Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI CARA PEMBERIAN OBAT

Asisten: Nur Huda Satria Kusuma G1A007072

Kelompok IV: 1. Lucky Mariam 2. Muarif 3. Rostikawaty Azizah 4. Windy Nofiatri 5. Willy Gustafianto 6. Karina Adzani Herma 7. Zuldi Erdiansyah 8. Rahma Dewi A 9. Fawzia Merdhiana 10. Nurul Arsy 11. Gesa Gestana G1A009005 G1A009013 G1A009022 G1A009035 G1A009058 G1A009059 G1A009071 G1A009081 G1A009098 G1A009120 G1A009124

BLOK CHEM II JURUSAN KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2010

LEMBAR PENGESAHAN

Oleh : Kelompok IV 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Lucky Mariam Muarif Rostikawaty Azizah Windy Nofiatri Willy Gustafianto Karina Adzani Herma Zuldi Erdiansyah Rahma Dewi A Fawzia Merdhiana G1A009005 G1A009013 G1A009022 G1A009035 G1A009058 G1A009059 G1A009071 G1A009081 G1A009098 G1A009120 G1A009124

10. Nurul Arsy 11. Gesa Gestana

disusun untuk memenuhi persyaratan tugas praktikum Farmakologi Blok CHEM II Jurusan Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

diterima dan disahkan Purwokerto, Mei 2010 Asisten,

Nur Huda Satria Kusuma G1A007072

BAB I PENDAHULUAN

I. Judul Percobaan Cara Pemberian Obat II. Hari dan Tanggal Percobaan Rabu, 19 Mei 2010 III. Tujuan Percobaan A. Umum Setelah menyelesaikan praktikum farmakologi dan terapeutik ini mahasiswa akan dapat menerapkan prinsip-prinsip farmakologi berbagai macam obat dan memiliki keterampilan dalam memberi dan

mengaplikasikan obat secara rasional untuk kepentingan klinik. B. Khusus Setelah menyelesaikan percobaan ini mahasiswa akan dapat : 1. Memberikan obat secara enteral (oral, selang karet enema) maupun parenteral (injeksi intramuskular, intravena, subkutan, intraperitoneal). 2. Menjelaskan mengapa cara pemberian obat dapat mempengaruhi mula kerja dan lama kerja dari suatu obat. 3. Menjelaskan efek hipnotik dan anastetik suatu obat. IV. Binatang Percobaan Tikus Putih V. Definisi 1. 2. Hipnotik Anastetik : efek yang menginduksi tidur. : status hilangnya kesadaran bersamaan dengan hilangnya respon terhadap nyeri. 3. Barbiturat : obat yang secara ekstensif sebagai hipnotik dan sedatif (Wiria, 1995) 4. Hipnotik sedatif : golongan obat depresan susunan saraf pusat (SSP) yang relatif tidak selektif, mulai dari yang ringan hingga yang berat (Wiria, 1995).

5.

Obat

: zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup (Suyatna dkk, 1995).

6.

Bioavailabilitas

: jumlah obat, dalam persen terhadap dosis, yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk

utuh/aktif (Suyatna dkk, 1995) VI. Dasar Teori Fenobarbital termasuk golongan barbiturat. Barbiturat ini mempunyai efek hipnotik sedative dan golongan barbiturat efektif sebagai obat antikonvulsi, (Syarif, et all, 2008). Fenobarbital asam 5,5-fenil-etil barbiturate merupakan senyawa organic pertama yang digunakan dalam pengobatan antikonvulsi. Kerjanya membatasi penjalaran aktivitas dan bangkitan dan menaikkan ambang rangsang. Banyak digunakan karena cukup efektif, murah, dosis efektifnya pun relative rendah. Mempunyai efek samping yaitu efek sedative. Tapi dapat diatasi dengan pemeberian stimulant sentral tanpa mengurangi efek antikonvulsinya. Fenobarbital menjadi obat pilihan utama untuk terapi

kejang dan kejang pada anak. Jika memakai fenobarbital harus sesuai dengan dosis dan penghentian pemeberian fenobarbital pun harus secara bertahap dengan maksud mencegah kemungkinan meningkatnya frekuensi bangkitan kembali, atau malahan bangkitan status epileptikus.(Syarif, et all, 2008). Fenobarbital merupakan salah satu obat yang mempunyai efek sedatif, hipnotik, psikosis akut, agitasi dan anastetik serta mendepresi aktivitas susunan saraf pusat pada formatio retikularis. Barbiturat dapat juga memfasilitasi serta memperpanjang efek inhibitor GABA dan glycine dengan berikatan pada suatu bagian reseptor GABA, sehingga dapat memperpanjang durasi pembukaan GABA-mediated chlorida ion channel yang akhirnya menimbulkan efek depresi saraf. Karena banyak efek maka yang sering digunakan adalah turunan dari fenobarbital seperti metabarbirat atau mefobarbital. Terdapat interaksi fenobarbital dengan obat lain, umumnya terjadi karena fenobarbital meningkatkan aktivitas enzim hati.

Pemberian obat terhadap penderita dapat dilakukan melalui beberapa jalur sesuai dengan keadaan penderita : 1. Secara enteral Pemberian obat melalui saluran pencernaan baik secara oral langsung maupun dengan bantuan selang nasogastrik. Contohnya : Oral (diminum), dengan bantuan selang karet, sublingual (ditaruh di bawah lidah), buccal (ditaruh di antara gusi dan mukosa pipi) atau perektal (dimasukkan ke dalam rektum melalui dubur). 2. Secara parenteral Pemberian obat selain melalui saluran pencernaan seperti intramuskuler, intravena, subkutan, intradermal, dan transperitoneal untuk menghindari problem pada saluran pencernaan. Contohnya: melalui saluran nafas (inhalasi), dimasukkan vagina (pervaginam) atau disuntikkan secara intravena (iv) yaitu disuntikkan langsung ke dalam pembuluh darah vena, intramuskuler (im) yaitu disuntikkan masuk ke dalam otot daging, intraperitoneal (ip) yaitu disuntikkan langsung ke dalam rongga perut, subkutan (sc) yaitu disuntikkan di bawah kulit ke dalam alveola, intrakutan (ic) atau intradermal yaitu disuntikkan sedikit dalam kulit untuk tujuan diagnosa, intracardial yaitu disuntikkan langsung ke dalam jantung, intraarterial yaitu disuntikkan langsung ke dalam pembuluh darah vena yaitu disuntikkan langsung ke dalam pembuluh darah arteri. VII. Alat dan Bahan 1. Alat a. beakerglass 600 cc b. papan lilin c. kapas selang lambung d. spuit dan jarum steril e. jarum tumpul dan sonde 2. Bahan Na. Phenobarbital

VIII. Kerja Cara 1. Mengambil 4 buah beakerglass dan memberi tanda masing-masing dengan huruf A, B, C, D. 2. Mengambil 4 ekor tikus putih satu-persatu, menimbang berat badan, dan mencatatnya, kemudian meletakkannya dalam masing-masing beakerglass yang telah diberi tanda A, B, C, D. 3. Menghitung dosis obat yang akan diberikan dengan takaran 30 mg/kgBB, 1 ampul Na Phenobarbital 2 ml = 50 mg. 4. Melakukan fiksasi tikus putih pada papan lilin untuk memudahkan pemberian obat. 5. Memberi masing-masing tikus dengan 30 mg/kgBB Na Phenobarbital dengan cara : a. Tikus A secara oral yang dimasukkan ke dalam esofagus dengan bantuan sonde lambung. b. Tikus B secara intravena pada vena ekor, yang dilakukan selambat mungkin (kira-kira 0,03 cc atau satu strip dalam 2 detik). c. Tikus C secara intramuscular pada otot gluteal. d. Tikus D secara intraperitoneal. 6. Mencatat saat permulaan pemberian obat masing-masing tikus kemudian memasukkan masing-masing tikus pada beakerglass sesuai dengan tanda awal yang diberikan. 7. Mengamati dan mencatat perubahan yang timbul dan lamanya gejalagejala : a. Aktivitas spontan menghilang dengan respon stimuli yang masih normal. b. Aktivitas spontan menghilang dengan gerakan-gerakan yang tak terkoordinasi terhadap stimuli tersebut. c. Tak ada respon terhadap stimuli akan tetapi masih dapat berdiri. d. Usaha untuk dapat berdiri dilakukan tetapi tidak berhasil. e. Tidak bergerak sama sekali dan tak ada usaha untuk berdiri. 8. Membersihkan alat-alat dan mengembalikan ke tempat semula.

BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Percobaan Perhitungan dosis : Dosis Na Phenobarbital = 30 mg/kgBB = 0,03 mg/grBB 1 ampula 2 ml = 50 mg Misal : berat tikus A 150 gr 0,03 mg/grBB = 4,5 mg

perbandingan dosis ampula = berat tikus

Dosis yang diberikan dihitung berdasarkan :


Tikus A B C D Berat Badan 150 gram 150 gram 150 gram 125 gram Cara Pemberian Oral Intravena Intramuscular Intraperitoneal Dosis 0,18 cc 0,18 cc 0,18 cc 0,15 cc

Perubahan yang terjadi :


Cara Pemberian Oral Intravena Intramuscular Intraperitoneal Waktu Awal 16.30 16.55 16.43 16.54 a b c D e -

Keterangan : a = Aktivitas spontan menghilang dengan respon stimuli yang masih normal. b = Aktivitas spontan menghilang dengan gerakan-gerakan yang tak terkoordinasi terhadap stimuli tersebut. c = Tak ada respon terhadap stimuli akan tetapi masih dapat berdiri. d = Usaha untuk dapat berdiri dilakukan tetapi tidak berhasil. e = Tidak bergerak sama sekali dan tak ada usaha untuk berdiri.

Dari hasil pengamatan, diperoleh data bahwa obat yang paling cepat bereaksi adalah melalui oral dengan keadaan tikus putih A yang tidak bergerak sama sekali dan tak ada usaha untuk berdiri. Sedangkan yang paling lama bereaksi adalah melalui intraperitoneal dengan keadaan tikus D yang aktivitas spontan menghilang dengan respon stimuli yang masih normal.

B. Pembahasan Hasil pengamatan, diperoleh data : 1. Tikus yang diberi obat melalui oral, mengalami reaksi tidak bergerak sama sekali dan tak ada usaha untuk berdiri. 2. Tikus yang diberi obat melalui intravena, mengalami reaksi aktivitas spontan menghilang dengan gerakan-gerakan yang tak terkoordinasi terhadap stimuli tersebut. 3. Tikus yang diberi obat melalui intramuscular, mengalami reaksi aktivitas spontan menghilang dengan gerakan-gerakan yang tak terkoordinasi terhadap stimuli tersebut. 4. Tikus yang diberi obat melalui intraperitoneal, mengalami reaksi aktivitas spontan menghilang dengan respon stimuli yang masih normal. Dari hasil tersebut maka obat yang paling cepat bereaksi adalah melalui oral. Sedangkan yang paling lama bereaksi adalah melalui intraperitoneal. Padahal seharusnya cara pemberian obat yang paling cepat adalah melalui intravena.

Hal-hal yang mungkin menyebabkan tersebut terjadi adalah: 1. Kesalahan pada saat cara pemberian obat. 2. Praktikan tidak dapat membedakan perubahan reaksi yang terjadi antara tikus yang satu dengan lainnya. 3. Dosis yang diberikan salah.

Macam-macam cara pemberian obat terdiri dari (Ganiswarna,1995) : 1.Pemberian per Oral 2.Pemberian secara suntikan 3.Pemberian melalui paru-paru 4.Pemberian topikal

1. Pemberian obat per oral Keuntungan Mudah Aman Murah

Kerugian Banyak faktor yang mempengaruhi bioavailabilitasnya Dapat mengiritasi saluran cerna Perlu kerja sam dengan penderita Tidak bisa dilakukan bila pasien kom

2. Pemberian secara suntikan Keuntungan Efeknya timbul lebih cepat dan teratur dibandingkan dengan pemberian obat per oral Dapat diberikan pada penderita yang tidak kooperatif, tidak sadar, atau muntah-muntah Sangat berguna dalam keadaan darurat

Kerugian Dibutuhkan cara asepsis Menyebabkan rasa nyeri

Ada bahaya penularan hepatitis serum Sukar dilakukan sendiri oleh penderita Tidak ekonomis

3. Pemberian melalui suntikan Keuntungan Absorpsi terjadi secara cepat karena permukaan absorpsinya luas Terhindar dari eliminasi lintas pertama dihati Pada penyakit paru-paru misalnya asma bronkhial,obat dapat diberikan langsung pada bronkhus Kerugian Perlu alat dan metoda khusus yang agak sulit dikerjakan Sukar mengatur dosis Sering obatnya mengiritasi epitel paru

Indikasi dan kontradiksi pemberian obat (Nutrition Commite, 1994): 1. Pemberian obat per oral INDIKASI Infeksi saluran pernapasan, infeksi ginjal dan saluran kemih, infeksi saluran pencernaan, dan infeksi genital. KONTRA INDIKASI Gangguan berat fungsi hati atau ginjal, hipersensitif terhadap sulfonamida, diskrasia darah. Wanita hamil dan menyusui. Bayi berusia kurang dari 2 bulan. Porfiria. 2. Pemberian secara suntikan INDIKASI Obat tersebut memiliki bioavailabilitas oral (efektivitas dalam darah jika dimasukkan melalui mulut) yang terbatas. Pasien tidak dapat minum obat karena muntah, atau memang tidak dapat menelan obat (ada sumbatan di saluran cerna atas).

Kesadaran menurun dan berisiko terjadi aspirasi (tersedakobat masuk ke pernapasan) Kadar puncak obat dalam darah perlu segera dicapai, sehingga diberikan melalui injeksi bolus (suntikan langsung ke pembuluh balik/vena) KONTRAINDIKASI

Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi pemasangan infus.

Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan digunakan untuk pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt) pada tindakan hemodialisis (cuci darah).

Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil yang aliran darahnya lambat (misalnya pembuluh vena di tungkai dan kaki).

3. Pemberian melalui paru-paru 4. Pemberian obat topikal INDIKASI Radang dan infeksi kulit yang disebabkan oleh jamur misalnya Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes, Epidermophyton floccosum dan Microsporum canis. KONTRA INDIKASI Penderita yang sensitif dengan zat-zat dalam krim, tuberkulosa kulit, infeksi virus pada kulit termasuk cacar air dan herpes simpleks, teknik oklusif pada penderita dematitis atopik.

Efektivitas cara pemberian obat Selain pemberian topikal untuk mendapatkan efek lokal pada kulit atau membran mukosa, penggunaan suatu obat hampir selalu melibatkan transfer obat ke dalam aliran darah. Tetapi, meskipun tempat kerja obat tersebut berbeda-beda, namun bisa saja terjadi absorpsi ke dalam aliran darah dan dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Absorpsi ke dalam darah dipengaruhi secara bermakna oleh cara pemberian (Katzung, 1986). Cara-cara pemberian obat untuk mendapatkan efek terapeutik yang sesuai adalah sebagai berikut:

Cara/bentuk sediaan parenteral a. Intravena (IV) Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena, onset of action cepat, efisien, bioavailabilitas 100 %, baik untuk obat yang menyebabkan iritasi kalau diberikan dengan cara lain, biasanya berupa infus kontinu untuk obat yang waktu-paruhnya (t1/2) pendek (Joenoes, 2002). b. Intramuskular (IM) Onset of action bervariasi, berupa larutan dalam air yang lebih cepat diabsorpsi daripada obat berupa larutan dalam minyak, dan juga obat dalam sediaan suspensi, kemudian memiliki kecepatan penyerapan obat yang sangat tergantung pada besar kecilnya partikel yang tersuspensi: semakin kecil partikel, semakin cepat proses absorpsi (Joenoes, 2002). c. Subkutan (SC) Onset of action lebih cepat daripada sediaan suspensi, determinan dari kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan dimana terjadi penyerapan, menyebabkan konstriksi pembuluh darah lokal sehingga difusi obat tertahan/diperlama, obat dapat dipercepat dengan menambahkan hyaluronidase, suatu enzim yang memecah

mukopolisakarida dari matriks jaringan (Joenoes, 2002). d. Intratekal Memiliki kemampuan untuk mempercepat efek obat setempat pada selaput otak atau sumbu serebrospinal, seperti pengobatan infeksi SSP yang akut (Anonim, 1995). e. Intraperitonel (IP) Hal ini sebaiknya tidak dilakukan pada manusia karena bahaya (Anonim, 1995).

Pemberian obat per oral merupakan pemberian obat paling umum dilakukan karena relatif mudah dan praktis serta murah. Kerugiannya ialah banyak faktor dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya (faktor obat, faktor penderita, interaksi dalam absorpsi di saluran cerna) (Ansel, 1989).

Farmakokinetik fenobarbital Barbiturat secara oral diabsorpsi cepat dan sempurna dari lambung dan usus halus kedalam darah. Secara IV barbiturat digunakan untuk mengatasi status epilepsi dan menginduksi serta mempertahankan anastesi umum. Barbiturat didistribusi secara luas dan dapat melewati plasenta, ikatan dengan protein plasma sesuai dengan kelarutan dalam lemak; tiopental yang terbesar. Barbiturat yang mudah larut dalam lemak, misalnya tiopental dan metoheksital, setelah pemberian secara IV, akan ditimbun di jaringan lemak dan otot. Hal ini akan menyebabkan kadarnya dalam plasma dan otak turun dengan cepat. Barbiturat yang kurang lipofilik, misalnya aprobarbital dan fenobarbital, dimetabolisme hampir sempurna didalam hati sebelum diekskresi di ginjal. Pada kebanyakan kasus, perubahan pada fungsi ginjal tidak mempengaruhi eliminasi obat. Fenobarbital diekskresi ke dalam urine dalam bentuk tidak berubah sampai jumlah tertentu (20-30 %) pada manusia. Faktor yang mempengaruhi biodisposisi hipnotik dan sedatif dapat dipengaruhi oleh berbagai hal terutama perubahan pada fungsi hati sebagai akibat dari penyakit, usia tua yang mengakibatkan penurunan kecepatan pembersihan obat yang dimetabolisme yang terjadi hampir pada semua obat golongan barbiturat. Farmakodinamik fenobarbital (barbiturat) Efek antianseitas berbiturat yang berhubungan dengan tingkat sedasi yang dihasilkan.efek hipnoti barbiturat dapat dicapai dalam waktu 20-60 menit dengan dosis hipnotik, tidurnya menyerupai tidur fisiologis, tidak disertai mimpi yang menggangu. Fase tidur REM dipersingkat,barbiturat sedikit menyebabkan sikpa masa bodoh terhadap ransangan luar. Efek anestesia umum diperlihatkan oleh golongan tiobarbiral dan beberapa oksibarbital satelah pemberian iv. Efek antikonvulsi yang selektif terutama diberikan oleh barbiturat yang mengandung subtitusi 5-fenil misalnya fenobarbital dan mefobarbital. Golongan barbiturat lain, derajat selektivitas dan indeks terapi antikonvulsinya sangat rendah, jadi tidak mungkin dicapai efek yang diinginkan tanpa menimbulkan depresi umum pada SSP.

Barbiturat tidak dapat mengurangi nyeri tanpa disrtai kehilangan kesadaran. Pemberian dosis barbiturat yang hampir menyebabkan tidur dapat meningkatkan 20% ambang rasa nyeri sedangkan ambang rangsang lain tidak dipengaruhi (FK UI,2005). C. Aplikasi Klinis Aplikasi klinis yang yang berkaitan dengan topik yang dipraktikumkan. 1. Indikasi a. Epilepsy Epilepsi adalah suatu penyakit yang ditandai dengan kecenderungan untuk mengalami kejang berulang. Epilepsi adalah suatu penyakit yang ditandai dengan kecenderungan untuk mengalami kejang berulang (Kania, 2007) b. Kejang umum tonik-klonik Gangguan kewaspadaan dan responsivitas.Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung kurang dari 15 detik.Awitan dan khiran cepat, setelah itu kembali waspada dan berkonsentrasi penuh.Umumnya dimulai pada usia antara 4 dan 14 tahun dan sering sembuh dengan sendirinya pada usia 18 tahun (Mer-C, 2008). c. Kejang parsial Kejang Parsial bermula dari area fokus tertentu korteks serebri(Mer-C, 2008). 2. Kontra Indikasi a. Gangguan hati Salah satu organ vital dalam tubuh manusia adalah hati (liver). Dalam organ itu, terjadi proses-proses penting, yaitu proses penyimpanan energi, pembentukan protein dan asam empedu, pengaturan metabolisme kolesterol, dan penetralan racun/obat yang masuk dalam tubuh. Pertama, gangguan yang berasal dari hati, seperti hepatitis, penyakit hati alkoholik, akibat obat-obatan dan perubahan hormon selama kehamilan.Kemudian, gangguan berasal dari luar

hati, seperti batu di saluran empedu, penyempitan saluran empedu, kanker saluran empedu, kanker pankreas dan

peradangan penkreas.Gejala gangguan hati dapat dilihat dari bilirubin yang berlebihan di dalam kulit dan air kemih yang menyebabkan warna air kemih lebih gelap. Selain itu, perubahan dapat dilihat dari warna tinja.

b.

Dispnea Dispnea adalah keluhan yang sering memerlukan

penanganan darurat tetapi intensitas dan tingkatannya sendiri dapat berupa rasa tidak nyaman di dada yang bisa membaik sendiri: yang membutuhkan bantuan napas yang serius sampai yang fatal c. Obstruksi saluran nafas Obstruksi saluran napas atas adalah kegagalan sistem pernapasan dalam memenuhi kebutuhan metabolik tubuh akibat sumbatan saluran napas bagian atas (dari hidung sampai percabangan trakea). Obstruksi saluran napas atas ini sering menyebabkan gagal napas.

D. Jawaban Pertanyaan 1. Apakah keuntungan dan kerugian pemberian obat secara parenteral dan enteral? Parenteral : Keuntungan: (Setiawati dkk, 1995) a. Efeknya timbul lebih cepat dan teratur dibandingkan dengan pemberian per oral b. Dapat diberikan pada penderita yang tidak kooperatif, tidak sadar, atau muntah-muntah c. Sangat berguna dalam keadaan darurat Kerugian : (Setiawati dkk, 1995) a. Dibutuhkan cara asepsis

b. Menyebabkan rasa nyeri c. Ada bahaya penularan hepatitis serum d. Sukar dilakukan sendiri oleh penderita e. Tidak ekonomis Enteral : Keuntungan: (Setiawati dkk, 1995) a. Mudah b. Aman c. Murah Kerugian : (Setiawati dkk, 1995) a. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya b. Obat dapat mengiritasi saluran cerna c. Perlu kerjasama dengan penderita d. Tidak bisa dilakukan bila pasien koma 2. Mengapa pemberian obat dapat mempengaruhi mula kerja dan lama kerja dari obat tersebut? Karena ketika obat masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara akan mengalami absorbsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja sehingga menimbulkan efek. Di tubuh manusia, obat harus menembus sawar sel di berbagai jaringan. Cara-cara transport obat melintasi membran sel terbagi menjadi difusi pasif dan transport aktif. Oleh karena itu mula kerja dan lama kerja berpengaruh dari cara pemberian obat itu sendiri. Mulai darimana obat tersebut dimasukkan, terserap pada jaringan hingga lama kerja obat tersebut bereaksi dalam tubuh dipengaruhi oleh hal tersebut. (Setiawati dkk, 1995)

KESIMPULAN

1. Cara pemberian obat yang paling cepat adalah melalui intravena. Namun pada percobaan yang dilakukan efek yang paling cepat bereaksi adalah melalui oral. Hal ini dapat disebabkan oleh banyak hal. 2. Fenobarbital termasuk golongan barbiturat. Barbiturat ini mempunyai efek hipnotik sedative dan golongan barbiturat efektif sebagai obat antikonvulsi, (Syarif, et all, 2008). 3. Cara pemberian obat terbagi menjadi dua, yaitu enteral dan parenteral. Kedua cara ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. 4. Aplikasi klinis yang berhubungan dengan praktikum :
a)

Indikasi yaitu Kejang umum tonik-klonik; kejang parsial; kejang pada neonatus; kejang demam; status epileptikus

b)

Kontra Indikasi yaitu gangguan hati yang jelas, dispnea, dan obstruksi saluran nafas

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Farmakologi FKUI. 2008. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Dorland, W. A. Newman . 2002 . Kamus Kedokteran Dorland . Jakarta : EGC Ganiswarna, Sulistia G., et all. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta : Bagian Farmakologi FK-UI Hahn, T. J. 1972. Phenobarbital-Induced Alterations in Vitamin D Metabolism. The Journal of Clinical Investigation. Vol 51. Page 741-748 Kania, Nia. 2007. Kejang Pada Anak. Pustaka.unpad.ac.id Mer-c.org. 2008. Kejang Demam. Nutrition Committee, Canadian Paediatric Society. Oral Rehydration Therapy and Early Refeeding in the Management of Childhood Gastroenteritis. The Canadian Journal of Paediatrics 1994; 1(5): 160-164. http://www.farmasiku.com/index.php?target=categories&category_id=264 http://www.diskes.jabarprov.go.id. Phenobarbital. Jabar Dinkes

LAMPIRAN

Lampirkan laporan sementara praktikum yang telah ditandatangani asisten/ dosen pengampu.

Anda mungkin juga menyukai