Anda di halaman 1dari 2

Istriku Mengaku Kuper

Bisa jadi karena jenuh menjaga rumah, merawat anak dan mengurus suami, istri saya
terpaksa ngomel. ''Anak-anak dan bapaknya sama saja. Menjadi tukang perintah. Saya
adalah babu besar,'' katanya sambil bersungut-sungut. Tapi itulah kehebatan istri,
meskipun sambil ngedumel, tangannya terus bekerja. Menyingkirkan gelas kotor,
melap kaca, membereskan semua barang yang berseliweran hasil kenakalan anak-
anaknya.

Saya sebetulnya senang melihat istri ngomel seperti ini. Pekerjaannya pastilah
berat. Dan ngomel adalah obat yang sehat. Toh sambil marah-marah begitu,
pekerjaannya malah makin beres. Dengan ngedumel, tiga keuntungan diperoleh
sekaligus. Kemarahan batin disalurkan, fisik disehatkan, dan pekerjaan
dirampungkan. Tapi istri saya terlalu banyak diam. Ngomelpun hanya kalau terpaksa.
Ini menurut saya sebuah kerugian.

Padahal sudah sejak awal, saya adalah orang yang secara dini membayangkan betapa
berat pekerjaan seorang istri, khususnya lagi istri saya. Karena sebagai lelaki,
saya telah kepalang menganggap, bahwa dunia paling cocok bagi istri adalah rumah
dan seisinya. Artinya, itulah petisi yang harus ditandatangani sebelum akad
perkawinan tiba.

Sudah tentu anggapan ini bisa keliru dan malah bisa berbahaya bagi lain keluarga.
Maka anggapan ini cuma soal pilihan, tak ada kaitannya dengan benar dan salah.
Yang menjadi pokok persoalannya bagi kami ialah bagaimana agar istri saya nanti
kuat menahan beban berat ini. Karena bentuk pilihan lain, misalnya dengan
mengizinkan istri bekerja, sudah tidak saya punya.

Dan kecurigaan yang saya bayangkan itu datang juga. Istri mulai merasa cuma objek
yang dikurungi, dianiaya dan diisolasi dari dunia luar. Malah, pernah sekali ia
mengancam akan benar-benar menjadi istri kuper, menjadi istri yang kurang gaul.
''Biar engkau malu. Karena hanya dengan cara begini, aku bisa membalas dendamku
kepadamu,'' katanya masih dengan muka ditekuk. Omelan kali ini ia sampaikan sambil
memijitku.

Sekali lagi, omelan ini menyenangkan saya. Karena itu sehat untuk istri,
menggembirakan untuk saya. Gembira dalam arti, betapa senang melihat istri
bersungut-sungut, betapa saya menikmati kesalahpahamannya. Salah paham dalam arti:
ia menyangka bahwa menjadi kuper itu musibah. Padahal bagi saya, ada jenis kuper
yang asyik. Karena faktanya, ada manusia menjadi rusak karena pergaulannya, dan
ada yang selamat karena kekuperannya. Menjadi modern dan menjadi kampungan,
ternyata tak ada hubungannya dengan mutu kelakuan manusia.

Istri saya juga menyangka, betapa akan semakin kuat keadaan ekonomi keluarga jika
ia boleh membantu saya bekerja. Sungguh ini jelas sebuah kesalahpahaman yang lain
lagi. Kenapa ia meminta izin kerja padahal ia sudah sangat bekerja? Dibanding gaji
kantor yang rata-rata rendah untuk pegawai pemula, bayaran istri sungguh sudah
sangat tinggi. Bayaran itu berupa anak-anak yang selalu bisa berdekatan dengan
ibunya, selalu mendapat guyuran perhatian kapan saja yang dia minta. Bisa rewel
dan bermanja-manja kapan saja. Ayo, tanyakan kepada anak-anak yang kesepian, yang
bapak-ibunya sibuk bekerja, yang ketika sangat ingin bercerita, orang tunya tak
ada. Tanyakan, betapa berat derita mereka. Lalu, berapa gaji yang harus dipatok
pada seorang karyawan yang bisa menghasilkan kerja segemilang ini?

Lalu soal rezeki itu, wah dia salah paham lagi. Ia menyangka, bahwa hanya karena
saya yang bekerja di luaran, penghasilan itu semata-mata penghasilan saya. Ini
keliru. Karena sejak semula saya telah ragu, apakah jika saya mendapatkan uang,
uang ini bener-benar rezeki saya atau rezeki istri saya yang dititipkan ke saya.
Jangan-jangan bagian saya kecil saja dan bagian dialah yang selama ini menopang
kebutuhan keluarga. Jangan-jangan sebetulnya saya ini cuma kuli dan dia
juragannya. Maka melihat seorang juragan sedang mengomeli kulinya ini, sambil
membayangkan keadaan yang sebaliknya, sungguh membuat saya suka tertawa dalam
hati.

(PrieGS/)

Anda mungkin juga menyukai