh tim dari Belanda yang pernah datang untuk menilai. Lantas, apa peran MEU? Selain mengawasi pelaksanaan modul sesuai ramburambu yang telah ditetapkan, MEU memiliki tugas lain yang sangat mendasar yaitu menyusun kurikulum fakultas kedokteran. Penyusunan ini merujuk kepada standar nasional. Setelah kurikulum fakultas (school level) rampung, barulah disusun kurikulum modul (classroom level). MEU juga melaksanakan fungsi evaluasi, baik evaluasi hasil belajar mahasiswa maupun evaluasi pelaksanaan setiap modul. Meskipun begitu, tim modul memiliki otonomi untuk tidak meminta bantuan MEU dalam evaluasi. Sistem penilaian Kurfak 2005 telah diusahakan seobjektif mungkin dalam menggambarkan kemampuan mahasiswa yang sebenarnya. Akan tetapi, subjektivitas kadang tidak bisa dihindari, terutama dalam penilaian diskusi kelompok yang dipegang oleh fasilitator. Sebenarnya, MEU telah menyusun suatu panduan penilaian berupa ceklis. Selain itu, terdapat tim Koordinator Penugasan Fasilitator yang diketuai oleh Deswaty Furqonita, S.Si., M. Biomed. Tim Koordinator Penugasan Fasilitator bertugas mengadakan pelatihan dan evaluasi masing-masing fasilitator secara berkala. Evaluasi diharapkan juga datang dari mahasiswa melalui Evaluasi Dosen Oleh Mahasiswa (EDOM), tetapi program ini masih perlu dibenahi sehingga belum dapat dilaksanakan optimal. Saat ini, pendapat mahasiswa hanya datang dari lembar evaluasi yang dibagikan MEU setiap akhir modul. Setiap hal pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan sistem penilaian FKUI sekarang antara lain tolok ukur yang lebih jelas dan lebih komprehensif. Hal tersebut ditunjukkan oleh peningkatan hasil progress test dan Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) sebelum dan setelah pemberlakuan Kurfak 2005. Hal tersebut menunjukkan bahwa sistem pendidikan selama 5 tahun berdasarkan KBK bisa menyamai sistem pendidikan 6 tahun. Namun, menurut dr. Nani Cahyani Sudarsono, SpKO, koordinator program pendidikan S-1, masih banyak yang perlu diperbaiki dari sistem sekarang. Mahasiswa sebaiknya tetap konsisten dan sabar menjalani sistem belajar sekarang, sembari memperbaiki semua hal yang masih kurang agar kualitas akademis yang ada di FKUI ini terus berjalan kondusif dan efektif, himbaunya. Telah ada gerakan menuju revisi Kurfak 2005 yang telah berjalan lima tahun tersebut, tambah dr. Muzakir Tanzil, SpM. (Ovi 09, Fahmi 08, Fitri 07)

Anda mungkin juga menyukai