Anda di halaman 1dari 6

Teknik Membuat Jeans Lusuh (Destroyed Jeans)

Destroyed Jeans merupakan model yang tengah tren saat ini. Setelah denim dijahit menjadi celana, lalu disoak (porses pencucian denim dengan merendam dalam pemutih) dan di-stroy atau dirobek sehingga terlihat seperti usang. Untuk mendapatkan hasil tersebut dibutuhkan beberapa bahan dan peralatan, diantaranya : 1. Bahan & Peralatan :

Celana Jeans Air Panas Mesin Cuci Pemutih, secukupnya tergantung tingkat pemudaran warna yang diinginkan Gunting Parutan

2. Proses Pembuatan :

Buat tekstur kasar pada jeans. Gunakan parutan, kemudian parut pada tempat yang diinginkan, untuk menghasilkan luka atau efek yang nyata, pilihlah tempat seperti pada tekukan lutut atau nagian belakng jeans. Langkah ini dilakukan untuk menghasilkan serat kain yang kasar pada denim, hal ini juga dapat dilanjutkan hingga terlihat serat rajutan pada denim. Proses berikutnya adalah pemotongan lipatan pada ujung celana, gunakan gunting untuk membuat efek robek. Untuk menambahkan efek usang, selanjutnya celana jeans di-soak. Mauskan jeans kedalam mesin cuci, tambahkan air panas dan pemutih secukupnya. Hal ini bertujuan untuk memudarkan warna dan membuat efek guratan pada jeans. Rendam selama 20 menit. Angkat, kemudian jemur di baah matahari langsung. Jeans siap dikenakan.

Menakar Bisnis Tikar Lipat Wajak

Malang - Merencanakan dan menjalankan bisnis bagi sebagian banyak orang, menganggapnya terlalu ribet dan banyak pertimbangan penuh risiko. Namun lain hal dengan Djumakah salah satu perajin tikar lipat asal Wajak, Malang Jawa Timur, baginya menjalankan usaha sebagai perajin tikar ia anggap mengalir begitu saja seperti air. Djumakah yang memulai usaha pembuatan tikar lipat sejak 1990 ini mengaku tak muluk-muluk dalam menjalankan bisnis. Baginya asalkan ada kelebihan (margin) dan bisa mempekerjakan banyak orang, itu sudah cukup. Tak mengherankan gaya berbisnisnya begitu bersehaja dengan manajemen sederhana dengan bermodalkan keuletan dan kejujuran. Namun dengan itu lah yang membuat, usaha tikar lipat Djumakah bisa bertahan hingga 20 tahun lebih dengan merek 'Eagles' Inilah potret kecil karakter dari sekian ribuan industri kecil di Tanah Air. Umumnya memulai atau terjun ke bisnis dari keadaan atau dari kondisi yang tak ada pilihan lain, justru orang-orang seperti Djumakah lah yang terbentuk secara alami sebagai wirausahawan (entrepreneur) yang tangguh tahan banting. "Alasan saya dulu terjun menjadi pembuat tikar, dari pada nganggur, ya saya mencoba tikar," katanya kepada detikFinance pekan lalu. Kisah awal Djumakah masuk ke bisnis ini semua serba kebetulan, ia memulai dengan pembuatan tikar mendong dari rerumputan. Namun di 2005 ia melakukan diversifikasi produk dengan memberikan sentuhan baru dari produknya yaitu tikar karpet dari bahan benang dan tali rapia. Apa yang dilakukan Djumakah, sebagai bentuk inovasi bagi seorang pengusaha untuk bertahan dibisnisnya. Meski proses inovasi itu baru terjadi 15 tahun kemudian semenjak ia memulai usaha. Kini ia telah memproduksi dua jenis tikar yaitu tikar karpet dan tikar mendong. Meski tak sebesar industri kelas kakap, dengan produksi 60 tikar per harinya atau 1800 tikar per bulan, baginya itu sudah mampu memutar roda ekonomi di kampungnya.

"Sekarang produksi tikar saya kurang lebih 60 lembar (per hari), dengan karyawan (sub kontrak) ada 22 orang," jelasnya. Soal pemasaran, ia nampaknya belum berpikir untuk muluk-muluk. Produk-produknya kini masih sebatas ia pasarkan di Jawa Timur dan sebagian di Bali khusus untuk jenis tikar mendong. Di Jawa Timur permintaan tikarnya paling banyak berada di sekitar Malang, Tulungagung, Blitar dan wilayah lainnya. "Kalau tikar mendong lebih banyak dikirim ke Bali, untuk para turis tidur di pantai," katanya. Untuk urusan harga, Djumakah hanya membandrol Rp 46.000 per lembar tikar karpetnya, sementara tikar mendong ia hanya jual Rp 13.000 per lembar. Harga ini memang relatif sangat murah jika melihat modal yang harus ia keluarkan. Ia mengilustrasikan untuk memproduksi satu lembar tikar karpet membutuhkan kurang lebih 1 kg benang dan 1,7 kg tali rapia. Sementara harga benang per kilogramnya Rp 13.000-15.000, harga tali rapia Rp 8.500 per kg dan biaya produksi seperti ongkos kerja Rp 6.000, ongkos jahit Rp 1.000 dan ongkos gulung Rp 6.000. "Memang kalau bicara untung, tipis sekali, yang penting dapat, biar sedikit asal tetap mutar," katanya. Pola yang dikembangkan oleh Djumakah cukup mendorong ekonomi masyarakat disekitarnya. Dengan pola sub kontrak kepada para tetangganya ia menjadi penggerak ekonomi di lingkungannya. "Di sisi ada proses pengulungan, lalu setengah jadi dibawa ke rumah-rumah," katanya. Sebagai pengusaha yang sudah menggeluti bisnis tikar puluhan tahun, Djumakah mengaku sudah biasa dengan fluktuasi permintaan tikar. Misalnya pada awal tahun ini permintaan produk tikarnya, cukup turun drastis karena pola permintaan pasar yang umumnya adalah para petani dan musim liburan. "Sekarang permintaan sedang turun sekitar dua bulan sampai 50%," katanya. Ia menambahkan naik turun dalam bisnis suatu hal yang lazim yang penting adalah semangat. Sehingga tak mengherankan sampai saat ini ia bisa bertahan menggeluti usaha tikar. Kini perekonomian keluarganya jauh lebih baik dibandingkan ketika ia sebelumnya menjadi petani, rumah yang cukup mapan dan kendaraan angkut roda empat kini sudah dimilikinya. Dikatakannya apa yang ia lakukan saat ini bermodal kemandirian tanpa bantuan dari pemerintah. Soal persaingan antara sesama perajin di Wajak, ia tetap optimis bahwa hal itu bukan lah masalah, yang terpenting meningkatkan kualitas produk. "Sampai sekarang dari pemerintah nggak ada bantuan, dulu pernah ada bantuan Jasa Tirta (BUMN), uang Rp 3 juta angsuran 2 tahun tanpa bunga," katanya. Kerajinan Tikar Lipat Eagles Djumakah dan Kastin Jl. Raung 2B 15 Wajak, Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang Jawa Timur

Memulai usaha bilik

Mad Ali adalah seorang pembuat bilik yang handal, ia mewarisi keterampilan membuat bilik dari ayahnya. Dia adalah satu-satunya pembuat bilik bambu di kawasan Situdaun, Bogor. Satu bilik berukuran 2 X 2,5 meter iasanya diselesaikan dalam waktu sehari. Usaha pembuatan bilik ini sudah ditekuni sejak ia menikah. Sebelumnya ia bekerja sebagai pembuat keranjang untuk rumput di Parung setelah menamatkan sekolah dasar. Jadi ia sudah menggeluti pembuatan bilik selama 12 tahun. Mad Ali membuat bilik jika ada pesanan, namun ia bersyukur bahwa selalu ada pesanan datang karena namanya telah dikenal baik oleh masyarakat sekitar. Jika tidak ada pesanan, Mad Ali menitipkan barang ke toko material. Kadang-kadang pesanan datang dari luar kampungnya. Untuk pesanan seperti ini Mad Ali bisa membuatkan bilik dengan syarat, pemesan datang sendiri membawa pesanannya karena ia tidak memiliki kendaraan untuk mengangkut bilik buatannya. Selain membuat bilik, Mad Ali juga menggemukan kambing di depan rumahnya. Istrinya juga membantu mencari nafkah dengan membuka warung jajanan di rumahnya. Namun tiba-tiba Mad Ali sakit sehingga usaha biliknya tidak berjalan. Akhirnya kambingnya juga terjual untuk berobat.Pada saat istrinya hamil, satu tahun belakangan, istinya hamil dengan proses kehamilannya agak kompleks sehingga memakan banyak biaya sampai-sampai aset usaha warung habis untuk menutup biaya persalinan dan berobat anak istrinya.Dalam kondisi lemah, istrinya belum bisa meneruskan usaha warungnya sehingga Mad Ali ingin memulai kembali usaha biliknya namun ia tidak memiliki modal. Menurut Mad Ali, pemesan biasanya tidak memberikan uang muka sehingga ia harus membeli bahan baku sendiri. Bahkan kadang-kadang, bilik yang sudah diantarkannya tidak langsung dibayar, melainkan menunggu satu sampai dua minggu. Untuk mengatasi masalah ini, Mad Ali kemudian mengajukan permohonan pinjaman kepada BMT Tadbiirul Ummah Dramaga.Karena karakternya yang baik. BMT Tabdiirul Ummah memberikan modal kerja sebesar Rp. 500.000 yang digunakan untuk membeli bambu sebagai bahan baku bilik dan menyewa sepetak lahan sawah. Modal dari BMT membuat saya bisa berproduksi lagi,katanya. Setiap minggu ia membeli 10 buah bambu untuk dibuat bilik.Kini Mad Ali bisa memulai kembali membuat bilik sehingga memiliki penghasilan untuk menghidupi anak istrinya. Harga jual bilik per meternya Rp. 8.000. Dengan menjual 2 X 2,5 meter per hari, Mad Ali bisa mencukupi kebutuhan keluarganya. Kini ia berusaha untuk melunasi pinjamannya agar bisa mengajukan pinjaman untuk beternak kambing.!

NATA DE COCO
Latar belakang

Nata de coco sebenarnya adalah selulosa murni produk kegiatan mikroba Acetobacter xylinum. Produk ini dibuat dari air kelapa dan dikonsumsi sebagai makanan berserat yang menyehatkan. Di samping itu nata de coco dapat pula dipergunakan sebagai bahan baku industri. Produksi nata de coco banyak dipraktekkan di masyarakat sebagai usaha kecil dan menengah. Di tingkat industri kecil, nata de coco dikonsumsi sebagai bahan makanan tambahan dalam bentuk campuran minuman, coktail, puding, es mambo dll. Di tingkat industri menengah, nata de coco dipesan guna memenuhi permintaan industri sebagai bahan baku akustik dan sekat kedap suara. Masalah yang umum dihadapi pengusaha nata de coco adalah masalah benih. Benih yang biasa dipakai kualitasnya dapat menurun sehingga tingkat keberhasilan produksi rendah dan menghasilkan bau yang kurang sedap dan mengganggu lingkungan. Puslit Bioteknologi-LIPI telah memurnikan mikroba Acetobacter xylinum mengembangkan benih murni nata de coco dan melakukan pengujian yang intensif. Saat ini produksi benih nata de coco telah dapat dilakukan dalam skala 100 liter dan siap bermitra baik untuk mengembangkan benih nata de coco dalam skala besar maupun produksi nata de coconya sendiri. Bidang pemakaian

Sumber pangan tambahan berserat yang menyehatkan Bahan baku industri (akustik, peredam suara)

Kegunaan

Memanfaatkan limbah air kelapa Meningkatkan nilai tambah/nilai ekonomi limbah Penyediaan bahan baku industri akustik/peredam suara

Tingkat hasil R&D

Produksi nata de coco telah dikuasai Produksi benih nata de coco skala 100 liter telah dikuasai

Bentuk yang dialihkan

Pendayagunaan mikroba potensi dalam pemanfaatan limbah

Data ekonomi [1998]


Harga jual komersial nata de coco siap makan Rp. 3.000,-/kg Harga jual komersial bioselulosa mentah Rp. 2.500,-/kg Harga jual komersial benih nata de coco Rp. 5.000,-/liter

Sasaran mitra usaha


Industri makanan (dikonsumsi sebagai makanan sehat kaya serat) Perusahaan elektronik/bahan baku akustik Industri kertas dan tekstil

Anda mungkin juga menyukai