Anda di halaman 1dari 6

Notulensi Diskusi Bulanan PILAR IIS Understanding Violence : Logics and Manifestation oleh Luqman-nul Hakim, MA

Hari Pukul Ruang : Kamis, 23 Februari 2012 : 14.00 15.30 : BG. 104 Fisipol UGM

Peserta : 13 orang

MATERI DISKUSI

Kekerasan dan Demokrasi Dalam lingkup demokrasi, logika mengenai kekerasan pada dasarnya dapat dikaitkan dengan persoalan umum mengenai penerimaan antarkelompok. Misalnya ketika organisasi masyarakat layaknya FPI dianggap melanggar nilai-nilai demokrasi karena memakai kekerasan dalam menyuarakan kepentingannya, seharusnya orang-orang moderat justru menanggapi mereka juga dengan cara yang demokratis, bukan dengan paksaan dan mengancam keberadaan ormas tersebut yang pada akhirnya juga mengarah pada tindak kekerasan. Persoalan kedua adalah dalam mengartikan kekerasan, semua orang digolongkan sebagai pelaku kekerasan atau teroris sampai ia terbukti aman. Hal ini dicontohkan dalam sistem keamanan secara umum, misalnya di bandar udara yang menganggap semua orang teroris, sampai mereka terbukti secara teknologi (metal detector) bahwa mereka tidak membawa barang-barang yang membahayakan. Hal ketiga yaitu mengenai esensialisme kultural yang berlaku dalam masyarakat akan mendorong orang-orang semakin mengedepankan stereotip dalam mengidentifikasi kekerasan. Misalnya label identitas melalui nama dan cara berpakaian yang dikaitkan dengan simbol terorisme atau kekerasan.

Filosofi Kekerasan

Kekerasan

tidak

semata-mata

diartikan

sebagai

tindakan

seseorang

yang

menimbulkan korban dan kerusakan, karena kekerasan hanya mungkin dijelaskan dalam sebuah lingkup etik tertentu. Artinya, kekerasan dianggap baik atau buruk akan menyesuaikan dengan nilai-nilai etik yang berlaku. Terdapat beberapa perspektif kekerasan yang dikaitkan dalam nilai moral atau etik; 1. Kelompok ontologis : Merupakan kelompok yang menganggap sumber etika yang paling utama adalah humanisme universal. Mereka menempatkan kekerasan sebagai kejahatan yang tidak dapat ditoleransi. Kubu ini pada akhirnya mempengaruhi adanya totalitarianisme dalam politik global. Secara positif, pandangan ini dapat melindungi kaum marjinal yang tidak memiliki kekuatan dan afirmasi untuk tidak diperlakukan secara semena-mena melalui cara kekerasan oleh para penguasa. Namun dari segi negatif, perspektif ini dianggap memaksakan penyeragaman nilai etik yang dalam kenyataannya beragam serta diartikan secara berbeda pula pada sistem masyarakat. 2. Kelompok deontologis : Menurut penganut paham ini, justifikasi etika yang terbentuk dalam kultur spesifik akan mempengaruhi bagaimana kekerasan akan diartikan. Kubu ini pada akhirnya mempengaruhi kemunculan relativisme moral. Poin positif dari perspektif deontologis adalah dapat menggolongkan secara lebih spesifik pengertian kekerasan dalam berbagai aspek. Hal negatifnya, pandangan ini dapat menjadi sumber pendefinisian identitas melalui moral mana yang paling sempurna dalam kontestasi politik dan kehidupan sosial.

Manifestasi Kekerasan Dalam prakteknya, terdapat dua cara untuk mendefinisikan sumber kekerasan dan bagaimana kekerasan itu dilakukan; 1. Rezim moral Just War Theory oleh Michael Walzer : Mereka menolak moral universal karena kekerasan dan perang dianggap legal untuk mencapai sebuah tujuan atau kepentingan nasional. Namun mereka menganggap terorisme sebagai hal yang ilegal karena mengganggu stabilitas negara. Perspektif ini mengartikan kekerasan hanya sebagai efek samping dari berbagai ketidaksesuaian, bukan merupakan masalah utama. Terorisme justru dianggap sebagai sumber ancaman yang seharusnya dihancurkan. Just War Theory inilah yang meruapakan cikal bakal dari adaanya kebijakan War on Terrorism. Dalam pelaksanaannya, terdapat bukti kegagalan Just

War Theory, misalnya pada insiden serangan Hamas yang melancarkan roket ke wilayah Israel, mereka menganggap hal tersebut sebagai tindakan Holy War yang diidentifikasi sebagai aksi teror karena adanya semangat militan, mengancam stabilitas dan pelakunya bukan negara. Sedangkan ketika Israel melancarkan tindakan pre-emptive strike tidak digolongkan sebagai terror act karena subjeknya negara. Persepsi ini dianggap gagal dalam mengartikan kekerasan secara adil. 2. Rezim moral Holy War : Merupakan moral etik yang mayoritas dianut oleh para fundamentalis agama atau kelompok tertentu. Justifikasinya adalah apa yang mereka lakukan merupakan mandat dari Tuhan, maka dari itu kekerasan adalah hal yang legal. Mereka biasanya menolak berbagai upaya negosiasi untuk menghentikan tujuan mereka. Dalam bukunya, Zizek mengeluarkan sebuah lelucon bahwa sebenarnya para penganut Holy War memang menginginkan adanya penyimpangan dalam dunia ini, agar mereka mempunyai justifikasi atas nama Tuhan untuk melakukan kekerasan kepada mereka yang dianggap tidak sesuai ajaran agama tertentu. Jika segala sesuatunya sudah teratur, mereka tidak punya alasan untuk menunjukkan eksistensinya sebagai pembela Tuhan.1 Jika dilihat, kedua pandangan tersebut bukan hanya gagal menghapus kekerasan, tapi juga mereka hanya bisa eksis jika kekerasan tetap ada. Walaupun terlihat berseberangan, keduanya justru mempunyai keterkaitan yang erat. Analoginya, Just War Theory merupakan bentuk sekuler dari Holy War, sedangkan Holy War dianggap sebagai bentuk puritan dari Just War Theory. Mereka yang mengikuti perspektif Just War Theory dan Holy War menganggap orang yang berada di luar identitasnya sebagai ancaman. Dalam bukunya, Butler menyebut hal ini sebagai infinite paranoia atau sebagai musuh dalam diri sendiri.2 Karena mereka menganggap pihak yang membawa kehancuran adalah pihak di luar identitas mereka, maka dari itu harus secepatnya ditumpaskan. Setelah tahap infinitive paranoia, mereka akan melakukan dehumanisasi karena hanya menganggap kelompok mereka yang paling benar. Setelah itu, akan muncul tahapan derealisasi yang menganggap kelompok lain sebagai mahluk yang tidak nyata, dan pada akhirnya mencapai tahap eksekusi kekerasan melalui pembunuhan atau tindakan lainnya yang menurut mereka dibenarkan.

1 2

Slavoj iek, Violence: Six Sideways Reflections, London : Profile Books, 2009 Judith Butler, Precarious Life: The Powers of Mourning and Violence, New York : Verso, 2004

Mengenai permasalahan bagaimana kekerasan itu dilakukan dalam sebuah wilayah tertentu, hal ini juga akan mempengaruhi bagaimana pola pikir manusia mengenai pengertian kekerasan. Contoh kasus perdebatan mengenai cara mengartikan kekerasan, misalnya pada satu sisi kita melihat warga Amerika Serikat mengartikan kekerasan. Dalam kehidupan yang demokratis, mereka akan cenderung mencari objek tertentu untuk dikatakan sebagai perilaku kekerasan berdasarkan penggolongan tindakan yang dianggap berlawanan dengan nilai-nilai arahan demokrasi atau berkaitan dengan HAM. Atas dasar itulah mereka seringkali menunjuk pihak di luar AS sebagai pelaku kekerasan, berdasarkan label negara demokratis yang mereka miliki sebagai nilai etis yang lebih superior. Lain halnya dengan warga Afghanistan atau Irak yang hidup dalam keadaan invasi oleh militer Amerika Serikat. Istilahnya, mereka tidak perlu lagi membeli buku untuk mencari tahu pengertian kekerasan. Karena mereka telah melihat dan merasakan sendiri kekerasan yang dilakukan oleh tentara AS di wilayah kediaman mereka. Maka secara otomatis mereka mengartikan tentara AS sebagai pelaku kekerasan dan dirinya sebagai pihak yang menjadi korban. Contoh lain mengenai dua sisi pengertian kekerasan, misalnya seperti kasus sekelompok Muslim yang melakukan pemerkosaan terhadap seorang gadis di Australia. Dari sudut pandang korban dan juga mayoritas warga Australia lainnya, mereka akan menganggap pelaku sebagai pihak yang harus dipersalahkan. Bisa jadi persepsi ini semakin diperkuat dengan stereotip Islamophobia yang saat itu sedang mencuat. Namun, dari sudut pandang lain, misalnya seorang ulama radikal terkemuka di Australia dalam menanggapi kasus itu justru mengatakan melalui ilustrasi Jika ada seonggok daging yang terbuka di atas meja dan ada seekor kucing memakannya, siapa yang seharusnya disalahkan? Daging yang dibiarkan terbuka atau kucing tersebut?. Maka kekerasan seharusnya dikaitkan dengan proses politik dan situasi kejadian tertentu, tidak hanya diartikan secara gamblang tanpa melihat latar belakang yang terjadi.

Tawaran Solusi Tantangan terbesar dari cara kita menghadapi kekerasan adalah bagaimana kita dapat memahami dan mencegah kekerasan melalui etika-koeksistensial. Dalam tataran akademis, para peneliti seperti Zizek dan Butler menawarkan post-fondasionalis yang dilibatkan dalam proses politik. Misalnya organisasi masyarakat yang selama ini identik dengan kekerasan seharusnya bukan diadili melalui proses hukum, melainkan dilibatkan melalui wadah politik. Hal ini dikarenakan tuntutan yang mereka ajukan merupakan sebuah alternatif pilihan

bagi masyarakat, maka biarkan masyarakat menentukan melalui proses demokrasi apakah solusi alternatif tersebut diterima oleh masyarakat. Pelibatan masyarakat dan ormas ini perlu, karena selain alasan transparansi, merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah yang demokratis. Jika tidak, maka yang akan terus terjadi adalah pembiaran yang mengarah pada konflik horizontal jangka panjang.

DISKUSI 1. Dipa Raditya (S1 HI UGM angkatan 2008) : Bagaimana kaitan kekerasan dengan Just War Theory dalam penerapan global? (telah dijawab melalui penjabaran teori di sesi berikutnya) 2. Fidhzariyan Kusuma Utama (S1 HI UGM angkatan 2010) : Bagaimana contoh konkret perebutan rezim berdasarkan keunggulan moral dalam kancah politik Indonesia? Jawab : Kita dapat melihat proses mengunggulkan diri yang berdampak pada tindakan memperebutkan rezim itu misalnya melalui adanya stereotip secara luas bahwa mayoritas pejabat publik di negara ini adalah keturunan Jawa, karena dianggap lebih mempunyai kapabilitas, khususnya pada Orde Baru. Saat itu jika ada dua kandidat jabatan tertentu, maka etnisitas Jawa menjadi salah satu pertimbangan, setidaknya hal itu yang dibenarkan. Namun sebenarnya yang terjadi adalah proses nepotisme yang membuat etnis Jawa mendominasi jabatan. Selain itu, perebutan lembaga dalam mengadili sebuah kasus juga terlihat menggunakan unsur keunggulan lembaga sebagai pembenaran. 3. Alma Costa (S2 HI UGM) : Apakah antara identitas dan kekerasan harus saling dikaitkan? Jawab : Keduanya memang tidak dapat dipisahkan ketika kita berbicara mengenai kekerasan dalam kapasitas perspektif deontologis, karena pengertian kekerasan diartikan berbeda-beda sesuai dengan nilai etik yang berlaku di wilayah dan identitas budaya tertentu. Namun hal tersebut menjadi tidak relevan ketika pembahsannya meluas menjadi stereotip yang digeneralisasikan dalam label identitas tertentu sebagai penyebab kekerasan, padahal nilai etis yang dipercaya berbeda-beda. 4. Hasto Siswanto (S1 HI UGM angkatan 2008) : Jika sebelumnya dikatakan bahwa konflik dan kekerasan merupakan hasil dari proses politik, maka mengapa berbagai

bentuk kekerasan harus diselesaikan melalui pelibatan politik juga, bukan melalui hukum, sebagai bentuk penyerahan kedaulatan identitas kepada lembaga yang lebih besar?. Jawab : Memang benar, bahwa kekerasan selalu berkaitan dengan politik, karena setiap tindakan kekerasan pasti punya tujuan dan kepentingan tertentu yang akan dicapai. Kita dapat menjawab pertanyaan penyerahan kedaulatan identitas kepada hukum tersebut melalui contoh kasus Ahmadiyah. Dalam kasus tersebut, adanya Surat Keputusan Bersama tiga menteri misalnya melalui pilihan mengucap kembali syahadat atau keluar dari afiliasi Islam, hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah justru melakukan kekerasan dengan pemaksaan masalah identitas kepada pengikut Ahmadiyah. Hukum yang ditegakkan oleh lembaga justru menimbulkan legitimasi kekerasan dan hal ini semakin memperkeruh proses dan menambah bentuk kekerasan kepada Ahmadiyah baik secara langsung maupun tidak. Jika masalah ini coba dibicarakan secara terbuka melalui proses politik, maka akan tercapai konsesi yang diinginkan oleh berbagai pihak.

Anda mungkin juga menyukai