Anda di halaman 1dari 2

Kakek dan Cucu yang Menangis Bersama

Penertiban sebuah pasar menyisakan sebuah foto: seorang kakek memeluk cucu dan
menangis bersama saat melihat tempat dagangan mereka digusur paksa. Kita tidak
mengenal siapa cucu itu, tapi kita mengenal perasaannya. Ia pasti cucu yang tengah
berduka demi melihat kakeknya menderita. Cucu yang demikian pasti cucu yang dekat
dengan kakeknya. Kedekatan itu pasti bukti kalau mereka saling cinta.

Sejumlah ''kepastian'' berikutnya bisa dibangun lebih jauh. Karena kakek itu hanya
pedagang buah kecil, cintanya pada sang cucu pasti juga diekspresikan dengan cara-
cara yang kecil. Jika membawa oleh-oleh pun pasti dari kelas yang kecil saja.
Karena semua sumber kasih sayang si kakek juga cuma berasal dari dagangan buahnya
yang kecil. Kini sumber yang kecil itu telah porak poranda.

Cucu itu, perempuan, berkulit hitam, keriting dan sekitar 5 tahun usianya. Ia
adalah anak-anak pada umumnya, yang selalu bisa mengingatkan setiap orang tua pada
anaknya, setiap kakek-nenek pada cucunya. Anak-anak adalah sebuah melankoli, yang
bisa membuat kita menangis tanpa harus menunggu mereka menjadi korban tragedi.

Ada jenis orang tua yang tak henti mengutuk diri sendiri setelah usai menghukum
anaknya. Gara-gara rengekan panjang si anak, orang tua ini kalap. Dia ambil
handuk, disabetnya punggung si anak bertubi-tubi. Tidak cukup menyakiti, tapi
cukup membuat si anak menggigil ngeri. Bukan oleh kesakitan, tapi oleh ketakutan.
Takut demi melihat orangtuanya bisa berubah garang secara tiba-tiba, sebuah
kelakuan yang belum pernah dia lihat sebelumnya.

Si anak ini pun mengkerut dan hampir pingsan oleh luka di hatinya. Si orang tua
sendiri menjadi kaget ketika kemarahannya reda. Sejak itu, ia selalu menangis
setiap terbayang wajah anaknya yang kaget dan ngeri itu. Setiap bepergian ia
selalu kepingin buru-buru pulang hanya untuk segera memeluknya.

Orang tua yang lain lagi malah dilanda kecengengan yang lebih tidak bermutu. Hanya
karena si anak telah bisa menari di pentas Agustusan, orang tua ini bisa
sesenggukan di belakang panggung. Sementara penonton tergelak ketika melihat si
anak melakukan kesalahan, sang orang tua malah makin keras tangisnya. Geli, haru,
takjub dan iba mengharu-biru hatinya.

Jenis orang tua yang lain lagi malah punya cara menangis yang lebih sederhana:
berfantasi. Melihat anak-anak bersekolah dengan membonceng sepeda onthel bapaknya,
tergencet lalu lintas yang ganas, diguyur debu, disembur asap knalpot dan
dipanggang terik, menangislah dia. Melihat anak-anaknya lelap tidur di malam sepi,
menangislah dia. Membayangkan ia gagal memberi pendidikan terbaik, membayangkan
anaknya menjadi korban keganasan jalan raya, menderita karena hidup di zaman yang
korup dan rusak, berurailah airmatanya.

Sungguh, untuk terharu pada anak-aak, manusia tak perlu menunggu mereka menjadi
korban musibah. Padahal bangsa ini tak henti-hentinya menyiapkan musibahnya. Kita
bisa membangun supermaket tapi tak becus menata lahan parkirnya dan ruwetlah
akibatnya. Pemerintah bisa menetapkan seorang tersangka tapi ada saja ''anggota''
pemerintah yang selalu sibuk membela, menjenguk jika ia dipenjara, membezuk jika
ia sakit. ''Silaturahmi sebagai sesama umat beragama.'' katanya. Maka kacaulah
rakyat dibuatnya.

Padahal jika suatu bangsa telah memiliki dua hal: pemimpin yang egois dan
pemerintah yang terpecah-belah, maka lengkaplah bakat bangsa itu sebagai biang
musibah.

Jadi, masih akan banyak lagi anak-anak yang bersiap menjadi korban musibah.
Padahal melihat mereka, kita akan selalu terkenang anak-anak kita sendiri.

(PrieGS/)

Anda mungkin juga menyukai