Anda di halaman 1dari 66

Cermin 1994

Dunia Kedokteran
International Standard Serial Number: 0125 – 913X

92. Dengue Daftar Isi :


April 1994 2. Editorial
4. English Summary
5. The Epidemiology, Control and Prevention of Dengue Hemorrhagic
Fever (DHF) in Indonesia – Sumarmo, Thomas Suroso, A.
Abdulkadir, Imran Lubis
11. Masalah Penyakit Demam Berdarah Dengue pada Pelita VI –
Suharyono Wuryadi
14. Perubahan Jumlah Trombosit pada Demam Berdarah Dengue –
Sugianto D., Tatang K. Samsi, Hansa Wulur, Sefanya A.
Dirgagunarsa, GB Jennings
19. Kesenangan bertelur Aedes sp. – M. Hasyimi, Enny W. Lestari,
Supratman S.
22. Kaitan Tempat Perindukan Vektor dengan Pengetahuan dan Sikap
Masyarakat terhadap Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kodya
Batam – Pranoto, Amrul Munif
28. Efektifitas Fogging Malathion Masal pada Pencegahan/Pembe-
rantasan Demam Berdarah Dengue – Suharyono Wuryadi
31. Aspek Perilaku dalam Kaitannya dengan Penyakit Demam Ber-
darah di Kodya Sukabumi – Kasnodihardjo, Sumengen
34. Filariasis – Siklus Hidup dan Diagnosis Laboratorium –Nurtjahjo,
Ida Aju Brahma Dewi
39. Pemakaian Pembalut mengandung Deet untuk Perlindungan Per-
orangan terhadap Mansonia sp. – Suyitno
44. Kontaminasi dalam Pemeliharaan Hewan Percobaan secara Kon-
vensional di Daerah Tropis – Rabea Pangerti Jekti, M. Edhie
Sulaksono, Siti Sundari Yuwono
49. Keadaan Nilai Normal Baku Mencit strain CBR Swiss Derived di
Pusat Penelitian Penyakit Menular – Siti Sundari Yuwono, M.
Edhie Sulaksono, Rabea Pangerti Jekti
53. Various Types of Specific Acquired Deficient Immune Status
(SADIS) following Various Kinds of Microbial Infection – 4b. the
leprosy type (Lp-type) of SADIS caused by leprosy bacilli –RA
Handojo, Anggraeni Inggrid Handojo
60. Informasi Obat : Morecon®
61. Humor Kedokteran
62. Abstrak
64. RPPIK
Datangnya musim hujan dapat berarti meningkatnya kasus Demam Ber-
darah; setidak-tidaknya hal tersebut tergambar dari fluktuasi laporan kasus
selama beberapa tahun.
Mengingat masalah Demam Berdarah bukan hanya masalah medis-klinis
belaka, Cermin Dunia Kedokteran kali ini kembali membahas penyakit tersebut
dari berbagai segi; segi epidemialogi dibahas oleh Sumarmo dkk. dan Suhar-
yono Wuryadi, sedang aspek klinisnya dibicarakan oleh Sugianto D. dkk. Selain
itu dapat dijumpai pula beberapa makalah yang membahas masalah pembe-
rantasan vektor dan kaitannya dengan pengetahuan dan perilaku penduduk
di daerah tertentu.
Artikel lain ialah mengenai filariasis – penyakit yang terbatas di beberapa
daerah tertentu, tetapi tetap perlu diperhitungkan; dan juga mengenai masalah
penelitian dengan hewan percobaan.
Artikel dari RA Handojo dkk. merupakan lanjutan dari artikel-artikel
terdahulu yang telah terbit di edisi Cermin Dunia Kedokteran yang lalu.
Selamat membaca,

Redaksi

2 Cermin Dunia Kedokteran No. 101, 1995


Cermin 1995

Dunia Kedokteran
International Standard Serial Number: 0125 – 913X

KETUA PENGARAH REDAKSI KEHORMATAN


Prof. Dr Oen L.H. MSc
– Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro – Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soe-
KETUA PENYUNTING Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa darmo
Dr Budi Riyanto W Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Staf Ahli Menteri Kesehatan,
Jakarta. Departemen Kesehatan RI,
PEMIMPIN USAHA Jakarta.
Rohalbani Robi – Prof. Dr. R.P. Sidabutar – Prof. DR. B. Chandra
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf
PELAKSANA Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,
Sriwidodo WS Bagian Ilmu Penyakit Dalam Surabaya.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, – Prof. Dr. R. Budhi Darmojo
TATA USAHA Jakarta. Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam
Sigit Hardiantoro Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
– Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo Semarang.
ALAMAT REDAKSI Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi – DR. Arini Setiawati
Majalah Cermin Dunia Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Bagian Farmakologi
P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Telp. 4892808 Jakarta,
Fax. 4893549, 4891502 – Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno – Prof.DR.Hendro Kusnoto Drg.,Sp.Ort
SKM, MScD, PhD. Laboratorium Ortodonti
NOMOR IJIN Bagian Periodontologi Fakultas Kedokteran Gigi
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, Jakarta
Universitas Indonesia, Jakarta
Tanggal 3 Juli 1976
REDAKSI KEHORMATAN
PENERBIT
Grup PT Kalbe Farma
– Dr. B. Setiawan Ph.D – Drs.Victor S.Ringoringo,SE, MSc.
PENCETAK
PT Midas Surya Grafindo – DR. Ranti Atmodjo – Dr. P.J. Gunadi Budipranoto
PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan
aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang- yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk meng-
bidang tersebut. hindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan
Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated
diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau di- Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted
bacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh:
nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London:
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan William and Wilkins, 1984; Hal 174-9.
bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms.
berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mecha-
yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak nisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72.
mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus di- Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin
sertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pem- Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10.
baca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih,
dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.
berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran,
Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510
folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih P.O. Box 3117 Jakarta.
disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pe- Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu
ngarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat secara tertulis.
bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas- Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai
jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis


dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat
kerja si penulis.
English Summary
THE EPIDEMIOLOGY, CONTROL cipation through village cadres CHANGES IN THROMBOCYTE
AND PREVENTION OF DENGUE to eliminate breeding places all COUNT IN DENGUE HEMORRHA-
HEMORRHAGIC FEVER (DHF) IN year around, mass fogging be- GIC FEVER
INDONESIA fore the expected transmission
Sugianto D., Tatang K. Samsi,
season, fogging focus in the DHF
Hansa Wulur, Sefanya A. Dirga-
Sumarmo*, Thomas Suroso**, A. premises and surrounding places.
gunarsa, GB Jennings*
Abdulkadir**, Imran Lubis' The future trend of DHF, 1993- Dept. of Child Health, Faculty of Medi-
National Institute of Health, Research 1998 is predicted to have the cine, Tarumanagara University/Sumber
and Developmen*) and Directorate
same Incidence Rate, decrease Waras Hospital, Jakarta, Indonesia.
General CDC and Environmental * NAMRU unit 2, Jakarta, Indonesia
Health**), Ministry of Health RI, Jakarta of CFR, due to improvement of
water supply, community partici-
pation, early diagnosis and treat- Thrombocytopenia, the onset,
Dengue Hemorrhagic Fever
ment and development of prob- the duration and the lowest
(DHF) is one of the eight commu-
able Dengue vaccine. thrombocyte count, was studied
nicable diseases which cause
in hospitalized patients, clinically
high mortality in children in Indo-
Cermin Dunia Kedokt. 1993; 92: 5–10 diagnosed as Dengue Hemorrha-
nesia. Since the first outbreak in
S, TS, AA, IL gic Fever (DHF). A comparison
1968, incidence rate of DHF has
was made between patients in
been significantly increasing. The
stage III and IV of the disease
highest number of DHF cases was
(group I) and those in stage I and
reported in 1988, with 47.573 cases
II (group II).
mostly from the island of Java.
The results showed that in both
DHF is also spreading from 2 re-
groups the onset of thrombo-
gencies in 1968 to 187 regencies
cytopenia was between the
in 1992 throughout all the 27 pro-
second and the eighth day of
vinces in Indonesia. The Case Fa-
fever; in most of the cases on the
tality Rate (CFR) of DHF in hospital
fifth day. No significant difference
has been gradually decreasing
was seen between the two
from 41.3% in 1968 to 2.9% in 1992.
groups. Neither was there differ-
The number of DHF cases in-
ence of the duration of the throm-
creases mostly during the rainy
bocytopenia. The lowest throm-
season (November-January).
bocyte count was found on the
Since 1976, all of the four
sixth day of fever in both groups
Dengue serotypes have been
(25,600 ± 7,600/uL in group I and
isolated from patients clinically
41,600± 19,300 in group II).
diagnosed as DHF. Dengue-3 and
The results of the study suggest
Dengue-2 are the interchange-
that thrombocyte count should
able dominant serotypes.
be done on the third day of fever
Aedes aegypti, as the main
and monitored for at least 5 days.
vector, is found to be widespread
both in houses as well as in public Cermin Dunia Kedokt, 1993; 92: 14–8
places with House Index in 7 cities ssz
decreasing from 36% in 1986 to
28% in 1992.
Control and prevention of DHF
are' based on community parti-

4 Cermin Dunia Kedokteran No. 101, 1995


Artikel

The Epidemiology,
Control and Prevention of
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)
in Indonesia
Sumarmo*, Thomas Suroso**, A. Abdulkadir**, Imran Lubis*
National Institute of Health, Research and Development*) and
Directorate General CDC and Environmental Health**)
Ministry of Health RI, Jakarta

HEALTH STATUS IN INDONESIA EPIDEMIOLOGY OF DHF


Based on National Household Survey, the mortality pro- DHF was reported for the first time in 1968 from an outbreak
portion of infectious diseases in Indonesia declines from 71.7% in Surabaya and Jakarta. Since then, the Incidence Rate (IR) of
in 1980, to 58.6% in 1985 and to 49.2% in 1992. Diarrheal and DHF has. been increased with cyclic epidemic patterns in every
immunizable diseases primarily contributed to the decrease of five years (Figure 1). Started in 1968, incidence rate of DHF per
mortality proportion, while acute respiratory infection/pneumo- 100.000 population has been increased from 0.08, to 8.14 in
nia, tuberculosis and malaria contributed to its increase. 1973, to 4.96 in 1978, to 8.65 in 1983 and the highest being 27.98
Percentage of mortality caused by non-infectious diseases in 1988 with a total number of DHF cases 47.573 (Figure 1).
increases from 28.3% in 1980 to 41.4% in 1985 and to 51.8% in During the last four years (1989-1992) the average incidence rate
1992. This increase was due to cardiovascular diseases and of DHF was 9.79 with a total number of DHF cases between
injury. 10.362 to 22.807 DHF cases every year.
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is one of the eight
highest mortality proportions of all ages. The eight highest Figure 1. DHF Incidence*), CFR and Number of Regencies Affected in
Indonesia 1968-1992
mortality proportion on infectious diseases are as follows : ART/
pneumonia, diarrheal diseases, tuberculosis, tetanus, infectious
hepatitis, diptheria/pertusis/measles, malaria and dengue
hemorrhagic fever (DHF). The mortality proportion of DHF is
increased during the last decade, from 0.8% in 1980 to 1.2% in
1985. The trend of DHF proportion of mortality in 1992 cannot
be calculated.
In areas where drinking water is very scarce, inadequate
storage of clean water, or inadequate drainage of surface water
provide a lot of breeding places for mosquitoes. It is estimated
that to this date about 38% of the rural population in Indonesia has
access to protected water supplies, while 62% hasn't. In the urban
areas, it is estimated that about 40% of the population has access
to piped water system and the remaining 60% hasn't. The low
proportion of households which has access to drinking water will
also contribute to the increase of breeding places.

Invited Paper, Presented at the International Symposium Current Situation of


Dengue Virus and Its Control, Nagasaki, Japan, 11-12 October 1993. No. Regencies
Aside from the high incidence rate, the Case Fatality Rate The number of regencies/municipalities affected by DHF
(CFR) of DHF has been gradually declining from 41.3% in 1968 has increased from 2 in 1968 to 187 in 1992 (Figure 1). For the
to 4.6% in 1973 and 2.9% in 1992 (Table 1). This is due to the objectives of DHF control and prevention, Indonesia is divided
increase of skills in diagnosing and treatment of DHF and the into several endemic areas according to the differences of DHF
contribution of a training program by the government for the incidence rate per 100.000 population as shown in Figure 2.
doctors, nurses in hospitals and Primary Health Care Centres Starting from this year DHF is already reported from all over 27
throughout Indonesia, so that treatment services in hospitals have provinces in Indonesia.
become more and more successful in handling DHF cases. For the past 3 years (1991-July 1993), the most affected
During the first decade DHF has spread through big cities provinces with high incidence rate of DHF were : Jakarta (42.1),
mainly on the island of Java, the most densely populated island Yogya (37.1), East Java (21.0), Central Java (14.4), West Java
in Indonesia. Consecutively, DHF starts to infest rural isolated (9.4), North Sulawesi (12.6), South Kalimantan (8.1) and East
areas and also other islands. Kalimantan (8.4), (Table 2).
Table 1. Number of DHF Cases and Deaths in Indonesia 1968-1993*
Age Proportion of DHF in the period of 1968-1973, 1980,
1984-1989 and 1990-1992 is shown in Figure 3. The percentage
Case Incidence rate Regencies/
Year
DHF DHF
Fatality (100.000
Provinces
Municipalities of DHF cases in the less than 1 year old age group was decreased
Cases deaths affected from 3.1% to 0.8%; in the 1-4 years old age group it had decreased
rate (%) population) affected
1968 58 24 41.3 0.05 2 2 from 40.4% to 14.1%, in the 5-14 years old age group it was
1969 167 40 23.9 0.14 2 7 almost constant with an average of 55% and in the more than 15
1970 477 90 18.8 0.4 2 8 years old age group had increased from 4.3% to 25.4%. The shift
1971 267 40 14.9 0.22 3 7 to the older age group phenomena remains to be duly explained.
1972 1400 135 9.6 1.14 4 11
1973 10189 470 4.6 8.14 10 67
A recent serological study in Yogyakarta shows that 98% of
1974 4586 180 3.9 3.57 10 69 children aged 1-3 years old has had antibody to Dengue. This
1975 4563 368 8.1 3.47 19 89 high positivity rate has never been found in the past.
1976 4548 214 4.7 3.38 19 93 The fluctuation of DHF cases every year depends on sea-
1977 7826 320 4.1 5.69 16 112 sonal variation (Figure 4). The number of DHF cases usually
1978 6989 384 5.5 4.96 20 125
1979 3422 165 4.8 2.37 23 105
increases during the rainy season, starting from September to
1980 5007 243 4.8 3.39 23 115 February with peaks in January.
1981 5978 231 3.9 3.96 24 125 Review of Dengue virus isolation from hospitalized cases
1982 5451 255 4.7 3.53 22 142 from several hospitals is shown in Table 3. All four Dengue
1983 13668 491 3.6 8.65 22 162 serotypes have been isolated since 1975 from mild as well as
1984 12710 382 3.0 7.86 20 160
1985 13588 460 3.4 8.14 19 155
severe cases with shock, hemorrhagic manifestation and death.
1986 16529 608 3.7 9.79 23 159 In 17 years, the dominant serotypes is either Dengue-3 or
1987 23864 1105 4.6 13.5 20 160 Dengue-2 with the average proportion of 46.06% and 31.47%
1988 47573 1527 3.2 27.98 25 201 consequtively. In 1981, there was an epidemic of DHF in rural
1989 10362 464 4.5 6.09 24 163
area Bantul, which was caused mainly by Dengue-3, much less
1990 22807 821 3.6 12.70 21 177
1991 21120 578 2.7 11.56 24 181 by Dengue-1 and Dengue-4, and none by Dengue-2. These two
1992 17620 509 2.9 9.45 24 187 Dengue serotypes are also considered the most severe strains of
1993* 7392 171 2.3 25 164 Dengue in Indonesia. Dengue-1 and Dengue-4 are isolated at the
*) Up to July 1993. average of 18.35% and 4.12% of DHF cases in hospitals.
Figure 2. Average Annually DHF Incidence Rate*) (1988-1992) by Pro-
vince in Indonesia
Table 2. Number of DHF Cases and Deaths in Indonesia, by Province,
1991 – 1993*
1991 1992 1993*
Province DHF DHF DHF DHF DHF DHF
IR** IR**
cases deaths cases deaths cases deaths
Dista Aceh 26 6 0,27 32 5 0,89 25 1
North Sumatera 47 4 0,45 195 11 1,83 156 4
West Sumatera 196 0 4,82 129 0 3,11 72 0
Riau 75 1 2,19 212 6 6,08 55 3
Jambi 30 2 1,44 103 2 4,85 30 1
South Sumatera 98 7 1,51 208 11 3,15 50 4
Bengkulu 1 0 0,08 9 0 0,72 1 1
Lampung 17 1 0,28 24 2 0,38 35 3
DKI Jakarta 3.547 46 42,1 4.377 42 50,9 1.017 9
West Java 3.438 134 9,47 2.950 128 7,97 1.366 42
Central Java 4.181 85 14,4 4.388 145 14,9 2.161 38
DI Yogyakarta 1.088 24 37,1 729 19 24,4 237 6
East Java 6.929 192 21,1 3.023 85 9,03 1.450 26
West
97 11 2,92 115 16 3,39 89 6
Kalimantan
Central
24 1 1,66 17 1 1,15 50 0
Kalimantan
South
216 2 8,13 81 3 2,99 25 0
Kalimantan
East Kalimantan 166 8 8,48 89 2 4,46 7 0
North Sulawesi 318 16 12,6 183 7 7,13 25 4
Central Sulawesi 0 0 0,00 10 0 0,56 9 0
South Sulawesi 519 31 7,33 272 6 3,77 107 6
South-east
0 0 0,00 0 0 0,00 2 0
Sulawesi
Bali 80 3 2,85 353 8 12,3 211 5
West Nusa
4 0 0,12 13 1 0,37 9 0
Tenggara
East Nusa
11 1 0,33 107 9 3,15 200 12
Tenggara
Maluku 12 3 0,63 0 0 0,00 0 0
Irian Jaya 0 0 0,00 1 0 0,06 0 0
East Timor 0 0 0,00 0 0 0,00 3 0
Total 21,120 578 11,56 17,620 509 9,45 7.392 171

Note :
*) Up to July 1993 **) IR = Incidence Rate per 100,000 population
Figure 3. Age Proportion of DHF Cases in Indonesia 1968 – 1992
Figure 4. Average Annual No. of UHF by Month in Indonesia, 1988-1992

Note :
DHF cases

Table 3. Isolation of Dengue Virus from DHF Patients in Indonesia, 1975-


1992

Dengue Serotypes
Year Dengue-1 Dengue-2 Dengue-3 Dengue-4 Total
n % n % n % n %
1975 4 44 3 33 2 23 – 0 9
1976 18 7 21 19 54 50 15 14 108
1977 10 11 20 22 56 59 9 8 95
1978 7 15 21 46 18 39 – 0 46
1979 5 13 18 46 14 36 2 5 39
1980 6 14 15 34 22 50 1 2 44
1981 9 17 14 32 29 67 2 4 54
1982 7 15 20 42 21 43 – 0 48
1983 5 12 17 41 16 39 3 8 41
1984 4 11 12 34 18 51 1 4 35
1985 3 12 10 38 13 50 – 0 26
1986 17 18 33 35 39 43 4 4 93
1987 11 12 17 20 53 61 6 7 87
1988 9 16 12 21 32 57 3 6 56
1989 1 10 2 20 7 70 – 0 10
1990 48 40 30 25 33 28 9 7 120
1991 5 45 3 27 2 17 1 1 11
1992* 9 8 9 7 33

Note :
* Up to September 1992
1975-1988 Data from NHIRD
1988-1992 Data from NAMRU-2, Jakarta.

Aedes aegypti is the main vector of DHF, while Aedes


albopictus is considered another potential vector. The distribu-
tion of Ae. argypti has been reported in all 27 provinces. In Irian
Jaya, Ae. aegypti and Ae. albopictus were found in 9 airports as
well as sea ports, i.e. Jayapura, Biak, Sorong, Manokwari and
Merauke. The average house index was 2.6 and the range was
from 0.3-0.8 in 1968. The Directorate General for CDC & EH
(1992) reported thatAe. aegypti indices were found at residential
and public places in 83 cities in 1991/1992. The premise indices
at the residential areas in 19 cities were less than 5, and in 33 cities
more than 5. The indices at the public places in 24 cities were less
than 5 and in 19 cities more than 5. There were 26 cities of which Origin) and larvae indices in the hospitalized DHF cases houses
the indices at the temporary solid wastes collection were less then and 20 nearby premises. Fogging Focus supported by source
5 and 10 cities of which indices at the water containers were more reduction of Ae. aegypti breeding sites by the community in the
than 5. Such indices indicated thatAe. aegypti, the main vector of confirmed DHF cases' houses and nearby premises at 100 m
DHF, has spread out from the low to the high residential areas in distance.
all provinces in the country. 2) Intensive Control Program in endemic subdistricts which
Surveys on Ae. aegypti indices have been taken in 9 cities consist of : (a) Massive Fogging, two cycles with one week
and towns from 1986-1987 and shown in Table 4 and Table 5. interval, before the predicted seasonal increase of transmission
Ae. aegypti was widely found in household water reservoirs. The supported by selective larvaciding every 3 months in endemic
Ae. aegypti average premise index has no significant differences villages; (b) Elimination of Ae. aegypti breeding sites through
in houses, schools, offices, religious places, even in health facili- community participation in all villages in the endemic sub-
ties and in other public.places ranging from 27 to 44. The highest districts; and (c) Selective Larvaciding is also conducted every
container index of Ae. aegypti was found in watertanks (53.8). 3 months in all schools, hospitals, health centers, and other public
The other important breeding places were drums (36.5), water facilities in the endemic subdistricts.
jars (31.7), container for bathing/toilets (20.5), discarded mate- 3) Health Education Campaign through village cadres, village
rials (27.5) and tree holes/bamboo stems (18.7). working groups, peer groups, leaflet, pamphlet, film,. etc.
Table 4. Houses and Public Facilities with A. aegypti Larvae in None Cities
For the time being, the success of DHF control program only
and Towns in Indonesia, 1986 – 1987 depend on the success in vector, Ae. aegypti, control. Subdirec-
torate of DHF Control has conducted several approaches in
Number of Premise Premise Range of Average vector control; the latest one is Intensive Vector Control Pro-
Premise with index PI PI
Examined larvae ----- (percentage) - - - - -
gram. This program defines endemic subdistrict as subdistrict
which have at least one endemic village. A village where DHF
Houses 3.333 1.183 35.5 16.8–60.8 35 occurs every year during the last three years is called endemic
Schools 560 225 40.2 26.8-65.9 44
Offices 224 57 25.5 10.7–79.0 27 village. Appropriate Intensive Vector Control Program is a
Religious places 186 48 25.8 10.5–47.0 28 program which conduct : (a) massive fogging; (b) regular larvae
Health facilities 108 43 39.8 16.7–70.0 39 inspection based on house to house visits every 3 months in all
Other public villages of the endemic subdistrict. In endemic villages Teno-
facilities 614 161 26.2 21.0–51.9 30
phos® larvaciding is applied in water containers found with
Table 5. Types of Water Containers Which Acted as A. aegypti Breeding larvae (selective larvaciding); and (c) selective larvaciding in
Sites in Nine Cities and Towns in Indonesia, 1986 – 1987 public facilities every 3 months.
Special Working Groups for R&D on DHF was established
Number of containers Container Index
Water containers 5 years ago. This group consists of various specialist in the field
Examined With larvae (Percentage) of Clinical, Public Health, Epidemiology, Sociology, Anthropo-
Containers for 2.976 611 20.5 logy, Virology from Universities, Government and NGO which
bathing/Toilets work together based on multicentres cooperation approach
Water jars 3.000 951 31.7 throughout Indonesia. To support DHF control program, Re-
Drums 1.472 538 36.5
Water tanks 93 50 53.8
search and Development (R&D) activities has been conducted to
Pails and others 320 26 8.1 evaluate impacts of clinical treatment and diagnosis, community
Containers for 512 46 9.0 participation, program policies, transmission reduction contri-
drinking of birds buted to adulticide and larvacide etc.
Tree holes/Bamboo 273 51 18.7
stem
Community participation on elimination of mosquitoes
Discarded materials 1.393 383 27.5 breeding places is reflected in the routine surveys of house/
Flower vases 580 37 6.4 premise index from 7 cities and towns in Indonesia in 7 years
Total 10.619 2.693 25.4 apart (Table 6). A slow decrease of indices is observed in public
places (5%), and faster decrease is achieved in schools (11%) and
PREVENTION AND CONTROL OF DHF houses (8%).
The objectives of DHF Control Program are : Table 6. Results of Survey of Aedes aegypti in 7 Cities and Towns in
1) Reduction of DHF incidence rate in endemic subdistricts to Indonesia 1986/1987 and 1992
less than 10 per 10.000 population.
2) Reduction of CFR of DHF to less than 2.5%. Premise/House Index Differences
3) Increase community participation so that the FreeAe. aegypti Location
1986/1987 1992
(%)
Larvae Rate of houses in endemic subdistrict will be more than (%) (%)
95% or house index less than 5%.
Houses 38 30 –8
Activities on DHF prevention and control will consist of : Schools 43 32 – 11
1) Early warning system by early case detection through Public places 28 23 –5
epiddmiological investigation of FUO (Fever of Unknown
Observation of data collected in 1992, from 134 villages Figure 5. No. of Cases and Budget for Control and Prevention of DHF in
Indonesia, 1979-1992
which DHF incidence rate of 10 per 10.000 or less in 3 provinces,
showed that 36 villages were treated with massive fogging and
selective larvaciding, whereas 98 other villages were not treated.
DHF incidence rate for 5 months period after massive fogging
were compared with those incidence of same period of last year
(Table 7).
Table 7. Proportion of Number Villages With and Without Treatment
Having Reduction of DHF Incidence Rate

Proportion of villages with


Percentage reduction of DHF incidence
Chi Square
of reduction With treatment No treatment (p)
(%) (36 villages) (98 villages)
(%) (%)

100 30,6 14,3 0.0321


80 and more 58,3 31,6 0.0049
60 and more 69,4 52,0 0.0715
40 and more 75,0 59,2 0.1681
20 and more 77,8 68,4 0.2878

Less then 20 22,2 31,6 –


and increase

Proportion of villages with reduction of incidence rate up to


80% or more in villages with treatment is higher than those of
villages with no treatment. Further studies is needed to examine ronmental contamination could be refered as the significant
factors affecting on impact of the intensive control program. factor for transmission of Dengue virus.
Budget expenditure by Sub. Dit. Arbovirusis, Dit. Gen. Personal illness control according to Mosley will be able to
CDC & EH for control and prevention of DHF in Indonesia, 1979 increase individual preventive measures to avoid disease by
– 1992 is shown in Figure 5. From 1979 to 1984, the average eliminating environmental infestation. But many public health
budget expended was below one billion rupiah (500 thousands professionals are often faced with the problems of the tendency
US $). Started from 1988 budget has increased from 1 billion of the community to revert to former patterns of behavior after
rupiah to 11 billions rupiah in 1992 (5 millions US $), more than initial enthusiastic reception to the new innovation wear off.
10 times of increase within 4 years period. The increase of budget For the next five years, 1993–1998, the favorable factors on
expenditure is statistically not related to the decrease of DHF DHF trend analysis are : improvement of water supply, increase
incidence rate, because the Correlation Coefficient using log 10 of community participation on reduction of mosquitoes breeding
between budget and incidence rate is 0.0818. Coverage of inten- places, improvement of early diagnosis and treatment and the
sive control program in 1991/1992 is still under the total targeted development of possible Dengue vaccine. While the unfavorable
areas. The coverage of prevention and control measures at factors are : increase of urbanization problems, questions on
districts level is only 65.2%, subdistricst level is only 34% and pathogenesis and the determinant factors of 5 years cyclic of
villages level is only 26%. DHF epidemic.
Based on the above proximate determinants it is predicted
FUTURE TREND OF DHF IN 1993–1998 that DHF trend are as follows : the incidence rate will increase
The trend of DHF will follow the whole health development and fluctuate, but CFR of DHF will decrease.
trend in the country. Some determinant factors which contribute Expenditure for supporting DHF control and prevention
to health development are : programs are generally low. Therefore, in allocating the limited
• Economic development will continue at much faster rate and budget for DHF contrcil and prevention attention needs to be
certainly will increase household income and prosperity. It will concentrated on making a few simple but effective health
then increase private participation in the health development. technologies widely accessible. Mechanism for private and
• Mobility rate of people will increase. community financing to support DHF control and prevention
• Income earners will come and stay in big cities which creates activities should be further developed.
urbanization problems and increase environmental contamina- At last, the promotion of community participation including
tion with disease agents. the private sectors, professional and non-government organiza-
One of the important factors which influence DHF incidence tion which carried out through the enhancement of intersec-
is the magnitude of environmental contamination in form of Ae. torally supported communication, information and education
aegypti infestation in the man-made breeding places. This envi- (IEC) should be maxinally explored.
REFERENCES 4. Imran L. Children and Adult DHF Cases in Jakarta, Indonesia, 1988, Dengue
Newsletter Vol 15, February 1990.
1. Suharyono W. Sepuluh tahun pengamatan virus Dengue di Indonesia 5. Suroso T, A. Abdulkadir A. DHF Epidemiological Situation in Indonesia,
1975–1985. Symposium on Dengue Hemorrhagic Fever, Jakarta 26 July (unpublished).
1986. 6. CBS, NFPCB, Min. of Health., Demographic and Health Survey 1991,
2. Sumarmo. Demam Berdarah Dengue di Indonesia, Situasi sekarang dan October 1992.
harapan di masa mendatang, Semiloka Berbagai Aspek Demam Berdarah 7. NIHRD, Min. of Health., The Trend Assessment of Health Development in
Dengue dan Penanggulangannya, Depok 27–28 Nopember 1989. Indonesia, June 1993.
3. Sumarmo, S. Wuryadi, W. Gubler. Clinical Observation on Hospitalized 8. IPHA, Analysis of the Health Transition in Indonesia, Implication for Health
patients with Virologically confirmed Dengue Hemorrhagic Fever in Jakarta, Policy, 1993.
Indonesia, 1975–1983, Paediatr. Indon. 1986; 26: 137. 9. Mosley WH, Chen LC. Child Survival, Strategies for Research, Cambridge
University Press, 1984.
Masalah
Penyakit Demam Berdarah Dengue
pada Pelita VI
Suharyono Wuryadi
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN Jumlah kasus dari tahun ke tahun memperlihatkan pola ke-


Penyakit Demam Berdarah Dengue (untuk seterusnya dise- naikan kasus 5 tahunan; dimulai dari tahun 1968, 1973, 1978,
but DBD) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan 1983 dan yang terbesar tahun 1988 dengan sekitar 50.000 kasus.
masyarakat yang cukup besar di tanah air. Sejak pertama kali Kenaikan tersebut dapat disebabkan oleh penurunan kekebalan
dilaporkan yaitu dari Jakarta dan Surabaya pada tahun 1968, setiap 5 tahun, atau akibat mutasi virus setiap 5 tahun muncul
penyakit ini makin meningkat dan menyebar. Jika pada per- strain baru yang virulen, atau karena peningkatan pelaporan
mulaannya hanya dilaporkan dari kota-kota besar di Jawa, pada (surveillance). Seharusnya terjadi kenaikan kasus pada tahun
waktu ini telah hampir seluruh kota besar di tanah air telah pernah 1993, tetapi ternyata jumlah kasus lebih rendah daripada kasus
melaporkan adanya penyakit ini, bahkan kota-kota kecil dan tahun 1992; mungkin disebabkan karena pemerintah dan ma-
tempat-tempat terpencilpun pernah terserang. syarakat telah mengantisipasinya dengan kegiatan pencegahan
Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa insidens kasus DBD untuk yang terorganisir dan intensif. Hal ini perlu diteliti lebih lanjut.
tiap 100.000 penduduk naik terus dari tahun ke tahun. Sebelum tahun 1984/1985 kasus DBD hanya terjadi pada
Demikian juga daerah Dati II terjangkit terlihat naik terus dari anak-anak di bawah 15 tahun tetapi sejak itu kasus di atas 15
tahun ke tahun; sampai saat seluruh 27 propinsi telah pernah tahun mulai meningkat bahkan diketemukan kasus DBD pada
melaporkan penyakit ini. Propinsi terakhir yang melaporkan dewasa (Gambar 2). Terlihat bahwa dalam tiga periode; 1968–
penyakit ini adalah propinsi termuda Timor Timur yaitu dengan 1973; 1980 dan 1984–1991, proporsi anak penderita DBD 1–4
diketemukannya kasus DBD di Dili pada bulan Maret 1993 ini. tahun menurun sedang kelompok umur 5–14 tahun sedikit ba-
Gambar 1. Insidens dan Dati II Terjangkit DBD per Tahun di Indonesia nyak tetap sedang kelompok umur di atas 15 tahun pada periode
Tahun 1968–1992 1984–1991 naik.
Satu hal yang menggembirakan adalah angka kematian
yang makin menurun dari tahun ke tahun. Kalau pada permulaan
dilaporkannya penyakit DBD ini angka kematian mencapai 40%
maka pada saat ini angka kematian dapat ditekan sampai 3%
saja. Hal ini berkat peningkatan ketrampilan para klinisi dan
petugas kesehatan.

PERMASALAHAN
Sampai saat ini banyak hal tentang penyakit DBD ini yang
belum diketahui dengan jelas; mengapa terjadi wabah, mengapa
ada wabah 5 tahunan, mengapa suatu daerah dapat endemis,
sporadis, mengapa infeksi dengan virus dengue yang sama dapat
menimbulkan manifestasi klinik yang berbeda, dari yang ringan
atau tidak bergejala sampai perdarahan berat shock dan kema-
tian. Masalah mengapa sejak tahun 84/85 kasus-kasus DBD pada
dewasa meningkat, sampai saat ini juga tidak diketahui dengan
jelas.
Gambar 2. Kasus Penyakit Demam Berdarah Dengue per Golongan Umur nularkan kepada lebih banyak orang. Ke-4 serotipe virus dengue
di Indonesia
berada di Indonesia dan sampai saat ini transmisi ke-4 serotipe
tersebut masih berlangsung.
Satu hal yang jelas diketahui adalah bahwa penyakit ini
disebabkan oleh virus dengue, ditularkan melalui nyamuk Ae.
aegyptilAe. albopictus, dan manusia merupakan satu-satunya
reservoir virus. Pada waktu ini pencegahan/pemberantasan pe-
nyakit DBD hanya dapat dilakukan melalui pemutusan rantai
penularan manusia-nyamuk-manusia, yaitu dengan membasmi
nyamuknya. Usaha ini dapat dilakukan dengan bahan kimia,
mekanis maupun biologis. Dengan bahan kimia misalnya
malathion untuk membunuh nyamuk dewasa, abate untuk mem-
bunuh jentiknya. Secara mekanis dengan pembersihan sarang
nyamuk; menguras tempat penampungan air untuk jentik dan
telur sedang secara biologis adalah dengan binatang/ikan, jamur,
bakteri yang dapat memakan jentik nyamuk.
Pemakaian bahan kimia mahal dan berdampak lingkungan
yang jelek, belum termasuk kemungkinan resistensi dari
nyamuknya; karena itu penggunaan bahan kimia sebaiknya
hanya bersifat sementara. Cara-cara lain seperti pembersihan
Sampai saat ini pengobatan terhadap virus dengue juga sarang nyamuk, penggunaan ikan, sebetulnya dapat mengganti-
belum ada sehingga semua pengobatan hanya bersifat simptoma- kan penggunaan bahan kimia dan tidak ada dampak buruk tetapi
tis saja. Vaksin sebagai pencegahan juga belum ada; memang harus dilakukan secara intensif dan terus menerus. Untuk itu
masih diusahakan dibuat oleh kelompok dari Thailand tetapi partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan mengingat tempat-
sampai saat ini belum dapat digunakan. Vaksin dengue yang tempat perinditkan nyamuk berada di dalam rumah mereka.
direncanakan adalah vaksin dengan virus yang dilemahkan dan Pemerintah dalam mengantisipasi kenaikan dan penyebaran
akan diberikan dalam bentuk polivalen (semua serotipe dengue) penyakit DBD ini telah berusaha keras melalui program pen-
untuk mencegah kemungkinan infeksi sekunder. Hal ini ter- cegahan/pemberantasan, tetapi keterbatasan dana memaksa
utama untuk daerah endemis di mana kemungkinan besar program 'untuk melakukan kegiatan berdasarkan prioritas. Di
anak-anak telah pernah mendapat infeksi alam dengan virus samping itu partisipasi aktif masyarakat misalnya melalui Pem-
dengue dari salah satu tipe sehingga pemberian vaksin dengue bersihan Sarang Nyamuk (PSN) masih rendah, padahal partisi-
yang mengandung virus dengue hidup 'akan sama dengan pasi tersebut merupakan kunci keberhasilan pencegahan/pem-
menyebabkan infeksi kedua (sekunder) dengan serotipe yang berantasan DBD.
berbeda dengan infeksi pertama sehingga mungkin justru me- Dimulai tahun 1990/1991 strategi barn pencegahan/pem-
nimbulkan Demam Berdarah'Dengue. berantasan secara intensif mulai dilakukan di Indonesia. Pada
Penyakit DBD penularannya dilakukan oleh nyamuk Ae. strategi baru ini kegiatan juga dilakukan atas dasar prioritas.
aegypti tetapi penyebarannya lt'bih banyak dilakukan melalui Wabah akan mendapat prioritas utama, disusul daerah endemis,
orang yang sedang mengalami viremia karena nyamuk Ae. aegypti sporadis dan terakhir daerah rawan. Pēnanggulangan fokus ma-
mempunyai jangkauan terbang yang terbatas. Orang yang sedang sih tetap dilakukan dengan lebih mengetatkan kriteria fokus dan
sakit dengan gejala ringan atau dalam stadium inkubasi dengan radius fogging malathion di sekitar kasus diperluas menjadi 200
viremia dal am tubuhnya dapat bepergian ke mana saja. Di tempat m dari 100 m sebelumnya. Partisipasi masyarakat dalam Pem-
baru dia akan dapat segera menginfeksi nyamuk Ae. a'egypti/Ae. bersihan Sarang Nyamuk (PSN) juga mendapat prioritas utama.
albopictus yang akan merupakan sumber penularan bagi anak/ Pembinaan peran serta masyarakat dilakukan dengan penyuluh-
orang lain di tempat tersebut. . an dan penggerakan masyarakat. Kerja sama limas program dan
Nyamuk Ae. aegypti/Ae. albopictus tersebar luas di tanah air lintas sektoral melalui Kelompok Kerja Nasional (Pokjanal)
dan berada terus menerus sepanjang tahun, dengan kepadatan tingkat Propinsi, Kabupaten, Kecamatan, Kelurahan/desa akan
yang turun naik sesuai dengan musim; musim hujan akan naik dikoordinasi oleh Kepala Wilayah/Daerah. Diharapkan dengan
dan musim kemarau akan menurun. Sampai saat ini juga belum cara ini pencegahan/pemberantasan DBD akan dapat dilakukan
jelas peranan nyamuk Ae. aegypti/Ae. albopictus dalam me- lebih terpadu sehingga akan lebih berhasil guna.
nimbulkan wabah. Ada wabah DBD yang terjadi meskipun
populasi nyamuk Ae. aegypti rendah atau sebaliknya; berapa KECENDERUNGAN PENYAKIT DBD PADA PELITA VI
besar peranan kerentanan nyamuk Ae. aegypti dari pelbagai Kota besar akan selalu dibanjiri oleh orang-orang yang
tempat/daerah terhadap virus dengue. Bagaimana pengaruh ke- mencari pekerjaan, yang kebanyakan kurang atau tidak mampu
lembaban, temperatur, besarnya angin terhadap umur nyamuk, sehingga mereka akan menambah daerah pemukiman kumuh.
sebab jika berumur panjang akan mempunyai kesempatan me- Mengingat daerah kumuh menciptakan tempat yang sangat subur
bagi perkembangbiakan nyamuk Aedes maka tidak menghe- DBD; selain karena pengalaman juga training yang dilakukan
rankan kalau populasi nyamuk Ae. aegypti/Ae. albopictus akan maupun penyebaran informasi terbaru lewat seminar dan lain-
meningkat di samping datangnya orang-orang baru tersebut akan lain, sehingga dapat makin menurunkan angka kematian. Makin
meningkatkan jumlah orang yang rentan terhadap DBD. lengkapnya peralatan dan unsur penunjang lain seperti kemam-
Kepadatan dan mobilitas penduduk yang meningkat, jumlah puan laboratorium, juga akan membantu menurunkan angka
nyamukAe. aegypti dan Ae. albopictus yang juga meningkat, se- kematian tersebut.
dang obat/vaksin untuk pencegahan dan juga cara pencegahan/ 7) Dari data tahun-tahun sebelumnya tampak adanya ke-
pemberantasan yang belum mantap menyebabkan pada Pelita VI cenderungan kasus-kasus dewasa meningkat; hal ini diperkira-
ini penyakit DBD masih akan merupakan masalah besar kese- kan akan tetap meningkat pada Pelita VI ini, meskipun sebab
hatan : yang jeias belum diketahui.
1) Kasus akan makin banyak, bahkan wabah masih akan ter-
jadi. KESIMPULAN
2) Peningkatan kasus menyolok di kota-kota besar. Penyakit Demam Berdarah Dengue masih akan merupakan
3) Kota/tempat yang lebih kecil akan sering menerima limpah- masalah kesehatan masyarakat pada Pelita VI ini. Kasus masih
an kenaikan kasus dari kota-kota besar, terutama dengan makin akan meningkat, wabah masih akan terjadi. Kasus-kasus dewasa
meningkatnya hubungan/transportasi. meningkat tetapi angka kematian akan menurun.
4) Partisipasi masyarakat masih sulit, lebih-lebih di kota-kota
besar. Partisipasi dalam pencegahan/pemberantasan secara swa-
dana (membayar) akan meningkat di kelompok/tempat-tempat KEPUSTAKAAN
berpenghasilan menengah dan tinggi tetapi karena terlalu sibuk
1. WHO. Dengue Hemorrhagic Fever; Diagnosis, Treatment, and Control.
dengan pekerjaan/kegiatan di kota besar mereka tidak mem- Geneva 1985.
punyai waktu untuk melakukan partisipasi secara aktif. 2. Program Pemberantasan Penyakit DBD Pelita V I. Laporan Pelita V. Sub.
Pencegahan penyakit DBD di kota-kota kecil akan lebih Dit. Arbovirosis, P2M PLP, Departemen Kesehatan, Jakarta.
baik dan bersama-sama dengan program pemerintah akan dapat 3. Kebijakan Pemberantasan DBD. Pelatihan Pengelolaan Program DBD bagi
Kasi P2M KanWil Departemen Kesehatan, Propinsi. Sub. Dit. Arbovirosis,
menghambat penyebaran/peningkatan penyakit ini. Dit. Jen. P2M PLP, Departemen Kesehatan, Jakarta, 12–18 Juli 1993.
5) Program pencegahan/pemberantasan dari pemerintah akan 4. S.K. Menteri Kesehatan R.I. nomor: 581/MENKES/SK/VII/1992 tentang
lebih berhasil guna mengingat keterlibatan instansi lintas pro- Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue beserta lampirannya.
gram dan lintas sektoral yang lebih terkoordinir. 5. Bahan Pra-Lokakarya Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan 2–7 Agustus 1993. Jakarta.
6) Para dokter akan makin trampil menangani kasus-kasus

Never despair; but if you do, work on in despair


(Edmund Burke)
Perubahan Jumlah Trombosit
pada Demam Berdarah Dengue
Suglanto D, Tatang K. Samsi, Hansa Wulur, Sefanya A. Dirgagunarsa, G.B. Jennings
UPF/Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara/ Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta
NAMRU Unit 2, Jakarta

PENDAHULUAN SUBJEK DAN METODE PENELITIAN


Salah satu kriteria untuk mendiagnosis Demam Berdarah Subjek ialah penderita DBD yang dirawat di Bagian Ilmu
Dengue (DBD) ialah trombositopeni (hitung trombosit100.000/ Kesehatan Anak RS Sumber Waras/FK Untar dalam kurun
µL), yang merupakan salah satu sebab perdarahan pada DBD, di waktu 12 bulan (1 Januari 1992 – 31 Desember 1992), dengan
samping sebab-sebab lainnya seperti kerusakan kapiler, defek hitung trombosit pada saat masuk rumah sakit > 100.000/µL.
koagulasi dan disfungsi trombosit(1,2,3). Oleh karena itu, penderita Diagnosis klinis ditegakkan berdasnrkan kriteria WHO 1986,
DBD yang mengalami trombositopeni tidak selalu disertai de- dengan konfirmasi secara serologis (tes HI, IgM & IgG Elisa)
ngan perdarahan, meskipun terdapat korelasi antara hitung dan/atau isolasi virus.
trombosit dan beratnya penyakltt4>. Subjek secara acak dibagi dalam dua kelompok yaitu ke-
Dilaporkan bahwa trombositopeni mulai muncul pada hari lompok kelola dan kelompok kontrol. Kelompok kelola ialah
ke 3 sampai hari ke 8 demam, akan tetapi dalam laporan ini tidak penderita DBD derajat III/IV dan kelompok kontrol ialah DBD
dijelaskan apakah ada perbedaan antara penderita yang tanpa derajat I/II. Subjek yang mendapat tranfusi darah dan/atau trom-
renjatan dengan yang mengalami renjatan(1,5). Selain itu, yang bosit konsentrat tidak diikutsertakan dalam penelitian ini.
menjadi masalah ialah bagaimana perubahan jumlah trombosit Pemeriksaan jumlah trombosit dilakukan dengan cara tidak
yang terjadi dan hubungannya dengan faktor-faktor seperti suhu langsung yaitu sediaan pulasan Giemsa, saat masuk rumah sakit
tubuh dan hemokonsentrasi selama fase tersebut dan selanjutnya secara serial setiap 12 jam, sampai nilai trom-
Untuk menaikkan jumlah trombosit umumnya diberikan bosit mencapai 200.000/µL.
konsentrat trombosit, akan tetapi pemberian tersebut tidak mem- Untuk pemeriksaan serologis (tes HI, IgM & IgG Elisa) dan
percepat kenaikan jumlah trombosit(6). Sebaiknya, dalam meng- isolasi virus diambil darah subjek sebanyak 2 – 5 ml pada masa
hadapi penderita dengan jumlah trombosit yang cenderung akut dan konvalesen. Pemeriksaan ini dilakukan atas kerja sama
menurun, diperlukan pemantauan jumlah trombosit yang lebih dengan NAMRU-2.
ketat dan bila timbul gejala-gejala perdarahan, diberikan darah Metoda uji statistik yang dilakukan dalam penelitian ini
segar. ialah uji deviasi relatif dengan tingkat kemaknaan yang diharap-
Tujuan penelitian ini adalah untuk meninjau kembali saat kan p < 0,05.
muncul dan lamanya trombositopeni, jumlah minimal trombosit
yang dicapai dan hubungannya dengan suhu tubuh dan hema- HASIL
tokrit, baik pada penderita DBD dengan renjatan maupun tanpa Dari 627 penderita yang dirawat dengan diagnosis klinis
renjatan dengan konfirmasi serologis/virologis. DBD, untuk kelompok kelola terdapat 64 penderita (derajat III :

Diajukan pada Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak ke IX, 13 – 17 Juni


1993, di Semarang.
57 penderita dan derajat IV : 7 penderita) dan kelompok kontrol banyak 5 penderita dan kelompok kontrol 4 penderita.
65 penderita (derajat I : 44 penderita dan derajat II : 21 penderita). Tabel 1. Interpretasi tea HI clan sero-tipe virus Dengue
Jenis kelamin pada kelompok kelola, laki-laki sebanyak 34
penderita dan perempuan 30 penderita, sedangkan pada ke- Kelompok Tea HI Sero-tipe virus Dengue
lompok kontrol laki-laki sebanyak 27 penderita dan perempuan penelitian Primer Sekunder Dl D2 D3 D4
38 penderita. Umur bervariasi dari 7 bulan sampai 15 tahun
Kelola 21 44 0 2 1 2
dengan golongan umur terbanyak dari kedua kelompok ialah Kontrol 20 44 1 1 2 0
9–12 tahun. Distribusi umur dari kedua kelompok hampir sama,
kecuali distribusikelamin padagolongan umur 9–12 tahun yaitu Tabel 2. Lama trombositopeni kelompok penelitian
pada kelompok kelola laki-laki predominan sedangkan pada
kelompok kontrol perempuan yang predominan (p < 0,01) Kelompok Jumlah Nilai rata-rata
penelitian kasus lama trombositopeni
(gambar 1).
Kelola 64 3,8 ± 1,2 (1 – 6)
Kontrol 65 3,5 ± 1,3 (1 – 5)

z = 1,36, p > 0,05

Saat munculnya trombositopeni pada kedua kelompok,


mulai hari ke 2 sampai hari ke 8 dengan jumlah rata-rata dan
terbanyak pada hari ke 5 (kelola 5,1 ± 1,1; kontrol 5,3 ± 1,2).
Kalau dari nilai rata-rata, dihitung dengan 2 simpangan baku,
maka rentangannya mulai hari ke 3 – 7 (gambar 2).

Gambar 2. Saat munculnya trombositopenia kelompok penelitlan

Lamanya trombositopeni dari kedua kelompok hampir


sama, rata-rata 4 hari (kelola 3,8 ± 1,2 hari, kontro13,5 ± 1,3 hari,
p > 0,05). Kalau dihubungkan dengan jumlah trōmbosit saat
renjatan, maka lamanya trombositopeni akan lebih singkat,
Gambar 1. Distribusi umur dan kelamin kelompok penelitian bila pada saat terjadinya renjatan hitung trombosit 2100.000/µL
(p < 0,001). (tabel 3).
Pada tabel 1 terlihat hasil tes HI dari kedua kelompok Nilai minimal trombosit dari kedua kelompok dicapai rata-
hampir sama, dengan infeksi sekunder lebih dari dua kali infeksi rata pada hari ke 6 demam : kelola 5,9 ± 1,2; kontro16,1 ± 1,3;
primer. Virus yang berhasil diisolasi dari kelompok kelola se- p > 0,05 (gambar 3). Dari pemantauan setiap 12 jam, jumlah
minimal trombosit dari masing-masing kasus setiap hari, Dari tabel 4 terlihat bahwa pada saat terjadinya trombosi-
jumlah trombosit rata-rata yang paling rendah untuk kelompok topeni, kedua kelompok penelitian mempunyai nilai rata-rata
kelola 25.500 ± 7.600 dan kontrol 41.600 ± 19.300; p < 0,05 yang hampir sama yaitu untuk suhu tubuh 37,3°C dan hematokrit
(gambar 4). 45%.

Tabel 3. Lama trombositopeni dan jumlah trombosit saat renjatan Tabel 4. Suhu tubuh dan Hematokrit saat trombositopenl

Jumlah kasus Kelompok penelitian


Jumlah trombosit Nilal rata-rata Faktor P
saat renjatan lama trombositopeni Kelola Kontrol
n %

> 100.000/µL 21 33 3,1 ± 1,2 (1 – 5) Suhu tubuh 37,3° ± 0,8°C 37,3° ± 0,9°C Lb.
< 100.000/µL 43 67 4,2 ± 1 (2 – 6) Hematokrit 44,9 ± 6,5 9b 44,9 ± 5,3 % Lb.

z = 3,66, p < 0,001 t.b. tidak bermakna

PEMBAHASAN
Trombosit berasal dari sitoplasma megakariosit sumsum
tulang di bawah pengaturan mediator humoral trombbpoetin.
Dalam sirkulasi trombosit berbentuk keping pipih, berukuran
volume ± 10 cµ (eritrosit 90 cµ), konsentrasi 180.000 – 300.000
/µl, dan berada selama 9 – 10 barn. Penelitian sumsum tulang
pada pasien dengan DBD menunjukkan adanya depresi sumsum
tulang yaitu tahap hiposeluler pada hari ke 3 – 4 demam dan
perubahan patologis sistem megakariosit(9,10). Dari penelitian
dengan radioisotop dibuktikan adanya destruksi trombosit
dalam sistem retikuloendotel yaitu dalam limpa dan hepar. Juga
masa paruh dari trombosit memendek hingga 6,5 – 53 jam
(normal 72 – 96 jam)(11). Peranan DIC (Disseminated Intravas-
cular Coagulation) pada pasien DBD telah banyak diselidiki.
Akibat koagulasi intravaskular, pemakaian faktor-faktor pem-
bekuan dan trombosit meningkat sehingga terjadi trombosi-
topeni(12,13,14,15,16).
Dari penelitian-penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pada pasien DBD terjadi penurunan produksi, meningkatnya
destruksi dan pemakaian trombosit berlebih sehingga terjadi
trombositopeni.
Gambar 3. Hari demam yang dicapal oleh nilai minimal trombosit dari Selain mengalami defisit secara kuantitatif, juga terdapat
masing-masing kasus kelompok penelitian gangguan fungsi trpmbosit. Hal ini dibuktikan dengan mening-
katnya sekresi ADP dan metabolit prostasiklin plasma (PGI2)
yaitu 6-keto-PGF1a (6KPGF1)(17,18,19), Trombosit dalam sirkulasi
tidak akan melekat pada endotelium vaskular, kecuali bila ada
aktivasi misalnya kerusakan lapisan intima vaskular atau ro-
bekan struktur vaskular. Respon trombosit terhadap aktivasi
tersebut, secara umum ada 4 tipe yaitu : (1) perubahan bentuk
trombosit dari keping pipih menjadi bulat berduri, (2) adhesi,
melekatnya trombosit pada subendotelium dinding pembuluh
darah atau pada jaringan kolagen, (3) agregasi, melekatnya trom-
bosit satu sama lain, (4) sekresi, misalnya ADP, tromboksan A2,
serotonin, kalsium dan lain-lain. ADP disekresi oleh granula
padat yang terdapat dalam trombosit, sedangkan prostasiklin
plasma (PGI2) dibentuk oleh sel endotel dan otot polos pembuluh
darah. ADP menginduksi agregasi trombosit terhadap trombosit
yang sudah melekat pada dinding pembuluh darah yang rusak,
sedangkan PGI2 merupakan inhibitor agregasi trombosit. Efek
PGI2 selain berlawanan dengan ADP, juga berlawanan dengan
tromboksan A2(TXA) yang juga disekresi oleh granula padat
Gambar 4. Nilai minimal trombosit dari masing-masing kasus kelompok dalam trombosit(7,20,21).
penelitian dan hart demam
Pada DBD, kerusakan endotelium vaskular terlihat dari renjatan dicapai pada hari ke 6 demam dengan nilai lebih rendah
manifestasi adanyapetekiadan tes tumiketpositif. Selain itu juga pada penderita yang mengalami renjatan. Jadi renjatan hanya
telah dibuktikan oleh Bhamarapravati dick pada otopsi 100 berhubungan dengan nilai terendah trombosit dan tidak ada
kasus(22). hubungannya dengan saat muncul atau lamanya trombositopeni.
Mekanisme yang menyebabkan terjadinya defisit kuantitatif Pada saat berlangsungnya trombositopeni suhu tubuh
dan disfungsi trombosit belum diketahui dengan jelas. Diduga subfebris dan masih berlangsung hemokonsentrasi.
karena kompleks imun (kompleks antigen Dengue, immuno- Dan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pemantauan
globulin dan komplemen globulin) yang ditemukan path per- perubahan jumlah trombosit pada penderita yang diduga DBD
mukaan trombosit(17,23) (gambar 5). sebaiknya dilakukan mulai hari ke 3 demam sampai sekurang-
kurangnya 5 had.Vitus Dengue

KEPUSTAKAAN

1. World Health Organization. Dengue Haemorrhagic Fever : Diagnosis,


Treatment and Control Geneva, 1986.
2. Sumarmo. Demam Berdarah (Dengue) pads Anak. Tesis PT Penerbit UI.
1983.
3. Pongpanich B, Isarangkura PB. Dengue Haemorrhagic Fever in Children.
Mother & Child, Sept/Oct, 1980, p 23.
4. Nimmannitya S. Dengue Haemorrhagic Fever : Clinical Appraisal. Proc.
Third Asian Congr of Pediatr Bangkok, Thailand. 1979, p 266.
5. Sunano, Sutaryo. Trombositopeni pads pasien DHF. Abstrak KONIKA
VIII, Ujung Pandang, 1990.
6. Sugianto D, Tatting K. Samsi. Evaluasi pemberian konsentrat trombosit
pada penderita Demam Berdarah Dengue beret. Abstrak KONIKA VIII,
Ujung Pandang, 1990.
7. Weiss HJ. Platelets. Pathophysiology and Antiplatelet Drug Therapy. New
York: Alan R. Liss. Inc. 1982.
8. Halstead SB. Antibody, Macrophages, Dengue.Virus Infection, Shock, and
Hemorrhage : A Pathogenetic Cascade. Rev Infect Dis 1989; 11S: 830.
9. Kho LK, Wulur H, Himawan T, Thaib S. Dengue Haemonhagic Fever di
Djakarta. Penyelidikan Lanjutan. MKI 1971; 21: 371.
10. Kho LK, Wulur H, Himawan T. Blood and Bone Marrow Changes in
Dengue Haemorrhagic Fever. Pediatr. Indon 1972; 12: 31.
11. Mitrakul C. Bleeding Problem in Dengue Haemorrhagic Fever. Platelets
and Coagulation Changes. Southeast Asian J. Trop. Med. Pub. Hlth 1987;
18: 407.
12. Srichaikul T, Punyagupta S, Nitiyanant P, Alkarawong K. Disseminated
Gambar 5. Mekanisme terjadinya trombositopeni pads DBD
Intravascular Coagulation in Adult Dengue Haemorrhagic Fever : Report
of three cases. Southeast Asian J. Trop. Med. Pub. H1th 1975; 6: 106.
Dalam pengamatan klinis, sekalipun terdapat hubungan 13. Kho LK, Setiawan M, Himawan T. Disseminated Intravascular Coagula-
antara derajat penyakit dan trombositopeni, akan tetapi pada tion in Dengue Haemorrhagic Fever. Mod Med Asia 1976; 12(2): 10.
14. Srichaikul T, Nimmanitya S, Artachararit N, Siriasawakul T, Sungpeuk P.
trombositopeni berat megakariosit normal atau meningkat aktivi- Fibrinogen Metabolism and Disseminated Intravascular Coagulation in
tasnya dan tidak terdapat perdarahan hebat(4,8,24,25,26). Dengue Haemorrhagic Fever. Am. J. Trop. Med. Hyg. 1977; 26: 525.
Trombositopeni dijumpai lebih dui 80% penderita DBD, 15. Funahara Y, Sumarmo, Wirawan R. Features of DIC in Dengue
akan tetapi dalam tahun-tahun terakhir mengalami penurunan Haemorrhagic Fever. In: Disseminated Intravascular Coagulation. (Eds).
Takeshi Abe, Manabu Yamanaka. University Tokyo Press. 1983; p 201.
sekitar 50 – 60%(2,27,27). Selama stadium demam, hitung trombo- 16. Funahara Y, Sumarmo, Shirahata A, Setiabudy-Dharma R. Dengue
sit mulai menurun dan mencapai nilai terendah selama stadium Haemorrhagic Fever (DHF) Characterized by Acute Type Disseminated
renjatan, kemudian meningkat dengan cepat pada stadium kon- Intravascular Coagulation (DIC) with Increased Vascular Permeability.
valesen. Biasanya kēmbali normal dalam 7 – 10 hari(17). Hitung Medika 1987; 3: 250.
17. Suvaue V. Tropical Asia. Clinics in Haematology. 1981; 10: 933.
trombosit < 100.000/µL (trombositopeni) terdapat pada hari ke 3 18. Suvatte V. Dengue Haemorrhagic Fever. Haematological Abnormalities
– 8 demam dan paling sering pada hari ke 6(1,5). and Pathogenesis. In: Ghai, O.P.: New Development in Pediatric Research
Untuk melihat saat munculnya trombositopeni maka subjek 1: 447, 1977 (Interprint, New Delhi, 1977).
yang diteliti hanya penderita DBD yang pada saat masuk rumah 19. Preeyasombat C, Bunnag P, Sirinavin Set aL Plasma prostacyclin (PGI2)
in Dengue Haemorrhagic Fever. Southeast Asian J. Trop. Med. Pub. H1th.
sakit mempunyai nilai hitung trombosit > 100.000/µL. 1990; 21: 383.
Dari hasil penelitian, terlihat saat munculnya trombosi- 20. Gaetano G. Platelets, Prostaglandins and Thrombotic Disorders. Clinics in
topeni mulai hari ke 3 – 7 demam dengan jilmlah terbanyak hari Haematology 1981; 10: 297.
ke 5, dan lamanya trombositopeni rata-rata 4 hari, baik pada 21. Setiawan B. Farmakologi Prostaglandin, Thromboxane dan Prostasiklin.
In: Simposium Prostaglandin dan Implikasi Minis, Jakarta 27 November
penderita yang mengalami renjatan maupun yang tidak. Bila 1982.
pada saat renjatan hitung trombosit > 100.000, maka lamanya 22. BhamarapravatiN, Tuchinda P, Boonyapaknavik V. Pathology of Thailand
trombositopeni akan berlangsung lebih singkat yaitu 3 hari. Haemorrhagic Fever : A Study of 100 Autopsy cases. Ann. Trop. Med.
Nilai minimal rata-rata trombosit penderita dengan/tanpa Parasit. 1967; 61: 500.
23. Funahara Yet aL Three possible triggers to induce Thrombocytopenia in 26. Tatang K. Samsi, Indra Susanto. Pengenalan Dini dan Penatalaksanaan
Dengue Virus Infection. Southeast Asian J. Trop. Med. Pub. Hlth. 1987; 18: Demam Berdarah Dengue. Simposium Dua Hari Bagian Ilmu Kesehatan
351. Anak Rumah Sakit Sumber Waras – Fakultas Kedokteran Universitas
24. Yip WCL. Dengue Haemorrhagic Fever : Current Approaches to Manage Tanttnanagara, Jakarta, 11–12 Dezember 1987.
ment. Med. Prog. 1980; Oct., p 13. 27. Tatang K. Samsi, Hansa W, Sugianto D. dkk. Pengamatan klinis Demam
25. Nimmannitya S. Dengue Haemorrhagic Fever : Clinical Appraisal. Pre Berdarah Dengue di Rumah Saki' Sumber Waras (1968 – 1991). CDK
sented at the 3rd Asian Congress of Pediatrics, Bangkok, Thailand,Novem 1992; Ed. Khusus 81: 19.
ber 19 – 23, 1979. 28. Harun SR. Demam Berdarah Dengue pads Anak. MDK 1991; 10: 14.

Kalender Kegiatan Ilmiah


April 23 – 24, 1994 : PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN
PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS KULIT DAN
KELAMIN INDONESIA
Malang, INDONESIA
Topik : Morbus Hansen
Sekr. : Dr. Taufik Hidayat
Perdoski cabang Malang/UPF IP Kulit dan Kelamin
RSUD Dr. Sjaiful Anwar
Jl. Suprapto 2,
Malang, INDONESIA Telp. (0341) 62101
July 8 – 9, 1994 : SEMINAR NASIONAL RADIOLOGI VII
World Trade Center, Surabaya, INDONESIA
Sekr.: Lab./Uk'F Radiologi RSUD Dr. Soetomo/Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga
Jl. Mayjen. Prof. Dr. Moestopo 6–8
Surabaya, INDONESIA
Telp. 1 031) 40061 - 68 pes. 10011
September 14–16, 1994 : 10th ASIA PACIFIC REHABILITATION INTER-
NATIONAL CONGRESS
Jakarta, INDONESIA
Sekr.: PB Perhimpunan Dokter Spesialis Rehabilitasi
Medik Indonesia
Unit Rehabilitasi Medik RS Dr. Cipto Mangun-
kusumo
Jl. Diponegoro 71
Jakarta, INDONESIA
Telp. (62-21) 3907561
September 21–24, 1994 : KONGRES NASIONAL III
PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS REHABI-
LITASI MEDIK INDONESIA
Surabaya, INDONESIA
Sekr.: PB Perhimpunan Dokter Spesialis Rehabilitasi
Medik Indonesia
Unit Rehabilitasi Medik RS Dr. Cipto Mangun-
kusumo J1. Diponegoro 71 Jakarta, INDONESIA
Kesenangan bertelur Aedes sp
M. Hasyimi, Enny W. Lestarl, Supratman S
Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK
Pengamatan kesenangan bertelur nyamuk Aedes spesies di luar dan di dalam rumah
telah dilakukan pada bulan Juli 1990 sampai dengan Februari 1991 di Jakarta Pusat dan
Jakarta Utara. Pengumpulan telur dilakukan 'dengan menggunakan perangkap telur
(Ovitrap). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah telurAedes sp. yang diperoleh
di luar dan di dalam rumah berbeda sangat nyata. Rata-rata per bulan di luar rumah 4831,5
dan di dalam rumah 2980,6 untuk Jakarta Pusat, di luar rumah 1227,1 dan di dalam rumah
827,3 untuk Jakarta Utara. Dengan rata-rata Ovitrap index (OI) per bulan di luar rumah
63,0% dan di dalam rumah 49,4% untuk Jakarta Pusat, di luar rumah 36,4% dan di dalam
rumah 33,5% untuk Jakarta Utara.

PENDAHULUAN pembersihan sarang nyamuk (PSN) melalui peranserta ma-


Sejak letusan wabah Demam berdarah dengue (DBD/DHF) syarakat maka dipelajari kesenangan bertelur vektor DBD dan
yang pertama kali di Indonesia tahun 1968(1), maka jumlah kaitannya dengan letak tempat perindukan (indoor/outdoor).
penderita dari tahun ke tahun makin meningkat dengan penye- Makalah ini menguraikan pengamatan kesenangan bertelur
baran makin luas. Sejak tahun 1973, penyakit DBD merupakan Aedes sp. dengan menggunakan perangkap telur (ovitrap) se-
masalah bagi kesehatan masyarakat. Hingga tahun 1985 dari lama 8 bulan.
seluruh propinsi di Indonesia, hanya propinsi Timor Timur yang
belum melaporkan adanya penderita. Penyakit DBD disebabkau
oleh virus dengue yang disebarkan oleh Aedes sp; di samping BAHAN DAN CARA KERJA
Aedes aegypti sebagai vektor utamanya, Ae. albopictus juga
Daerah Penelitian
telah diketahui dapat menularkan penyakit tersebut(2).
Penelitian dilakukan di Kelurahan Koja Selatan, Tanjung
Bionomik nyamukAedes telah banyak dipelajari dan diteliti
Priok, Jakarta Utara dan Kelurahan Johar Baru, Jakarta Pusat.
sehubungan dengan peranannya sebagai vektor DBD. Selama ini
Koja (Koja Utara dan Koja Selatan) memiliki wilayah seluas
sudah dikenal bahwa Ae. aegypti mempunyai tempat istirahat
13,12 Km2, dan berpenduduk 233,908 ribu orang dengan kepa-
dan aktivitas di dalam rumah (indoor), sedangkan Ae. albopictus,
datan 17,828 orang per Km2. Sedangkari Kelurahan Johar Baru
outdoor(3,4). Ae. aegypti tersebar luas di seluruh daerah Indo-
memiliki wilayah 2,38 Km2, dan berpenduduk 108,417 ribu
nesia(5,6), banyaknya perpindahan dan kepadatan penduduk me-
orang dengan kepadatan 45,553 orang per Km2 (8).
rupakan faktor penting bagi penyebaran Ae. aegypti.
Data Klimatologi Jakarta, didapāt dari Badan Meteorologi
Untuk menunjang pengendalian vektor DBD melalui upaya
dan Geofisika menunjukkan bahwa suhu udarabervariasi sangat
Dibawakan pada Kongres Entomologi IV, 28–30 Januari 1992 di Yogyakarta.
kecil setiap bulan, dengan kisaran antara 25,2°C sampai 28,4°C. Tabel 1. Perbandingan jumlah telur Aedes sp. Diluar dan di dalam rumah
yang diperoleh dengan menggunakan perangkap telur
Kelembaban berkisar antara 65,5% sampai 80% setiap bulan.
Curah hujan sangat bervariasi sepanjang tahun dengan kisaran Johar Baru Koja Selatan
Nomor
antara 18 mm sampai 300 mm. Curah hujan tertinggi, terjadi pada urut
Bulan
Di luar Di dalam Di luar Di dalam
bulan Desember dan terendah bulan Nopember.
1 Juli 1990 12642 6268 2417 891
Cara kerja 2 Agustus 5024 2069 987 711
Dalam penelitian ini dilakukan dua macam survai : 3 September 4081 4491 1169 407
1) Dengan Perangkap telur 4 Oktober 3594 2118 1542 684
Perangkap telur (Ovitrap) berupa kaleng susu bekas bagian 5 Nopember 3603 2310 899 928
6 Desember 2314 1598 810 1045
luarnya dicat hitam, diisi air bersih sebanyak 1/3 isinya. Kain 7 Januari 1991 4010 849 2792 913
merah berukuran ± 3,5 x 14 cm dipasang di bagian dalam kaleng, 8 Februari 3384 2199 1144 1039
dalam posisi tegak dengan salah saw ujungnya tercelup di dalam
dan ujung lainnya dijepit ke mulut kaleng dengan karet gelang. Jumlah 38652 23845 9817 6618
Rata-rata 4831,5 2980,6 1227,1 827,3
Kain merah diambil dan diganti satu minggu sekali. Telur yang
diperoleh dihitung di bawah mikroskop binokuler di laborato- Tabel 2. Ovilrap index (%) yang diperoleh di daerah penelitian Johar
rium. Perangkap telur diletakkan dekat tempat penampungan air Baru, Jakarta Pusat dan Koja Selatan Jakarta Utara
atau tempat istirahat nyamuk, baik di dalam maupun di luar
Johar Baru Koja Selatan
rumah. Nomor
Bulan
urut
Masing-masing daerah penelitian yaitu Johar Baru dan Koja Di luar Di dalam Di luar Di dalam
Selatan dibagi dalam 4 sektor dengan 104 perangkap telur (52 di 1 Juli 1990 72,8 56,7 29 27,2
luar, 52 di dalam). Rumah penempatan perangkap telur pada tiap 2 Agustus 64,6 46,9 37,9 32,1
sektor dipilih secara acak. Pengambilan telur dilakukan oleh 3 September 62,6 56,8 32,3 19,8
4 Oktober 58,4 51,1 40,9 41,0
satu orang untuk tiap sektor. 5 Nopember 70,2 40,7 41,1 39,5
2) Dengan survai larva 6 Desember 50,5 41,2 30,6 36,9
Survai larva dilakukan oleh 4 team, masing-masing 2 orang. 7 Januari 1991 67,7 60,6 44,8 38,1
Masing-masing team mengunjungi 13 rumah yang telah diten- 8 Februari 57,8 43,9 34,4 33,3
tukan. Pengamatan dilakukan pada tempat-tempat perindukan Rata -rata 63,1 49,7 36,4 33,5
yang ada, seperti : bak mandi, penampungan air minum, tempat
minum burung serta barang-barang lain yang memungkinkan Tabel 3. Perbandingan Container Index (CI) untuk larva Aedes sp. di luar
dan dl dalam rumah di Johar, Jakarta Pusat dan Koja Selatan,
untuk perindukan nyamuk. Larva diambil dan diperiksa di bawah Jakarta Utara
mikroskop. Survai larva dilakukan 2 minggu sekali selama 8
bulan. Nomor Johar Baru Koja Selatan
Bulan
urut Di luar DI dalam Di luar DI dalam

HASIL DAN PEMBAHASAN 1 Juli 1990 6,97 % 10,3 % 16,8 % 31,5 %


2 Agustus 12,7 13,8 22 17,6
Hasil penelitian rata-rata jumlah telurAedes sp per bulan di 3 September 15 11,6 20,3 20,5
luar dari di dalam rumah di daerah penelitian Koja Selatan, 4 Oktober 4,5 14,6 26,1 20,4
Jakarta Utara maupun Johar Baru, Jakarta Pusat disajikan pada 5 Nopember 11,2 11,6 16,2 15,9
Tabel 1; terlihat bahwa jumlah telur Aedes sp yang ditangkap 6 Desember 22,3 14,01 31,8 17,9
7 Januari 1991 33,2 8,6 13,2 19,6
dengan perangkat telur di luar rumah lebih banyak daripada yang 8 Februari 21,9 13 18,9 13,2
di dalam rumah. Begitu pula perangkap telur yang positip dengan
Rata-rata 15,9 % 12,8 % 20,6 % 19,6 %
telur Aedes sp. Hal ini ditunjukkan dengan Ovitrap index, ter-
nyata Ovitrap index yang di luar rumah juga lebih besar daripada ada di luar rumah perlu dibersihkan atau dimusnahkan, karena
yang di dalam rumah (Tabel 2). Ditunjang pula oleh hasil survai ternyata merupakan tempat perindukan yang sangat penting.
jentik Aedes sp; Container index (CI) di War rumah cenderung Setidak-tidaknya setiap satu minggu sekali bejana kecil berisi
lebih besar daripada di dalam rumah, meskipun dengan uji air di luar rumah harus selalu dikontrol dan dibuang airnyn ke-
statistik p > 0,05 tidak beda nyata. mudian ditanam atau ditelungkupkan hingga tidak dapat me-
Data tersebut di atas menerangkan bahwa kontainer yang nampung air, terutama di musim penghujan.
ada aimya, yang berada di luar rumah adalah tempat perindukan Menurut Sumengen dan kawan-kawan (1991), pengawasan
Aedes sp yang sangat penting. Informasi ini penting untuk di- kualitas lingkungan yang konsisten merupakan cara pemberan-
sebarluaskan kepada masyarakat, sehingga perhatian masya- tasan yang paling efektif dalam menurunkan indek jentik ter-
rakat dalam pengendalian vektor Demam berdarah tidak hanya masuk House index, Container index dan Breteau index. Aba-
terpancang pada bak mandi atau penyimpanan air lainnya di tisasi dan PSN merupakan alternatif cara pemberantasan yang
dalam rumah, tetapi keadaan lingkungan juga perlu mendapat efektif dalam menurunkan indek jentik(7). Penelitian ini dilakukan
perhaEian. Bejana yang ada aimya dalam bentuk apa saja yang di Sukabumi, dengan hasil survai jentik 71,0% Ae. aegypti dan
14,5% Ae. albopictus baik di luar maupun di dalam rumah. Tapi KEPUSTAKAAN
letak TPA pada umumnya (89,9%) berada di dalam rumah. 1. Kho.LK, Wulur H, Karsono S, Suprapti T. Dengue haemorrhagic fever in
Selain itu, perangkap telur ternyata efektif untuk menangkap Djakarta. Maj. Kedokt Indon 1969; 19: 417.
telur Aedes sp, sehingga dapat dipergunakan sebagai alat pe- 2. Gubler DJ dkk. Studies on DHF in Indonesia. Dengue News Letter. 1 dan 2.
ngendali Aedes sp dengan cara membuang air perangkap telur 1980.
3. Thomas Suroso. Pemberantasan Demam berdarah perlu usaha terpadu.
satu minggu sekali, diganti dengan air yang barn sehingga dapat Maj Kes Masy Indon 1987; VIII (1): 46-52.
dipergunakan untuk bertelur berikutnya. 4. Surtees G. Mosquito Breeding in the Kuching area, Serawak with special
reference to the epidemiology of Dengue Fever. J. Med. Entomo1.1970; 7 (2).
KESIMPULAN 5. Harman Kalim. The epidemiology and control of Dengue Hemorrhagic
Fever in Indonesia. Dengue News Letter 1979; 5 (1).
1) Aedes sp. di daerah penelitian mempunyai kesenangan 6. Nur Noor. Dengue Haemorrhagic Fever in Indonesia (Epidemiological
bertelur di luar rumah daripada di dalam rumah. Review). Dengue News Letter 1980; 6 (2).
2) Perangkap telur cukup efektif sehingga dapat dipakai se- 7. Sumengen S dkk. Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah melalui
bagai alat pengendali Aedes sp. pengawasan kualitas Iingkungan. Medika 1991; 17 (7): 529-40.
8. Biro Pusat Statistik. Jakarta dalam angka. 1989.
Kaitan Tempat Perindukan Vektor
dengan Pengetahuan dan
Sikap Masyarakat terhadap
Penyakit Demam Berdarah Dengue
di Kodya Batam
Pranoto*, Amrul Munif**
*) Sub Direktorat Serangga Penular Penyakit, Direktorat Jenderal PPM & PLP
Departemen Kesehatan RI, Jakarta
**) Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN BAHAN DAN CARA KERJA


Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) telah dikenal di
BAHAN
Indonesia sebagai penyakit yang dapat menyebabkan kematian
serta menimbulkan kegelisahan pada masyarakat. Pada umum- Lokasi Pengamatan
nya penyakit ini berjangkit pada anak-anak terutama di kota-kota Kotamadya Batam terletak pada 0°55'–1o14' Lintang Utara
yang berpenduduk padat. Kodya Batam adalah kotamadya kedua dan 104° -107° Bujur Timur; Kodya Batam semula adalah
di Propinsi Riau yang telah berkembang menjadi daerah industri, kecamatan Belakang Padang, Kabupaten Kepulauan Riau,
perdagangan dan pariwisata. Kota ini telah pula terjangkit penya- Propinsi Riau. Luas wilayah kurang lebih 1.647,63 km2, yang
kit Demam Berdarah Dengue; penyakit ini pertama kali ditemu- terdiri dari 1.035,30 km2 lautan dan 612,33 km2 daratan. Daratan
kan di Kecamatan Batam Timur dan Nongsa pada bulan Septem- ini berupa 186 pulau, 80 pulau didiami penduduk dan sisanya 106
ber 1983, dengan 7 penderita, satu di antaranya meninggal pulau tidak berpenduduk.
dunia (Case Fatality Rate 14,3%) kemudian pada tahun-tahun Kodya Batanl berpenduduk 6.000 orang pada tahun 1971,
berikutnya menyebar ke berbagai daerah. kemudian berkembang secara besar-besaran menjadi 80.000
Sampai saat ini belum ditemukan obat untuk membasmi orang karena dijadikan daerah industri, perdagangan serta pari-
virus atau vaksinasi untuk pencegahan penyakit Demam berda- wisata. Pengembangan Pulau Batam ini menyebabkan datang-
rah Dengue; oleh karena itu cara penanggulangan yang tepat se- nya pekerja, pengusaha, pedagang dan pembeli, beserta penya-
karang ini ialah dengan memberantas vektornya yaitu nyamuk kitnya.
Aedes aegypti. Kepadatan populasi Ae. aegypti sangat tergantung Kodya Batam pada tahun 1986 adalah dibagi menjadi 3
dari pengetahuan sikap dan perilaku masyarakat dalam menjaga (tiga) Kecamatan yaitu Belakang Padang, Batam Barat dan
kebersihan lingkungan khususnya kebersihan tempat penam- Batam Timur dengan 13 desa. Pada saat ini telah direncanakan
pungan air dan sampah yang dapat menampung air. Bahkan kelurahan-kelurahan persiapan di Pulau Batam di antaranya
telah diperkirakan pada saat musim hujan akan terjadi pening- adalah kelurahan persiapan Lubuk Baja Timur, Lubuk Baja
katan populasi nyamuk Ae. aegypti yang mengakibatkan tim- Barat, Lubuk Baja Utara dan Lubuk Baja Kota (Gambar 1).
bulnya ledakan wabah Demam Berdarah Dengue di daerah Batas-batas wilayah untuk setiap desa dan kelurahan belum
endemis setiap lima tahun. begitu jelas sehingga belum ada peta terinci tentang pembagi-
Masalah tempat perindukan vektor Demam Berdarah an wilayah.
Dengue, pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap DBD, Sumber air untuk kebutuhan sehari-hari berbeda pada setiap
jumlah kasus kematian, kasus DBD dan curah hujan di daerah kecamatan. Di Pulau Belakang Padang berasal dari air hujan dan
endemis kemungkinan besar terkait satu dengan lainnya. Tujuan air tanah (sumur). Di Pulau Buluh air diperoleh dari air hujan,
pengamatan ini untuk mengetahui beberapa faktor yang ada sedangkan di Pulau Batam untuk bangunan-barigunan resmi
kaitannya dengan penyebaran atau timbulnya wabah penyakit yaitu bangunan dengan izin Otorita berasal dari Perusahaan Air
DBD di daerah Kotamadya Batam. Minum. Selanjutnya kebutuhan air untuk kampung-kampung
lama berasal dari air hujan dan air sungai serta air tanah. Untuk cenderungan pengaruh letak tempat penampungan air terhadap
perumahan tidak resmi kebutuhan air diperoleh dari air sungai perletakan telur maka dilakukan uji Chi Square, dengan melihat
dan air hujan. perbandingan Container Index.
Daerah pengamatan meliputi kecamatan Belakang Padang, Pengamatan pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap
Kecamatan Batam Timur, yang terdiri dari 4 kelurahan: kelu- Demam Berdarah Dengue dilakukan dengan cara wawancara di
rahan Lubuk Baja Kota, Lubuk Baja Timur, Lubuk Baja Selatan perumahan sample, bersamaan waktunya dengan pengamatan
dan Sei Beduk. Kecamatan Batam Barat meliputi tiga kelurahan tempat perindukan vektor DBD. Kuesioner meliputi pengetahu-
yaitu kelurahan Pulau Bubuk, Patau dan Tiban (Gambar 1). an masyarakat tentang penyakit Demam Berdarah Dengue, penge-
tahuan tentang nyamuk Ae. aegypti sebagai penular. Selain itu
CARA KERJA juga dilakukan wawancara mengenai pengetahuan masyarakat
Pengumpulan data terkait dilakukan dengan cara mengum- tentang cara pencegahan baik sanitasi maupun pemberian pes-
pulkan data yang ada di Dinas Kesehatan Kodya Batam, di tisida pada tempat penampungan air.
Puskesmas Balak Otorita Batam, ditunjang dengan hasil temuan
saat pengamatan. Data terkait yang dikumpulkan yaitu keadaan HASIL DAN PEMBAHASAN
penyakit Demam Berdarah Dengue, curah hujan. Sejak pertama kali ditemukan, penyakit demam berdarah
Pengamatan tempat perindukan jentik vektor Demam Ber- dengue di Pulau Batam berfluktuasi; pada tahun 1990 jumlah
darah Dengue dilakukan dengan cara pemeriksaan tempat-tem- penderita menurun mencapai sebanyak 156 orang dan 8 orang
pat penampungan air dan tempat lain yang dapat menampung meninggal (CFR 5,15%) (Tabel 1). Kasus DBD sekarang telah
air. Tempat-tempat penampungan yang diperiksa terletak di pe- menyebar ke 54 lokasi, sebelumnya hanya ditemukan di dua
rumahan, sekolah dan tempat-tempat umum (TTU) dan institusi lokasi; dengan rincian 501okasi di P. Batam dan 4 lokasi di luar
(TTI). Pemeriksaan dilakukan secara sampling dengan metode P. Batam. Hubungan persentase DBD di Kodya Batam dengan
single larva yang kemudian akan menghasilkan House Index/ kasus di Indonesia dari tahun 1983 sampai 1990 tertera pada
Premise Index dan Container Index yang merupakan parameter Gambar 2. Di Indonesia kasus DBD mengalami peningkatan
ukuran laju populasi nyamuk Ae. aegypti. Untuk melihat per- cukup berarti pada tahun 1977, 1983 dari 1988(1). Sedangkan di
bedaan kesukaan larva/jentik pada berbagai habitat dan ke- P. Batam nampaknya justru pada tahun 1989 meningkat dengan
cepat jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya Tabel 2. Jumlah kasus dan persentase kasus serta kematian tersangka
DBD per bulan di Kodya Batam dart tahun 1989 – 1990
karena memang saat itu merupakan situasi KLB; pada
kenyataannya kasus DBD di Indonesia tidak diikuti Kasus Kematian
dengan kenaikan kasus di P. Batam. Secara umum di Bulan
Indonesia peningkatan terjadi 5 tahun sekali tetapi di P. 1989 1990 1989 1990
Batam setelah kurun waktu 6 tahun (Gambar 2). Januari 2 8 0 0
Tabel 1. Perbandingan Jumlah kasus dan kematian tersangka Februari 2 7 0 0
DBD di Maret 0 4 0 1
Kodya Batam dengan di Indonesia (1983 -1990) April 0 2 0 0
Mei 0 1 0 0
Di Kodya Batam Di Indonesia Juni 7 3 1 0
Juli 11 6 1 1
Tahun Jumlah Rata-rata CFR Jumlah Jumlah Rata- Jumlah CFR Agustus 23 22 1 2
kasus persentase kematian kasus rata Kematian September 26 55 0 1
n % % n n % n % Oktober 59 22 4 1
Nopember 64 12 2 1
1983 7 1,81 14,2 1 13.668 8,5 491 3,6 Desember 24 13 0 0
1984 1 0,26 0 0 12.710 7,9 392 3
1985 3 0,8 0 0 13.588 8,43 460 3,4 Jumlah 218 155 9 8
1986 0 0 0 0 16.529 10,26 600 3,6
1987 0 0 0 0 23.864 14,81 1105 4,6
1988 4 1,04 0 0 47.573 29,5 1527 3,2
1989 218 56,5 4,1 9 10.362 6,43 464 4,5 Curah hujan selama enam tahun berturut-turut yaitu
mulai
1990 156 40,4 5,1 8 22.807 14,16 321 3,6 tahun 1985 sampai dengan 1990, ternyata tidak menentu; curah
hujan paling tinggi pada bulan Nopember (217 mm), Desember
Fluktuasi jumlah penderita.per bulan selama 2 tahun (254 mm) dan Januari (379,6 mm). Ternyata kejadian ini tidak
berturut-turut yaitu pada tahun 1980 – 1990 tertera pada berkaitan dengan banyaknya kasus DBD di P. Batam karena pada
Tabel 2, dengan rata-rata jumlah kasus lebih banyak bulan Agustus kasusnya naik dan Desember menurun, yang ke-
ditemukan pada bulan Agustus, September, Oktober, nyataannya lebih mendahului musim penghujan (Gambar 3). Ini
Nopember dan Desember. Korelasi persentase rata-rata berbeda dari hasil pengamatan DBD di Kodya Madiun, ter-
kasus DBD dengan persentase rata-rata curah hujan
diperlihatkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Korelasi persentase kasus Demam Berdarah Dengue Gambar 3. Korelasi Persentase rata-rata kasus Demam Berdarah Dengue
di Kodya Batam dibandingkan dengan kasus di Indonesia dart dengan Persentase rata-rata Curah hujanb di Kodya Batam
tahun 1983 sampai tahun 1990. tahun 1983–1990
nyata peningkatan curah hujan akan diikuti dengan peningkatan Tabel 3 menunjukkan hasil pengamatan tempat perindukan
jumlahkasus, demikian juga sebaliknya penurunan jumlah curah vektor DBD yang dilakukan di 9 kelurahan mencakup 37 lokasi
hujan diikuti dengan penurunan jumlah kasus(1). RT/RW dengan 367 perumahan, 13 sekolah serta 60 tempat-

Tabel 3. Pengamatan jentik Aedes aegypli pada Berbagai Tempat Perindukan yang ditemukan
di beberapa Kecamatan di Kodya Batam

Jumlah Rumah Jumlah Kontainer


Kecamatan
Diperiksa dgn. larva Diperiksa dgn. larva H.I C.I B.I
Kecamatan Batam Timur
Lubuk Baja Utara
– RT 05/RIII 10 4 15 9 40 60 90
– RT 03/VII 10 4 9 7 40 77,8 70
– RT 03/VIII 5 5 19 6 100 31,6 120
–RT01/IV 10 9 48 21 90 43,8 210
– RT 03/IV 10 7 36 20 70 55,5 200
– RT 03/VI 10 4 44 23 40 52,3 230
– RT 03/III 7 6 8 7 85,7 87,5 70
–RT01/VI 10 2 22 8 20 36,4 80
– RT 02/II 5 1 17 12 20 76,7 240
–RT02QII 10 4 13 3 40 23,1 30
–RT03/VI 10 8 37 15 80 40,5 150
–RT01/IV 10 0 0 0 0 0 0

Sub Total 107 54 268 131 50,5 48,8 122,4


Lubuk Baja Tunur
– RT 02/III 11 8 45 13 72,7 28,8 118
– RT02/IV 14 8 42 14 57,1 33,3 100
– RT 01/I 10 0 42 0 0 0 0
– RT 02/I 10 4 60 9 40 15 90
– RT 02/II 9 1 28 1 11,1 3,5 11,1
Sub Total 54 21 217 37 38,9 17 68,5
Lubuk Baja Kota
– RT 04/II 9 0 42 0 0 0 0
– RT 01/II 15 10 58 15 66,6 25,8 100
– RT 04/III 10 2 33 2 26 60 20
Sub Total 34 12 133 17 35,3 12,8 50
Sei Beduk
– RT 01/II 10 5 28 7 50 25 70
– RT 0I/III 10 3 35 7 30 20 70
– RT 05/III 10 1 63 9 10 14,3 90
Sub Total 30 9 126 23 30 23,8 76,7
Kecamatan Batam Utara
Pulau Buluh
– RT 08/III 10 8 13 13 80 100 130
– RT 04/1 10 7 19 19 70 100 190
Sub Total 20 15 32 32 75 100 160
Tiban
– RT 03/IV 10 7 52 8 70 15,4 80
– RT 04/I 10 5 50 5 50 10 50
– RT I 10 1 35 2 10 5,7 20
– RT 01/II 5 0 24 0 0 0 0
– RT 05/III 10 0 0 0 0 0 0
Sub Total 45 13 161 15 28,8 9,3 33,3
Tanjung Uma
– RT 05/II 10 4 71 8 40 11,3 80
– RT 02/II 10 7 59 10 70 16,9 100
Sub Total 20 11 130 18 55 13,8 90
Kecamatan Blk. Padang
Pulau Blk. Padang
– RT02/XIII 10 1 28 8 10 28,5 80
– RT 02/XI 10 10 79 17 100 21,5 170
– RT 01/VII 10 6 37 18 60 48,6 180
– RT 02/IX 10 9 43 26 90 60,5 260
– RT 05/I 10 9 15 11 90 68,8 110
– RT 01/II 10 7 95 18 70 35,6 160
– RT 02/XII 11 5 46 21 45,5 45,7 190,9
Sub Total 71 47 343 119 66,2 34,6 167,6
Total 381 182 1394 380 47,8 27,6 99,7

tempat umum/TTU dan tempat-tempat institusi/ITI. Di peru- banyak tempat penampungan sebaliknya di sekolah dan TTU/
mahan diperoleh House Index 50,4% dengan Container Index TTI tempat penampungan terbatas jumlahnya. Tingginya Con-
26,9% sedangkan di lingkungan sekolah menunjukkan Premise tainer Index drum sesuai dengan pengamatan Nelson et al (1976)
Index 46,1% dengan Containerindex 32,5%. Selanjutnya TTU di daerah Tanjung Priok; drum air sebagai persediaan biasanya
dan TTI menunjukkan Premise Index 41,7% dengan Container oleh penduduk pantai diletakkan di luar rumah. Kejadian ini
Index 17,6%. Ternyata perumahan mempunyai House Index dapat dilihat dari Container Index yang terletak di berbagai
tertinggi jika dibandingkan dengan sekolah dan TTU maupun bangunan; yang tertinggi ditemukan di sekolah karena dari 43
TTI (Tabel 4); bahkan bila dilihat dari jenis tempat penampung- wadah yang diperiksa ternyata mengandung jentik sebanyak 14
annya ternyata drum mempunyai Container Index yang berbeda wadah (32,5%). Sebaliknya di perumahan terdapat 1417 wadah
dengan yang lain (X2 = 177,5 P0.05 = 14,9; df = 2; X2 > P0.05). yang positip jentik sebanyak 381 wadah (26,9%) dan di tempat-
tempat Umum/ITI dari 227 wadah, yang positip 40 wadah
Tabel 4. Hasil pengamatan tempat perindukan vektor DBD berdasarkan (17,6%). Ternyata Containerindex yang terletak di ketiga lokasi
sasaran survel, Jumlah rumah/bangunan dan jumlah kontainer
mempunyai perbedaan yang bermakna, yang didominansi drum
di Kodya Batam
paling tinggi kemudian bak mandi, lain-lain, dan paling kecil
Jumlah Rumah/ pada tempayan. Tentunya hal ini dipengaruhi oleh beberapa
Jumlah Kontainer
Bangunan faktor di antaranyam sikap dan perilaku masyarakat, sumber
Sasaran Survei
Dipe- Dengan HI/PI Dipe- Dengan C.I
gitan, tersedianya tempatperkembangbiakan dan lain sebagainya.
riksa Jentik (% ) riksa Jentik (% ) Dilihat dari pengamatan tentang pengetahuan dan sikap
I. Perumahan masyarakat terhadap DBD melalui wawancara, separuh lebih
1. Kec. Blk. Padang
70 45 64,3 334 115 34,4
dari masyarakat Kodya Batam (64,7%) mengetahui tentang
a. P. Blk. Padang penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dan nyamuk Aedes
2. Kec. Batam Tunur
a. KeL LB. Kota 97 57 58,8 284 120 42,2
aegypti sebagai penular (61,2%).
b. Kel. LB. Timur 35 12 34,3 132 17 12,9 Masyarakat yang menganggap keluarga bertanggung jawab
c. Kai. LB. Selatan 40 13 32,5 158 23 14,5 terhadap pencegahan DBD (78,0%) hampir 3/4 masyarakat Kodya
d. KeL Sei Beduk 15 8 53,3 42 15 35,7 Batam, sehingga tindakan masyarakat untuk pencegahan penu-
30 9 30 126 23 18,2 laran di lingkungan pemukiman masih dapat berjalan dengan
3. Kec. Batam Barat
a. Kel. P. Buluh 20 15 75 32 32 100
membersihkan wadah air; namun sebaliknya di sekolah Con-
b. Kel. Batam 20 13 65 130 21 15,4 tainer Index tinggi karena tidak ada yang bertanggung jawab.
c. Kel. Tiban 40 13 32,5 179 15 8,5 Kejadian ini didukung oleh rendahnya pengetahuan masyarakat
Jumlah 367 185 50,4 1417 381 26,9 yang tahu cara mencegah DBD dengan menguras wadah air
II. Sekolah 13 6 46,1 43 14 32,5
(30,4%), mengubur barang-barang bekas (14,6%), dengan
III. TTU/TTI
menutup wadah (25,4%) dan abatisasi hanya 6,3%; sehingga
1. Tempat lbadah 15 8 53,3 36 15 41,7 sekolah maupun TTU/ITI sulit melakukan tindakan pencegahan
2. Sarana Kesehatan 9 3 33,3 18 4 22,2 DBD dengan cara mengurangi kontak gigitan nyamuk vektor.
3. Hotel dan Rumah Nelson et al (1976) menyatakan bahwa fluktuasi dari gigitan
Makan 8 2 25 29 4 13,8 Aedes aegypti mencapai puncak tertinggi pada pagi hari pukul
4. Perkantoran 28 12 42,8 144 17 11,8 8.00 - 10.00, kemudian pada sore hari pukul 14.00 - 16.00; se-
Jumlah 60 25 41,7 227 40 17,6 hingga wajar di lingkungan sekolah wadah air selalu mengan-
dung jentik; bahkan dinyatakan pula oleh Suroso (1986) bahwa
Container index pada drum berbeda bermakna dengan bak mandi, tempayan penyakit Demam Berdarah Dengue cenderung lebih banyak
dan lain-lain yang tersebar pads berbagai sasaran dan lokasi (Chi square X2
=177,5; P 0,05 = 14,9; df = 2; x2 > P 0,05).
ditemukan pada anak-anak yang berumur 5 - 14 tahun karena
anak-anak tersebut mudah tergigit, dan peluang untuk digigit
Kemungkinan tingginya House Index pads perumahan ka- lebih besar dibandingkan orang dewasa.
rena tumah yang diperiksa pada umumnya mempunyai lebih Ditinjau berdasarkan letak tempat perindukan ternyata
jentik Ae. aegypti lebih menyikai wadah air yang terletak di luar Wadah air sebagai tempat perindukan jentik temyata di
rumah (CI = 31,4%); hal ini juga terlihat pada lingkungan seko- perumahan yang dominan adalah drum, dan di sekolah serta
lah (CI = 71,4%) sedangkan di luar TTU/ITI rendah (CI = TTU/TTI yang paling dominan adalah bak mandi. Berdasarkan
31,2%). Tertlyata letak wadah airpun berpengaruh; wadah yang jenis wadah air yang digunakan penduduk Pulau Batam pada
diletakkan di luar rumah akan lebih banyak mengandung umumnya ternyata 49,9% berupa tempayan (208 buah) dan
jentik (Chi square X2=15,76; df = 2; P 0,05 = 10,6; X2> P0,05). 11,8% berupa lain-lain (199 buah); wadah air akan selalu terisi
(Tabel 5). Kejadian ini mungkin akibat jarangnya wadah diber- oleh air sebagai persediaan baik pada musim kemarau maupun
sihkan terutama yang diletakkan pada luar rumah/bangunan; hal penghujan. Adanya peningkatan kasus DBD di Kodya Batam
ini terlihat juga dari kesadaran hanya sebagian kecil masyarakat yang terjadi pada saat peralihan musim, tentunya didukung
untuk menguras wadah. Di perumahan ternyata wadah air di faktor lain walaupun temyata faktor musim tidak berpengaruh
dalam dan luar rumah sama jumlahnya sedangkan di sekolah dan terhadap kenaikan populasi jentik Ae. aegypti selama satu tahun
TTU/TTI lebih banyak terletak di dalam bangunan (Tabel 5). di Tanjung Priuk (Nelson et al, 1976).
Tabel 5. Jumlah Tempat Perindukan Vektor DBD berdasarkan Jenis
Dari hasil pengamatan ternyata ditemukan pada tempat
Tempat Penampungan Air dan Letak, di Kodya Batam penampungan air 88,6% jentik Ae. aegypti, 9,8% jentik Ae.
albopictus dan 1,5% terdiri dari jentik nyamuk lainnya.
Letak
Jenis Tempat Dalam Rumah Luar Rumah
Penampungan Air
Dengan Dengan C.I Dengan Dengan C.I
Air Jentik (%) Air Jentik (%) KESIMPULAN
1. Perumahan
1) Selama kurun waktu 7 tahun yaitu tahun 1983–1990 jumlah
– Drum 209 86 41,1 597 202 33,3 kasus yang terbanyak adalah pada tahun 1989.
– Bak mandi 221 37 16,7 49 14 28,6 2) Peningkatan kasus terjadi lebih mendahului peningkatan
– Tempayan 127 12 9,4 61 18 29,5 curah hujan bahkan adanya penurunan curah hujan kasus DBD
– Lain-lain 68 12 17,6 85 15 17,6 tetap tinggi. Peningkatan kasus tidak terpengaruh oleh musim.
Sub Total 625 147 22,1 792 249 31,4 3) Peningkatan kasus DBD secara umum di Indonesia (5 tahun
2. Sekolah
sekali) ternyata tidak berlaku untuk Wilayah Kodya Batam.
– Drum 1 0 0 6 3 50 4) Tempat wadah air yang selalu terisi air memberi peluang
– Bak mandi 27 3 11,1 6 5 83 pada perkembangbiakan Ae. aegypti, sehingga pads musim
– Tempayan 0 0 0 1 1 100 kemaraupun akan terjadi transmisi DBD.
– Lain-lain 1 0 0 1 1 100 5) Tempat perkembangbiakan Ae. aegypti lebih menyukai
Sub Total 29 3 10,3 14 10 71,4 wadah yang terletak di luar bangunan.
3. RRU/TTI
6) Pengetahuan dan sikap perilaku masyarakat memegang pe-
– Drum 4 4 100 24 8 33,3 ran penting dalam pencegahan DBD, melalui cara pengendalian
– Bak mandi 90 12 13,3 46 8 17,4 vektor.
– Tempayan 15 0 0 4 0 0
– Lain-lain 32 2 6,2 12 3 25
Sub Total 141 18 12,8 86 19 22,1
Total 795 168 20,1 892 278 31,2 KEPUSTAKAAN
Keterangan :
1. Sumadji. Penyebaran Kasus Demam Berdarah Dengue di Kotamadya Madiun
Letak dari penampungan air yang positif mempunyai perbedaan yang bermakna
(1974-1988). Medika 1992; 18(3).
(Chi square : X2 = 15,76; df = 2; P 0,05 = 10,6; X2 > P 0,05)
2. Suroso T. Pencegahan dan Pemberantasan DBD. Simposium DBD, Jakarta
26 Juli 1986.
Dari pengamatan ini dapat diketahui pula bahwa berdasar- 3. Nelson MJ, Salim Usman, Pant CP, Self LS. Seasonal abundance of adult and
kan pencahayaan ternyata 89,8% wadah air dengan cahaya yang immature Aedes aegypti (L) in Jakarta. Bull Penelit. Kes. 1976;4(1&2): 1–8.
4. Nelson MJ, Salim Usman, Pant CP, Self LS. Observations on the breeding
cukup dan 10,6% dengan pencahayaan kurang. Dari segi sanitasi
habitats of Aedes aegypti (L) in Jakarta, Indonesia. Asian J. Trop. Med.
ternyata wadah air dengan penutup sebanyak 61,8% kemudian Publ. Hlth. 1976; 7(3): 424–9.
wadah tanpa tutup 38,2%. Kejadian ini mempunyai hubungan 5. Nelson MJ, Self LS, Pant CP, Salim Usman. Diurnal peridiocity of attraction
dengan tingkah laku nyamuk pada saat akan meletakkan telur. to human bait of Aedes aegypti (Cuticidae) in Jakarta, Indonesia. J. Med.
Entomol. 1976; 14(5): 504–10.
Efektifitas Fogging Malathion Masai
pada Pencegahan/ Pemberantasan
Demam Berdarah Dengue
Suharyono Wuryadi
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN MANFAAT FOGGING MASAL DUA SIKLUS


Penyakit Demam Berdarah di Indonesia sampai saat ini Pada tahun 1990/1991 oleh Laksono telah dilakukan pene-
masih merupakan masalah kesehatan yang besar. Sejak pertama litian manfaat fogging masal pada pencegahan DBD di Jogya.
kali dilaporkan dari Jakarta dan Surabaya pada tahun 1968 pe- Hasilnya menunjukkan bahwa fogging masal mempunyai dam-
nyakit ini meningkat dan menyebar ke seluruh pelosok tanah air. pak menurunkan kepadatan nyamuk Ae. aegypti secant cepat dan
Meskipun kasus yang terbanyak masih terpusat di kota-kota bermakna, tetapi hanya sebentar yaitu sekitar 8 minggu; dan juga
besar di Jawa tetapi banyak pula kota-kota di luar Jawa yang penekanan populasi nyamuk tersebut tidak dapat mencapai 0:
cukup tinggi penderitanya. Fogging tersebut dilakukan dua siklus dengan jarak antara 10
Berbagai usaha telah dilakukan untuk mencegah me- hari, dilakukan pada pagi hari dan pada bulan-bulan menjelang/
ningkatnya dan meluasnya penyakit ini melalui program-pro- menghadapi musim hujan. Hal ini dilakukan agar populasi nyamuk
gram pencegahan tetapi tampaknya usaha tersebut belum men- pada saat tersebut ada pada titik terendah. Seperti diketahui pada
capai hasil yang diharapkan. Kasus masih terus meningkat dari saat-saat akhir musim kemarau keadaan lingkungan sangat tidak
tahun ke tahun dan wabah masih saja terjadi. Satu hal yang mendukung perkembangbiakan nyamuk Ae. aegypti sehingga
menggembirakan adalah bahwa angka kematian dapat ditekan dengan fogging pada saat tersebut diharapkan penekanan popu-
turun sampai 3%. lasi nyamuk tersebut akan lebih mudah dan efisien.
Seperti diketahui pada saat ini satu-satunya cara untuk Pada penelitian tersebut dibedakan dua wilayah; satu wila-
mencegah/memberantas penyakit DBD ini adalah dengan yah diadakan fogging malathion dan wilayah yang lain sebagai
memutuskan rantai penularan yaitu memberantas/menurunkan daerahkontrol. Terlihatbahwasebelum dilakukanfogging,daerah
populasi nyamuk penularnya; Ae. aegypti. Diharapkan bahwa perlakuan dan daerah kontrol mempunyai kepadatan nyamuk
dengan menurunnya populasi nyamuk Ae. aegypti penularan yang secara statistik tidak berbeda bermakna (p = 0.05). Setelah
akan berkurang sehingga kasus yang terjadi pun akan berkurang. dilakukan fogging dua siklus dengan antara 10 hari, kepadatan
Salah satu cara untuk membasmi nyamuk adalah mematikan nyamuk turun drastis, dan berbeda bermakna dengan daerah
nyamuk Ae. aegypti dewasa dengan bahan kimia, misalnya kontrol yang tidak diadakan fogging. Penurunan tersebut ber-
malathion. Bahan kimia ini dalam kadar tertentu mampu mem- langsung sampai minggu ke-8 atau sekitar dua bulan; setelah itu
bunuh nyamuk Ae. aegypti jika disemprotkan dalam bentuk naik lagi dan meskipun masih lebih rendah dari sebelum di-
kabut dengan menggunakan mesin khusus (swing fog). Cara lakukan fogging tetapi bila dibandingkan dengan daerah kontrol
pemberantasan nyamuk dengan fogging bahan kimia ini telah perbedaannya tidak bermakna lagi. Penurunan populasi nyamuk
sejak lama dipakai, baik pada waktu ada wabah maupun untuk tersebut tidak pemah mencapai nol (Gambar 1).
penanggulangan fokus (kejadian kasus). Gambaran yang serupa juga terlihatpadakepadatan nyamuk
Akhir-akhir ini manfaat fogging malathion tersebut diper- di luar rumah (outdoor); hanya pada keadaan di ltiar rumah ke-
tanyakan banyak ahli. Ada sementara pendapat bahwa fogging padatan sebelum dilakukan pengasapan lebih tinggi. Kepadatan
tersebut berdampak rendah bahkan lebih bersifat psikologis saja, nyamuk di sini ditentukan dari jumlah telur nyamuk yang ter-
padahal fogging tersebut mahal dan berdampakburukterhadap dapat dalam ovitrap, yang dipasang di dalam rumah dan di luar
lingkungan. rumah.
1) Fogging masal dua siklus sebelum musim penularan di
daerah endemis DBD, yang diikuti dengan
2) Abatisasi selektif di rumah-rumah penduduk yang ada
jentiknya, yang dilakukan setiap 3 bulan.
3) Pemeriksaan jentik berkala dan
4) Penyuluhan masyarakat dapat menyadari pentingnya ma-
salah penyakit DBD ini dan dapat tergugah untuk ikut berpartisi-
pasi dalam pencegahan.
Manfaat fogging masal
Dari hasil penelitian di Jogya, fogging masal (dua siklus)
jelas dapat menurunkan populasi nyamuk Aedes aegypti secara
tajam dan cepat, meskipun penurunan tersebut tidak sampai 0 dan
hanya berlangsung sekitar dua bulan.
Secara teori, karena penyakit ini ditularkan lewat gigitan
nyamuk A. aegypti maka wajar apabila penurunan jumlah nya-
muk akan berdampak menurunnya penularan dan selanjutnya
akan menurunkan jumlah kasus yang terjadi. Pada waktu terjadi
Gambar 1. Persen ovitrap positif di dalam rumah
wabah bila kemudian dilakukan fogging masal juga jelas akan
menurunkan jumlah kasus yang terjadi, karena nyamuk A.
aegypti akan banyak yang mati termasuk nyamuk yang infektif
(yang mengandung virus); jadi penularan selanjutnya dapat
dicegah, sehingga wabah dapat dikendalikan. Fogging di sini
lebih ditujukan untuk mematikan nyamuk infektif sehingga
penularan selanjutnya dapat dikurangi/dicegah.
Telah disebutkan di atas, po;ulasi nyamuk hanya dapat di-
tekan maksimum 2 bulan, dan tidak nol; demikian juga di sini
setelah 2 bulan populasi nyamuk akan naik lagi sehingga sama
dengan keadaan sebelumnya; tetapi diharapkan nyamuk yang
infektif sudah tidak ada lagi atau sudah sangat berkurang. Pada
kejadian wabah dampak pengasapan masal akan lebih baik lagi
karena masyarakat melakukan partisipasi aktif melalui kegiatan
lain misalnya pemberantasan sarang nyamuk dan lain-lain.
Pengasapan masal juga dipakai untuk tindakan pencegahan
yaitu yang dilakukan sebelum musim penularan tepat sebelum/
akan musim hujan. Di sini nyamuk Ae. aegypti karena keadaan
iklim yang tidak mendukung, perkembangbiakannya terhambat
dan populasi nyamuk tersebut menjadi rendah demikian juga
nyamuk yang infektif seandainya ada. Pada keadaan ini jika
dilakukan fogging masal maka nyamukA. aegypti akan mati baik
Gambar 2. Persen ovitrap positif di luar rumah yang belum infektif maupun yang infektif. Tujuan fogging di sini
lebih ditekankan pada penurunan populasi nyamuk A. aegypti
secara keseluruhan baik infektif maupun tidak infektif, sehingga
Terlihat jugapada Gambar 1 dan 2 bahwacurah hujan kalau ditinjau dari penurunan jumlah kasus mungkin kecil sekali
yang terjadi sangat berpengaruh terhadap meningkatnya atau tidak ada karena memang sudah rendah atau tidak ada.
kepadatan nyamuk, baik di dalam maupun di luar rumah. Hal Fogging masal pada keadaan wabah merupakan tindakan
itu dapat dilihat bahwa pada minggu ke 10 curah hujan mulai final dalam menanggulangi wabah yang sedang terjadi sedang
naik demikian juga kepadatan nyamuknya. fogging masal pada pencegahan merupakan tindakan permulaan
dari serangkaian tindakan yang akan dilakukan. Rangkaian
STRATEGI BARU PENCEGAHAN/PEMBERANTASAN tindakan yang lain adalah pembersihan sarang nyamuk (PSN),
DBD pemeriksaan jentik berkala dan penyuluhan kepada masyarakat.
Strategi baru tentang pemberantasan penyakit DBD mulai Tindakan-tindakan tersebut harus segera dilakukan setelah
diintensiflcan sejak tahun 1991. Strategi barn tersebut pada fogging masal, mengingat dampak fogging tersebut relatif pendek
prinsipnya berupa pemberantasan vektor yang intensif, terdiri (2 bulan), sehingga populasi nyamuk A. aegypti yang sudah
dari rangkaian kegiatan sebagai berikut : rendah karena fogging akan dapat tetap ditekan rendah dengan
rangkaian kegiatan tersebut; tindak lan jut setelah fogging me- nuhnya sadar maka tampaknya fogging masal ini masih tetap
rupakan kunci keberhasilan fogging masal pada pencegahan. harus dilakukan. Dalam hal ini selain dapat membantu menu-
Ada dua masalah pada strategi pencegahan yang baru; runkan kepadatan nyamuk secara cepat juga merupakan alat
pertama: menentukan saat yang tepat untuk fogging. Di dalam pengingatyang sangat efektif, bahwa telah tiba saatnya masya-
ketentuan disebutkan bahwa fogging malathion masal pada rakat harus mulai memikirkan penyakit DBD lagi setelah mereda
pencegahan akan dilakukan pada saat atau tepat sebelum musim pada musim kemarau sebelumnya dan mulai bertindak dengan
penularan penyakit DBD, yaitu diperkirakan akhir musim ke- PSN mereka.
marau atau tepat sebelum musim hujan tiba. Hal ini akan sulit Baru-baru ini dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Kese-
bila musim tidak menentu datangnya, sedang populasi nyamuk hatan R.I. Nomor 581/MENKES/SK/VII/1992 tentang Pem-
A. aegypti seperti terlihat dari hasil penelitian di atas sangat di- berantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue di Indonesia.
pengaruhi oleh curah hujan. Dalam pelaksanaannya, penentuan Disebutkan diantaranya bahwa upaya pemberantasan penyakit
waktu yang tepat untuk fogging hanyalah berdasarkan peng- DBD dilakukan melalui kegiatan pencegahan, penemuan/pela-
alaman musim di tahun-tahun sebelumnya; hal ini dapat sedikit poran penderita, pengamatan dan penyelidikan epidemiologi,
dinetralisir dengan sesegera mungkin melakukan rangkaian penanggulangan dan penyuluhan kepada masyarakat. Pelaksanaan
kegiatan yang disebutkan di atas. kegiatan tersebut akan dilakukan oleh pemerintah dan masyara-
Masalah ke dua adalah Pembersihan Sarang Nyamuk (PSN) kat, di bawah koordinasi Kepala Wilayah/Daerah. Di dalam SK
yang diharapkan dilakukan oleh masyarakat melalui partisipasi- tersebut dalam lampirannya disebutkan secara terperinci me-
nya secara aktif. ngenai organisasi baik di pusat maupun di daerah, petunjuk
Perlu diketahui bahwa kegiatan pencegahan ini dilakukan tehnis kegiatan/pelaksanaan dan lain-lain. SK ini mempunyai
pada waktu tidak ada kasus atau keadaan penularan terendah anti yang besar dalam pelaksanaan pemberantasan penyakit ter-
sehingga masyarakat telah merasa aman, tidak merasa terancam sebut, lebih-lebih karena pelaksanaan kegiatan tersebut akan
lagi; akibatnya mereka enggan menyediakan wakttinya untuk melibatkan banyak Departemen (Depdagri, Depdikbud, Dep.
melakukan tindakan pencegahan; di sini diperlukan pengetahuan Penerangan, Dep. Agama, Dep. Keuangan, Dep. Sosial dan
dan kesadaran. Berbeda pada keadaan wabah; karena masyara- instansi terkait lainnya) di samping Dep. Kesehatan sendiri. Hal
kat merasa terancam maka mereka mau berbuat apa saja untuk ini jelas akan memudahkan pelaksanaan pemberantasan dan
mengatasinya. Kesadaran yang tinggi tersebut rupa-rupanya sekaligus kebutuhan dana.
belum dimiliki oleh masyarakat kita. Masyarakat masih harus
dipacu agar mau berpartisipasi secara aktif dalam pencegahan KESIMPULAN
penyakit DBD ini. Memang sampai saat ini tampaknya kita 1) Fogging masal malathion dua siklus dengan antara 10 hari
belum mendapatkan cara yang terbaik bagaimana menggugah dapat menurunkan populasi nyamuk A.aegypti dengan cepat dan
masyarakat. Masyarakat diharapkan memikirkan masalah yang tajam meskipun hanya berlangsung relatif singkat, dua bulan.
mereka hadapi dan ada gagasan yang kemudian dituangkan 2) Fogging masal sebagai permulaan kegiatan pencegahan
dalam suatu bentuk kegiatan. Diharapkan bentuk kegiatan yang dapat sangat membantu menurunkan kepadatan nyamukA. aegypti
demikian akan terjamin kelangsungannya karena timbul dari asal segera diikuti dengan kegiatan pencegahan yang lain seperti
masyarakat sendiri, timbul karena kebutuhan mereka sendiri; PSN dart lain-lain.
bukan partisipasi karena perintah, paksaan, takut atau meng-
harapkan imbalan. Dalam hal ini memang banyak faktor yang KEPUSTAKAAN
berpengaruh seperti keadaan sosial-ekonomi, tingkatpendidikan
1. Dengue Hemorrhagic Fever: diagnosis, treatment and control. Geneva: WHO
dan pengetahuan, kesadaran dan lain-lain. 1985.
Dengan bentuk partisipasi yang disebutkan di atas dan ber- 2. Gubler DJ. How effective is the ULV approach for Aedes aegypti and
sama-sama dengan kegiatan dari program pemerintah maka Dengue Control?. Vector Ecology News Letter 1991; 22.
niscaya kegiatan tersebut akan berhasil guna yang maksimum. 3. Gubler DJ. Ardes aegypti and Aedes aegypti borne disease control in the
1990s. Top down or bottom up. Am J Trop Med and Hyg 1989; 40(6): 571-8.
Sebetulnya fogging masal yang mendahului kegiatan pen- 4. Ida Bagus Mantra. Partisipasi Masyarakatdalam Bidang Kesehatan. Maj Kes
cegahan dapat ditinggalkan mengingat bahwa fogging tersebut Masy Th. 1985; X1V (33).
selain mahal dan dampaknya tidak lama, asal kegiatan yang di- 5. Keputusan Menteri Kesehatan R.I. No. 581/MENKES/SK/VII/l992 tentang
lakukan oleh masyarakat telah membudaya sehingga dapat dijamin Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue beserta lampiran.
6. Laksono Trisnantoro. Policy Analysis of the Dengue Hemorrhagic Fever
pelaksanaannya. Jadi sementara masyarakat kita belum sepe- Prevention in Indonesia. (1990-1992). Thesis. 1992.
Aspek Perilaku dalam Kaitannya dengan
Penyakit Demam Berdarah
di Kodya Sukabumi
Kasnodihardjo, Sumengen
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN ungkapkan aspek perilaku masyarakat dalam hubungannya


Demam berdarah dengue (DBD) adalah suatu penyakit me- dengan demam berdarah. Aspek perilaku dalam hal ini meliputi
nular yang ditandai demam mendadak, perdarahan di kulit mau- tiga faktor yaitu : pengetahuan, sikap dan tindakan. Survei dasar
pun di bagian tubuh lainnya, dapat menimbulkan shock atau dilakukan pada bulan Oktober 1988.
renjatan dan kematian(1).
Penyebab penyakit demam berdarah ialah virus dengue dan BAHAN DAN CARA
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes Sejumlah 382 rumah tangga telah dipilih sebagai sampel.
albopictus. Penyakit ini biasanya berjangkit di daerah perkota- Sebagai responden pada survei dasar ini adalah ibu rumah
an. Pada umumnya yang dijangkiti demam berdarah adalah tangga, yang diasumsikan mengetahui keadaan anggota ke-
anak-anak termasuk bayi dan angka kematiannya tergolong luarganya dan memiliki perilaku yang mewakili rumah tangga-
tinggi. nya dalam kaitannya dengan masalah demam berdarah.
Di Indonesia penyakit demam berdarah mulai ditemukan Data aspek perilaku meliputi berbagai variabel yang ber-
pada tahun 1968 di Surabaya dan di Jakarta. Sejak itu jumlah hubungan dengantejadian penyakit demam berdarah. Variabel-
kasus/insidennya meningkat dan menyebar ke seluruh propinsi variabel tersebut antara lain menyangkut penyebab penyakit,
di Indonesia kecuali Timor Timur. jenis nyamuk penular, jentik, cara pemberantasan dan pencegah-
Upaya pemberantasan dan pencegahan penyakit demam an penyakit demam berdarah.
berdarah terus menerus dilakukan,oleh pemerintah antara lain Pengumpulan data melalui wawancara menggunakan
melalui pengobatan penderita, pemberantasan nyamuk penular kuesioner. Wawancara dilakukan dengan cara mengunjungi
dan pembasmian larva menggunakan insektisida serta larvasida. rumah responden. Tenaga pewawancara terdiri dari para peneliti
Namun upaya-upaya tersebut selain biayanya sangat mahal juga Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
tidak praktis. Upaya yang paling efektif dan efisien adalah mem-
berantas sarang dan tempat perindukan nyamuk oleh masyara- HASIL
kat. Upaya ini sebetulnya sudah digalakkan, hanya saja hasilnya Dari 382 ibu rumah tangga yang berhasil diwawancarai,
belum seperti yang diharapkan. 67% tidak tamat Sekolah Dasar (SD). Sebagian besar (65%)
Dalam rangka mencari strategi pemberantasan penyakit tidak bekerja dan pada umumnya (90%) beragama Islam.
demam berdarah yang lebih baik, dilakukan suatu studi tentang Pengetahuan responden dalam kaitannya dengan penyakit
peningkatan kualitas lingkungan. Studi ini meliputi dua tahap, demam berdarah yaitu mengenai tanda-tanda penyakit, bahaya
yaitu tahap I merupakan survei dasar dan tahap II studi intervensi penyakit, penyebab penyakit, cara pertolongan jika terkena pe-
dan evaluasi. Studi dilakukan di Kotamadya Sukabumi, Jawa nyakit, cara penularan penyakit, kebiasaan yang menyebabkan
Barat. timbulnya penyakit, jenis nyamuk dan jentik yang menularkan
Tulisan ini merupakan hasil survei dasar yang meng- penyakit serta cara pemberantasan penyakit yang dinilai benar
menurut kriteria jawaban, tertera pada tabel 1. Tabel 3. Tindakan Responden yang Positif dalam Kaitannya dengan Upaya
Penanggulangan Demam Berdarah
Tabel 1. Pengetahuan Responden yang Benar terhadap Demam Ber-
darah oporsi responden
Dalam kaitan dengan
(%)
Proporsi responden
Pengetahuan tentang
(%) Tempat penampungan air (TPA) 77
Kebersihan lingkungan 79
Tanda-tanda penyakit 81 Frekuensi pengurasan/pembersihan TPA 75
Bahaya penyakit 76 Petugas abatisasi 69
Penyebab penyakit 5 Penutupan TPA 16
Pertolongan terhadap penderita 96 Pengawasan jentik 9
Cara penularan penyakit 56
Jenis nyamuk penular 78 Rata-rata 54 (N = 382)
Jentik nyamuk penular 85
Kebiasaan yang erat dengan penyakit 71
Cara pemberantasan penyakit 52
Rata-rata 67 (N = 382) upaya penanggulangan penyakit demam berdarah. Diketahui
bahwa hanya 67% yang mengetahui tentang masalah yang
Pengetahuan responden pada setiap komponen pertanyaan menyangkut penyakit demam berdarah.
memberikan jawaban benar berkisar antara 5% – 96% dari 382 Rendahnya tingkat pendidikan akan menghambat program
responden. Rata-rata jawaban pengetahuan yang benar adalah pembangunan kesehatan(4). Seseorang yang mempunyai latar
67%. belakang pendidikan rendah atau buta huruf, pada umumnya
Sementara itu sikap responden yang positif dalam arti setuju akan mengalami kesulitan untuk menyerap ide-ide baru dan
terhadap upaya-upaya penanggulangan penyakit demam berda- membuat mereka bersifat konservatif, karena tidak mengenal
rah tertera pada tabel 2. alternatif yang lebih baik.
Tabel 2. Sikap Responden yang Positif terhadap Upaya Penanggulangan
Pengetahuan responden mengenai penyakit demam ber-
Penyakit Demam Berdarah darah masih rendah terutama mengenai penyebab penyakit, cara
penularan dan cara pemberantasan penyakit terutama pemberan-
Sikap terhadap
Proporsi responden tasan sarang/tempat berkembang biaknya nyamuk. Umumnya
(%)
responden belum mengetahui dengan benarpenyebab atau faktor
Pertolongan penderita 82 yang menyebabkan timbulnya penyakit demam berdarah; mereka
Penyebab penyakit 49 beranggapan bahwa penyebab penyakit demam berdarah adalah
Pencegahan penyakit 47 nyamuk. Mereka belum mengetahui bahwa virus sebagai penye-
Bahaya penyakit 80
Pemberantasan sarang nyamuk 84 babnya dan sejenis nyamuk hanya berperan sebagai penular.
Pemberantasan jentik 48 Hal lain yang belum dipahami responden pada umumnya
Abatisasi 70 adalah cara penularan penyakit dan cara pemberantasannya.
Kesediaan membantu upaya penanggulangan 98 Mereka beranggapan bahwa penularan penyakit demam berda-
Pengawasan lingkungan 80
rah terjadi karena gigitan nyamuk. Setiap nyamuk pada setiap
Rata-rata 71 (N = 382) gigitan menyebabkan penularan. Adanya proses penularan dari
penderita, gigitan nyamuk, pemindahan bibit penyakit (virus)
Sikap responden pada setiap komponen pertanyaan mem- belum dimengerti dengan baik oleh penduduk. Begitu pula
beri jawaban positif berkisar antara 47% – 98% dari 382 respon- mengenai konsep pemberantasan sarang nyamuk atau tempat
den. Rata-rata jawaban yang positif adalah 71%. berkembang biaknya nyamuk, belum diketahui dengan baik.
Tindakan responden dalam kaitannya dengan upaya pe- Mereka belum memahami tujuan, manfaat dan hubungan pem-
nanggulangan demam berdarah belum seluruhnya menunjukkan bersihan sarang nyamuk dan jentik dengan kejadian penyakit
tindakan positif dalam arti tindakan tersebut benar. Jika di rata- demam berdarah.
rata, tindakan yang benar dalam kaitannya dengan penanggu- Kurangnya pengetahuan penduduk dalam kaitannya dengan
langan penyakit demam berdarah adalah 54%. Tindakan tersebut penyakit demam berdarah dapat disebabkan oleh banyak faktor;
pada setiap komponen pertanyaan menunjukkan tindakan positif sebagaimana telah dikemukakan salah satu di antaranya adalah
berkisar antara 9% – 79%. rendahnya tingkat pendidikan. Di samping itu mungkin sikap
Tabel 3 menunjukkan tindakan responden yang positif da- masa bodoh dan kurangnya penyuluhan yang efektif menye- I
lam kaitannya dengan upaya penanggulangan penyakit demam babkan pengetahuan masyarakat menyangkut masalah penyakit
berdarah. demam berdarah rendah. Pendidikan yang relatifrendah melatar-
belakangi sulitnya penduduk untuk mengetahui konsep kejadian
PEMBAHASAN penyakit demam berdarah serta cara penanggulangan/pemberan-
Banyaknya ibu rumah tangga yang berhasil diwawancarai tasannya. Kurang efektifnyapenyuluhan menyebabkan sebagian
cukup memberikan gambaran perilaku masyarakat yang dipe- besar masyarakat kurang informasi untuk mengetahui manfaat
lajari. Pendidikan responden yang relatif rendah boleh jadi ikut pemberantasan; akibatnya masyarakat kurang mendukung
mempengaruhi perilaku mereka dalam kaitannya dengan upaya- upaya pemberantasan penyakit tersebut. Penyuluhan yang
efektif sangat dibutuhkan untuk meningkatkan pengetahuan demam berdarah dan kurang mendukung upaya pemberantasan
masyarakat dalam penyakit demam berdarah. penyakit tersebut; oleh karena itu tindakan tersebut perlu diubah
Materi penyuluhan yang sederhana dan metode yang terarah agar menunjang upaya pemberantasan dan pencegahan penyakit
merupakan faktor penting dalam upaya meningkatkan penge- denim berdarah.
tahuan masyarakat. Masyarakat pada prinsipnya perlu dibekali Suatu upaya yang diduga cukup efektif dalam meningkat-
pengertian dan konsep kejadian penyakit yang benar. Mereka kan tindakan masyarakat dalam memberantas dan mencegah
sebenarnya tidak perlu mengetahui apa itu virus, yang lebih penyakit demam berdarah ialah melalui pemantauan dan peng-
penting adalah bahwa penyakit demam berdarah disebabkan awasan lingkungan rumah-tangga yang dilakukan oleh masya-
oleh bibit penyakit dan sangat berbahaya. Bibit penyakit ditular- rakat itu sendiri.
kan oleh nyamuk yang berwarna hitam putih dari orang yang ke- Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, perilaku masya-
betulan sakit, ditularkan ke orang lain yang sehat. Memberantas rakat dalam kaitannya dengan upaya pemberantasan penyakit
nyamuk memang sulit, sehingga yang paling mudah ialah mem- demam berdarah di Kotamadya Sukabumi belum sepenuhnya
berantas tempat berkembang biaknya nyamuk yaitu tempat- mendukung upaya tersebut. Keadaan demikian tidak jauh ber-
tempat penampungan air, ban bekas, kaleng bekas dan sebagai- beda dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sub. Dit Arbovi-
nya. rosis P2MPLP di 9 kota yang mengungkapkan rendahnya penge-
Dengan dasar pengetahuan sederhana dan benar, maka di- tahuan, sikap dan tindakan masyarakat.
harapkan masyarakat akan bersikap dan bertindak lebih positif Oleh karena itu upaya penyuluhan tentang penyakit demam
dalam memberantas dan mencegah penyakit demam berdarah. berdarah dengan penekanan pada pengertian mengenai trans-
Dari hasil penelitian telah diketahui bahwa pada umumnya misi, penyebab penyakit dan cara pemberantasan penyakit perlu
responden bersikap positif terhadap upaya pemberantasan dan ditingkatkan. Metode penyuluhan dipilih yang sifatnya langsung
.pencegahan penyakit demam berdarah walaupun berdasarkan mencapai target yaitu ibu rumah tangga. Dengan pendekatan
penilaian terhadap beberapa komponen sikap seperti tentang semacam itu, diharapkan upaya pemberantasan dan penanggu-
atau menyangkutpenyebabpenyakit, pencegahan penyakit, pem- langan penyakit demam berdarah dapat lebih efektif.
berantasan jentik menunjukkan persentase yang rendah yaitu
kurang dari 50%. Hal ini mung.kin dilatarbelakangi oleh penge-
tahuan yang masih kurang dalam topik atau hal yang sama. KEPUSTAKAAN
Dengan demikian upaya penyuluhan yang efektif merupakan
1. Suroso T. Demam Berdarah : pencegahan dan pemberantasannya di Indo-
kunci untuk meningkatkan sikap masyarakat dalam rangka nesia. Maj Kes Mas Indon 1984; 15 (5).
pemberantasan penyakit demam berdarah. 2. Suroso T. Pemberantasan Demam Berdarah. Makalah Seminar Sehari,
Pada umumnya tindakan responden dalam kaitannya de- Ditjen PPM & PLP, Depkes RI, 25 Agustus 1988.
ngan upaya pemberantasan penyakit demam berdarah masih 3. Suroso T, Abas Abdulkadir, All Izhar, Gunawan, Faltah Noor, Bachtiar,
Yusuf. Knowledge, attitude, practice of the community in the prevention
belum mendukung. Mereka pada umumnya masih belum me- of DHF in Pontianak, Indonesia. Dengue News Letter, WHO Reg Off for
lakukan tindakan penting seperti menutup tempat penampungan SEA. New Delhi, 1986.
air, memperhatikan dan memberantas jentik nyamuk di ling- 4. Soetrisno L, Somadiningrat G, Prasetyantono T, Ratnandari D. Faktor-
kungan rumah tangganya. Tindakan penting ini belum dilakukan faktor Non Medis serta Pengaruhnya terhadap Status Kesehatan Anak di
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. P4K UGM, 1988.
sehingga dengan sendirinya mendukung penyebaran penyakit

Never let yourself be worried by what people say, just ask yourself
why they say it
Filariasis
Siklus Hidup dan
Diagnosis Laboratorium
Nurtjahjo, Ida Aju Brahma Dewi
Jurusan Analis Medis Fakultas Non Gelar Kesehatan
Universitas Airlangga, Surabaya

PENDAHULUAN perantara penyakit filariasis. Larva ikut terisap oleh serangga


Penyakit filariasis disebabkan oleh genus Filaria yang melalui kulit atau jaringan kulit yang luka.
metupakan cacing darah jaringan, sedangkan spesies nyamuk Tiap spesies mempunyai vektor sendiri-sendiri.
berperan sebagai sumber penularan antar manusia. Secara epide- – Wuchereria bancrofti vektomya Culex, Aedes, Anopheles.
miologi sasarannya adalah masyarakat pedesaan yang beradap- – B. malayi dan B. timori oleh Anopheles dan Mansonia.
tasi terhadap cacing dan menyebabkan cacad badan seumur – Loa loa oleh lalat Chrysops.
hidup berupa elephantiasis. Pendatang di daerah endemis rentan – O. volvulus oleh lalat hitam Simulium.
terhadap penularankarena daya immunitas yang belum dipunyai – T. perstans dan T. streptocerca oleh Colicoides.
sebelumnya. – M. ozzardi oleh Colicoides dan Simulium.
Penyakit filariasis di Indonesia disebabkan oleh : Wuchere-
ria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori. Kucing dan kera SIKLUS HIDUP
dapat diduga sebagai sumber penularan melalui vektor nyamuk. Larva filaria masuk melalui kulit (tergantung spesiesnya),
Prevalensi yang semakin menurun (1970:13,3%; 1987:3,29%) kemudian akan melanjutkan migrasi ke seluruh tubuh manusia
merupakan berita yang menggembirakan. mengikuti aliran darah; dalam waktu 3–15 bulan akan berkem-
Perlu ditingkatkan pemberantasan filariasis secara teknis bang menjadi cacing dewasa; migrasi larva secara lebih lengkap
epidemiologis secara efektif dan efisien. tidak banyak diketahui. Lokalisasi cacing dewasa dapat dilihat
pada tabel 1.
DISTRIBUSI Cacing dewasa dapat hidup beberapa tahun di dalam tubuh
Macam-macam spesies penyebab filariasis dengan nama host. Mikrofilaria adalah larva yang dihasilkan oleh cacing
klinisnya : betina secara viviparous. Jumlah mikrofilaria tergantung spe-
– Wuchereria bancrofti menyebabkan filariasis limfatik siesnya, yang juga dipengaruhi resistensi kulit host maupun
bancrofti. faktor yang lain. Saat diketemukannya jumlah mikrofilaria
– Brugia malayi menyebabkan filariasis limfatik malayan. optimal di dalam aliran darah tepi disebut periodisitas. Misalnya
– Loa loa menyebabkan loaiasis atau Calabar swelling. W. bancrofti dan B. malayi mempunyai nocturnal periodicity,
– Onchocerca volvulus menyebabkan filariasis kutaneus atau sedangkan Loa loa mempunyai diurnal periodicity (siang hari).
onchocersiasis. Selama jam jam tidak ada gigitan serangga, mikrofilaria tinggal
Perlu dipikirkan beberapa spesies Filaria lain, yaitu : di dalam kapiler paru.
– Tetrapetalonema perstans menyebabkan gejala alergi. Beberapa jenis mengenal subperiodicity, mikrofilaria
– Tetrapetalonema streptocerca menyebabkan iritasi. diketemukan di aliran darah tepi selama 24 jam terus menerus
– Mansonella ozzardi menyebabkan luka dan radang. dengan sedikit peningkatan pada siang hari atau malam hari.
Mikrofilaria kulit tidak mengenal periodisitas. Periodisitas
TRANSMISI mikrofilaria dapat dilihat pada tabel 2.
Serangga yang menggigit - mengisap darah, merupakan Pertumbuhan mikrofilaria mutlak memerlukan serangga;
Tabel 1. Lokalisasi Casing Filaria Dewasa latan) disebabkan pecahnya sistem limfe di sekitar kandung
Wuchereria bancrofti Di dalam sistem limfe dalam bentuk kencing menyebabkan hubungan terbuka antara keduanya,
ikalan (coiled) akibatnya timbul chiluria (kencing seperti air susu). Leukositosis
Brugia malayi Di dalam sistem limfe dalam bentuk
ikalan (coiled) terjadi setelah adanya infeksi sekunder oleh Stafilokokus, Strep-
Loa 1oa Migrasi dalam jaringan subkutan dan tokokus dan Pseudomonas.
subkonjungtiva
Onchocerca volvulus Di dalam jaringan subkutan atau bentuk Loaiasis
ikalan di antara noduli Gejalanya khas dengan terbentuknya pembengkakan cala-
Tetrapetalonema perstans Di dalam rongga pleura,rongga perito- bar swelling di sekitar sendi, lengan atas. Gejala ini disebabkan
neum dan rongga perikardium
Tetrapetalonema streptocerca Di dalam jaringan ikat kulit
reaksi allergi terhadap cacing dewasa yang migrasi ke jaringan
Mansonella ozzardi Di dalam rongga usus dan rangga tubuh subkutan; timbul setelah tiga minggu.
Migrasinya ke jaringan subkonjungtiva menyebabkan ge-
jala iritis, tetapi tidak sampai menimbulkan kebutaan. Aktifitas
Tabel 2. Hubungan Spesies dan Periodisitas cacing tampak/dapat dilihat di jaringan subkonjungtiva, sedangkan
mikrofilarianya tidak menimbulkan dampak yang serius, hanya
Waktu
Spesies Periodisitas
pengambilan darah ditakutkan timbulnya ensefalitis.
1. Wuchereria bancrofti noktumal 22.00 – 02.00 Onchocersiasis
2. Brugia malayi diurnal subperiodicity 22.00 – 02.00 Cacing dewasanya hidup di jaringan subkutan dalam keadaan
noktumal bebas/berbentuk kapsul (onchocermata) dengan diameter 0,5 –
3. Brugia timori nocturnal subperiodicity 22.00 – 02.00 10 cm di jaringan bawah kulit. Lokalisasinya sering di sekitar
(zoonotic strain)
noktumal
dada, pelvis, kepala, lengan atas. Kehidupan cacing dapat ber-
4. Loa loa diurnal 01.00 -14.00 langsung sampai dengan 16 tahun atau lebih. Migrasi ke jaringan
subkutan menimbulkan radang (dermatitis). Gambaran hiper-
pigmentasi kulit dikenal sebagai sowda, leopard skin. Kelainan
bila hal ini tidak terjadi maka dalam waktu satu sampai dua tahun
yang menahun menyebabkan elastisitas kulit hilang, menipis,
akan mati. Mikrofilaria yang terhisap serangga akan bermigrasi
berlipat-lipat sehingga penderita tampak tua. Migrasi ke kulit
ke otot serangga dalam waktu 1–2 minggu dan selanjutnya akan
lipat paha menimbulkan kelainan yang disebut hanging groin.
menjadi stadium infektif. Larva yang matang/mature akan
Komplikasi serius apabila terjadi penyusupan ke mata
diketemukan di mulut serangga, dan siap untuk dipindahkan ke
menimbulkan reaksi radang iritis, sclerosing keratitis, choroidi-
manusia pada saat menghisap darah.
tis dan retinitis. Kerusakan nervus opticus menyebabkan ke-
butaan lazim disebut river blindness. Mikrofilaria dapat tampak
GAMBARAN KLINIK DAN PATOLOGI
keluar di camera oculi anterior, cairan vitreus. Fase dini penyakit
Filariasis bancrofti dan Brugia malayi adalah penyakit yang
ini memberikan gambaran radang di sekitar jaringan tempat,
menyerang sistem limfe. Gambaran khasnya adalah adanya
mikro$laria yang mati. Pada infeksi lanjut, mikrofilaria di-
parasitemia yang berulang disertai radang, nyeri sistem limfe dan
ketemukan di organ ginjal, paru, kadang-kadang otak, atau ikut
diakhiri kerusakan, kekakuan dan bendungan pada pembuluh
aliran darah keluar bersama urine, sputum dan cairan otak.
limfe. Kelainan ini terutama diketemukan di lengan, alat kelamin
Penyusupan mikrofilaria ke kelenjar limfe menimbulkan
dan dada. Akhir gangguan aliran limfe berupa limfedema.
limfangitis, limfadenitis, dan elephantiasis scrotum.
Gambaran patologi penyakit ini tergantung terdapat atau
tidaknya cacing dewasa, respons immunologi dan intensitas
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
infeksinya. Mikrofilaria jarang menyebabkan gejala yang serius
Pemeriksaan laboratorium penderita filariasis adalah untuk
kecuali gambaran darah dengan jumlah eosinopil yang meningkat.
mencari identitas spesies mikrofilaria. Sampel pemeriksaan
Gambaran rēaksi alergi yang berat, sering tampak di paru, di-
berupa: darah, biopsi kulit, kadang-kadang urine, cairan otak.
sebut sindrom tropical pulmonary eoSinophilia. Gambaran ini
Jumlah mikrofilaria memberikan informasi tentang transmisi
dapat juga disebabkan oleh filariasis binatang atau respon alergi
dan cara infeksinya.
terhadap Wuchereria bancrofti.
Pemeriksaan serologi jarang dilakukan karena hasilnya
Kematian larva filaria menyebabkan respons jaringan berupa
tidak spesifik dan sensitif.
bendungan aliran limfe besar dan hidrokel, yang sering
diketemukan pada penduduk Afrika Tengah, Jepang dan Cina. 1) Pemeriksaan mikrofilaria dalam darah
Bendungan yang lama menyebabkan gejala elephantiasis, kulit Saat pengambilan sampel darah harus tepat waktu sesuai
tampak kasar, tegang, tebal dan retak-retak. periodisitas (Tabel 2). Dianjurkan mengambil darah dari cuping
Elephantiasis sering diketemukan di Cina, India, kepulauan telinga.
Pasifik; di sini perlu dibedakan dengan elephantiasis yang dise- Kegagalan menemukan mikrofilaria dalam darah disebab-
babkan karena defisiensi mineral. kan karena pada Loaiasis dan limfadenitis filariasis, mikrofilaria
Komplikasi filariasis bancrofti (di Cina, Jepang, India se- baru tampak satu tahun atau lebih setelah infeksi.
Limfadenitis filariasis dipengaruhi : 2) Tutup ujung kapiler dengan lilin.
intensitas infeksi 3) Masukkan pipet tadi dalam tabung sentrifuse, putar dengan
− jumlah cacing yang dibuahi kecepatan 700–1000 rpm selamk 5–7 menit.
− reaksi radang dari host akibat terbendungnya aliran dalam 4) Letakkan kapiler sedemikian rupa sehingga tidak terpegang
usaha mencegah penyebaran mikrofilaria. tangan.
− destruksi mikrofilaria oleh antibodi host. 5) Perhatikan lapisan di dalam kapiler lapisan plasma-eritrosit
Metode pemeriksaan : dan lapisan buffy coat di bawah mikroskop dengan perbesaran
a) The counting chamber technique 10 x dengan kondensor rendah untuk memberikan kontras
Alat yang diperlukan : maksimal.
− slide gelas ukuran 76 x 38 mm, tebal2 mm, ditetapkan sesuai 6) Identifikasi spesies dilakukan dengan menambahkan cat
gambar berikut : pada lapisan plasma, selanjutnya dituang di gelas obyek (tabel
− 3).
c) Membrane filter technic
Alat yang diperlukan :
− Swinnex 25 mm holder
− Membrane filter 5 um yang porous; dapat pula ditambahkan
nucleopore
− Antikoagulan Na sitrat steril
− Larutan garam faali (PZ).
Cara kerja
1) Satu ml darah vena ditambah 2 ml Na sitrat steril.
2) Lepaskan jarum, ganti dengan swinnex filter holder; se-
waktu memasangnya dibasahi dahulu dengan air.
3) Tambahkan antikoagulan melalui filter.
− mikroskop cahaya dengan perbesaran obyektif 10 x, 40 x, 4) Lepaskan filter, cuci dengan PZ, lepaskan lagi berulang
100 x. sehingga eritrosit tampak lewat membran.
Cara kerja 5) Dengan forsep, pindahkan membran dan letakkan pada
1) Isi satu tetes aquadest dalam kanal. gelas obyek.
2) Isi/ambil darah kapiler (yang diambil dari cuping telinga) 6) Keringkan di udara atau dipanaskan.
sebanyak 0,1 ml (100 uL), teteskan ke dalam kanal sehingga 7) Fiksasi dengan metanol.
timbul hemolisis. 8) Cat dengan larutan Giemsa.
3) Periksa di bawah mikroskop dengan pembesaran obyektif 9) Teteskan oli emersi, lihat di bawah mikroskop dengan
10 x, kondensor rendah sedemikian rupa sehingga memberikan pembesaran 10 x, 40 x, kondensor dibuka.
kontras yang maksimum. Fokuskan pada tiap mikrofilaria. 10) Hitung mikrofilaria/1 darah dengan mengkalikan 1000.
4) Hitung jumlah mikrofilaria/L darah dengan mengkalikan
10.000. Identifikasi Mikrofilaria
Modifikasi cara di atas dāpat pula dilakukan dengan meng- Identifikasi spesies dapat dilakukan dengan melihat sarung
gunakan larutan asam asetat 3%. Cara ini sekaligus menye- mikrofilaria (sheath). Hal ini mudah dilakukan dengan bantuan
babkan hemolisis dan fiksasi. pemberian cat.
Spesimen/preparat ini dapat dikirim atau disimpan selama
beberapa hari, minggu sampai bulan. Cara kerja
Keluarnya mikrofilaria dapat dirangsang dengan pemberian 1) Dengan pipet Pasteur teteskan darah yang lisis pada gelas
diethyl carbamazine, sehingga pemeriksaan dapat dilakukan obyek, kemudian buat hapusan darah.
setiap saat; takaran yang diberikan :100 mg untuk dewasa, 75 mg 2) Biarkan kering, fiksasi dengan metil alkohol.
untuk anak 10–14 tahun, 50 mg untuk anak 5–9 tahun. Peng- 3) Teteskan cat hematoksilin atau Giemsa; Cat Giemsa lebih
ambilan sampel darah dilakukan 60 menit sesudah pemberian cocok untuk spesies Brugia malayi dan Wuchereria bancrofti.
obat tadi. Untuk spesies Wuchereria bancrofti strain Pacific hal 4) Mounting dengan Canada balsam.
ini tidak dapat dilakukan. 5) Periksa dengan mikroskop pembesaran 40 x; hasil lebih
b) Teknik kapiler (capillary method) nyata pada preparat yang tipis.
Alat yang diperlukan :
− tabung kapiler plastik yang dilapisi EDTA 2) Pemeriksaan mikrofilaria dalam urine dan cairan yang
− sentrifuse lain
− obyek glass. SpesiesWuchereriabancrofti, OnchocercavolvulusdanLoa
Cara kerja loa sering diketemukan dalam urine. Spesies Brugia malayi dan
1) Ambil darah dari cuping telinga dengan pipet kapiler atau Wuchereria bancrofti juga diketemukan dalam aspirasi cairan
darah dalam tabung yang belum diberi antikoagulan. kelenjar limfe, sedangkan Loa loa diketemukan dalam aspirasi
cairan otak. Tabel 3. Skema Identifikasi Mikrofilaris Darah
Cara pemeriksaan
1) Cairan/aspiran dituang dalam tabung, sentrifuge dengan
kecepatan tinggi selama 5 menit.
2) Buang supernatan, ambil sedimen dengan menggunakan
pipet Pasteur.
3) Teteskan pada gelas obyek, kemudian tutup dengan gelas
penutup.
4) Periksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 10 x de-
ngan bukaan kondensor kecil untuk memberikan kontras.
Apabila menghadapi sedimen yang mengandung eritrosit,
teteskan sedikit akuades untuk menghemolisis eritrosit, se-
lanjutnya lakukan sentrifuge lagi.
Identifikasi spesies dapat dilakukan dengan penambahan
cat.
3) Pemeriksaan biopsi kulit
Spesies yang sering diketemukan ialah: Onchocercavolvulus,
Dipetalonema streptocerca, Manzonella ozzardi, Wuchereria
bancrofti.
Cara kerja :
Cari di tempat-tempat yang mungkin terdapat infeksi yang
berat. Di Afrika dan Venezuela sering diketemukan di daerah
lengan dan pantat atau kaki bagian bawah; sedangkan di Mexico,
Guatemala sering dicari di kepala, bahu, dan badan. Mikrofilaria
terdapat di daerah lapisan teratas kulit.

Alat yang dipakai : jarum biopsi steril, skalpel steril dan


kapas steril.
Reagen yang dipakai : larutan alkohol 70% atau larutan
betadine 2%, dan larutan garam faali (PZ).
Cara kerja :
1) Bersihkan kulit yang akan dibiopsi dengan larutan alkohol,
biarkan kering sebentar.
2) Tusukkan jarum biopsi, kemudian angkat sehingga terikut 5) Tutup dengan cover glass.
jaringan kulit ± 2 mm, potong bagian kulit sisanya agar terpisah 6) Lihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 kali dengan
dari jaringan kulit asalnya. kondensor rendah.
3) Rendam jaringan biopsi tadi dalam larutan garam faali (PZ); 7) Hitung jumlah mikrofilaria tiap mm2 jaringan, dengan
bila,perlu tambahkan larutan buffer fosfat (pH:7,2). menggunakan Nomogram Brikman (tabel 5).
4) Letakkan di atas gelas obyek biarkan 30 menit; dalam waktu
30 menit mikrofilaria akan keluar (75%), sedang dalam waktu PENUTUP
60 menit akan keluar sebanyak 90%. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan Nematoda ja-
Tabel 6. Morfologi Mikrofilaria dalam Darah

2. Silvanalan S, Dondero TJ. Differentiation between periodicity and sub


periodicity Brugia malayi and Brugia pahangi on the basis of microfilaria
sheet casting in vitro Ann Trop Med & Parasitol 1977; 65: 487-95.
3. Mate JW, Yen PKF. Histochemical differs nation of Brugia, Wuchereria,
Tabel 5. The Brinkman Nomogram untuk Menghitung Jumlah Mikro- Dirof laria and Beinlia microfilaria. Ann Trop Med & Parasitol 1978;
filaria 72(2): 157-162.
ringan. Dampak lanjut infeksinya dapat menyebabkan kelainan 4. Denham DA. Counting and identification microfilaria. School of Hyg &
yang menetap, bahkan cukup fatal. Indonesia adalah salah satu Trop Med 1978.
daerah yang ikut berperan dalam penyebaran penyakit ini. 5. Nathan MB, Raccurt C. Higher concentration of microfilaria in capillary
blood from the ear lobe than from the finger with W. bancrofti & M.
Telah dibicarakan siklus hidup, kelainan klinik dan patologi ozzardi infections Trop Med & Hyg 1979; 73(4): 456-457.
akibat infestasinya. Pemeriksaan laboratorium merupakan 6. An HS, Mc Call JW, Thompson PE. A simple method for isolation of B.
diagnosis bantu yang cukup dapat diandalkan. pahangi and B. malayi microfilaria. Lit. J Parasit 1974; 4: 677.
7. Anderson J, Fazen LE, Buck All. Onchocerciasis Guatemala II microfilaria
KEPUSTAKAAN in urine, blood, and sputum after diethyl carbamazine. Am J Trop Med
Hyg 1975,24:58.
8. Awadzi K. The chemotherapy of onchocersiasis II quantitation of the
1. Kale OOA. A simplified technique for counting Onchocercal microfilariae chemical reaction tomicrofilarides. Ann Trop Med Parasitol 1980; 74:189.
in skin strips. Bull WHO 1978; 56(1): 133-437. 9. Buck AA. Onchocerciasis symptomatology, pathology, diagnosis. WHO
spec rep 1974.
10. Buckley JJC. Occult filarial infection of human origin as a cause of
tropical pulmonary eosinophlia. East African Med J 1958; 35: 493.
Pemakaian Pembalut mengandung Deet
untuk Perlindungan Perorangan
terhadap Mansonia sp.
Suyitno
Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK

Penelitian mengenai pemakaian pembalut (band) yang mengandung racun serangga


(Deet) pada pergelangan tangan, pergelangan kaki dan kepala untuk pelindung perorang-
an dari gigitan nyamuk Mansonia sp. sebagai vektor penyakit kaki gajah (filariasis), telah
dilakukan di daerah Pacific Tin, Selangor, Malaysia, pada bulan April sampai dengan
Juni 1989.
Penangkapan nyamuk Mansonia sp. dari alam dilakukan dengan cara menggunakan
umpan manusia yang memakai pembalut yang mengandung racun serangga (Deet)
dengan konsentrasi yang berbeda yaitu 5%, 10% dan 30%, sedangkan sebagai kontrol
(0%) memakai pembalut yang mengandung alkohol absolut (ethanol). Semua nyamuk
Mansonia sp. dan jenis nyamuk yang lain, yang diperoleh dari alam tersebut, dibawa ke
laboratorium kemudian dilakukan penghitungan dan identifikasi. Nyamuk dipisahkan
menurut konsentrasi kandungan racun serangga pada pembalut yang dipakai oleh pe-
nangkap.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 9 kali percobaan, diperoleh 1459 ekor
nyamuk dari pemakai pembalut yang 0% (kontrol), 1000 ekor nyamuk dari pemakai
pembalut yang mengandung Deet 5%, 867 ekor nyamuk dari pemakai pembalut yang
mengandung Deet 10% dan 269 ekor nyamuk dari pemakai pembalut yang mengandung
Deet 30%.
Dari basil tersebut diketahui bahwa dengan memakai pembalut yang mengandung
Deet 30% dapat mengurangi dari gigitan nyamuk Mansonia sp. sebesar 82,45%. Sedang-
kan dari pemakai pembalut yang mengandung Deet 5% dan 10%, masing-masing dapat
mengurangi gigitan nyamuk Mansonia sp. sebesar 30,16% dan 39,16%.

PENDAHULUAN bahan racun serangga dengan dioleskan pada bagian badan.


Penyakit kaki gajah (filariasis) masih menjadikan penderi- Cara perlindungan perorangan adalah sangat penting untuk
taan bagi sebagian penduduk di daerah katulistiwa. Dewasa ini memperkecil hubungan manusia dengan serangga atau nyamuk,
sebagian besar masyarakat telah menyadari pentingnya pemeli- dan penggunaan bahan kimia sebagai pembunuh serangga telah
haraan kesehatan baik secara perorangan maupun secara umum, menjadi kebiasaan yang telah meluas dalam masyarakat. Macam-
terhadap penularan penyakit yang ditularkan oleh serangga. macam cara telah disesuaikan dengan daya bunuh serangga, dan
Dalam usaha ini banyak orang yang telah menggunakan bahan diperbolehkan penggunaan racun serangga langsung pada kulit
racun serangga sebagai pembunuh, baik dengan cara disemprot- dan pada pakaian(1).
kan, pengasapan dan banyak pula yang menaruh perhatian pada Cara pemakaian racun seranggapada kulit atau pada pakaian
adalah suatu cara yang telah lama disarankan dan dibenarkan pembalut pada gelas pengukur yang berisi alkohol absolut saja
sebagai pelindung terhadap gigitan nyamuk secara perorangan. tanpa Deet, selama 2 menit. Deet (N,N-diethyl-m-toluamide)
Suatu penelitian menunjukkan bahwa kombinasi antara Deet dan alkohol absolut (absolut ethanol) diperoleh dari WHO.
dengan permethrin yang digunakan pada pakaian militer, secara Nyamuk yang menggigit bagian kaki dan tangan ditangkap
perorangan sangat efektif sebagai pelindung dari gigitan se- dengan menggunakan botol kecil (vial) dengan ukuran 50 X 19
rangga atau nyamuk. Demikian pula dengan formula 75% Deet mm yang bagian dalam di dasar botol diberi kapas agak basah,
dalam ethanol juga sangat efektif untuk melindungi gigitan dengan maksud nyamuk tidak cepat mati, dan sebagai tutupnya
serangga penggangge(2). adalah kapas kering. Botol yang berisi nyamuk disimpan pada
Dilaporkan pula bahwa Deet sangat manjur untuk menolak kantong plastik masing-masing yang telah diberi kode sesuai
gigitan dari macam-macam serangga dan telah meluas peng- dengan konsentrasi Deet pada pembalut yang dipakai.
gunaannya oleh masyarakat seluruh dunia(3). Percobaan dilakukan seminggu sekali pada malam hari se-
Salah satu usaha perlindungan terhadap gigitan nyamuk lama 3 jam yaitu mulai pukul 19.00 sampai dengan puku122.00.
adalah dengan inemakai pembalut (band) pada pergelangan Dengan posisi tempat duduk yang tetap, setiap 45 menit keempat
tangan, pergelangan kaki dan kepala yang diberi racun serangga penangkap nyamuk berpindah tempat duduk, sehingga masing-
(Deet). Cara tersebut adalah cara yang baru, sederhana dan mu- masing mempunyai kesempatan yang sama untuk menduduki
dah diperkenalkan dalam program kesehatan. Percobaan ini kursi tempat duduk tersebut selama penangkapan nyamuk ber-
dilakukan di daerah yang terpilih yaitu Pacific Tin, Selangor, langsung. Selamapercobaan keempatpenangkap nyamukmeng-
Malaysia, dengan tujuan untuk mengetahui berapa kandungan hindari merokok, jauh dari asap dan berada di tempat gelap serta
Deet yang diresapkan pada pembalut yang efektif dan efisien masing-masing dilengkapi dengan senter. Apabila keadaan akan
sebagai pelindung perorangan dari gigitan nyamuk Mansonia sp. hujan sewaktu pelaksanaan percobaan, dipasang tenda lebih
sebagai vektor penyakit kaki gajah. Diharapkan pula percobaan dahulu.
ini bisa membantu program kesehatan dalam pengawasan penya- Setelah penangkapan nyamuk selesai, pembalut yang di-
kit yang ditularkan oleh vektor, dan dapat digunakan sebagai pakai, masing-masing disimpan dalam kantong plastik yang
bahan pertimbangan yang baik untuk memilih racun serangga, diberi kode sesuai dengan konsentrasi Deet pada pembalut, dan
sebagai pencegah penularan penyakit kaki gajah. semuanya disimpan dalam ruangan gelap. Nyamuk yang diper-
oleh dari masing-masing penangkap nyamuk, pagi harinya di-
BAHAN DAN CARA KERJA hitung dan diidentifikasi menurut spesies di laboratorium. Data
Penelitian dilakukan di Pacific Tin, Selangor, Malaysia, yang diperoleh selama penelitian, dianalisis dengan mengguna-
sebanyak 9 (sembilan) kali percobaan (April sampai dengan kan computer MINITAB atas dasar persentase pengurangan (%
Juni 1989). Daerah penelitian berupa daerah yang terbuka, ber- reduction) dan, ANOVA serta hubungan statistik antara pemakai-
paya-paya, bersemak-semak dan penuh dengan tumbuhan se- an pembalut yang berbeda kandungan Deet-nya.
jenis rumput (Gramineae).
Nyamuk Mansonia sp. sangat banyak ditemukan di daerah HASIL
tersebut. Untuk penelitian ini digunakan satu macam cara yaitu Selama penelitian diperoleh 22 spesies nyamuk yaitu 5
dengan menggunakan umpan manusia, dan dilakukan di luar spesies dari jenis nyamuk Mansonia sp., 6 spesies jenis nyamuk
rumah (tempat terbuka). Setiap percobaan dilakukan oleh 4 Anopheles sp., 8 spesies dari jenis Culex sp. dan 3 spesies dari
(empat) orang penangkap nyamuk yang duduk di kursi saling jenis nyamuk Aedes sp. Jumlah nyamuk yang diperoleh selama
berdekatan dengan jarak ± 1 meter dengan membuka kedua percobaan di Pacific Tin, sebanyak 3595 ekor terdiri dari 3440
kakinya mulai dari telapak kaki sampai lutut dan kedua tangan ekor nyamuk Mansonia sp. dan 155 ekor nyamuk jenis yang lain
mulai dari telapak tangan sampai dengan siku. Setiap penangkap (Anopheles, Culex, dan Aedes spesies) (Tabel 1). Selama per-
nyamuk memakai pembalut yang dibuat dari bahan kapas dengan cobaan, nyamuk Mansonia sp. diperoleh sebanyak 95,69%,
ukuran tebal 3 mm dan lebar 10 cm, pada pergelangan tangan dan yang terbanyak adalah Ma. uniformis, kedua Ma. indiana, ketiga
pergelangan kaki, sedang di kepala memakai pembalut dengan Ma. bonneae, keempat Ma. annulifera dan kelima Ma. dives,
tebal 3 mm dan lebar 14 cm. sedangkan Ma. annulata tidak didapatkan. Nyamuk spesies lain
Dari keempat penangkap nyamuk tersebut 3 orang memakai (Anopheles sp., Culex sp. dan Aedes sp.) hanya diperoleh se-
pembalut yang diberi Deet dengan konsentrasi yang berlainan, banyak 4,31%.
masing-masing 5%, 10% dan 30%, sedang satu orang lagi se- Jumlah nyamuk terbanyak diperoleh dari kontrol yaitu
bagai kontrol dengan memakai pembalut yang diberi alkohol 40,58%, dari kandungan Deet 5% sebanyak 27,82%, dari kan-
absolut (etanol). Selama penelitian, pemberian Deet pada pem- dungan Deet 10% sebanyak 24,12% dan dari kandungan Deet
balut dilakukan hanya sekali saja, yaitu dengan merendam satu 30% sebanyak 7,48% (Tabel 2).
set pembalut (untuk kaki, tangan dan kepala) pada gelas peng- Tabel 3 menunjukkan jumlah seluruh nyamuk Mansonia
ukur (beaker glass) yang berisi Deet yang dicampur dengan sp. yang diperoleh selama percobaan. Nyamuk Mansonia sp.
alkohol absolut. Konsentrasi Deet dalam tiap gelas pengukur yang diperoleh dari kontrol sebanyak 40,35%, dari kandungan
berbeda yaitu 5%, 10% dan 30%, dan lama merendam 2 menit. Deet 5% sebanyak 27,85%, dari kandungan Deet 10% sebanyak
Begitu juga untuk kontrol dengan sekali merendam satu set 24,19% dan dari kandungan Deet 30% sebanyak 7,61%.
Tabel 1. Hasil penangkapan nyamuk Mansonia sp. dan Jenis nyamuk yang lain selama 9 kali percobaan di Pacific Tin, Selangor, Malaysia (19 April 1989 s/d 13 Juni 1989)
Percobaan I. II HI IV V VI VII VIII IX
Deet C* 5% 10%30% C* 5% 10%30% C* 5% 10%30% C* 5% 10%30% C* 5% 10%30% C*' 5% 10%30% C. 5% 10%30% C* 5% 10%30% C* 5% 10%30%

Manrania
uniformis 83 53 60 11 91 25 46 18 35 22 11 2 191 97 38 17 99 23 14 4 175 110 200 40 215 119 65 64 109 125 49 26 171 160 197 15
Indiana 8 9 6 2 6 12 5 4 7 19 10 1 36 24 9 1 34 34 16 2 17 17 1 13 31 31 56 5 27 30 17 14 22 31 23 19
bonneae 1 0 1 0 1 1 0 1 1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 0 0 3 0 1 0 4 4 1 0 3 0 2 0 I 4 2 0
dives 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 2 0 0 2 0 0 0 0 I 0 0
annulifera 0 0 0 0 I I 0 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 4 0 1 5 0 0 0 0 0 1 0
annulata 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Nyamuk lain** 9 3 2 0 4 0 0 0 6 9 8 3 7 3 6 I 7 7 7 2 8 4 3 1 22 4 4 0 6 6 3 0 2 6 2 0

Total 101 65 69 13 103 39 51 25 51 50 29 6 235 124 54 19 141 64 37 8 203 131 205 54 277 164 126 70 152 161 71 40 196 202 225 34

Keterangan :
* Control
* Spesies nyamuk lain (Anopheles, Culex dan Aedes spesies).

Tabel 2. Jumlah seluruh nyamuk yang diperoleh selama 9 kali percobaan rangan nyamuk yang diperoleh pada pemakai pembalut dengan
di Pacific Tin, Selangor, Malaysia (April 1989 sampai dengan
kandungan Deet 5%, 10% dan 30% masing-masing adalah
Juni 1989)
30,55%, 40,91% dan 82,42%. Sedangkan tabel 5 menunjukkan
Percoba- bahwa persentase rata-rata pengurangan nyamuk Mansonia sp.
an I II III IV V VI VII VIII IX Total % yang diperoleh dari pemakai pembalut yang mengandung Deet
Deet
5%, 10% dan 30%, masing-masing adalah sebesar 10,16%,
Kontrol 101 103 51 235 141 203 277 152 196 1459 40.58 39,16% dan 82,45%.
5% 65 39 50 124 64 131 164 161 202 1000 27.82
10% 69 51 29 54 37 205 126 71 225 867 24.12 Tabel 5. Persentase rata-rata pengurangan nyamuk Manumits sp. yang
30% 13 25 6 19 8 54 70 40 34 269 7.48 diperoleh, menurut kandungan Deet pada pembalut yang di-
pakai selama 9 kall percobaan di Pacific Tin, Selangor,Malaysia
Total 248 218 136 432 250 593 637 424 657 3595 100.00 (April 1989 sampai dengan Juni 1989)

Tabel 3. Jumlah seluruh nyamuk Mansonia sp yang diperoleh selama 9 Deet


kali percobaan di Pacific Tin, Selangor, Malaysia (April 1989 5% 10% 30%
s/d Juni 1989) Percobaan
Percoba- 1 32.61 21.17 88.87
an I II III IV V VI VII VIII IX Total % 2 60.61 48.48 74.75
3 8.89 53.33 93.33
Deet
4 46.93 78.95 92.11
Kontrol 92 99 45 228 134 195 255 146 194 1388 40.35 5 57.46 57.46 95.52
5% 62 39 41 121 57 127 160 155 196 958 27.85 6 34.87 –3.59 72.82
10% 67 51 21 48 30 202 122 68 223 832 24.19 7 37.25 52.16 72.55
30% 13 25 3 18 6 53 70 40 34 262 7.61 8 –6.16 53.42 72.60
Total 234 214 110 415 227 577 607 409 647 3440 100.00 9 –1.03 –14.95 82.47
Rata-rata total 30.16 ± 24.43 39.16 ± 30.57 82.45 ± 9.63
Tabel 4. Persentase rata-rata pengurangan nyamuk yang diperoleh, men-
urut kandungan Deet pada pembalut yang dipakai selama 9 kali Keterangan :
percobaan di Pacific Tin, Selangor, Malaysia (April 1989 sampai Mean ± SD
dengan Juni1989)
Hasil percobaan menunjukkan bahwa antara jumlah nya-
Deet muk yang diperoleh dari pemakai pembalut yang mengandung
5% 10% 30% Deet 5%, 10% dan 30% sangat berbeda nyata. (ANOVA, F =
Percobaan 12,31; df = 2; P = 0,01). Selain itu tampak perbedaan sangat
1 35.64 31.68 87.13 nyata antara jumlah nyamuk Mansonia sp. yang diperoleh dari
2 62.14 50.49 75.73 ke 3 pemakai pembalut yang berbeda konsentrasi kandungan
3 1.96 43.14 88.24 Deet-nya (Appendix 1 dan 2).
4 47.23 77.02 91.91
5 54.61 73.76 94.33 Appendix 1. Tabel ANOVA untuk membandingkan dari 3 perlakuan
6 35.47 -0.98 73.40 yang berbeda,selama 9 kali percobaan dari seluruh nyamuk
7 40.79 54.52 74.73 yang diperoleh di Pacific Tin, Selangor, Malaysia (Apri1 1989
8 –5.92 53.33 73.68 sampai dengan Juni 1989)
9 3.06 –14.80 82.65
Sumber varian Derajat kebebasan Nilai F
Rata-rata total 30.55 ± 24.78 40.91 ± 31.15 82.42 ± 8.29
Perlakuan 2 12.31 **
Kesalahan 24
Keterangan :
Total 26
Mean ± SD
Keterangan :
P = 0.01
Tabel 4 menunjukkan bahwa persentase rata-rata pengu- ** Ada perbedaan yang sangat nyata di antara perlakuan yang berbeda.
Appendix 2. Tabel ANOVA untuk membandingkan dari 3 perlakuan Khochher et al. (1974) dalam penelitiannya menyatakan
yang berbeda,selama 9 kali percobaan dari seluruh nyamuk
bahwa Deet lebih unggul daripada DMP. Meta-Deet 70% se-
Mansonia sp. yang diperoleh di Pacific Tin, Selangor, Ma-
laysia (April sampai dengan Juni 1989) bagai peiindung terhadap gigitan nyamuk Culex fatigans sangat
manjur sewaktu penelitian baik di laboratorium maupun di
Sumber varian Derajat kebebasan Nilai F lapangan(5).
Perlakuan 2 12.99** Rutledge et al. (1978) menunjukkan bahwa penggunaan
Kesalahan 24 71,25% Deet sangat efektif untuk pelindung gigitan An. albima-
Total 26
nus sebagai vektor malaria di Amerika Tengah dan Amerika
Selatan, juga terhadap gigitan nyamuk yang lain(6).
Keterangan : Frances, S.P. (1987) telah membuktikan bahwa campuran
P = 0.01 20% Deet dan 0,50% permethrin mempunyai daya tolak yang
** Ada perbedaan yang sangat nyata di antara perlakuan yang berbeda
efektif terhadap gigitan nyamuk(7).
Das S.C. et al. (1988) telah memperoleh hasil bahwa Deet
Dari jumlah nyamuk Mansonia sp. yang diperoleh dari pe- adalah yang paling baik daripada Cironyl dan DMP sebagai
makai pembalut yang konsentrasi kandungan Deet-nya berbeda, pelindung dari gigitan nyamuk dengan konsentrasi 15% dan
ternyata bahwa hubungan antara pembalut yang mengandung 20%.
Deet 30% dan 10% serta antara 30% dan 5% sangat berbeda Selama penelitian para pemakai pembalut yang berbeda
nyata, tetapi hubungan antara pembalut yang mengandung Deet konsentrasi Deet-nya, tidak ada keluhan, baik mengenai rang-
10% dan 5% tidak berbeda nyata (Appendix 3). sangan bau, perasaan maupun alergi atau gatal-gatal pada kulit.
Appendix 3. Tabel ANOVA untuk menentukan hubungan tiap perlakuan
yang berbeda, selama 9 kali percobaan dari seluruh nyamuk KESIMPULAN
Mansonia sp. yang diperoleh di Pacific Tin, Selangor, Ma-
laysia (April 1989 sampai dengan Juni 1989)
Pembalut mengandung Deet 5%, 10% dan 30% pada per-
gelangan tangan, pergelangan kaki dan kepala dapat diper-
Sumber varian Derajat kebebasan Nilai F gunakan-sebagai pelindung perorangan terhadap gigitan nyamuk
2 11.37** Mansonia sp., dan jenis nyamuk yang lain. Dengan memakai
30% vs. 10% 1 16.42** pembalut yang mengandung Deet 30%, persentase rata-rata
30% vs. 5% 1 35.68**
10% vs. 5% 1 0.48NS
pengurangan terhadap gigitan nyamuk Mansonia sp. sebesar
21 82,45%, dan hanya memperoleh nyamuk Mansonia sp. sebesar
Total 26
7,61% dari seluruh nyamuk Mansonia sp. yang diperoleh.
Di Pacific Tin pembalut yang mengandung Deet 30% mem-
Keterangan : punyai daya tolak yang sangat efektif terhadap nyamuk Man-
P = 0.01 sonia sp. sehingga bisa digunakan untuk mencegah terjadinya
** sangat berbeda nyata.
NS tidak berbeda nyata. penularan penyakit filariasis. Pembalut yang mengandung Deet
30% ini baik untuk disarankan pemakaiannya bagi para petani,
PEMBAHASAN baik yang bekerja di kebun, sawah maupun yang bekerja di hutan,
Dalam 9 kali percobaan di Pacific Tin, dan tiap kali per- terutama di daerah endemis filaria.
cobaan masing-masing 3 jam, dengan selang waktu seminggu Selama penelitian berlangsung, para pemakai pembalut
sekali, pemakaian pembalut yang mengandung racun serangga mengandung Deet dengan konsentrasi yang berbeda tidak ada
(Deet) dengan konsentrasi yang berbeda yaitu 5%, 10% dan 30% keluhan baik mengenai bau maupun rasa tidak enak, dan tidak
dapat melindungi terhadap gigitan nyamuk. Dengan pemakaian menimbulkan alergi, iritasi atau kerusakan kulit. Pemakaian
pembalut yang 30% kandungan Deet-nya, persentase rata-rata pembalut mengandung Deet sangat efektif dan efisien sebagai
pengurangan nyamuk sebesar 82,42% dari seluruh nyamuk yang pelindung perorangan terhadap gigitan nyamuk, karena selama
diperoleh, dan hanya memperoleh nyamuk sebesar 7,48% (269 percobaan hanya sekali saja pemberian Deet-nya (sejak bulan
ekor nyamuk). April 1989 sampai dengan bulan Juni 1989) tanpa mengurangi
Sedangkan dari seluruh nyamuk Mansonia sp. dengan daya tolak terhadap gigitan nyamuk.
pemakaian pembalut 30% kandungan Deet-nya, persentase Metode ini baru dan sangat sederhana, serta mudah di-
rata-rata pengurangan nyamuk sebesar 82,45% dan hanya men- perkenalkan dan dilakukan dalam program kesehatan masya-
dapatkan nyamuk Mansonia sp. sebanyak 7,61% (262 ekor rakat.
nyamuk Mansonia sp.). Di antara pembalut yang berbeda kan-
dungan Deet-nya, pembalut yang 30% sangat berbeda nyata bila
UCAPAN TERIMA KASIH
dibanding dengan pembalut yang 5% maupun yang 10%. Ucapan terima kasih saya ucapkan kepada Dr. Chiang Geok Lian dan Staf
Schreck, C.E et al. (1984) telah memperoleh hasil bahwa Bagian Entomologi, Institut Penyelidikan Perubatan, Kuala Lumpur serta Dr.
pengurangan gigitan nyamuk tidak ada perbedaan yang nyata Kevin L. Palmer, Ahli Malaria WHO, Team Anti Malaria Kuala Lumpur yang
dengan menggunakan Deet 68,70% dan permethrin 96,30% telah membantu memberikan bimbingan nasehat, fasilitas dan pengawasan
selama penelitian baik di laboratorium maupun di lapangan.
atau campuran Deet dan permethrin 98,10%(4).
Terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Sri Oemijati Bagian bioassays of Permethrin–treated uniforms and new extended duration re-
Parasitologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta dan Jr. Ny. H. pellent against mosquitoes Pakistan. J Am Mosq Control Assoc 1988; 4:
Sri Soewasti Soesanto, MPH Kepala Puslit Ekologi Kesehatan, Badan Litbang 233–236.
Kesehatan Departemen Kesehatan RL yang telah memberi kesempatan yang 3. Boparait MS, Varma RN. Field evaluation of Diethyltoluamide (Deet) as a
berharga untuk mengikuti pendidikan parasitologi dan entomologi yang di- mosquito repellent. Indian J Med Res 1971; 59: 504–509.
adakan di Institut Penyelidikan Perubatan, Kuala Lumpur di bawah naungan 4. Schreck CE, Haile DG, Kline DL. The effectiveness of Permethrin and Deet,
Lembaga Penyelarasan Institut Perubatan Tropika dan Kesehatan Umum, alone or in combination, for protection against Aedes taeniorhynchus. Am
Pertumbuhan Menteri-Menteri Pendidikan Asia Tenggara. J Trop. Med Hyg 1984; 33(4): 725–730.
Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada DR. Moh. Sudomo Puslit 5. Khochher RK, Dixit RS, Somaya CI. A critical analysis of Deet as a
Ekologi Kesehatan, Badan Litbang Kesehatan Departemen Kesehatan RL yang repellent against arthropods of public health importance and water leaches.
telah membantu dalam memberikan bimbingan dan saran-saran untuk penulis- Indian 1 Med Res 1974; 62: 125–133.
an makalah ini. 6. Rutledge LC, Moussa MA, Lowe CA, Sofield RK, Comparative sensitivity
of mosquito species and strains to repellent Diethyltoluamide. J Med Entomol
KEPUSTAKAAN 1978; 14(5): 536–541.
7. Prances SP. Effectiveness of Deet and Permethrin, alone and in soap formu-
1. Das SC, Bhuyan M, Chakraborty BC. Field trials on the relative efficacy of lation as skin and clothing protectans against mosquitoes in Australia. J Am
three repellents against Mdnsonia mosquitoes. Indian J Med Res 1988; 87: Mosq Control Assoc 1987; 3: 648–650.
176–178.
2. Sholdt LL,Schreck CE,Qureshi A, Mammino S,Aziz A,Mohammed I.Field
Kontaminasi dalarn Pemeliharaan
Hewan Percobaan secara Konvensional
di Daerah Tropis
Rabea Pangerti Jekti, M. Edhie Sulaksono, Siti Sundari Yuwono
Pusat Penelitian Penyakit Menular Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN – Makanan dan alas kandang


Indonesia yang merupakan salah satu daerah tropis, sistim – Peralatan yang terkontaminasi, terutama kandang, rak, botol
pemeliharaan hewan percobaannya masih banyak menggunakan air minum, dan lain-lain.
sistim konvensional; artinya laboratorium hewan percobaan ter- – Hewan percobaan itu sendiri.
sebut menggunakan barrier (pemisah) hewan dari lingkungan – Teknik histerektomi yang tidak benar menyebabkan infeksi
atau dunia luar yang umumnya tidak begitu ketat. Walaupun uterus, terutama pada hewan SPF (Specific Pathogen Free).
demikian, tetap diusahakan pengaruh lingkungan luar seminim – Hewan pengganggu, terutama rodensia liar, dan berbagai
mungkin. Arhropoda.
Dengan sistim ini faktor lingkungan luar sangat mungkin – Pekerja yang menangani hewan percobaan tersebut.
mempengaruhi kelangsungan hidup hewan percobaan tersebut;
apalagi Indonesia merupakan salah satu daerah tropis dengan METODOLOGI
kelembaban udara cukup tinggi sangat banyak pengaruhnya da- Data yang didapat merupakan hasil penelitian yang dilaku-
lam sistim pemeliharaan hewan percobaan secara konvensional. kan pada salah satu laboratorium hewan percobaan di lingkungan
Selain faktor lingkungan, ada beberapa faktor lagi yang Departemen Kesehatan di Jakarta, sedangkan data pendukung
dapat mempengaruhi keadaan atau kelangsungan hidup hewan didapatkan dari hasil studi pustaka.
percobaan, yaitu : Penelitian yang dilakukan menggunakan metoda deskriptif
• Nutrisi, jikā nutrisi buruk, maka kesehatan hewan juga dengan teknik observasi atas sampel yang telah dipilih. Pemilih-
akan buruk. an tersebut berdasarkan keadaan umum hewan percobaan yang
• Kepadatan populasi, populasi yang pādat akan meningkat- mengalami kelainan, misalnya lesu, pucat, lemah, bulu berdiri,
kan risiko terjadinya penyakit. kusam, rontok, dan lain sebagainya. Hewan-hewan yang meng-
• Kebersihan, standar kebersihan yang rendah turut mem- alami kelainan sebagaimana tersebut di atas, ditandai untuk di-
pelopori terjadinya wabah penyakit. ambil sampel darah, faeces, sisiran bulu, dan kerokan kulitnya;
selanjutnya dilakukan pemeriksaan terhadap parasit dan bakteri.
MASALAH Hasil pemeriksaan ini akan memperlihatkan hewan sampel yang
KaRena sistim pemeliharaan yang digunakan memungkin- memiliki patogen.
kan faktor luar memasuki areal pemeliharaan, maka akan timbul
berbagai penyakit, selain tidak dapat dihindari pengaruh flora/ HASIL DAN PEMBAHASAN
mikroflora maupun berbagai bakteri, parasit, yang memang Tabel 1 sampai dengan tabel 4 merupakan hasil penelitian
secara normal telah ada dalam tubuh makhluk hidup tersebut. yang dilakukan pada salah satu laboratorium hewan percobaan di
Pintu masuk potensial penyebab penyakit dalam koloni lingkungan Departemen Kesehatan di Jakarta pada tahun 1990.
hewan percobaan adalah(1) : Cacing yang ditemukan adalah cacing yang umumnya ter-
– Sistim ventilasi dan pemasukan udara dapat pada hewan laboratorium di seluruh dunia, terutama yang
– Suplai air dipelihana secara konvensional; kecuali Trichuris muris(2), cacing
nematoda yang berlokasi pada cecum dan colon induk semang- cia muris tidak diketahui menimbulkan efek patologi, namun ada
nya antara lain: tikus, mencit, haruster. Penularan melalui ingesti kemungkinan efeknya sama dengan yang ditimbulkan Syphacia
telur berembrio. Kejadian infeksi di alam paling umum terjadi, obvelata.
namun di laboratorium jarang, bahkan tidak ada. Efek patologi- Aspicularis tetraptera dapat menginfeksi tikus laborato-
nya tidak diketahui(2) rium, namun jarang pada tikus rumah, tikus hitam, tikus liar, serta
Cacing non patogen yang terdapat pada cecum, dan colon rodensia liar. Efek patologinya sama dengan yang ditimbulkan
tikus serta mencit adalah: Aspicularis tetraptera, Syphacia Syphacia obvelata(2).
obvelata, Syphacia muris. Infeksi Syphacia obvelata ada tiga Heterakhis spumosa merupakan nematoda non patogen yang
cara, yaitu : umum terdapat pada cecum dan colon tikus liar serta tikus hitam,
– Secara langsung, yaitu: ingesti telur berembrio dari daerah tapi jarang pada tikus laboratorium. Penularannya melalui ingesti
perianal hewan yang telah terinfeksi. telur cacing berembrio(2).
– Secara talc langsung, yaitu: ingesti minuman atau makanan Tabel 2. Jenis Protozoa pads Hewan Percobaan
yang telah terkontaminasi telur berembrio.
– Secara retroinfeksi, yaitu: ketika telur menetas di daerah Hewan Percobaan EM CB HP HM TM EC ETC ES CC CG CM
perianal, lalu larva bermigrasi kembali ke colon. Mencit
– Str. Swiss derived + – + + + – – – – – –
Tabel 1. Jenis Helmint (Cacing) pads Hewan Percobaan – St. C3H + – – + – – – – – – –
– Str. BALB/c – – – – + – – – – – –
– Str. A/J x BALB/c + – – – – – – – – – –
No. Hewan Percobaan SO SM HS TS AT Keterangan
Tikus
1 Mencit (Mus musculus) – Str. Wistar – – – – – – – – – – –
– Str. Swiss derived + + + + SO : Syphacia Gerbil – – – – + – – – – – –
– Str. C3H + + – – – obvelata Marmot – – – – – + + – – – –
– Str. BALE/c + + – – – Kelinci – – – – – – – + + – –
– Str. A/J x BALB/c + + – – – Angsa – – – – – – – – – + –
2 Tikus (Rattus sp) SM : Syphacia Kera – – – – – – – – – – +
– Str. Wistar + + muris
3 Gerbil (Meriones – – – – – HS : Hetekhis Keterangan :
unguiculatus) spumosa EM : Entamoeba muris CB : Chilomastix bettencourti
Marmot (Cavia HP : Hexamita pulcher HM : Hexamastic muris
4 + – – – –
porcellus) EC : Entamoeba caviae TM : Tritrichomonas muris
Kelinci (Oryctolagus ETC : Enteromonas caviae CO : Chilomastix gallinarum
5 – – – – – TS : Trichuris sp
cuniculus) CM : Chilomastix mesnilli CC : Chilomastix cuniculi
6 Angsa (Anas platyrhyn– – – – – – AT : Aspicularis
chos domesticus) tetraptera Pada tabel 2, ternyata protozoa yang ditemukan merupa-
Kera (Macaca kan jenis yang tidak patogen, dan umum terdapat pada hewan
7 – – – –
fascicularis)
percobaan terutama yang dipelihara dengan sistim konvensional(2).
Karena habitat protozoa-protozoa tersebut adalah dalam
cecum dan colon, maka penularan atau metode infeksinya yaitu
Pada tabel 1 nampak bahwa marmot pun dapat mengan- dengan cara ingesti (termakannya organisme atau protozoa ter-
dung cacing Syphacia obvelata, hal ini mungkin karena infeksi sebut yang terdapat dalam faeces). Infestasi protozoa-protozoa
secara tidak langsung melalui makanan atau minuman yang tersebut di atas asimptomatis (tidak menunjukkan gejala), ke-
telah terkontaminasi telur berembrio dari mencit atau tikus yang cuali bila dalam jumlah banyak(2).
terinfeksi(2).
Tabel 3. Jenis Ektoparasit pada Hewan Percobaan
Tidak ada gejala yang spesifik pada infeksi ringan Syphacia
obvelata, namun infeksi ini dapat mempengaruhi berat badan, Hewan Percobaan MA/RA MM XC TR PS MYM OB CC CP PC
pertumbuhan, dan kesehatan secara umum. Meskipun tidak ada
Mencit
lesi usus yang spesifik, namun berbagai gangguan usus dapat – Str. Swiss derived – + + – – – – – – –
terjadi, meliputi impaksi, intesusepsi, prolapsus rektal(2). Syphacia – Str. C3H – – – – – + – – – –
obvelata sebagian besar didapatkan pada tikus. Dan secara umum – Str. BALB/c – + + + + – – – –
didapatkan pada bagian cecum dan colon tikus dan mencit(3), – Str. A/J x BALB/c + + – – – + – – – –
Tikus
Syphacia obvelata terkadang menginfeksi manusia. Meskipun – Str. Wistar – – + – – – + – – –
infeksi alam tidak umum, namun orang yang bekerja dengan Gerbil – – – – – – – – –
rodensia laboratorium harus waspada dalam menangani hewan Marmot
yang terinfeksi(3). – Str. Hartley – – – – – – – + – –
Kelinci – – + – – – – – + +
Syphacia muris, termasuk oxyurid yang umum terdapat Angsa – – – – – –
pada tikus terutama yang dipelihara secara konvensional. Infeksi Kera – – – – – – – – –
Syphacia muris pada mencit jarang dan biasa terjadi hanya pada
mencit yang dipelihara bersama (seruang) dengan tikus. Sypha- Keterangan :
MA/RA : Myobia affinis/Radfordia affinis MM : Myobia musculi
MYM : Myocoptes musculinus PS : Polyplax sp Chirodiscoides caviae (termasuk Prostigmata, famili Li-
XC : Xenopsylla cheoptis OB : Ornithonyssus bacoti
TR : Tricoecius romboutsi CC : Chirodiscoides caviae
strophoridae) adalah parasit yang umum terdapat pada rambut
CP : Cheyletiella parasitovorax PC : Psoroptes cuniculi bagian dorsal tubuh marmut. Distribusinya kosmopolitan (me-
nyebar ke seluruh dunia). Infestasi biasanya asimptomatis, tapi
Dari tabel 3 tampak bahwa ektoparasit yang ditemukan kegatalan yang hebat dan kebotakan juga pernah dilaporkan(2,4).
adalah yang biasa terdapat pada hewan percobaan di seluruh Cheyletiella parasitovorax (termasuk famili Cheyletidae)
dunia, terutama yang dipelihara secara konvensional(2). Namun adalah tungau pada kelinci, namun pernah pula dilaporkan pada
demikian ada beberapa jenis ektoparasit yang cukup berbahaya anjing dan kucing. Ia merupakan parasit permanen pada kelinci
bila tidak dapat dikendalikan, karena merupakan vektor penyakit dan dapat menularkan infeksi virus Myxomatosis. Juga termasuk
serta induk semang antara beberapa jenis patogen. Ektoparasit obligat parasit yang makanannya adalah cairan jaringan tubuh
yang dimaksud, yaitu : induk semangnya. Tungai ini biasa hidup pada lapisan keratin
– Xenopsylla cheopis; merupakan pinjal yang dapat bertindak kulit, namun dapat pula terdapat pada hewan sehat secara asimp-
sebagai vektor penyakit yang disebabkan oleh Rickettsia disebut tomatis atau berasosiasi dengan dermatitis(2,4). Manifestasi klinis
Murine Typhus yang dapat ditularkan dari tikus ke tikus dan C. parasitovoraxmeliputi kebotakan, hiperemi, kegatalan, eksu-
hewan percobaan lainnya atau bahkan dapat menular dari tikus dasi sereus, penipisan kulit, reaksi eksema supurativa. Penularan
ke manusia, melalui gigitan pinjal tersebut(2,4). ke manusia dapat terjadi apabila penanganan hewan terinfeksi
– Ornithonyssus bacoti, merupakan tungau pada tikus di daerah tidak benar(4).
tropis. Tungau ini dapat membawa patogen tertentu, antara lain Psoroptes cuniculi, merupakan tungau yang dapat menye-
Francisella tularensis, penyebab tularemia, Coxiella burnetti, babkan kanker telinga kelinci yang menyebar ke seluruh dunia,
penyebab Q Fever, Rickettsia typhi penyebab murine typhus dan dan sering didapatkan pada kelinci laboratorium yang berasal
penyakit Eastern Western. Gigitan pada manusia menyebabkan dari sumber yang bermacam-macam. P. cuniculi adalah obligat
gatal dan dapat berkembang menjadi dermatitis hebat. Infeksi parasit dan seluruh bentuknya makan dengan cara menembus
berat Ornithonyssus bacoti pada hewan menyebabkan kekerdil- epidermis dan memakan jaringan. Tungau ini dapat berpindah
an, anemi, penurunan reproduktivitas, terkadang menyebabkan dari kelinci satu ke yang lainnya melalui kontak langsung dan
kematian(3,4). secara percobaan dapat melalui lalat rumah. Gejala klinisnya
– Polyplax serrata, merupakan sejenis kutu pada mencit adalah kelinci. menggoyangkan kepala, menggaruk telinga, dan
maupun koloni mencit yang dipelihara secara konvensional di terbentuk kerak pada daun telinga yang berwarna coklat, serta
seluruh dunia. Polyplaxsp, khas menyebabkan kekerdilan, anemi, cairan yang berbau keluar dari saluran telinga luar. Lesi ini
lemah, gatal yang konstan. Polyplax serrata dapat menularkan terkadang menyebar ke wajah, leher, dan kaki. Serangan yang
Eperythrozoon cocoides dari mencit ke mencit lainnya, serta hebat menyebabkan kekerdilan, otitis media piogenik, yang
merupakan induk semang antara Francisella tularensis(2). ditandai dengan kehilangan keseimbangan, torticollis, dan juga
Sedangkan ektoparasit lainnya (tabel 3) dapat menimbul- meningitis yang fatal(2).
kan kegatalan, bulu rontok, dan lain-lain, dan sebagai dampak Tabel 4. JEnis Bakteri pada Hewan Percobaan
lanjutan hewan nampak lesu, pucat, kurus; apalagi dibiarkan
tanpa diobati dapat mengakibatkan kematian. Ektoparasit yang Hewan Percobaan EC CI FV ST PR PM AD SA PS
dimaksud adalah termasuk famili Myobiidae yang terdiri dari Mencit
tiga spesies, yaitu : – Str. Swiss derived + + + + + + – – +
– Myobia musculi, biasa terdapat pada mencit rumah dan – St. C3H + – – – – – – – –
– Str. BALB/c + – – – – – – – –
laboratorium. – Str. A/J x BALB/c + – – – – – – – –
– Radfordia ensifera, biasa terdapat pada tikus liar dan labo- Tikus
ratorium. – Str. Wistar + – – – – – + + –
– Radfordia affinis, biasa terdapat pada mencit laboratorium. Gerbil + – – – – – – – –
Prevalensi Myobia musculi dapat mencapai 100%. Hal ter- Marmot
– St. Hartley + – + – – – – – –
sebut dapat terlihat pada tabel 3, yang menunjukkan bahwa Kelinci + – – – + – – – +
sebagian besar mencit terinfestasi oleh Myobia musculi. Infes- Angsa + + – – – + – – –
tasinya sering asimptomatis, sedangkan infestasi yang hebat Kera + – – – – + – – –
mengakibatkan dermatitis berat, disertai kegatalan, kerontokan Keterangan :
bulu, hingga kebotakan, perkerakan kulit, amyloidosis, dan EC : Escherichia coli PM : Proteus mirabilis
peningkatan aktifitas jamur pada epitel kulit(4). Sedangkan efek CI : Citrobacter AD : Alkalisceus dispar
patologi dari Radfordia ensifera dan Radfordia affinis kurang PV : Providencia SA : Staphylococcus aureus
diketahui, namun mungkin menyerupai Myobia musculi(4). ST : Salmonella typhi
PR : Proteus rettgeri
PS : Pseudomonas sp
Infestasi ringan Myocoptes musculinus dan Myocoptes
romboutsi biasanya asimptomatis, tapi infestasi berat dapat Bakteri yang ditemukan dalam pemeriksaan spesimen
mehgakibatkan gejala klinis kebotakan, dan kemerahan ter- faeces hewan percobaan di atas ada beberapa yang termasuk
utama di daerah leher(4). bakteri patogen. Bakteri yang dimaksud, yaitu : Salmonella
typhi, Staphylococcus aureus, Escherichia coli (setelah melalui – Ventilasi udara dalam ruang/laboratorium hewan percoba-
uji toksisitas). Sedangkan E. coli yang uji toksisitasnya negatif, an.
golongan Coliform, Proteus sp, Pseudomonas sp, merupakan – Hindari kepadatan populasi dalam suatu koloni.
sebagian besar flora aerobik usus normal(5). – Pembasmian rodensia dan arthropoda.
Infeksi Salmonella typhi umumnya terjadi akibat kontami- – Pemisahan ruang pemeliharaan antar jenis hewan.
nasi makanan dan minuman dengan faeces hewan atau manusia 2) Mutu makanan dan minuman harus baik.
yang telah terinfeksi. Salmonella typhi pada tikus/mencit berada 3) Pemeriksaan status kesehatan hewan (keadaan umum, da-
dalam usus dan limphonodus usus. Tikus/mencit ini akan me- rah, urine, faeces, dan lain-lain), dilakukan secara teratur dan
nyebarkan organisme (Salmonella typhi) mulai tempat pema- berkesinambungan.
nenan, penyimpanan, distribusi bahan makanan. Hewan tersebut 4) Stamping out/pemusnahan suatu koloni hewan, apabila ko-
akan mengeluarkan ekskreta yang mengandung organisme ku- loni tersebut kena wabah penyakit; dan sebelum dibentuk stok
man melalui proses defekasi dan urinasi yang mengenai tempat bar', dilakukan fumigasi gedung, dan desinfektasi alat, kandang,
makanan/minuman, lantai, dan tempat lainnya, sehingga akan dan lain-lain.
menyebarkan organisme (kuman Salmonella typhi). Dan apabila
ekskreta yang mengandung kuman tersebut dekat dengan sumber SARAN
makanan untuk manusia, maka akan menimbulkan kasus ke- Untuk memastikan koloni hewan percobaan babas dari
racunan makanan (intoksikasi). Kasus Salmonellosis ini tidak kebanyakan, atau bahkan semua penyakit infeksi dan infestasi
boleh terjadi pada breeding area (tempat pembibitan hewan) umum, dilakukan carapemeliharaan hewan SPF (Specific Patho-
(Undang-Undang Veteriner, Deptan). Bila ada hewan yang ter- gen Free) dan hewan Germ Free. Oleh karena itu sistim peme-
infeksi dan selamatltidak mati akan bertindak sebagai carrier/ liharaan secara konvensional diharapkan dapat diganti secara
pembawa yang dapat menimbulkan infeksi barn ketika hewan bertahap ke arah pemeliharaan secara SPF, bahkan nantinya
tersebut kontak dengan hewan yang tidak memiliki kekebalan dapat diusahakan ke arah Germ Free.
tubuh. Selain itu harus dilakukan desinfektasi alat-alat, dan
fumigasi bangunan laboratorium, sebelum dilakukan pemben- LAMPIRAN(6)
tukan stok baru lagi(1). PENYAKIT HEWAN PERCOBAAN DI DAERAH TROPIS
Infeksi Staphylococcus aureus akibat kontaminasi makanan
MENCIT
oleh mikroorganisme tersebut; kejadian ini disebut toxococis.
Kuman Coliform merupakan sebagian besar flora aerobik Bakteri :
Streptobacillus moniliformis, Tyzzer oleh Bacillus piliformis, Pseudo-
usus normal. Di dalam usus, umumnya kuman ini tidak menye-
tuberculosis oleh Corynebacterium pseudotuberculosis, dan Corynebacterim
babkan penyakit dan bahkan dapat membantu fungsi normal dan kutscheri, Salmonellosis oleh Salmonella typhimurium, S. typhi, dan S. enteri-
nutrisi. Organisme ini menjadi patogen, hanya bila mencapai tidis.
jaringan di luar saluran pencernaan, khususnya saluran air kemih, Virus :
saluran empeda, paru-paru, peritonium, dan selaput otak, se- Cacarmencit (Ectromelia) oleh Virus Ortopoks, LCM oleh Virus Choriom-
hingga menyebabkan peradangan pada tempat-tempat terse- eningitis, Epidemic Diarrhoea ofInfantMice, Pneumonia Virus of Mice, Theiler's
but(5). Encephalitis Virus, Minute Virus of Mice, Polyoma Virus, Sendai Virus, Marine
Hepatitis Virus, Lactic Dehidrogenase Virus, Cytomegalo Virus, Moloney Virus,
Proteus sp, Providencia, Pseudomonas sp, kebanyakan Bittner Virus penyebab tumor kelenjar susu.
hidup babas dalam air, tanah, sampah, dan beberapa mungkin
terdapat dalam saluran pencernaan sebagai flora normal(5). Parasit :
Parasit usus : Aspicularis tetraptera, Syphacia obvelata, Syphacia muris,
Trichosomoides crassicauda, Hymenolepis diminuta, Hymenolepis nana.
KESIMPULAN Parasit luar : Sarcoptes scabei, Myobia musculi, Myocoptes musculinus,
Pengaruh lingkungan sangat besar terhadap populasi hewan Psorergaces simplex.
percobaan, apalagi sistim pemeliharaan secara konvensional TIKUS
sangat memungkinkan terjadinya kontak dengan lingkungan luar
Bakteri :
yang dapat mengandung agen-agen penyakit dan mempermudah CRD (Chorionic Respiratory Disease) oleh Mycoplasma pulmonis dan
terjadinya penyebaran penyakit. Karena itu perlu dilakukan Streptobacillus moniliformis, Salmonellosis oleh Salmonella typimurium, dan S.
usaha : enteritidis, Pasteurella multocida, Pasteurella muricida, Streptococcus pneu-
moniae, Pseudomonas aeruginosa, Corynebacterium kutscheri, Spirilum minus,
1) Pembentukan lingkungan yang bersih dan sehat, antara lain
Bacillus piliformis.
dengan cara :
– Desinfektasi alat, ruang, kandang, dan lain-lain secara ter- Parasit :
Protozoa : Koksidiosis oleh Eimeria miyairii, E. separata, E. nieschulzi (E.
atur. carinii). Hepatozoon muris, Babesia muris, Bartonella muris.
– Kebersihan dan kesehatan para staf yang menangani hewan Cacing : Taenia crassicolis, Cysticercus fasciolaris, Hymenolepis dimi-
percobaan. nuta, H. nana, Syphacia obvelata, Trichosomoides crassicauda, Heterakhis
– Penggantian secara teratur alas kandang yang telah disteril spumosa.
Parasit luar : Polyplax spinulosa, Radfordia ensifera, Ornithonyssusbacoti,
(antara lain dengan autoclave). Notoedres cati, Otodectes cyanotis, Xenopsylla cheopis, Echinophaga galli-
nacea, Ctenopsylus segnis, Hematopinis spinulosis.
MARMOT Parasit :
Protozoa : Balantidium sp, Trichomonas sp, Giardia sp.
Bakteri : Cacing : Strongyloides sp.
Salmonellosis oleh Salmonella lyphimurium, dan S. enteritidis. Pseudotu- Tungau paru-paru : Pneumonissus simicola.
berculosis oleh Yersinia pseudotuberculosis. Pneumonia oleh Streptococcus Parasit luar : Sarcoptes scabei.
pneumoniae, Klebsiella pneumoniae, Bordetella bronchiseptica.
Gangguan Metabolisme :
Defisiensi Vitamin C, Defisiensi Serat Kasar, Slobbers (Air ludah meleleh). KEPUSTAKAAN

Parasit : 1. Hume CW. The UFAW Handbook on the Care and Management of Labora-
Protozoa : Koksidiosis oleh Eimeria stiedae, E. magna, E. irrisidua, dan E. tory Animals. Fifth edition. Churchill Livingstone. London, 1976.
perforans. 2. Flynn RJ. Parasites of Laboratory Animal. First edition. The Iowa State
Parasit luar : Haemodipsus ventricosus, Sarcoptes scabei, Notoedres cati, University, 1973.
Psoroptes cuniculi, Cheyletiella parasitovorax, Listrophorus gibbus, Trom- 3. Lennete EH. Manual of Clinical Microbiology. Fourth edition. American
bicula cavicola. Society for Microbiology. Washington DC, 1989.
4. Nutting WB. Mammalian Diseases and Arachnidids vol.), II. Boca Raton,
GERBIL
USA. 1984.
Bakteri : 5. Jawetz E et al. Review of Medical Microbiology. 16th. Lange Medical
Wet tail oleh Eschericia coll. Tyzzer oleh Bacillus piliformis. Publication. Japan, 1984.
6. Smith JB. Pemeliharaan Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di
KERA (Macaca fascicularis) Daerah Tropis. UI Press. Jakarta, 1988.
Bakteri : 7. Direktorat Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan. Peraturan
Tuberkulosis oleh Mycobacterium tuberculosis. Enteritis oleh Salmonella Perundangan Kesehatan Hewan. Edisi I. Departemen Pertanian. Jakarta.
sp dan Shigella sp.
Keadaan Nilai Normal Baku
Mencit strain CBR Swiss Derived
di Pusat Penelitian Penyakit Menular
Siti Sundari Yuwono, Edhie Sulaksono, dan Rabea Pangerti Yekti
Pusat Penelitian Penyakit Menular Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN penggantian bentuk, penyusunan komponen tubuh panca indra


Mencit digunakan sebagai hewan model hidup dalam ber- dan fungsi organ tubuh.
bagai kegiatan penelitan terutama yang akan diterapkan pada Pada umumnya berat lahir mencit sekitar 1 gram; berat lahir
manusia. Hewan ini mudah didapat, mudah dikembangbiakkan tergantung pada jenis (strain) mencito>. Setelah 4 hari rambut
dan harganya relatip murah, ukurannya kecil sehingga mudah di- mulai tumbuh di sekujur tubuhnya, terutama misai yang jelas
tangani, jumlah anak perperanakannya banyak. Sebagaimana terlihat, pada 5 hari seluruhnya sudah terlihat putih. Pada umur
makhluk hidup lainnya selama pertumbuhan dan perkembang- 10 hari daun telinga membuka, bagian tubuh lainnya seperti
annya mencit tidak dapat lepas dari pengaruh berbagai faktor puting susu dan alat kelamin luar menjadi jelas kelihatan. Pada
lingkungan hidupnya. umur 12 hari mata mulai membuka dan anak-anak mencit aktif
Sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi khususnya lari berkeliling-keliling. Pada umur 13-14 hari mencit selain
dalam bidang biomedis, kebutuhan hewan percobaan terutama minum susu induk mulai memakan makanan padat (pellet) dan
mencit semakin meningkat kualitas maupun kuantitasnya; kuali- mulai belajar minum dari botol. Pada umur 16 hari sudah dapat
tas dalam arti mutu hewan yang secara genetik memungkinkan disapih(2), tetapi penyapihan sebaiknya dilakukan umur 21 hari.
hasil yang baik sesuai dengan yang diharapkan. Untuk me- Berat sapih umumnya sekitar 8-12 gram.
menuhi kebutuhan di atas diperlukan pengelolaan khusus secara
profesional. Siklus breeding
Mencit mencapai dewasa kelamin 3.5-4 minggu(2), menurut
ASAL USUL MENCIT Collin dewasa kelamin dicapai pada umur 35-40 hari, menurut
Mencit liar atau mencit rumah (Mus musculus) termasuk Mitruka pada umur 6-8minggu(1), sedangkan menurut Bennet
dalam ordo Rodentia, Sub ordo Myomorpha, Fam Muridae dan dan Vickery pada umur 2 bulan, tergantung strain nya(3).
sp murinae. Penyebaran sangat luas; semua jenis (strain) yang Mencit yang telah dewasa dan siap dikawinkan mempunyai
dapat dipakai di laboratorium sebagai hewan percobaan berasal bobot tubuh 28 gram untuk jantan, 20-25 gram untuk betina(1),
dari mencit liar yang melalui seleksi. Masing-masing jenis diciri- lamanya bunting antara 17 hari sampai 22 hari, rata-rata 21 hari(2).
kan melalui warna, perangai , susunan anatomi, fisiologi dan Mencit termasuk hewan polioestrus, siklusnya berlangsung
morkologinya. setiap 4-5 hari sekali, lamanya birahi antara 9-20 jam, eustrus
terjadi 20-40 jam setelah partus(4). Penyapihan dapat mengin-
PERKEMBANGAN HIDUP duksi eustrus dalam 2-4 hari.
Pertumbuhan berbeda dengan perkembangan; pertumbuhan Cara perkawinan mencit berdasarkan rasio jantan dan betina
dilukiskan sebagai proses pertambahan bobot sejalan dengan dibedakan atas monogamus, triogamus dan harem system(1).
bertambahnya waktu (umur); sedangkan perkembangan adalah Monogamus terdiri dari satu jantan dan satu betina, triogamus
terdiri dari satu jantan dan dua betina dan harem satu jantan lebih Tabel 1. Pengaruh umur pada berat badan
dari tiga betina dalam satu kandang.
Berat

Sifat-sifat Hari
Standard
Mean Minimum Maximum
Mencit merupakan hewan yang jinak, lemah, mudah di- Deviation
tangani, takut cahaya dan aktif pada malam hari; mencit yang
dipelihara sendiri makannya lebih sedikit dan bobotnya lebih 0 1.34 .08 1.22 1.42
3 2.26 .15 2.05 2.55
ringan dibanding yang dipelihara bersama-sama dalam satu 6 3.55 .19 3.28 3.86
kandang, kadang-kadang mempunyai sifat kanibal(2). 9 4.72 .21 4.39 5.03
12 5.63 .29 5.16 6.08
Lingkungan hidup 15 6.30 .48 5.32 8.98
18 7.23 .62 6.04 8.09
Temperatur ruangan untuk pemeliharaan mencit berkisar 21 9.03 .86 7.46 10.21
antara 20-25° C. Mencit dapat dipelihara dengan baik pada 24 11.28 .96 9.60 12.81
temperatur 70- 80° F. Kelembaban ruang tersebut berkisar 45- 27 13.82 1.20 11.91 15.98
55%.
Pengaruh Umur terhadap Pertambahan Berat Badan Mencit
Makanan
Mencit liar bersifat omnivorus yaitu pemakan segala macam
makanan. Makanan yang diberikan di laboratorium berupa pelet
yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, air vitamin dan
mineral.

Kandang
Dalam menentukan kandang bagi hewan percobaan harus
diperhatikan beberapa hal; yaitu kandang harus kuat, kokoh,
terbuat dari bahan tahan karat, tahan lama serta tahan panas.
Hewan dapat melakukan aktifitasnya dengan normal, harus
dilengkapi dengan jalan masukdan keluarmakanandan minuman.
Kandang harus mudah dibersihkan, ventilasi cukup;
berukuran 310-390 cm2 untuk sepasang mencit.

Penyakit
Setiap laboratorium hewan percobaan mempunyai masalah
yang berbeda dalam hal penyakit karena faktor yang mempe-
ngaruhi berbeda; faktor lingkungan dan pengelolaan sangat besar
pengaruhnya.
Maksud dan tujuan penelitian ini untuk mengetahui keadaan hari kelima sudah lebih putih. Pada hari kesepuluh daun telinga
nilai normal baku mencit. mulai membuka. Pada umur 12 hari mata mencit mulai mem-
buka, anak- anak mencit mulai aktif berjalan-jalan; mereka mulai
BAHAN DAN CARA KERJA mengenal makanan padat dan air minum. Pertambahan bobot
Mencit yang digunakan 27 ekor, masing-masing dengan 8 badan tidak sepenuhnya tergantung pada air susu induk tetapi
ekor anak yang baru lahir. Kedelapan anak mencit ditimbang, juga dari makanan padat.
penimbangan selanjutnya dilakukan 3 hari sekali. Mencit-mencit Jumlah dan komposisi air susu ibu berubah-ubah dari hari ke
dipelihara terus sampai dewasa. hari biasanya disesuaikan dengan kebutuhan bayi dan tergantung
Kemudian mencit-mencit tadi dibagi menjadi 3 kelompok yaitu pada makanan dan keadaan gizi ibunya.
kelompok umur 3 minggu, 8 minggu dan 12 minggu untuk Pada umur 13-16 hari pertumbuhan berat badan maju pesat.
diperiksa darahnya (eritrosit, Hb, pcv, leukosit) dan suhu tubuh. Pada hari ke-21 anak mencit disapih, anak mencit sepenuhnya
memperoleh makanan padat dan air minum dari botol. Pertum-
buhan berat badan setelah disapih dipengaruhi oleh beberapa
HASIL DAN PEMBAHASAN faktor yaitu hereditas,, temperatur, kemampuan adaptasi ling-
Pada tabel 1 terlihat bahwa anak mencit tumbuh sesuai kungan, makanan yang cukup. Pada umur satu bulan sudah
dengan umurnya. Berat mencit yang baru lahir 1,34 g (1,22-1,42 mencapai berat rata-rata 15,98 gram.
g), berat sapih (21 hari) besarnya 9,03 g (7,46-10,21 g)dan 27 hari Pada diagram terlihat jumlah eritrosit pada betina umur 3
besarnya 13,82 g (11,91-15,98 g). minggu lebih kecil daripada yang jantan, tetapi pada umur 8
Pada hari ke-4 rata-rata rambut mulai tumbuh tetapi pada minggu dan 12 minggu jumlah eritrosit mencit betina lebih kecil
Tabe12. Pengaruh umur pada gambaran darah
3 minggu 8 minggu 12 minggu Jumlah leukosit pada umur 3 minggu : jantan 68 ± 0,18 ribu/
ml, betina 72±0,17 ribu/ml dan umur 8 minggu : jantan 55 ± 0,12
Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina
ribu/ml dan betina 59 ± 0,15 ribu/ml.
PCV
Mean 59.37 61.29 70.32 69.78 67.86 72.29 Rata-rata Kadar HB Mencit Strain CBR Swiss-Derived
Standard 3.56 5.06 9.42 8.71 5.06 5.22
Deviation
Hb
Mean 12.75 12.70 13.49 13.19 14.09 13.61
Standard .68 .62 1.00 .78 1.13 1.12
Deviation
Lekosit
Mean 6800 7200 5500 5900 . .
Standard 1800 1700 1200 1500 . .
Deviation
Eritrosit
Mean 6.490 6.690 7.072 6.864 7.388 7.162
Standard .339 .192 .348 .478 .572 .575
Deviation
Temperatur
Mean 35.39 35.18 37.80 37.13 . .
Standard .24 .38 .62 .69 . . Pada tabel 2 terlihat bahwa kadar Hb pada umur 3 minggu:
Deviation mencit jantan 12,75 ± 0,68 gram/100 ml; mencit betina 12,70 ±
0,62 gram/100 ml; pada umur 8 minggu jantan 13,49±1,00 gram/
Rata-rata Nilai PCV Mencit Strain CBR Swiss-Derived 100 ml; pada umur 12 minggu : jantan 14,09 ± 1,13 gram/100 ml
dan betina 13,61 ± 1,12 gram/100 ml. Kadar Hb mencit jantan
lebih tinggi daripada kadar Hb mencit betina.
Rata-rata Nilai PCV Mencit Strain CBR Swiss-Derived

Rata-rata Suhu Badan Mencit Strain CBR Swiss-Derived


Rata-rata Jumlah Leukosit Mencit Strain CBR Swiss-Derived

dari mencit jantan; hal ini karena adanya hormon tertosteron


. yang merangsang erythroblast.
Nilai PCV pada mencit umur 3 minggu : jantan 59,37 ± jantan umur 8 minggu 70.32 ± 0,942 %
3,56%, betina 61,29 ± 5,06%, pada umur 8 minggu : jantan betina umur 8 minggu 69.78 ± 0,871 %
70,32 ± 9,42%, betina 69,78 ± 8,71%, pada umur 12 minggu : Kadar Hb jantan umur 3 minggu 12.75 ± 0,68 gram/100m1
jantan 67,86 ± 5,06% dan betina 72,29 ± 5,22% (tabel 2). betina umur 3 minggu 12.70 t 0,62 gram/ 100m1
Temperatur mencit usia 3 minggu pada yang jantan jantan umur 8 minggu 13.49 t 1.00 gram/100m1
35,39°C ± 0,339°, pada betina 35,18°C ± 0,38°, usia 8 minggu betina umur 8 minggu 13.19 t 0,78 gram/100m1
pada yang jantan 37,80°C ± 0,62°, dan pada yang betina Temperatur jantan umur 3 minggu 35.39 ± 0,24°C
37,13°C ± 0,69°. betina umur 3 minggu 35.18 ± 0,38°C
jantan umur 8 minggu 37.80 ± 0,62°C
KESIMPULAN betina umur 8 minggu 37.13 ± 0,69°C
Data nilai primer baku mencit strain CBR Swiss Derived :
Berat lahir : 1.34 (1.22 – 1.42) gram
Berat sapih : 9.03 (7.46 – 10.21) gram
Jumlah eritrosit jantan umur 3 minggu 6.490 ± 0,339 juta/ml KEPUSTAKAAN
betina umur 3 minggu 6.690 ± 0,192 juta/ml
1. Mitruka, Bry M, Howard M, Rawuslay, Dharma V. Vardhera. Animal for
jantan umur 8 minggu 7.072 ± 0,348 juta/ml Medical Research, Models for the Study of Human Disease. John Wiley and
betina umur 8 minggu 6.864 ± 0,478 juta/ml Son Inc Canada, 1976.
Jumlah leukosit jantan umur 3 minggu 6.800 ± 1.800 ribu/ml 2. Lane-Pebber W. Laboratory Mouse. The UFAW Handbook on the Care and
betina umur 3 minggu 7.200 ± 1.700 ribu/ml Management of Laboratory Animal. Edinburg London New York: Churchill
Livingstone, 1976.
jantan umur 8 minggu 5.500 ± 1.200 ribu/ml 3. Bennet JP, Vickery BH. Rats and Mice. Dalam Hafez ESE. Reproduction and
betina umur 8 minggu 5.900 ± 1.500 ribu/ml Breeding Techniques for Laboratory Animal. Philadelphia: Lea & Febiger,
Nilai PCV jantan umur 3 minggu 59.37 ± 0,356 % 1970:
betina umur 3 minggu 61,29 ± 0,506 % 4. Foster HL, Fox JG, Smell JP. The Mouse in Biomedical Research Vol I. New
York: Academic Press, 1981.

Only those who have the patience to do simple things pi,lectty ever
acquire the skid to do difficult things easily
(Schiffer)
Various Types of Specific
Acquired Deficient Immune Status
(SADIS) following Various Kinds of
Microbial Infection
- 4b. the leprosy type (Lp-type) of SADIS
caused by leprosy bacilli
R.A. Handojo*, Anggraeni Inggrid Handojo**
* The Indonesian Association of Pulmonologists, Malang
** The TB Centre of Surabaya

The leprosy bacillus, discovered by Hansen in 1873, nine other hand, in the great .majority of patients suffering from
years before Robert Koch discovered M. tuberculosis, is a tuberculosis with positive sputum on culture, tubercle bacilli
member of the genus mycobacterium. It is the causative organism appear as M. tuberculosis. In only 2 out of 291 patients (0.7%)
for the development of leprosy, a disease that has plagued tubercle bacilli appear as atypical mycobacteriae(12). Tubercu-
mankind for thousands of years and is continuing to do so. losis is known as a highly contagious disease.
Unlike the tubercle bacillus which is a facultative intracellu- The source of infection with M. leprae is more likely to be
lar parasite, the leprosy bacillus is an obligatory intracellular the nasal mucus. There are approximately 108 acid-fast bacilli in
pathogen which infects predominantly the macrophage and the one ml nasal mucus(13). This number is equivalent to the quantity
Schwann cell(1). It has the unique ability to invade nerves and of tubercle bacilli found in sputum of patients with cavitary
prefers to grow in cool areas of the body(2). Mycobacterium pulmonary tuberculosis(14).
leprae has a long replication time, estimated to be 10–12 days(3) The macrophage as an important element of the cell
and doesn't grow on existing bacteriological media. It multiplies mediated immunity has at least three key roles in leprosy, i.e. as
to a limited extent in the footpads of mice. Armadillos are potential antigen presenting cell, as suppressor cell and as effec-
susceptible to disseminated infection with M. leprae without the tor cell(15). There have been attempts to.show that monocytes in
necessity for prior immunosuppression(2). Mycobacterium leprae peripheral blood obtained from patients with lepromatous
doesn't cross the placental barrier(4). The incubation period of leprosy are defective as presenters of leprosy antigens to the T-
leprosy is between 2 and 7 years, commonly 3–5 years(4). lymphocytes(16). Through their antigen-presenting function,
Leprosy can.be defined as a chronic disease and is unlike macrophages may well be able to modulate the balance of helper
tuberculosis contagious in only some cases. The disease is known and suppressor cells(15). The role of macrophages as effector cells
to be of low pathogenecity although of high infectivity(5). The in patients with leprosy is intriguing(15). There is evidence that a
rationale behind the above feature of leprosy can be based on the subpopulation of cells obtained from peripheral blood of patients
fact that in the great majority of patients suffering from the with lepromatous leprosy, which adheres to plastic and is
lepromatous form of the disease, leprosy bacilli appear as assumed to consist of monocytes, can suppress lymphoprolifera-
atypical mycobacteriae. These atypical mycobacteriae are known tive response to M. leprae in vitro(17). Within macrophages of
to be at the edge of pathogeni city. Transmission of infection patients with lepromatous leprosy there appears to be uncon-
from man to man is extremely unusual(6,7,8,9). trolled proliferation of leprosy bacilli(15), which emerge for the
Warsa and The(10) succeeded in isolating non-acid-fast and greater part as atypical mycobacteriae. These macrophages will
acid-fast organisms in 89 out of 93 lepromatous patients (96%) not die until they burst because of the bulk of replicating orga-
and in 22 out of 23 lepromatous patients (96%) from respectively nisms has become too great(18).
venous blood and biopsied tissue. All of the acid-fast organisms The fact is that leprosy bacilli appear to be capable to escape
were reported to be scotochromogenic(10). In line with the from the phagosome and are seen free in the cytoplasm of macro-
aforementioned, Kato(11) stated that acid-fast bacilli related to M. phages where they are not recognized(19,20). Recent electron
scrophulaceum could be isolated from leprosy tissues. On the microscopic studies suggest that leprosy bacilli may evade
bactericidal activity of the macrophage by escaping from an inherent lack of M. leprae-recognizing T-cells(15). There is also
phagolysosome to lie free in cytoplasm of the phagocytes(2). a failure of macrophage activation in lepromatous leprosy(15).
There is likely to be no appropriate formation of macrophage Macrophages are activated by interleukin-2 produced and
processed fragments to be presented by the antigen presenting released by T-helper cells. Fifty per cent or more of patients
cells for adequate stimulation of the T-lymphocytes resulting in suffering from lepromatous leprosy cannot be sensitized with
a decreased T-lymphocyte responsiveness and in the socalled "T- dinitrochlorobenze (DNCB)(30). T-lymphocytes or subpopula-
lymphocyte depletion". The macrophage is the non-specific tions thereof may be sharply reduced from normal levels in both
component of the cell mediated immune response. percentage and absolute number(31) designated as the so called
Unlike in HIV-1 disease, the non-specific component of "T-lymphocyte depletion". On the other hand, the number of B-
anergy in lepromatous leprosy apparently does not predispose lymphocytes may be elevated(31). The normal ratio of T- to B-
to secondary or opportunistic infection by other pathogens(21). lumphocytes in peripheral blood of patients with lepromatous
Available evidence does not point to an increased incidence of leprosy may obviously be altered. Effective and successful anti-
malignancy in lepromatous leprosy(22). It is important to note that leprosy chemotherapy can correct abnormalities of T:B cell
macrophages, from lepromatous patients seem to be perfectly ratios(32).
normal in their ability to phagocytose and kill other micro- There is an increased number of B-lymphocytes in patients
organisms such as Candida albicans and a variety of gram- with lepromatous leprosy. High titers of antibodies have been
negative and gram-positive bacteria(23). found in patients with lepromatous leprosy(33). In the serum of
Beside, macrophages from lepromatous patients seem to 75–95% of patients suffering from lepromatous leprosy, passive
respond normally to lymphokines in the leukocyte migration hemagglutination test revealed the presence of antibodies to M.
inhibition test in vitro(24). Non-specific component of anergy in leprae that cross-reacted with other mycobacteria(34). Titers of
leprosy appears to be reversed by effective anti-leprosy chemo- antibody assayed by this method decrease slowly during treat-
therapy(23). Following inoculation of BCG into lepromatous ment(35). Low titers of antibodies to mycobacteria have been
lesions, leprosy bacilli appear to be destroyed by neighbouring detected in 30–70% of sera from patients with tuberculoid
macrophages which become activated as a result of the response leprosy by passive hemagglutination test(35). The presence of
to BCG(26). It has been claimed further, that mononuclear cells antibody to M. leprae that can cross-react with other mycobac-
from peripheral blood in tuberculoid patients, but not in leproma- terial antigens, may make the peroxydase-anti-peroxydase test
tous patients, incubated in the presence of leprosy bacilli will ineligible for the detection of tuberculosis disease in leprosy
release lymphokines which cause human macrophages to inhibit patients.
the replication of leprosy bacilli(27). Although there is no cell mediated immunity against the
The exudative cellular response is qualitatively normal causative pathogen, there is a high incidence of precipitating
throughout the clinical spectrum of leprosy as was based upon antibody against mycobacterial antigens as well as a large range
studies using skin window technique(28). The generation of of autoantibodies in lepromatous leprosy(33). In patients with
exudative cellular response indicates the participation of macro- tuberculoid leprosy, the frequency of precipitating antibody is
phages in response to the invasion of pathogens. Immunity to very low (< 10%)(36). Lepromatous leprosy is characterized by the
tuberculosis and leprosy requires the bactericidal activity of the existence of hypergammaglobulinemia(21). Mean levels of IgG
macrophage, the recognition of pathogens by T-lymphocytes and IgM were significantly elevated in sera of patients with
followed by the secretion of lymphokines and the accumulation lepromatous leprosy as compared with controls. The serum
plus activation of macrophages(24). levels of the mentioned immunoglobulins in tuberculoid patients
In patients with lepromatous leprosy, the number of leuko- did not differ from normal(37). Levels of IgM decreased as
cytes migrating into the chambers over 24 hours, if qualitative duration of therapy increased(38), which means that the longer is
collection chambers are applied tō site of skin abrasion, is the duration of therapy, the lower is the level of specific IgM and
approximately one-half the number in patients with tuberculoid the lower is the quantity of complement activation for the
leprosy and in normal controls(28). It is possible that in lepro- accomplishment of phagocytosis by the macrophage resulting in
matous leprosy elevated level of chemotactic factors inactivator a lower rate of incidence of immune complex disease. There is
may suppress the chemotactic attraction of polymorphonuclear however high prevalence rate of anti-mycobacterial antibodies
and mononuclear leukocytes to sites of acute and chronic (95%) in patients with lepromatous leprosy" which is in line
inflammatory stimuli(28). with the higher incidence of immune complex disease such as the
In vitro studies of lymphocytes from lepromatous patients erythema nodosum leprosum.
have revealed poor blastogenic non-specific response to phyto- There is a mirror nature of tuberculosis and leprosy as both
hemagglutin (PHA) and to antigens of purified protein derivative the causative organisms are members of the genus mycobac-
(PPD)(29). Unresponsiveness to lepromin test in lepromatous terium and cell mediated as well as humoral immune responses
leprosy is the result of reduced T-lymphocyte responsiveness and are generated in response to the invasion of the related pathogens.
the "lymphocyte depletion". The unresponsiveness of T-cell The immune spectrum of leprosy is therefore presumed to have
from lepromatous patients is the result of a defect in the produc- much in common with the defined spectrum of tuberculosis but
tion of interleukon-2 or some similar mediators rather than from with different immunologic fingerprints. Like in tuberculosis,
there are three areas in the spectrum of immune status in indivi- grading reaction which means the progression from T-leprosy to
dual cases of leprosy (fig. 1). L-leprosy with deterioration of protective immunity (fig. 2).
Fig. 1. The Immune Spectrum of Individual Cases of Leprosy
Reversely, the achievement of a successful result of anti-leprosy
Immune Status
chemotherapy brings about the development of an upgrading
reaction which means the regression from L-leprosy to T-leprosy
KK
LL L LK KL K (Lp-typE
with enhancement of protective immunity (fig. 2). When based
SADIS) on the analysis of the simple criterion of the size of induration at
Disease TT- T- BT- BL- L- LL- 72 hours of positive responses to new tuberculin, it is found that
Expression leprosy leprosy leprosy leprosy leprosy leprosy tuberculoid patients behave like BCG recipients and that lepro-
Mobility immobile mobile immobile matous patients behave like tuberculosis patients(40).
The TT-leprosy that represents the LL-immune status has
Note :
Immune status : Disease expression: tuberculoid leprosy as disease expression but will not progress to
L = Listeria type T = tuberculoid the T- or the L-leprosy despite repeated and multiple endogenic
K = Koch-type BT = borderline-tuberculoid and/or exogenic reinfections and remain uninfectious (fig. 1).
Lp-type = Leprosy-type L = lepromatons
Lara and Nolesco demonstrated that two thirds of children reared
BL = borderline lepromatons
by parents suffering from lepromatous leprosy and contract
The central area represents the mobile part of the spectrum, clinical leprosy actually healed completely without therapy as
in which upgrading and downgrading reactions may take place. judged by clinical follow-up for as long as 20 years(14). Unlike in
One border area is the immobile part of the spectrum in which tuberculosis, disease expression of the LL-immune status in
leprosy patients are represented that remain uninfectious through- leprosy is not age-related as lepromatous leprosy is also found in
out the persistence of the disease and are sensitive to anti-leprosy young children.
chemotherapy (fig. 2). Another immobile part of the spectrum The LL-leprosy that represents the KK-immune status, also
related to anti-leprosy chemotherapy is a border area in which termed the leprosy-type (Lp-type) of specific acquired deficient
leprosy patients are represented that are highly infectious and are immune status (SADIS), has L-leprosy as disease expression but
resistant to available anti-leprosy chemotherapy (fig. 2). will not regress to either the L- or the T-leprosy under influence
Primary and acute leprosy disease which has tuberculoid of available anti-leprosy chemotherapy and remains highly
leprosy (designated as T-leprosy) as disease expression repre- infectious (fig. 1). Unlike the tuberculosis-type (Tb-type), the
sents the L-type immune status (fig. 1). It is interesting to note, leukemia-type (Lk-type) or the leprosy-type (Lp-type) of SADIS
that positive reactions to sonicate preparation of M. tuberculosis brought about by the human immunodeficiency virus type 1
(new tuberculin) even to soluble M. leprae antigens appear to (HIV-1), the Lp-type of SADIS brought about by M. leprae is not
be the Listeria-like reactions 'n tuberculoid leprosy patients(39). characterized by the development of primary or opportunistic
Chronic leprosy disease which has lepromatous leprosy malignancy (fig 3). The incidence of multiple opportunistic
(designated as L-leprosy) as disease manifestation represents the infections which is true in the acquired immuno deficiency
K-type immune status (fig. 1). Most positive reactions to new syndrome (AIDS), is not a characteristic of the lepromatous
tuberculin seen amongst patients suffering from lepromatous leprosy(41).
leprosy appear to be of Koch-like type(39). The borderline-tuber- The tuberculoid leprosy also termed the reactive form of
culoid leprosy (designated as BT-leprosy) and the borderline- leprosy which is located at one pole of the mobile part of the
lepromatous leprosy (designated as BL-leprosy) are disease immune spectrum in leprosy has the following characteristics:
manifestations of respectively the LK- and the KL-type immune 1) The presence of few bacilli (paucibacillary)(41).
status (fig. 1). 2) An intense cellular immune reactivity against the leprosy
Repeated and multiple endogenic and/or exogenic reinfec- bacillus antigen. Skin-test to lepromin is positive(41).
tions with M. leprae give rise to the development of a down- 3) No acid-fast rods are found in skin biopsy material or on skin

Fig. 2. The Immune Spectrum of Individual Cases of Leprosy


Disease Expression

TT T BT BL L LL
Infectivity: uninfectious uninfectious uninfectious infectious highly highly
infectious infectious
Clinical immobile down-grading immobile
course: <–––––– –––––––>
–––––––>
up-grading
Clinical sensitive sensitive <––––––– sensitive resistant
susceptibility to sensitive
chemotherapy:
smears(41). epidermis relative to lepromatous leprosy or to normal tissue(46).
4) There are foci of granuloma invariably infiltrated with a Epitheloid cells are mature activated macrophages which have
dense collection of small lymphocytes(41) and well developed decreased phagocytic and digestive capacity(45). Unlike in tuber-
collections of macrophages or histiocytic cells(33,42). Lympho- culosis, caseation necrosis takes place very rarely in leprosy. This
proliferation takes place in this form of leprosy(41). necrosis may be encountered in the nerves of patients suffering
5) There is effective protective immunity. A high prevalence from the tuberculoid leprosy when there is a particular vigorous
rate of dinitrochlorobenzene (DNCB) reactors is found among immune response(2).
tuberculoid leprosy patients. The DNCB reaction is more a The lepromatous leprosy also termed the anergic form of
reflection of the participation of macrophages than of lympho- leprosy, located at the other pole of the mobile part of the immune
cytes in the generation of immune response. spectrum in leprosy, has the following disease manifestation:
6) There is low prevalence rate of anti-mycobacterial anti- 1) There are many bacilli (multibacillary) found in leproma-
bodies (11%) with only few plasma cells in lymphoid tissue(33). tous leprosy(41).
Patients with tuberculoid leprosy respond to integral lepromi 2) There is no cellular immune reactivity against the bacilli.
n with transient induration at 48–72 hours followed by nodule Patients with lepromatous leprosy are universally anergic to the
formation formed by granulomatous inflammation composed of antigen of M. leprae by skin testing(14,41)
epitheloid cells, giant cells and many lymphocytes(43). Patients Anergy has been defined as a failure of the delayed type
with tuberculoid leprosy tend to lose skin-reactivity to M. leprae hypersensitivity skin reaction in previously sensitized subjects(47).
when their disease advance toward the lepromatous form of Biopsy of the test site reveals a minimal reaction in which
leprosy(43). Granuloma formation which is known to be the cause lymphocytes are conspiciously absentt411
of clinical symptomatology of tuberculoid leprosy is associated 3) Acid fast rods are found in skin biopsy material and in skin
with T-cell activation(44) and is organized with a central core of smears(41).
mature paucibacillary macrophages and helper/inducer T-cells(45). 4) There are foci of granuloma containing histiocytic cells that
The tuberculoid leprosy exhibits pronounced T-cell immunity are foamy in appearance and contain many leprosy bacilli.
toward M. leprae("). In patients with tuberculoid leprosy, cell Lymphocytes are scanty and epitheloid cells and giant cells are
mediated immune response to the leprosy bacilli seems to be absent(41).
intact(20). 5) Within lymph nodes, paracortical region is infiltrated by
In the granulomas of tuberculoid leprosy approximately half masses of indifferentiated cells belonging to the histiocyte-
of the cells are lymphocytes and most of these lumphocytes are macrophage series that are laden with acid-fast bacilli(48).
CD;-lymphocytes. There are few of the CDg-lymphocytes that 6) There is specific and in some respects also non-specific
tend to be situated around the periphery of the granulomas anergy of the T-cell immune system(42). The specific depression
surrounding the epitheloid cell foci (CD:CDR 1)(2,20). There is is more severe than the non-specific impairment of cell mediated
evidence that in patients suffering from tuberculoid leprosy, immunity to M. leprae in patients with lepromatous leprosy(14).
Langerhans cells as mature macrophages are increased in the The combination of negative Fernandez and Mitsuda

Fig. 3. Some Characteristics of Various Types of SADIS

Characteristics

Types of Intracell Disease Opportunistic Types of Quantity of


SADIS parasitism infectivity infection malignancy T-lymphocytes
1. Tb-type
* Bacillus:
M. Tuberc. facultative uninfectious – primary, solid predominance
* DNA-virus:
HBV, HCV, HPV, obligatory uninfectious – primary, solid predominance
HSV-2, EBV
2. Lk-Type
* DNA-virus: obligatory presumably – primary, predominance
uninfectious lymphoid tissue
EBV
* RNA-virus: obligatory presumably – primary, predominance
uninfectious hemotologic
MTLV-I, HTLV-II
3. Lp-type
* RNA-virus:
HIV-1, HIV-2 obligatory highly + opportunistic depletion
infectious
* Bacillus:
M. leprae obligatory highly – no malignancy "depletion"
infectious
responses to lepromin with a positive reaction to PPD has been therapy, borderline forms of leprosy may undergo an upgrading
seen in many TB-infected lepromatous patients(40). reaction with a rapid regaining of lost cell mediated immunity(52).
7) Interleukin-2 producing cells are deficient in the leproma- A particular form of leprosy is the indeterminate leprosy
tous form of the disease(48). which may be difficult to classify into one or other of the more
Among the few lymphocytes found in lepromatous granulo- florid forms of the disease. It is thought that the indeterminate
mas a greater proportion is of the CD8+-cells. These C14-cells are state is likely to be the earliest form of the disease through which
however not confined to the periphery(20). The ratio CD4+: CD8+ is many patients pass before they develop the typical disease
less than one. Clones of CD8+;-cells obtained from lepromatous expression of the defined tuberculoid or the lepromatous
lesions are able to suppress proliferation of CD4+-cells specific for leprosy(33).
M. leprae. The CD8+ lymphocytes are not always suppressor cells Serologic examination for the serodiagnosis of leprosy is
nor are all suppressor cells CD8+;-lymphocytes(40). It is important based on the detection of IgM-antibody against phenolic glyco-
to note that CD8+;-suppressor cells of lepromatous patients were lipid antigen of M. leprae(53). One may suppose that leprosy might
found to be defective rather than enhanced(49). develop without the production of antibodies(54), as there are only
Regression of the disease from the anergic to the reactive few antibodies produced during the early stage of the disease.
form of leprosy which takes place following an abrupt reduction Detection of antibodies in serum of the host indicates the exis-
of bacterial load that occurs under influence of chemotherapy or tence of a recent Or early infection with M. leprae, independent
occasionally spontaneously, gives rise to the development of an on the forthcoming of clinical symptoms and signs(54).
acute inflammatory reaction which is known as the reversal Serological examination of antibodies against M. leprae is a
reaction(42). An aggravating outcome of otherwise improving useful tool for the establishment of an early diagnosis of leprosy.
immunological response is the neurological consequence of the It is interesting to note that in general during treatment of patients
mentioned reaction(42). with hyperbacillary leprosy, a lowering of the levels of antibody
It is important to note that it is unusual for lepromatous takes place parallel with a decrease in numbers of bacilli as
patients to recover skin reactivity even though successful anti- assessed by means of bacterial index(55). This is in line with what
leprosy chemotherapy may have eradicated identifiable acid-fast has been observed and reported by Indro Handojo(56) on the
bacilli from biopsy specimen(14), and lepromatous leprosy may lowering of antibodies against M. tuberculosis in tuberculosis
have regressed to tuberculoid leprosy; the latter being charac- patients following the achievement of a successful result of anti-
terized by the existence of an intense cellular immune reactivity TB chemotherapy as was based on immuno-serologic exami-
against M. leprae antigen. As lepromatous patients improve nation, the peroxydase-anti-peroxydase test (PAP-test). It is
clinically under longterm anti-microbial treatment, the histio- assumed that in leprosy, levels of antibody are a better measure
cytic infiltrate in lymph nodes tend to regress with a concomitant for the total number of bacilli in the body of the host rather than
return of lymphocytes to the paracortical areas(14). the bacterial index(1). The assessment of bacterial index as based
Between the positions of the tuberculoid and the leproma- on skin smears or biopsy materials gives an indication of the
tous forms of leprosy in the mobile part of the immune spectrum number of bacilli present in the skin or in tissues from which
in leprosy, are the positions of the individual cases of leprosy that biopsy materials have been obtained(1).
have features of both tuberculoid and lepromatous leprosy Like in tuberculosis, serologic test is a valuable complemen-
termed the borderline forms of leprosy or the dimorphous forms tary quantitative measure eligible for the assessment of the
of leprosy. They are designated BL (borderline-lepromatous) effect of anti-microbial treatment in cases with multibacillary
leprosy when located nearer to the L-leprosy and are more nearly leprosy(1,56). Elevated levels of antibody have recently been found
lepromatous or BT (borderline-tuberculoid) leprosy when against the phenolic glycolipid antigen of M. leprae prior to the
located nearer to the T-leprosy and are more nearly tuberculoid. development of relapse in a number of cases under treatment(1).
The BT- and the BL-leprosy are disease expression of respec- A similar finding has been reported by Indro Handojo(56) in
tively the LK- and the KL-immune status (fig. ). The BT form tuberculosis patients prior to the development of bacteriologic
of leprosy is characterized by the existence of few bacilli (pauci- relapse following successful anti-TB chemotherapy as was based
bacillary) while the BL form has many bacilli (multibacillary). on the PAP-test.
Borderline cases of leprosy exhibit an intermediate pathology of
tuberculoid and lepromatous leprosy(41). REFERENCES
Immunohistopathological examination of dermal infiltrates 1. Klatser PR, Naafs B, Faber WR. Serologische diagnostiek van lepra.
related to lesions of BL leprosy revealed M. leprae organisms in Nederl Tijdsch v Geneesk 1991; 135: 932-934.
all types of mononuclear cells, i.e. in macrophages, dentritic cells 2. Drutz DJ, Graybill JR. Infectious Diseases. 2. Leprosy. In: Basic and
Clinical Immunology. 4th Ed. Eds: DP Stites, JD Stobo, HH Fudenberg,
and Langerhans cells(50). There are more lymphocytes in BL JV Wells. Maruzen Asian Ed; Lange Medical Publ, Maruzen Asia (Ptc), p
leprosy than in lepromatous leprosy(51). Immunologic instability 593-636.
is a characteristic of the borderline leprosy. It is liable to down- 3. Shepard CC, McRae D. Hereditary characteristic that varies among isolates
grade to lepromatous leprosy in the absence of chemotherapy and of M. leprae. Infec. Immun. 1971, 3, 121-26. Quoted from: Bullock WE.
Immunology of Human Infection. New York & London: Plenum
under influence of repeated and multiple endogenic and/or Medical Book Co.
exogenic reinfections. Under influence of successful chemo- 4. Jopling WH. Clinical aspects of leprosy. Tubercle 1982; 63: 295-305.
5. Kirchheimer WF, Storrs EE. Attempts to establish the armadillo (Dasypus macrophage cultures as an in vitro indicator of effective immunity in human
novemcinctus Linn) as a model for the study of leprosy. Report of leproma leprosy. Clinical and Experimental Immunology 1982; 49: 517. Quoted
toid leprosy in an experimentally infected armadillo. Intemat J Leprosy from: Rook GAW. Tubercle 1983; 64: 297-312.
1971; 39: 643. Quoted from: Jopling WH. Tubercle 1982; 63: 295-305. 28. Bullock WE, Ho MF, Chen MJ. Quantitative and qualitative studies of the
6. Francis J, Ellis W, Abraharus. The pathogenecity and nomenclature of local cellular exudative response in leprosy. J Reticulo-endothel Soc
mycobacteria. (letter to the Editor). Tubercle 1982; 63: 309-10. 1974b, 16: 259-68. Quoted from: Bullock WE. Immunology of Human
7. Chapman JS. The atypical mycobacteria (Koch centennial supplement). Infection. New York & London: Plenum Medical Book Co.
Am Rev Respir Dis 1982; 125: 119-24. 29. Bullock WE, Fasal P. Studies of immune mechanisms in leprosy. III. The
8. Leading article: Typical and atypical mycobacteria. Tubercle 1981; 62: role of cellular and humoral factors in impairment of the in vitro immune
295-96. response. J Immunol 1971; 106: 888-89. Quoted from: Bullock WE.
9. Penny ME, Cole RB, Gray J. Two cases of M. kansasii infection occurring Immunology of Human Infection. New York & London: Plenum Medical
in the same household. Tubercle 1982; 63: 129-31. Book Co.
10. Warsa R, The Kie Sing. Isolation of acid-fast organisms from leprosy 30. Turk JL, Waters MFR. Cell mediated immunity in patients with leprosy.
patients (preliminary report). Maj Kedokt Indon 1969; 7: 237-239. Lancet 1969; 2: 243. Quoted from: Turk JL. Proc Internat Symp Immune
11. Kato L. Internat J Leprosy 1977; 45: 175. Quoted from: Draper P. The Complex Diseases. Carlo Erba Foundation, 1970. p 165-171.
bacteriology of M. leprae. Tubercle 1983; 64: 43-56. 31. Dwyer JM, Bullock WE, Fields JP. Disturbance of blood T:B lymphocyte
12. Handojo RA. The significznce of the emergence of atypical mycobacteria ratio in lepromatous leprosy. N Engl J Med 1973; 228: 1036-39. Quoted
in pulmonary tuberculosis related to the use of anti-tuberculous chemo from: Bullock WE. Immunology of Human Infection. New York & Lon
therapy. Pam 1987; 7: 28-36. don: Plenum Medical Book Co.
13. Shepard CC. The nasal secretion of M. leprae. Int J Lepr 1962; 30: 1018. 32. Lim SD, Kiszkiss DF, Jacobson RR et al. Thymus-dependent lumphocytes
Quoted from: Bullock WE. Immunology of human infection. New York & of peripheral blood in leprosy patients. Infect Immunol 1974b; 9: 194-99.
London: Plenum Medical Book Co. Quoted from: Bullock WE. Immunology of Human Infection. New York &
14. Ress RJW, Meade TW. Comparison of the modes of spread and the London: Plenum Medical Book Co.
incidence of tuberculosis and leprosy. Lancet 1974; 1:47-8. Quoted from: 33. Turk JL. Reaction states in leprosy. Proc International Symp on Immune
Bullock WE. Immunology of human infection. New York & London: Complex Disease. Carlo Erba Foundation, Milan 1970. p 165-171.
Plenum Medical Book Co. 34. Levine M. Hemagglutination of tuberculin sensitized sheep cells in Hansen's
15. Rook GAW. The immunology of leprosy. Tubercle 1983; 64: 297-312. disease. Proc Soc Exp Biol Med 1951; 76: 171-173. Quoted from: Bullock
16. Hirschberg H. The role of macrophages in the lymphoproliferative response WE. Immunology of Human Infection. New York & London: Plenum
to M. leprae in vitro. Clinical and Experimental Immunology 1978; 34: 46. Medical Book Co.
Quoted from: Rook GAW. Tubercle 1983; 64: 297-312. 35. Ross H. The results of a modified Middlebrook Dubos hemagglutinine test
17. Nath I, Rood JJ, Mehra NK, Vaidya MC. Natural suppressor cells in human in leprosy. Internat J Lepr 1954; 22: 174-80. Quoted from: Bullock WE.
leprosy. The role of HLA-D identical peripheral lymphocytes and macro Immunology of Human Infection. New York & London: Plenum Medical
phages in the in vivo modulation of lymphoproliferative responses. Clinical Book Co.
and Experimental Immunology 1980; 42: 203. Quoted from: Rook GAW. 36. Myrvang B, Feek CM, Godal T. Anti-mycobacterial antibodies in sera from
Tubercle 1983; 64: 297-312. patients throughout clinicopathological disease spectrum of leprosy. Acta
18. Shepard CC. A comparison of the growth of selected mycobacteria in Hela, Pathol Microbiol Scand 1974; 82B: 701-706. Quoted from: Bullock WE.
monkey kidney and human amnion cells in tissue culture. J Experimental Immunology of Human Infection. New York &London: Plenum Medical
Med 1957; 107: 237. Quoted from: Rook GAW. Tubercle 1983; 64: Book Co.
297-312. 37. Bullock WE Jr, Ho MF, Chen MJ. Studies of immune mechanisms in
19. Evans MJ, Levy L. Ultrastructural changes in cells of the mouse foot-pad leprosy. II. Quantitative relationship of IgG, IgA and IgM immunoglo
injected with M. leprae. Infection and Immunity 1972; 5: 238. Quoted bulins. J Lab Clin Med 1970; 75: 863-70. Quoted from: Bullock WE.
from: Rook GAW. Tubercle 1983; 64: 297-312. Immunology of Human Infection. New York & London: Plenum Medical
20. Drutz DJ, Mills J. Immunity and Infection. In: Basic and Clinical Immuno Book Co.
logy, 4th Ed. Eds: DP Stites, JD Stobo, HH Fudenberg, JV Wells. Maruzen 38. Lim SD, Fusaro RM. Leprosy. IV. Quantitation of immunoglobulins (IgG,,
Asian Ed; Lange Med Publ, Maruzen Asia (Ptc). p 209-232. IgA, IgM) in leprosy sera. Int J Lepr 1968; 36: 144-153. Quoted from:
21. Bullock WE. Immunobiology of leprosy. In: Immunology of human Bullock WE. Immunology of Human Infection. New York & London:
infection. Eds: Andre/Nahmias, O'Reilly RJ. Part I: Bacteria, Myco Plenum Medical Book Co.
plasmae, Chlamydiae and Fungi. New York & London: Plenum Medical 39. Stanford JL. A mycobacteriologist's view of the immunology of leprosy.
Book Co. Bulletin de L'institut Pasteur 1981; 79: 261. Quoted from: Stanford JL.
22. Oleinic A. Altered immunity and cancer risk. A review of the problem and Tubercle 1984; 5: 62-74.
analysis of the cancer mortality experience of leprosy patients. J Natl 40. Stanford JL. Skin-testing with mycobacterial reagens in leprosy. Tubercle
Cancer Inst 1969; 43: 775-781. Quoted from: Bullock WE. Immunology of 1984; 5: 62-74.
Human Infection. New York & London: Plenum Medical Book Co. 41. Ridley DS, Jopling WH. Classification of leprosy according to immunity.
23. Drutz DJ, Cline MJ, Levy L. Leukocyte anti-microbial function in patients A five groups system. Internat J Leprosy 1966; 34: 255. Quoted from:
with leprosy. J Clin Invest 1974; 53: 380. Quoted from: Rook GAW. GAW. Tubercle 1983; 64: 297-312.
Tubercle 1983; 64: 293-312. 42. Ivanyi J. Pathogenic and protective interactions in Mycobacterial infection.
24. Han SH, Weiser RS, Wang JJ et al. The behaviour of leprosy lymphocytes Clin Immunol Allerg 1986; 6: 127-57.
and macrophages in the macrophage migration inhibition test. Internat J 43. Convit J, Aranzazu N, Zuniga M et al. J Immunotherapy and Immuno
Leprosy 1974; 42: 186. Quoted from: Rook GAW. Tubercle 1983; 64: prophylaxis of Leprosy. Leprosy Review Special Issue 1983; 42S-60S.
297-312. Quoted from: Ivanyi J. Clinics in Immunol Allerg 1986; 6: 127-57.
25. Bullock WE. Studies on immune mechanisms in leprosy. I. Depression of 44. Werb Z. Phagocytic cells, chemotaxis and effector function of macro
delayed allergic response to skin test antigens. N Engl J Med 1968; 278: phages and granulocytes. 1. macrophage. In: Basic and Clinical Immuno
298-304. Quoted from: Bullock WE. Immunology of Human Infection. logy, 4th ed. Eds: DP Stites, JD Stobo, HH Fudenberg, JV Wells. Marizen
New York & London: Plenum Medical Book Co. Asian Ed, Lange Med Publ, Maruzen Asia (Ptc). p 109-118.
26. Convit J, Pinardi M, Rodriguez-Ochoa G et al. Elimination of M. leprae 45. Modlin RL, Hofman FM, Taylor CA, Rees TH. T-lymphocyte subsets in the
subsequent to local in vivo activation of macrophages in lepromatous skin lesions of patients with leprosy. J Amer Acad Dermatol 1983; 8: 182.
leprosy by other mycobacteria. Clin Experimental Immunol 1984;17: 261. Quoted from: Rook GAW. Tubercle 1983; 64: 297-312.
Quoted from: Rook GAW. Tubercle 1983; 64: 297-312. 46. Dwyer JM. Anergy. The mysterious loss of immunological energy. Allergy
27. Prasad HK, Singh R, Nath I. Radiolabelled M. leprae resident in human 1984; 35: 15-92. Quoted from: Ivanyi J. Clinics in Immunol Allerg 1986;
6: 127–57. 1986; 6: 127–57.
47. Turk JL, Waters MFR. Immunological significance of changes in lymph 51. Waters MFR. The treatment of leprosy. Tubercle 1983; 64: 221–32.
nodes across the leprosy spectrum. Clin Exp Immunol 1971; 8: 363–76. 52. Jopling WH. Clinical aspects of leprosy. Tubercle 1982; 63: 295–305.
Quoted from: Bullock WE. Immunology of Human Infection. New York & 53. Izumi S, Fujiwara T, Ikeda Metal. Novel gelatin particle agglutination tests
London; Plenum Medical Book Co. for serodiagnosis of leprosy in the field. J Clin Microbial 1990; 28: 525–29.
48. Modlin RL, Hofman FM, Horwitz DA et al. In situ identification of cells in Quoted from: Klatsen PR et al. Nederl Tijdschr v Geneesk 1991; 135:
human leprosy granulomas with monoclonal antibodies to interleukin-2 932–934.
and its receptor. J Immunol 1984; 132: 3085–90. Quoted from: Ivanyi J. 54. Willigen AH vd, Chin A Lien RAM, Joost Th v et al. Lepra; je moet er aan
Clin Immunol and Allerg 1986; 6: 127–57. denken. Nederl Tijdschr v Heneesk 1989; 133: 1345–47.
49. Bullock WE, Watson S, Nelson KE et al. Abberant immunoregulatory 55. Klatsen PR, WitMyl de, Fajardo TT et al. Evaluation of M. leprae antigen
control of B-lymphocyte function in lepromatous leprosy. Clinical and in the monitoring of a dapsonebased chemotherapy of previously untreated
Experimental Immunology 1982; 49: 105. Quoted from: Rook GAW. lepromatous patients in Cebu, Philippines. Lepr Rev 1989; 60: 178–186.
Tubercle 1983; 64: 297–312. 56. Indro Handojo. Uji Peroksidase Anti Peroksidase (PAP) pada penyakit
50. Poulter LW, Collings LA, Tung KS, Waters MFR. Parasitism of antigens tuberkulose paru (disertasi). Surabaya: Universitas Airlangga, Budi Jaya
presenting cells in hyperbacillary leprosy. Clin and Experimental Immu Offset, 1988.
nology 1984; 55: 611–17. Quoted from: Ivanyi J. Clinics in Immunol Allerg

Kalender Kegiatan Ilmiah

Nopember 7–12, 1994 : KONGRES NASIONAL V


PERHIMPUNAN ULTRASONIK KEDOKTERAN
INDONESIA
Grand Hyatt Hotel
Jakarta, INDONESIA
Sekr.: c/o Department of Radiology
Faculty of Medicine, University of Indonesia
Jl. Salemba 6, Jakarta
INDONESIA
PO Box 4151 JKT
Telp. (62-21) 3905415, 5673610
Fax (62-21) 373905, 4881786

Oktober 8 – 9, 1994 : PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN


PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS KULIT DAN
KELAMIN INDONESIA
Palembang, INDONESIA
Topik : Kosmetika
Sekr. : Dr. M. Athuf Thaha
Perdoski cabang Palembang/UPF IP Kulit dan Kelamin
RSU Palembang/Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya
Jl. Jend. Sudirman Km. 3
Palembang 30126, INDONESIA
Telp. (0711) 24088 pes. 328
Informasi Obat

Morecon ®
Nama produk : MORECON® Anak-anak : belum ada pengalaman penggunaan Morecon®
Bahan aktif : Omeprazole - Astra untuk anak.
Komposisi : Tiap kapsul mengandung Omeprazole 20 mg Usia lanjut : tidak diperlukan penyesuaian dosis untuk pen-
derita usia lanjut.
FARMAKOLOGI : Gangguan fungsi ginjal dan hati : tidak diperlukan penye-
Morecon®(Omeprazole) menurunkan sekresi asam lam- suaian dosis untuk penderita dengan gangguan fungsi ginjal dan
bung melalui mekanisme kerja yang sangat selektif, yaitu secara hati.
spesifik menghambat enzym H+, K+, AT Pase (" Pompa proton)
di dalam sel parietal. PERHATIAN :
Karena kerjanya menghambat tahap akhir pembentukan Apabila diduga ada ulkus lambung maka harus diyakinkan
asam lambung maka Morecon ® efektif menghambat sekresi a- dahulu bahwa tidak ada kemungkinan malignansi, karena peng-
sam basal maupun yang disebabkan oleh rangsangan tanpa obatan menghilangkan gejala-gejalanya sehingga penegakan
tergan tung dari jenis rangsangannya. diagnosis terlambat.
Morecon® tidakmempunyai efek terhadap reseptor asetilkolin Morecon® tidak dianjurkan untuk digunakan selama ke-
dan histamin, dan tidak ada efek farmakodinamik lain yang ber- hamilan dan menyusui kecuali bila penggunaannya memang
makna secara klinis selain efek Morecon ® terhadap sekresi a- dianggap esensial.
sam. Studi pada binatang tidak menunjukkan bukti yang mem-
Mula kerja obat cepat dan kontrol reversible terhadap sekresi bahayakan dari penggunaan Morecon® selama masa kehamilan
asam lambung tercapai dengan dosis sekali sehari. dan menyusui, tidak dijumpai pula toksisitas terhadap janin
ataupun efek teratogenik.
INDIKASI
Morecon ® diindikasikan untuk : EFEK SAMPING
– Pengobatan jangka pendek ulkus duodenum Mual, sakit kepala, diare, konstipasi dan kembung. Pernah
– Pengobatan jangka pendek ulkus lambung dilaporkan tetapi jarang terjadi pada beberapa pasien mengalami
– Pengobatan jangka pendek refluks oesofagitis ruam kulit.
– Pengobatan sindrom Zollinger - Ellison Efek samping umumnya ringan dan bersifat sementara dan
tidak menunjukkan hubungan yang konsisten terhadap peng-
DOSIS DAN CARA PEMAKAIAN obatan.
Dosis yang dianjurkan :
1 kapsul Morecon® (20 mg) sekali sehari diminum dengan air. KONTRA INDIKASI
Jangan mengunyah isi kapsul. Sejauh ini tidak ada kontra indikasi yang diketahui.
Ulkus Duodenum: 1 kapsul sehari sekali selama 2–4 minggu
Ulkus lambung: 1 kapsul sekali sehari selama 4–8 minggu INTERAKSI OBAT
Refluks oesofagitis: 1 kapsul sekali sehari selama 4–8 minggu Pernah dilaporkan adanya interaksi dengan obat-obat lain
Pasien yang sulit disembuhkan dengan regimen pengobatan yang dimetabolisme melalui sistem sitokrom p-450.
lain, memerlukan dosis 40 mg Morecon® sekali sehari, dan pe- Morecon® dapat memperpaal'ang eliminasi Diazepam,
nyembuhan umumnya tercapai dalam 4 minggu bagi penderita Warfarin dan Fenitoin, serta obat-obat yang mengalami metab-
ulkus duodenum dan dalam 8 minggu untuk penderita ulkus olisme oksidasi di hati.
lambung maupun refluks oesopagitis. Tidak pernah dilaporkan adanya interaksi pada penggunaan
Sindrom Zollinger-Ellison: Dosis awal yang dianjurkan adalah bersama dengan antasida.
60 mg Morecon® sekali sehari.
Dosis harus disesuaikan untuk masing-masing individu dan KEMASAN
pengobatan harus dilanjutkan selama ada indikasi klinis. Dosis di Botol berisi 7 kapsul
atas 80 mg per hari harus diberikan dua kali sehari dalam dosis Botol berisi 14 kapsul
terbagi.
SAMA-SAMA MAU KREDIT SPIRAL = PER
Seorang pasien segera akan dipu- Seorang ibu peserta KB spiral datang memeriksakan diri :
langkan setelah sukses menjalani trans- Akseptor : "Dokter, saya ingin spiralnya dilepas."
plantasi jantung di suatu rumah sakit. Dokter : "Kenapa ? Ada yang tidak beres ?"
Ketika ia menanyakan berapa biaya Akseptor : "Sejak pakai spiral, ulu hati saya sakit dan rasanya sesak nafas."
dokter yang harus dibayar, dokternya Dokter : (Setelah dilakukan pemeriksaan) "Bukan akibat spiral."
menjawab: "Biayanya Rp. 60 juta. Cara Akseptor : (dengan mimik tak puas) "Dulu waktu hamil tua saya rasa sesak dan dokter
pembayarannya boleh pilih mau kredit mengatakan ini akibat janin dalam rahim yang makin membesar sehingga
atau tunai. Kalau kredit, pembayaran menekan rongga dada dan terasa sesak. Sekarang dokter mengatakan bukan
pertamanya Rp.15 juta, sisanya diangsur akibat spiral, bukankah spiral dalam rahim juga dan gerakannya seperti per,
dua belas kali dengan bunga 12% se- sehingga dapat menekan ulu hati dan paru-paru saya ?"
tahun. Untuk itu Saudara perlu ikut Dokter : (tertawa, pandai sekali akseptor ini dan sayang tahunya tanggung) "Itu
asuransi jiwa. Kalau mau bayar tunai, memang benar, tetapi ibu lupa, dulu rahim dan janin membesar sehingga
Saudara mendapat potongan tunai 5%." mendesak rongga dada. Sekarang rahim seperti semula, kecil sebesar telur
Pasien: "Saya pilih yang cara kredit bebek, sedangkan spiral dalam rahim dalam keadaan bentuk dan ukuran
saja. Tapi saya heran cara bayarnya ke- tetap, serta rahim itu tidak dapat bergerak, ditunjang oleh urat-urat sehingga
dengarannya mirip dengan cara kredit stabil. Jadi walaupun spiral gerakannya seperti per, rahim tak dapat melon-
mobil, Dok?" cat ke atas menekan ulu hati dan rongga dada. Yang ibu rasakan adalah
Dokter: "Oh, kebetulan memang itu keluhan dari lambung yang luka dan kejang."
rencana yang segera akan saya kerja- Akseptor : (manggut-manggut, puas ????).
kan".
Dr. Emiliana Tjitra
R. Setyabudy
Jakarta
Jakarta

Never answer an angry word with an angry word


It's the second one that produces a quarrel
(AA. Nance)
ABSTRAK
MANFAAT ASAM ASKORBAT RISIKO INFARK MIOKARD SETE- PEMBERIAN PASI SETELAH
Asam askorbat efektif untuk meng- LAH AKTIFITAS FISIK DIARE
obati chronic immune thrombocytopenic Selama ini ada anggapan bahwa pem-
purpura pada anak-anak yang tidak Untuk membuktikan peranan aktifi- berian pengganti air susu ibu (PASI)
responsif terhadap prednison dosis tas fisik berat sebagai faktor pencetus pada bayi di bawah usia 6 bulan yang
tinggi. Dari tujuh anak yang mendapat infark miokard, para peneliti di Boston, menderita diare dapat memperberat
asam askorbat 0,5 g tiga kali sehari AS mewawancarai 1228 pasien infark penyakitnya.
selama 4-15 bulan; 4 anak menunjuk- miokard. Untuk membuktikannya, 159 bayi
kan penyembuhan yang konstan, 1 anak Ternyata 4,4% terserang infark mio- Guatemala dan Brasil yang berusia
yang pada awalnya memberikan respon, kard setelah melakukan aktifitas fisik antara 2 minggu sampai 6 bulan dan
kambuh lagi setelah terapi dihentikan yang berat dalam 1 jam sebelum serang- menderita diare dalam 120 jam pertama
dan 2 anak tidak memberikan respon. an, seperti berlari, mendorong mobil, tanpa gejala dehidrasi dibagi secara
Inpharma 1993; 893: 20 berolahraga yang sifatnya kompetitif, acak untuk menerima susu seperti
Id naik tangga dengan membawa beban; biasa, atau yang diencerkan dan ber-
risiko relatif serangan infark miokard angsur-angsur dikembalikan ke peng-
IMIPENEM-CILASTATIN UNTUK setelah aktifitas fisik berat dibanding- enceran normal dalam 48 jam. Ternyata
MENINGITIS ANAK kan dengan pada saat istirahat adalah tidak ada perbedaan bermakna dalam
Imipenem dan cilastatin berguna 5,9 (95%CI: 4,6-7,7). hal kegagalan terapi, jumlah feses
untuk mengobati meningitis anak-anak Bila diperhatikan lebih lanjut, risiko maupun lamanya diare.
akibat Streptococcus pneumoniae yang tersebut terutama tinggi di kalangan Hasil penelitian ini menunjukkan
resisten terhadap antibakteri standar. orang-orang yang jarang melakukan bahwa pemberian susu formula (PASI)
Laporan kasus di Spanyol menyata- exercise (aktifitas fisik); di kalangan dapat langsung diberikan seperti biasa
kan bahwa anak-anak 18 bulan dengan orang yang melakukan aktifitas fisik setelah dehidrasi dapat diberantas.
pneumococcal meningitis yang tidak kurang dari satu kali seminggu, risiko Lancet 1993; 341: 194–7
responsif terhadap penisilin atau ce- relatifnya ialah 107 (95%CI: 67–171). Hk
fotaxim, berhasil diobati dengan imi- Risiko tersebut menurun sesuai dengan
penem - cilastatin 100 mg/kg/hari. Ke- makin seringnya exercise; yaitu 19,4
rugian terapi ini adalah peningkatan (95%CI: 9,9-38,1) untuk orang-orang
seizures, walaupun masih sulit ditentu- dengan aktifitas fisik 1-2 kali seminggu, PIROXICAM UNTUK RASA SAKIT
kan, apakah akibat imipenem-cilastatin 9,6 (95%CI: 3,6-20,5) untuk orang- Peneliti-peneliti Belgia melaporkan
atau meningitisnya. orang dengan aktifitas fisik 3-4 kali bahwa penambahan piroxicam pada
Inpharma 1993; 890: 16
seminggu dan 2,4 (95%CI: 1,5-3,7) terapi dengan codeine tidak bermakna
Id untuk orang-orang dengan aktifitas fisik dalam menghilangkan rasa sakit pada
lebih dari 5 kali seminggu. 90 pasien kanker kronis.
KERUSAKAN HATI AKIBAT Meningkatkan kebiasaan aktifitas Tiga kelompok pasien tersebut men-
FLUCLOXACILLIN fisik berkaitan dengan penurunan risiko dapat obat sebagai berikut : kelompok I:
Peneliti-peneliti Australia melapor- relatif serangan infark miokard. Codeine 60 mg, kelompok II: Piroxicam
kan adanya peningkatan penyakit ku- N. Engl. J. Med. 1993; 329: 1677-83 40 mg, kelompok III: Codeine 30 mg
ning akibat pemakaian penicillin, Hk dan piroxicam 20 mg. Di antara tiga
flucloxacillin semisintetis pada pasien- kelompok tersebut tidak ada perbedaan
pasien yang agak tua dan mereka yang bermakn:rdalam pengurangan rasa sakit
memakai obat ini lebih dari 2 minggu. yang berat. Namun pada kelompok III,
Mereka menyarankan pemakaian obat- dosis masing-masing obat lebih kecil;
obat alternatif seperti cloxacillin, oxa- ini menunjukkan bahwa piroxicam
cillin, atau dicloxacillin pada kelompok mungkin bermanfaat pada tipe-tipe ter-
risiko tinggi. tentu dari rasa sakit oleh karena kanker.
Scrip 1993; 1791: 23 Inpharma 1993; 890: 16
Id Id
ABSTRAK
PERANAN EEG DALAM PENA- mengalami iskemi. PROSES SELEKSI SEL SARAF
TALAKSANAAN STROKE EEG kurang berguna untuk membe-
dakan stroke yang lama dengan yang
Selama ini diagnosis stroke, selain baru karena gambaran EEG dapat pulih Proses kematian sel, khususnya sel
secara klinis, banyak dibantu dengan setelah beberapa waktu, atau menetap saraf masih merupakan misteri. Telah
pemeriksaan radiologik seperti CT scan meskipun secara klinis terlihat perbaik- diketahui bahwa sepanjang proses pe-
yang dapat niemberikan gambaran ke- an; dan meskipun secara teoritis me- matangan sistim saraf dari fase embrio
lainan secara lebih akurat. Meskipun mungkinkan, ternyata EEG kurang bisa sampai seseorang dilahirkan, telah ter-
demikian, kelainan struktural tersebut membedakan antara stroke kortikal jadi proses kematian sel dalam sistim
tidak menggambarkan derajat kelainan dengan stroke subkortikal; pada sebuah tersebut, bahkan di beberapa bagian
fungsinya; sampai seberapa jauh ke- penelitian, perubahan EEG ditemukan tertentu lebih dari 50% sel tidak men-
lainan tersebut berkorelasi dengan dera- pada 76% kasus infark kortikal dan hanya capai fase dewasa. Proses ini dianggap
jat penurunan kesadaran, atau apakah pada 9% kasus lakuna. berguna dalam fase seleksi selama per-
berhubungan dengan serangan kejang Perbaikan teknik berupa compute- tumbuhan; dalam fase tersebut, sel-sel
yang kadang-kadangmuncul. Dalam hal- rized EEG atau topographic mapping yang cacad atau yang ternyata berlebih-
hal tersebut, para ahli meneliti peranan mungkin dapat memperbaiki sensitivi- an akan mati.
EEG dalam kasus-kasus stroke karena tas pemeriksaan ini; ada peneliti yang Para ahli meneliti peranan beberapa
EEG hanya memerlukan alat yang lebih melaporkan peningkatan sensitivitas protein, antara lain NGF (nerve growth
sederhana dan mudah didapat, lebih sebesar 34% dalam hal deteksi iskemi factor) yang berperanan merangsang
murah dan tidak invasif. pada kasus TIA. Meskipun demikian, pertumbuhan sel saraf. Penelitian atas
Kelainan EEG yang mungkin di- masih perlu penelitian yang lebih luas sejenis cacing percobaan menunjukkan
temukan pada iskemi adalah berupa untuk menentukan peranan pemeriksaan adanya peranan gen – ced-3, ced-4 –
penurunan aktivitas beta, peningkatan ini dalam diagnosis. yang menentukan saat kematian sel, se-
aktivitas delta dan theta, hilangnya EEG tidak dapat menentukan lokasi baliknya ada gen lain – ced-9 – yang
irama dasar yang normal seperti irama dengan tepat karena rekaman dilakukan justru memungkinkan sel tumbuh terus.
alfa, daMatau penurunan amplitudo. di permukaan dan terdapat overlapping
EEG pada stroke dapat berguna un- antara daerah pendarahan masing-ma- Penelitian atas limfosit menemukan
tuk menentukan adanya fokus kejang; sing arteri. Sering dijumpai adanya per- gen lain – bct-2 – yang dapat menyela-
hal ini penting untuk membedakan se- lambatan pada sisi kontralateral stroke matkan limfosit dari proses kematian;
rangan kejang dari spasme/miokloni atau bilateral; hal ini mungkin disebab- penambahan zat ini pada kultur sel
yang disebabkan oleh kelainan meta- kan oleh efek metabolik atau efek edema neuron melindungi kematian sel-sel
bolik seperti uremi. Selain itu, bila pe- yang menekan fungsi batang otak. tersebut sekalipun tidak mengandung
meriksaan radiolōgik tidak menunjuk- Peranannya dalam menentukan NGF. Selain itu bct-2 dapat melindungi
kan kelainan, EEG yang memperlihat- prognosis juga belum jelas; ada peneliti sel dari kematian akibat influks kalsium,
kan perlambatan fokal dapat memper- yang menghubungkan hilangnya ge- suatu proses yang diduga memegang
kuat diagnosis klinis; sensitivitas pe- lombang alfa atau penurunan amplitudo peranan penting dalam kasus-kasus
meriksaan ini dapat mencapai 76%. dengan buruknya prognosis; tetapi hal stroke.
EEG juga dapat menilai tingkat ke- ini masih harus dipastikan, mungkin Gen-gen tersebut masih terus dise-
sadaran pasien, terutama bila dicurigai melalui quantitativeEEG. Agaknya EEG lidiki perangainya, dan pengaruhnya
menderita locked in syndrome; keadaan dan quantitative EEG dapat berguna terhadap kelangsungan hidup neuron,
lumpuhnya seluruh anggota gerak se- terutama untuk diagnosis TIA atau stroke karena peranannya dapat menentukan
lain dari gerakan mata. Pada kasus-kasus ringan, membedakan disfungsi kortikal dalam mencegah proses neurodegene-
yang menjalani pembedahan seperti yang lokal atau multifokal dan untuk rasi dan proses kematian sel pada stroke.
endarterektomi karotis, EEG dapat me- pemantauan intraoperasi.
mantau fungsi korteks selama operasi
karena secara sensitif dapat mencatat Stroke 1993; 24(4): 609–12 Science 1993; 259: 762–3
Brw Hk
adanya perubahan aktivitas neuron bila
Ruang
Penyegar dan Penambah
Ilmu Kedokteran
Dapatkah saudara menjawab
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?
1. Propinsi yang melaporkan kasus DBD/DHF terbanyak : e) 250.000/ul
a) DKI Jakarta 6. Selain oleh Aedes aegypti, virus dengue juga dapat ditular-
b) Jawa Barat kan oleh :
c) Jawa Tengah a) Aedes albopictus
d) DI Yogyakarta b) Mansonia uniformis
e) Jawa Timur c) Culex pipiens fatigans
2. Propinsi terakhir yang melaporkan kasus DBD/DHF di d) Anopheles farauti
daerahnya: e) Semua salah
a) Maluku 7. Kematian kasus DBD/DHF disebabkan terutama oleh :
b) Kalimantan Tengah a) Shock
c) Nusa Tenggara Timur b) Kejang
d) Timor Timur c) Bronkopneumoni
e) Irian Jaya d) Dehidrasi
3. Faktor yang mempermudah penyebaran DBD/DHF adalah e) Ensefalitis
sebagai berikut, kecuali : 8. Partisipasi masyarakat dalam pemberantasan DBD terutama
a) Belum adanya vaksin yang efektif dalam hal :
b) Penyebaran melalui vektor nyamuk a) Pelaporan kasus
c) Banyaknya serotipe virus b) Pengetahuan mengatasi gejala shock
d) Mobilitas penduduk c) Penyemprotan rumah-rumah
e) Terutama mengenai balita d) Pembasmian sarang pembiakan nyamuk
4. Kasus DBD/DHF yang dilaporkan, terutama mengenai e) Perbaikan tingkat gizi
kelompok usia : 9. Filaria masuk ke tubuh manusia melalui :
a) Kurang dari 1 tahun a) Saluran pernapasan
b) 1 – 4 tahun b) Saluran pencernaan
c) 5 – 14 tahun c) Kulit
d) Remaja d) Darah
e) Dewasa e) Semua mungkin
5. Trombositopeni pada kasus DBD/DHF ditetapkan bila ka- 10. Calabar swelling merupakan istilah lain dari :
dar trombosit kurang dari : a) Malaria
a) 50.000/ul b) Filariasis
b) 100.000/ul c) Dengue
c) 150.000/ul d) Schistosomiasis
d) 200.000/ul e) Loaiasis

Anda mungkin juga menyukai