Anda di halaman 1dari 2

Ada Rossi di Televisi

DUA keharusan ini datang bersamaan. Yang satu adalah keharusan mengetik karena
tuntutan pekerjaan, dan satunya lagi adalah keharusan menonton karena kesukaan.
Dari dua keharusan ini siapakah yang harus didahulukan? Mestinya, saya
mendahulukan pekerjaan. Tetapi nyatanya tidak. Ternyata saya lebih mendahulukan
yang kurang penting katimbang yang penting untuk kepentingan diri saya sendiri.
Persoalannya ialah, kenapa ada soal penting yang tiba-tiba menjadi kurang penting
dan yang kurang penting tiba-tiba menjadi penting. Jawabannya ialah karena ada
Valentino Rossi sedang balapan di televisi.

Siapakah Rossi ini sehingga kehadirannya sanggup mengganggu jadwal kerja saya? Toh
jika ia menang balapan, saya tak kebagian hadiahnya. Jika ia juara saya juga tak
ikut menjadi berprestasi karenanya. Dia bukan teman, tetangga apalagi saudara.
Apapun yang dia kerjakan mestinya tak saya pedulikan karena bahkan mengenal saya
pun dia tidak. Tapi kenapa orang yang sama sekali asing ini sanggup menghentikan
kegiatan mengetik saya.

Padahal kalau Rossi tahu, betapa penting pekerjaan saya ini. Karena mengetiklah
saya bekerja dan menghidupi anak istri saya. Jika mutu hidup Rossi tergantung
balapannya, mutu hidup saya pun tergantung dari ketikan saya. Mestinya saya lebih
berkonsentrasi pada prestasi saya sendiri katimbang prestasi dia. Saya pikir,
betapa banyak dari kita ini lebih suka berkonsentrasi pada prestasi orang lain.
Orang lain yang balapan kita yang teriak-teriak di pinggir jalan. Orang lain yang
lomba nyanyi, kita yang menghabiskan pulsa untuk kirim SMS.

Sudah harus rugi waktu, rugi tenaga, rugi biaya pula. Sudah rugi demikian rupa,
jika orang lain itu kalah, kita masih harus ikut berduka. Jika dia menang, kita
ikut gembira seolah-olah ikut kebagian hadiahnya. Padahal tidak. Ia sama sekali
tidak mengerti kita, kenal pun tidak. Susah payah kita mendukungnya hingga ke
tampuk juara, sementara prestasi kita sendiri tetap seperti sedia kala. Sementara
orang lain menjadi juara, kita tetap di sini, cukup sebagai pemandu sorak saja.

Maka mestinya, ketika Valentino Rossi itu sedang balapan, saya juga harus terus
ngebut dengan pekerjaan saya sendiri. Ini soal hidup dan mati. Tetapi kenapa,
selalu ada orang-orang yang kita biarkan mengganggu laju prestasi kita seperti
ini. Saya pun tak kuasa mengelak dari dorongan ini. Dorongan untuk menghentikan
seluruh kegiatan diri sendiri, betapapun pentingnya, demi merayakan prestasi orang
lain, tak peduli ia adalah orang yang asing dalam hidup kita, bukan tetangga,
bukan saudara. Tetapi jika orang itu seperti Rossi, yang berani menikung dengan
kecepatan tinggi, yang start di belakang tapi finish di depan, yang sanggup
menyalip di tikungan, yang kalah di depan tetap selalu menang di belakang� tak
peduli apapun tugas saya saat itu, saya rela berhenti untuk menghormati kemampuan
ini.

Saya dengan gembira menghentkan semua urusan demi melihat Muhamamd Ali bertinju,
Mariah Carey dan Celine Dion menyanyi. Muhamamd Ali itu rela dipukuli si raksasa
George Foreman sepanjang pertandingan dan membalas cuma beberapa pukulan untuk
membuat si raksasa itu tumbang. Ketika Foreman bangun, bel pertandingan berdentang
sebagai akhir pertandingan. Ia kalah dan gelarnya melayang. ''Butuh waktu setahun
untuk kembali tidur nynyak,'' kata Foreman mengenang kekalahan yang menyakitkan
itu.

Saya menonton berulang-ulang rekaman pertandingan ini hingga hari ini. Dan Mariah
Carey, dengan suara empat oktafnya, dengan tenggorokan tanpa cela, jika ia sedang
menyanyi, kupu-kupu terbang pun rela berhenti. Malah siapapun engkau, jika
memiliki prestasi semempesona ini, akan saya rayakan setiap kali, dengan cara
menghentikan sejenak kesibukan ini dengan senang hati.
(Prie GS/)

Anda mungkin juga menyukai