Anda di halaman 1dari 3

Bisnis Indonesia, Rabu, 18 Juni 2008 Dalam rapat umum pemegang saham (RUPS) sering kita temukan kuorum

tidak tercapai karena tidak hadirnya sebagian pemegang saham meskipun para pemegang saham telah dipanggil untuk menghadiri RUPS secara sah. Ketidakhadiran pemegang saham yang bersangkutan dapat disebabkan oleh ketidaksepakatan terhadap agenda RUPS. Dalam hal terjadi demikian, direksi atau dewan komisaris dapat melakukan pemanggilan RUPS kedua. Selanjutnya apabila kuorum RUPS kedua tetap tidak tercapai, menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), perseroan dapat memohon kepada ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan perseroan atas permohonan perseroan agar ditetapkan kuorum untuk RUPS ketiga. UU PT mengatur hal ini untuk menghindari kebuntuan pengambilan keputusan yang dapat mengakibatkan terhambatnya kegiatan perseroan. Jika kita telaah, gagalnya RUPS pertama dan kedua, dapat diasumsikan bahwa pengadilan negeri akan menetapkan suatu kuorum RUPS ketiga yang lebih rendah dibandingkan dengan kuorum kedua RUPS sebelumnya. Penurunan jumlah kuorum inilah yang sangat berpotensi menjadi sengketa. Permasalahannya terjadi pada saat pemegang saham lain yang tidak datang dalam RUPS ketiga mengatakan bahwa mereka telah dirugikan dengan keputusan RUPS yang diambil tanpa adanya kehadiran mereka. Dengan penetapan penurunan kuorum oleh pengadilan ini, apakah keputusan yang diambil dalam RUPS ketiga kemudian sudah dapat mengakomodasi kepentingan semua pemegang saham atau hanya segelintir pemegang saham? Timbul pertanyaan berikutnya, apabila ternyata penetapan pengadilan negeri tersebut merugikan pemegang saham lain, upaya hukum apa yang bisa ditempuh oleh pemegang saham tersebut? Suatu permohonan penetapan pengadilan menurut hukum perdata dikategorikan sebagai suatu gugatan voluntair. Hukum perdata Indonesia sendiri mengenal dua istilah yaitu gugatan voluntair dan gugatan contentiosa. Secara garis besar, gugatan contentiosa merupakan gugatan perdata biasa yang mengandung sengketa, dan dalam memutuskan gugatan dimaksud hakim akan mengeluarkan suatu putusan pengadilan. Adapun gugatan voluntair atau sering disebut sebagai permohonan adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan oleh pemohon atau kuasanya dan atas permohonan ini hakim akan mengeluarkan suatu penetapan. Suatu permohonan memiliki ciri-ciri antara lain permohonan yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata; pada prinsipnya tanpa sengketa dengan pihak lain dan tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan, tetapi bersifat ex-parte (satu pihak). Salah satu hal mendasar yang membedakan kedua gugatan tersebut adalah mengenai keterlibatan atau kepentingan pihak ketiga. Seperti telah diuraikan di atas, salah satu ciri dasar pemeriksaan permohonan adalah adanya prinsip exparte, yaitu pemeriksaan hanya mendengar keterangan sepihak, dengan memandang bahwa esensi dari gugatan tersebut dilakukan untuk kepentingan sepihak semata.

Namun, jika kita melihat lebih dalam lagi, gugatan voluntair tersebut dalam masalah perseroan biasanya tidak hanya melibatkan satu pihak saja, tetapi juga melibatkan kepentingan pemegang saham lain. Berkaitan dengan hal tersebut, timbul pertanyaan apakah pengadilan hanya berkewajiban mendengarkan satu pihak, yaitu pemohon gugatan voluntair, atau pihak yang berkepentingan juga patut didengar. Sebagai contoh dalam hal permohonan pembubaran perseroan. Permohonan untuk membubarkan suatu perseroan melibatkan banyak pihak berkepentingan misalnya pemegang saham lain, para karyawan, kreditor, dan lain-lain. Mengenai hal ini Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA) sudah mengakomodasinya dalam Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum Edisi 2007, yang menyebutkan bahwa dalam beberapa kasus, permohonan dari pihak yang berkepentingan tidak dapat diartikan bahwa suatu perkara gugatan voluntair hanya diperiksa secara ex-parte, karena di dalamnya terdapat kepentingan orang lain. Dengan demikian selayaknya perkara tersebut harus diselesaikan dengan cara contentiosa, yaitu pihakpihak yang berkepentingan harus ditarik sebagai termohon, sehingga asas audi et alteram partem terpenuhi. Yang menjadi permasalahan adalah siapa yang disebut sebagai pihak yang berkepentingan. Dalam perkara permohonan penetapan kuorum RUPS ketiga, yang dikatakan sebagai pihak lain yang berkepentingan adalah pemegang saham yang tidak hadir dalam RUPS. Hakim harus dapat melihat latar belakang tidak tercapainya kuorum RUPS pertama dan kedua. Apakah ada iktikad tidak baik dari si pemohon yang meminta penurunan kuorum RUPS ketiga dari pengadilan dengan tujuan dapat mengambil keputusan RUPS tanpa kehadiran pemegang saham tertentu. Hakim dapat mempertimbangkan alasan-alasan ini dengan cara mendengarkan keterangan dari pihak yang berkepentingan, yaitu pemegang saham lain yang tidak hadir dalam RUPS pertama dan kedua. Dalam melaksanakan pemeriksaan permohonan, hakim seharusnya melihat bahwa walaupun gugatan bersifat voluntair tetapi asas-asas peradilan harus ditegakkan, yaitu asas judicial independency dan asas fair trial. Kasasi Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, suatu penetapan pengadilan mengenai penurunan kuorum RUPS memiliki potensi sengketa. Namun, bagi pihak berkepentingan ada upaya hukum yang dapat ditempuh yaitu mengajukan kasasi kepada MA untuk dimintakan pembatalan atas penetapan tersebut sesuai dengan Pasal 30 UU No. 5/2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Jo. UU No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung Jo. Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum Edisi 2007 yang diterbitkan oleh MA. Upaya lain yang dapat dilakukan oleh pihak yang berkepentingan adalah mengajukan gugatan perdata baru ke pengadilan dengan menarik pemohon sebagai tergugat.

Dalam hal permohonan penetapan kuorum RUPS ketiga masih dalam proses pemeriksaan di pengadilan negeri, pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan secara tertulis atas pengajuan permohonan penetapan kuorum tersebut, dengan dasar bahwa sudah seharusnya hakim mendengarkan keterangan pihak ketiga yang berkepentingan dalam menetapkan kuorum RUPS berdasarkan asas fair trial.

Oleh Frans H. Winarta Advokat di Frans Winarta & Partners dan dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan

Anda mungkin juga menyukai