Anda di halaman 1dari 13

INFEKSI MIKOBAKTERIUM PADA KULIT Dr.

Santosa Basuki, SpKK Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSSA SAIFUL ANWAR/FK UNIBRAW Malang LEPRA Lepra adalah penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, yaitu bacillus berbentuk batang tahan asam.. Perkembangan penyakit lepra dipengaruhi oleh kemampuan respons imunitas seluler pejamu setelah terinfeksi dengan M. leprae (Jopling, 1988). Manifestasinya terutama di kulit, saraf tepi, mukosa dari saluran nafas atas dan juga pada mata. Lepra telah mengenalkan rasa takut pada umat manusia sejak ribuan tahun, seperti tampak pada sejarah tua kebudayaan China, Mesir dan India karena penularan, mutilasi, penolakan dan pengisolasian dari komunitas masyarakat. M.leprae ditemukan oleh G.A. Hansen tahun 1873 , merupakan bakterium pertama yang diidentifikasikan sebagai penyebab penyakit pada manusia, namun terapi untuk lepra sendiri baru muncul pada akhir tahun 1940 dengan dikenalkannya dapsone dan derivatnya. Dalam awal tahun 1998, diperkirakan masih sejumlah 830.000 kasus lepra ada di dunia, kebanyakan terkonsentrasi di Asia Tenggara, Benua Afrika dan benua Amerika. Jumlah kasus baru yang ditemukan setiap tahunnya sekitar setengah juta. Tahun 1997 terdapat sedikitnya 685.000 kasus baru yang terdeteksi. India, Indonesia dan Myanmar merupakan tempat 70% semua kasus yang ada di dunia. Di Afrika, daerah terbanyak kedua, situasi tampaknya lebih sulit untuk sementara ini karena adanya epidemi AIDS, kemunculan kembali berbagai penyakit tropis, infra struktur kesehatan yang lemah, pergolakan sosial dan konflik bersenjata menjadikan eliminasi penyakit lepra menjadi suatu yang mewah. Situasi di Amerika Latin juga masih mencemaskan, Brasil adalah tempat 80% kasus yang ada di benua itu. Sementara di Eropa Tengah dan Eropa Timur, ada kasuskasus sporadis sehingga mustahil saat ini untuk dapat mengetahui jumlah kasus yang tak terdeteksi. Sidang WHO ke 44 di bulan Mei 1991 telah mengeluarkan resolusi tentang eliminasi lepra sebagai program kesehatan masyarakat menjelang tahun 2000. Definisi eliminasi dibatasi pada level prevalensi dibawah 1 kasus per 10.000 populasi.

Klasifikasi lepra WHO (1988) mengelompokkan penderita lepra menjadi 3 yaitu : a. Lepra lesi tunggal b. Lepra pausibasiler (PB) : Yaitu kasus dengan sediaan apus BTA negatif, yang berdasarkan klasifikasi Ridley-Jopling adalah tipe I, TT, BT. c. Lepra multibasiler (MB) : Yaitu kasus dengan sediaan apus BTA positif, yang berdasarkan klasifikasi Ridley-Jopling adalah tipe BB, BL, LL. Ridley dan Jopling (1966) mengklasifikasikan lepra berdasarkan ekspresi imunitas seluler menjadi 5 tipe yaitu lepromatosa polar (LL), borderline lepromatosa (BL), midbordeline (BB), bordeline tuberkuloid (BT) dan tuberkuloid polar (TT). Spektrum tipe-tipe ini kontinyu, dan banyak digunakan untuk kepentingan penelitian. Gambaran klinis dan histopatologis a. Lepra lepromatosa (LL) ditandai dengan lesi multiformis berupa makula, papula, nodul infiltrat, permukaan licin tersebar bilateral simetris dengan batas tidak tegas. Pada fase awal tidak terjadi pembesaran saraf dan gangguan sensibilitas, sedangkan pada fase lanjut dijumpai pembesaran saraf disertai denga gloves and stocking anaesthesia. Indeks bakteri + 5 atau + 6, dengan uji lepromin selalu negatif. Gejala yang lain adalah pelebaran hidung, penebalan lobulus telinga, dan edema kaki. Infiltrasi lepromatosa pada wajah menyebabkan terjadinya gambaran klinis facies leonina (Pfaltzgraff & Bryceson, 1990). Gambaran histopatologis epidermis menipis dengan zona jernih epidermil sempit, tampak infiltrat dermal yang terdiri atas sel makrofag berbuih dengan vakuolisasi sitoplasma yang disebut sebagai sel lepra (Virchow cell) yang penuh dengan M leprae, banyak dijumpai basil tahan asam (Lever & Lever, 1983). b. Borderline lepromatous (BL), lesi kulit berawal dengan makula, menyebar secara simetris dengan ukuran bervariasi, multoformis. Dijumpai lesi punch out yaitu lesi dengan bagian tepi aktif, dan bagian tengah central clearing. Permukaan lesi halus mengkilat dengan batas tidak tegas. Terdapat anestesi pada kaki dan tangan yang tidak simetri. Indeks bakteri + 4 dan + 5 serta uji lepromin negatif (Bryceson & Pfaltzgraff, 1990). Gambaran histopatologis lepra tipe BL berupa granuloma histiosit dengan sitoplasma berbuih (foam cells), beberapa diantaranya berbentu epiteloid. Terdapat zona jernih subepidermal dengan apendises yang terinfiltrasi sel histiosit dengan 2

sejumlah besar sel limfosit. Basil tahan asam banyak didapatkan, meski tidak dijumpai pada bagian kulit yang normal (Lever & Lever, 1983). c. Mid-borderline, lesi kulit pada tipe ini cenderung simetris, lesi dapat berupa makula, papula, atau plak atau kombinasi ketiganya. Warna lesi kecoklatan atau eritematosa dengan batas tegas, bentuk bulat dan oval. Terdapat lesi punch out. Dijumpai lesi hipoestesi. Basil tahan asam positif dengan indeks bakteri + 2 atau + 3 serta uji lepromin negatif atau positif lemah (Bryceson & Pfaltzgraf, 1990). Gambaran histopatologinya terdapat zona jernih subepidermis, dijumpai granuloma dengan sel epiteloid tersebar merata, jarang didapatkan limfosit serta tidak dijumpai sel raksasa Langhans. Basil tahan asam dijumpai dalam jumlah sedang (Jopling & McDougall, 1988). d. Borderline tuberculoid (BT) Lesi berupa makula, plak eritematosa atau hipopigmentasi, dapat berbatas tegas a tau tidak tegas dengan jumlah lesi antara 2 - 8. Dapat dijumpai lesi satelit di tepi lesi. Permukaan lesi kadang kering berskuama. Didapatkan juga penebalan saraf dan menimbulkan gangguan sensoris (anestesi) atau motoris. Basil tahan asam biasanya negatif, namun bisa juga + 1, uji lepromin positif lemah (Bryceson & Pfaltzgraf, 1990). Gambaran histopatologisnya didapatkan zona jernih subepidermal (Grenz zone). Dijumpai granuloma sel epiteloid dan sel raksasa Langhans. Saraf agak membengkak oleh infiltrasi sel limfosit dengan proliferasi sel Schwann. Basil tahan asam jarang dijumpai, kadang dapat dijumpai di saraf (Jopling & McDougall, 1988) e. Tuberculoid (TT), lesi kulit berupa makula atau plak eritem atau hipopigmentasi dengan batas tegas, jumlah 1 - 4 lesi dengan ukuran bervariasi. permukaan lesi kering, berskuama dan rambut pada lesi berkurang atau tidak ada sama sekali. Kelainan saraf berupa hipoestesi, anestesi disertai penebalan saraf. Basil tahan asam negatif, dengan uji lepromin positif kuat (Bryceson & Pfalstzgraff, 1990). Gambaran histopatologi menunjukkan granuloma tuberkuloid dengan fokus pada daerah sekitar neurovaskuler, yang mengandung sel epiteloid pada bagian tengah dan dikelilingi oleh sel limfosit padat, kadang dijumpai sel raksasa Langhans diantara sel epiteloid. Daerah subepidermal diinfilrasi oleh granuloma tuberkuloid. Basil tahan asam tidak dijumpai (Jopling & McDougall, 1988). f. Indeterminate (I), merupakan bentuk transisi dari lepra dengan lesi berupa makula hipopigmentasi 1 - 2 buah dengan ukuran bervariasi, batas tidak tegas. Kadang dijumpai gangguan sensibilitas. Tidak dijumpai pembesaran saraf serta uji 3

lepromin negatif atau positif. Gambaran histopatologi didapatkan infiltrasi ringan yang tidak khas dari limfosit dan histiosit di sekitar saraf , subepidermal, atau muskulus arrector pilorum (Jopling & McDougall, 1988). B. Imunologi lepra Mekanisme pertahanan tubuh dapat diklasifikasikan menjadi 2 kategori yaitu mekanisme pertahanan spesifik dan mekanisme pertahanan non spesifik. Mekanisme pertahanan spesifik tergantung pada adanya pemaparan benda asing pengenalan selanjutnya dan kemudian reaksi terhadap benda asing tersebut, mekanisme ini disebut sebagai respon imun. Respons imunitas dilaksanakan oleh dua sistem, yaitu sistem imunitas humoral dan sistem imunitas seluler. Sistem imunitas humoral dilakukan oleh limfosit B yang berjumlah 30 % dari semua limfosit dan berperan dalam membentuk imunoglobulin yang bersifat antibodi. Sedangkan sistem imunitas seluler dilakukan oleh limfosit T yang merupakan 70 % dari jumlah limfosit. Limfosit T bila terpapar antigen melalui sitem penyaji antigen akan berdiferensiasi menjadi limfosit tersensitisasi dan menghasilkan limfokin yang berfungsi untuk merangsang sel lain untuk menghancurkan antigen. Kedua sistem ini berinteraksi dalam proses penghancuran benda asing. Penyakit lepra adalah penyakit infeksi. Manifestasi klinis penyakit lepra bervariasi, meskipun penyebabnya sama yaitu M. leprae. Keadaan ini disebabkan oleh karena adanya perbedaan kemampuan respons imunitas masing-masing penderita terhadap infeksi tersebut, terutama respons imunitas seluler. Pada penderita lepra lepromatosa didapatkan basil tahan asam yang banyak oleh karena kegagalan dalam respons imunitas selulernya, sedangkan penderita lepra tuberkuloid mengandung sedikit basil tahan asam oleh karena respons imunitas selulernya baik, sehingga Harboe (1985) menganggap lepra sebagai penyakit imunologik. Respon imunitas seluler ini akan memberikan bentuk klinis yang berbeda pada setiap penderita . Sebagaian besar manusia yang kontak dengan M. leprae mampu mengembangkan respons imunitas seluler yang cukup efektif untuk segera menghentikan infeksi M. leprae sebelum berkembang menjadi bentuk klinis yang nyata. Hanya sebagian kecil yang akhirnya terjadi manifestasi klinis nyata menjadi lepra tuberkuloid apabila masih mampu memberikan respons imunitas seluler maupun lepra lepromatosa apabila respon imunitas seluler gagal sama sekali (Godal, 1984).

Ottenhoff (1994) menyatakan bahwa respons imunitas seluler pada penderita lepra sangatlah kompleks serta prosesnya banyak yang belum diketahui. Respons imunitas ini melibatkan beberapa faktor antara lain : faktor antigen mikobakterium, makrofag, genetik, virulensi mikobakterium, sel T dan sitokin. Pada lepra tuberkuloid, penderita masih mampu mengembangkan respon imunitas seluler, sehingga basil tahan asam sulit ditemukan. Gejala klinis ditandai dengan lesi kulit berupa makula atau plak eritem atau hipopigmentasi dengan batas tegas, jumlah 1 - 4 lesi dengan ukuran bervariasi. permukaan lesi kering, berskuama dan rambut pada lesi berkurang atau tidak ada sama sekali. Kelainan saraf berupa hipoestesi, anestesi disertai penebalan saraf, (Bryceson & Pfalstzgraff, 1990). Pada penderita yang gagal mengembangkan respons imunitas selulernya terhadap M. leprae akan timbul bentuk lepra lepromatosa (LL) yang ditandai dengan lesi multiformis berupa makula, papula, nodul infiltrat, permukaan licin tersebar bilateral simetris dengan batas tidak tegas. Pada fase awal tidak terjadi pembesaran saraf dan gangguan sensibilitas, sedangkan pada fase lanjut dijumpai pembesaran saraf disertai dengan gloves and stocking anaesthesia. Indeks bakteri + 5 atau + 6, dengan uji lepromin selalu negatif (Pfaltzgraff & Bryceson, 1990). C. Uji respon imunitas seluler Respons imunitas seluler dapat ditunjukkan dengan tes in vitro dan in vivo. Tes in vitro dengan cara uji transformasi limfosit (UTL) sedangkan in vivo digunakan tes lepromin maupun tes tuberkulin (Harboe, 1985; Jopling, 1988). Tes lepromin merupakan tes kulit dengan menyuntikkan suspensi basil lepra yang mati. Tes lepromin membantu dalam klasifikasi pasien, namun kurang mempunyai nilai diagnostik. Terdapat dua tipe tes lepromin: reaksi Fernandez yang dibaca setelah 48-72 jam dan reaksi Mitsuda yang dibaca setelah 3-4 minggu setelah disuntikkan. Kriteria hasil positif berdasarkan atas diameter indurasi pada daerah suntikan. Reaksi Fernandez merupakan gambaran khas untuk reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Tes ini positif pada lepra tuberkuloid, dengan reaktivitas yang kuat selama periode peningkatan aktivitas inflamasi kulit maupun pada saraf (reaksi reversal) dan negatif pada lepra lepromatosa. Oleh karena adanya reaksi silang antara M. leprae dan mikobakterium yang lain tes ini bukan diagnostik untuk lepra (Harboe, 1985). Tes lepromin Mitsuda positif pada lepra tuberkuloid, kontak dan individu normal, negatif 5 dengan uji lepromin positif kuat

pada lepra lepromatosa. Bila pasien lepra dan tes lepromin positif maka kemungkinan klasifikasinya adalah lepra tuberkuloid. Namun oleh karena reagen tes kulit ini mengandung protein yang antigenisitasnya berreaksi silang dengan mikobakterium lain maka kekebalan dengan mikobakterium lain akan menghasilkan reaksi positif palsu terhadap M leprae. Reaksi Mitsuda berguna untuk mengukur kemampuan individu dalam membangkitkan respons imunitas seluler terhadap dosis imunisasi M. leprae. Hubungan antara reaksi Mitsuda dan kekebalan masih belum jelas. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada daerah endemik lepra, reaksi Mitsuda negatif dihubungkan dengan peningkatan kemungkinan lepra lepromatosa (Harboe, 1985). Uji transformasi limfosit berdasarkan atas kemampuan limfosit yang disuspensi dari sel mononuklear darah tepi untuk merespon stimulasi dengan mitogen dan antigen pada biakan in vitro. Stimulasi dengan mitogen melibatkan seluruh populasi limfosit dan tidak memerlukan sensitisasi sebelumnya. Sedangkan stimulasi dengan antigen, pada dasarnya hanya melibatkan populasi limfosit yang lebih spesifik pada individu yang sebelumnya telah tersensitisasi dengan antigen. Saat limfosit bertemu dengan antigen spesifik, limfosit T akan terangsang untuk membelah. Respon yang terjadi adalah perubahan morfologi limfosit menjadi bentuk blast. Tingkat aktivasi limfosit diukur dengan cara menentukan persentase sel blas dalam kultur atau mengukur jumlah analog DNA radioaktif dengan labelled thymidine dalam DNA yang baru terbentuk. Tes transformasi limfosit in vitro ini menunjukkan keadaan yang hampir sama dengan tes in vivo, sebagai contoh adalah pada orang normal hasil tes transformasi limfosit untuk PPD (purified protein derivative of tubercle bacilli) lebih rendah dibandingkan dengan orang dengan hasil tes Mantoux positif (Harboe, 1985 ; Hudson & Hay, 1989). Diagnosis Diagnosis dini penyakit lepra ditegakkan berdasarkan atas gejala klinis dibantu dengan pemeriksaan bakteriologis, histopatologis, dan serologis. Secara klinis WHO (1988) membuat kriteria diagnosis lepra dari adanya tanda kardinal lepra, yaitu : 1. Lesi yang khas , berupa makula atau infiltrasi hipopigmentasi pada orang berkulit warna gelap. Pada orang dengan warna kulit terang biasanya lesi berwarna eritematosa. 2. Gangguan sensibilitas pada lesi kulit atau daerah inervasi saraf. 3. Pembesaran saraf pada daerah predileksi. 6

4. Adanya basil tahan asam pada sediaan hapus kulit. Diagnosis dini lepra dibuat berdasarkan paling sedikit dua dari tiga tanda kardinal atau ada tanda kardinal keempat.

Terapi Untuk Lepra : MDT (Multi Drug Therapy) Obat yang digunakan dalam WHO-MDT merupakan kombinasi dari rifamicin, clofazimine dan dapsone untuk pasien MB dan rifamicin serta dapsone untuk pasien PB. Di antara semuanya, rifamicin merupakan obat anti lepra yang terpenting , sehingga disertakan dalam terapi untuk kedua jenis tipe. Terapi lepra dengan hanya menggunakan satu jenis obat antilepra akan selalu berakibat dengan perkembangan jenis kuman yang resisten obat. Sehingga terapi dengan dapsone atau obat antilepra lain sebagai monoterapi dapat dianggap praktek yang tidak etis. Regimen MDT yang direkomendasikan oleh WHO 1. Lepra Multibasiler (MB) Untuk dewasa, regimen standar adalah : Rifamicin : 600 mg sebulan sekali Dapsone : 100 mg setiap hari Clofazimin : 50 mg setiap hari dan 300 mg sebulan kali. Durasi : selama 12 bulan 2. Lepra Paucibasiler (PB) Untuk dewasa, regimen standarnya : Rifamicin : 600 mg sebualn sekali Dapsone : 100 mg setiap hari Durasi : selama 6 bulan 3. Lepra Lesi Tunggal Untuk dewasa, regimen standarnya adalah dosis tunggal dari : Rifammicin : 600 mg Ofloxacin : 400 mg Minocycline : 100 mg

REAKSI LEPRA Penyakit kusta adalah penyakit yang menahun kelihatannya tenang tapi progresif. Sewaktu-waktu dapat menimbulkan keaktifan secara mendadak (reaksi lepra), yang ditandai dengan gejala-gejala : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Panas tinggi Nyeri saraf Kelemahan badan Nyeri sendi Lesi kusta yang tenang tiba-tiba menjadi sangat aktif, kadang-kadang Dapat timbul eritema yang lokal atau generalisata pada badan.

disertai luka-luka pada lesi. Reaksi kusta belum jelas penyebabnya, belum jelas mekanisme dan patofisiologisnya. Bermacam-macam klasifikasi dengan cara penanggulangan yang berbeda-beda. Ada 2 jenis reaksi lepra: 1. 2. Reaksi ENL Reaksi ENL dapat terjadi pada tipe LL dan BL. Yang berperan pada ENL ini adalah Sistem Imunitas Humoral (SIH) sebagai reaksi antara antigen dan antibodi. Oleh karena salah satu protein M. leprae bersifat antigenik, maka dapatlah dibentuk antibodinya. Pada tipe Lepromatus kadar imunoglobulinnya lebih tinggi daripada tipe Tuberkuloid. Hal ini mungkin terjadi karena pada tipe lepromatus jumlah basil jauh lebih banyak daripada tipe Tuberkuloid. Pada pengobatan, banyak basil kusta mati dan hancur, berarti banyak pula antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodinya membentuk satu imunokompleks yang terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat tersangkut dalam berbagai organ yang kemudian ikut pula diaktifkan sistem komplemen. Pada kulit akan timbul gejala-gejala klinik seperti nodus, eritema, dan nyeri saraf dengan predileksi di lengan dan tungkai. Gejala reaksi pada mata berupa iridosiklitis, pada saraf perifer berupa neuritis, pada kelenjar berupa: limfadenitis dan peradangan beberapa alat lagi antara lain: artritis, orkitis, dan nefritis. Dapat pula terjadi gejala-gejala konstitusi dari ringan sampai berat dan walaupun timbul berbagai gejala, namun tidak terjadi perubahan tipe penyakit seperti dalam reaksi pembalikan. ENL / Eritema Nodusum Leprosum Reaksi pembalikan (reaksi reversal = reaksi upgrading)

Reaksi reversal Reaksi pembalikan (reversal, upgrading) dapat terjadi pada penderita borderline (BL, BB, BT) sehingga dapat pula disebut reaksi Borderline dan yang berperan utama disini adalah Sistem Imunitas Seluler (SIS). Perubahan SIS mempengaruhi perubahan tipe penyakit sehingga pada reaksi pembalikan (reversal) ini dapat terjadi pergeseran tipe dari BT menjadi BB menjadi BL atau sebaliknya dan dapat terjadi dengan lambat. Pada waktu terjadi reaksi perubahan ini terjadi dengan cepat sehingga perubahan gambaran klinik pun dipengaruhi disertai dengan kenaikan jumlah kuman kusta. Istilah reaksi penurunan (downgrading) pada perubahan tipe BT ke arah BL tidak dipakai lagi. Pada reaksi pembalikan (reversal) tidak terdapat nodus hanya lesi menjadi aktif dan meluas atau bertambah banyak. Karena aksi SIS yang terlalu berlebihan pada waktu reaksi sering terjadi kerusakan saraf tepi yang dapat mengakibatkan deformitas, jadi pengobatan antikusta perlu diteruskan agar dapat mengimbangi kerja SIS untuk tidak terjadi efek negatif pada saraf tepi.

Pengobatan Reaksi Reaksi ENL Diobati dengan obat untuk menghilangkan gejala-gejala yang muncul, seperti antipiretik, analgesik, dan kapsul lampren: 3 x 100 mg/hari selama beberapa hari. Bila penderita kurang tenang dapat diberi sedativa. Untuk antipiretik biasanya pada reaksi ENL diberikan tablet khlorokuin 3 x 100 mg/hari selama beberapa hari. Bila keadaan umum penderita jelek, sebaiknya dirawat dirumah sakit agar menjamin istirahat yang cukup. Reaksi Reversal Pengobatan antikusta tetap seperti biasa. Bila ada gejala-gejala neuritis dan lain berikanlah pengobatan yang diperlukan untuk mengatasi gejala-gejala tersebut. Bila neuritis terlalu berat, maka untuk mencegah kekakuan yang menetap dapat diberikan pengobatan steroid dosis tinggi untuk beberapa minggu kemudian diturunkan secara bertahap sampai beberapa bulan (dosis prednison sampai 30 mg/hari).

TUBERKULOSA KUTIS Tuberculosa kutis (Tbc kutis) adalah infeksi kulit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis var. humanus atau var. bovis. Tbc kutis dapat di bagi menjadi bentuk terlokalisir dan bentuk eksemantous atau hematogenous. Bentuk terlokalisir progresif adalah : - Kompleks inokulasi primer - Lupus vulgaris - Tuberkulosis verukosa kutis - Skrofuloderma - tbc kutis orifisialis Bentuk yang tersebar, generalisata atau eksematous adalah : - Tuberkulosis miliaris - tbc abses - Papulo nekrotik tuberkuloid - Liken skrofulosorum ( tbc likenoides ) Respon imun yang diperantai sel ( CMI) menentukan bentuk perkembangan infeksi tbc. Nonrespon merupakan hal penting dalam tipe tbc kutis tertentu. Ketika tbc kutis jarang ditemui di Amerika Utara, timbulnya AIDS dan pertumbuhan tunawisma telah membangkitkan kembali kewaspadaan terhadap penyakit ini. Tbc kutis merupakan infeksi yang sering ditemukan pada populasi tertentu yang terinfeksi HIV seperti suku Haiti di Florida dan minoritas penyalahguna obatobatan. Patrick dkk menemukan tingginya insiden TBC ekstra pulmoner.Mereka juga mencatat bahwa respon terhadap obat mungkin baik, tetapi terapi lama untuk mencegah relaps.Beberapa peneliti merasa bahwa penyakit ini paling dapat diobati dan di sembuhkan dari semua infeksi oportunistik dalam AIDS. Tbc kutis yang sering dijumpai di Indonesia adalah: TUBERKULOSIS VERUKOSA KUTIS Gambaran Klinis Tbc verukosa ditandai dengan vegetasi kecil yang kadang kadang meluas menjadi plak besar. Anatomist's wart yang berasal dari infeksi akibat otopsi (prosector's wart) atau butcher tuberculous merupakan contoh tbc verukosa kutis . Heilman dan 10

Muschenchein melaporkan sebuah kasus yang terinfeksi karena resusitasi mulut ke mulut.. Secara klinis biasanya lesi tunggal, hiperkeratosis , merah kusam yang tidak berbahaya dan tumbuh sangat perlahan , tetapi kadang-kadang dapat bersama dengan limpangitis tbc atau adenitis, atau dengan perkembangan serius lain seperti erisepelas, tbc generalisata atau gangren . Lokasi yang sering untuk tbc verukosa kutis ada pada dorsum manus dan digiti, pergelangan kaki dan pantat. Lesi berbentuk diskoid, batas tegas , plak numular atau berukuran telapak tangan atau lebih besar lagi , kadang-kadang lesi tersebut membentuk suatu suatu konfigurasi . Pertumbuhan menetap , walau biasanya superfisial dan perluasannya terbatas. Lesi dapat terpisah oleh area eksudatif atau supuratif, tetapi jarang mengalami ulserasi dan biasanya sembuh spontan. Penyakit ini terutama pada tangan dan bagian ekstrimitas yang lain, biasanya pada dewasa dan merupakan reaksi dari infeksi sebelumnya, individu resistensi tinggi terhadap reinfeksi eksternal Diagnosis Banding. Tbc verukosa kutis hanya dapat dibedakan dengan kultur dari mikobakterial atipikal (swimming pool granuloma). Juga harus dibedakan dari Blastomikosis, tinea profunda (Majocchi's granuloma, tricophytic granuloma ), kromoblastomikosis, nevus epidermal verukous, hipertrofik liken planus, iododerma, bromoderma dan bahkan veruka vulgaris. Tipe mikobakteriosis ini jarang ditemui saat ini.

SKROFULODERMA (Tuberkulosis Kutis Koliquativa) Skrofuloderma merupakan istilah yang dipakai untuk tbc yang melibatkan kulit dengan penyebaran langsung, biasanya secara sekunder dari limpadenitis tbc di bawahnya. Penyakit ini terutama mengenai sepanjang limfonodi servikal tetapi dapat terjadi di atas tulang atau sekitar sendi pada anak- anak dan dewasa muda. Gambaran klinis Secara klinis lesi berupa granulasi kemerahan, edema, eksudatif dan berkrusta dengan lubang kecil atau ulserasi dengan berbagai ukuran serta tepi menggaung . Proses biasanya bermula dengan indurasi berwarna ungu tua pada kulit di atas kelenjar limfe yang terkena , di mana selama selama berbulan-bulan saling melekat. 11

Kelenjar tersebut cenderung pecah dan eksudat purulen dan kaseosa, meregangkan kulit yang terkena dan membentuk fistula ke dalamnya. Sinus mengeluarkan eksudat secara kronis dan ulserasi oval atau linier , granulasai pucat iregular, menyusun skrofuloderma. Tbc fistulosa subkutanea telah diuraikan oleh Simon . Penyakit ini ditandai dengan anal fistula kronis pada dewasa antara 30-50 tahun. Keterlibatan saluran cerna terutama rektum sering diamati . Lesi ini terdiri dari satu atau lebih fistula sampai ke jaringan yang dalam nodul infiltrasi dan pembegkakan area yang terkena. Kesemuanya ini merupakan bentuk tbc koliquativa. Terapi dengan INH telah memberikan hasil yang baik pada penyakit ini. Diagnosis Banding Skrofuloderma harus dibedakan dari gummma sifilistik, di mana bila mengalami ulserasi kemudian membentuk lubang yang dalam, sporotrikosis menghasilkan jamur khas bila dikultur; dan blastomikosis dengan adanya blastomikosis dermatitis . Limfogranuloma venereum disingkirkan dengan complement fiksation tes LGV inguinal dan perineal. Skrofuloderma juga harus dibedakan dari aktinomikosis dan tularemia dengan kultur . PENGOBATAN TBC KULIT Memandang penderita secara keseluruhan merupakan bagian penting dalam penanganan tepat pada lesi tbc. Hal ini meliputi pencarian adanya fokus penyakit yang mendasari; perbaikan kesehatan umum dan nutrisi; dan aspek kesehatan masyarakat dalam mencari sumber penyakit dan membatasi penyebaran infeksi. Infeksi bersamaan harus diterapi dan kondisi lain seperti diabetes seharusnya terkontrol. Bila terdapat keterlibatan TBC paru, tulang atau ginjal, maka perlu pendekatan dengan spesialis yang lain karena tergantung pada keterlibatan organ, perluasan lesi dan imunitas penderita. Dalam beberapa hal, penanganan tbc kulit adalah sama dengan tbc pada organ lain. Pilihan terapi adalah kemoterapi, tetapi tentunya perlu tambahan pengukuran untuk memberikan hasil optimal. Berikut ini merupakan panduan untuk kemoterapi tbc di AS yang ditetapkan oleh National Consensus Conference on Tuberculosis dan seharusnya diterapkan di semua negara berkembang : (2) krusta yang tebal, skar hipertropi , dan sikatrik berbentuk pita, kombinasi dari kondisi tersebut

12

1. Tbc ekstrapulmoner ( termasuk tbc kulit ) seharusnya diterapi seperti tbc paru. Suseptibilitas obat seharusnya selalu diuji; hal ini merupakan keharusan dalam kasus kecurigaan resistensi obat 2. Pada fase inisial, dewasa seharusnya mendapat pengobatan 9 bulan dengan isoniasid dan rifampisin ditambah etambutol, streptomisin atau pirazinamid. Untuk bayi, anak- anak, dan remaja, terapi inisial ini hanya diperlukan bila terdapat kecurigaan resistensi obat. 3. Dapat pula diberikan terapi 6 bulan bila empat obat ( Isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan streptomisin atau etambutol) diberikan untuk 2 bulan kemudian diikuti isoniazid dan rifampisin untuk 4 bulan. 4. Tbc selama kehamilan seharusnya tidak diterapi dengan streptomisin dan atau pirasinamid. Penderita dengan status imunosupresi lebih baik di terapi 12 bulan daripada 9 bulan. 5. Pelaksanaan terapi kurang dari 6 bulan tidak dibenarkan. Tujuan dari semua regimen anti tbc adalah untuk menyembuhkan penyakit secepat mungkin, mencegah relaps dan mencegah resistensi. Faktor- faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi adalah kepatuhan penderita, khususnya pada para tunawisma, alkoholik atau penyalahguna obat dan pelatihan inadekuat terhadap dokter. Selain itu faktor yang penting adalah masalah harga, khususnya rifampisin dan pirasinamid. Regimen standart 6 bulan untuk dewasa telah direkomendasikan oleh British American Thoracic Societies.Terapi ini menggunakan 4 macam obat ( dosis hanya untuk dewasa) : (3) 1. Isoniazid (300 mg / hari) selama 6 bulan. 2. Rifampisin ( 450 mg/ hari untuk BB< 50 kg dan 600 mg/ hari untuk BB> 50 kg) selama 6 bulan. 3. Pirasinamid untuk 2 bulan pertama ( 1,5 g / hari untuk BB < 50 kg; 2 g / hari untuk BB 50-74 kg ; 2,5 g / hari untuk BB > 75 kg ) 4. Etambutol untuk 2 bulan pertama ( dosis 15 mg/ kg BB/ hari) Semua obat diminum saat perut kosong sekali sehari.

13

Anda mungkin juga menyukai