Anda di halaman 1dari 4

Makassar sebagai salah satu etnis yang tidak terlepas dari stereotipe etnis lain.

Stereotipe dalam hal ini lebih fokus kepada yang memberikan penilaian atas etnis tertentu. Dalam kenyataannya, persepsi orang di luar etnis Makassar cukup beragam. Orang Makassar terkenal dengan karakternya yang cenderung kasar, emosional, kolot dan cepat marah. Adapula yang menilai sifat khas orang Makassar cukup sopan, jujur, senang menerima tamu dan masih tradisional. (Warnaen, 2002: 21-220). Dari beberapa sifat khas ini, terlihat bahwa persepsi tentang orang Makassar ada yang negatif (tidak baik) dan positif (baik). Keragaman persepsi tersebut cukup erat kaitannya dengan pengalaman interaksi individu dengan orang-orang dari etnis Makassar. Kecenderungan ini sedikit banyak memungkinkan terjadinya pengaruh baik positif maupun negatif dalam hubungan sehari-hari antar individu yang berbeda etnis. Konflik antara orang-orang Madura dan Dayak yang terjadi di Sampit sebagai salah satu fakta nyata. Dari satu fenomena ini, terlihat bagaimana etnisitas menjadi isu yang sangat sensitif. Hal tersebut tidak terlepas dari pengaruhnya terhadap integrasi bangsa secara makro dan tentu saja kedamaian hidup dalam lingkungan multietnis secara mikro. Di sini, tidak hanya peran manusia-manusia antar etnis yang menjadi faktor penting, melainkan pula peran media dalam menggambarkan isu tersebut, khususnya media televisi. Tidak hanya melalui fakta nyata konflik antar etnis yang kemudian bisa menjadi penilaian media televisi melakukan stereotipe pemberitaan atas isu etnisitas, melainkan pula dengan beragam latar belakang peristiwa pada satu daerah tertentu. Salah satu program televisi yang tepat dalam melihat kecenderungan tersebut adalah berita. Melalui program ini, fakta sosial yang kiranya memiliki nilai magnitude akan dikonstruksi menjadi fakta media yang kemudian disampaikan kepada audiens. Salah satu fakta sosial yang kebetulan kerap terjadi adalah konflik dan kekerasan yang kemudian berkembang menjadi isu etnisitas. Isu yang cukup rutin diangkat oleh media televisi ini sejak dahulu mendapat perhatian khusus dari para peneliti baik luar negeri maupun dalam negeri. Secara umum, studi yang dikembangkan adalah stereotipe pemberitaan dalam kacamata audiens. Meski tidak tersampaikan secara tersurat, namun melalui liputan peristiwa seperti bentrok dan tawuran, pesan stereotipe pemberitaan tersebut bisa tertangkap oleh audiens. Stereotipe ini disamakan sebagai kode kepada audiens dalam memberikan penilaian umum atas individu atau kelompok tertentu dan salah satunya berkaitan dengan etnis. Gambaran stereotipe pemberitaan ini bisa dicontohkan dari bagaimana TVOne sebagai salah satu stasiun televisi swasta yang mengandalkan program berita mengonstruksi peristiwa yang berlokasi di Makassar sebagai fakta media. Program berita TVOne diantaranya; Kabar Siang, Kabar Petang, Kabar Malam - termasuk selipan Kabar Sulsel di tiga program tersebut Kabar Terkini dan Breaking News cukup intens memberitakan Makassar dari sisi konflik, kekerasan, tawuran atau bentrok. Gambaran ini bisa terlihat dari hasil rekapitulasi tayangan berita dari TVOne Biro Sulsel selama periode Maret 2010 hingga Desember 2010. Frekuensi berita bentrok dan tawuran lebih mendominasi. Salah satu peristiwa besar yang menandainya adalah ketika terjadi bentrok antara Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan polisi terkait kasus Century yang terjadi pada 3

Maret 2010. Serangkaian peristiwa demonstrasi pun menjadi headline dalam program berita TVOne. Frekuensi tersebut seperti terlihat pada tabel berikut1 :
Tanggal
3/3/2010 4/3/2010 4/3/2010 4/3/2010 4/3/2010 4/3/2010 4/3/2010 4/3/2010 4/3/2010 4/3/2010 4/3/2010 4/3/2010 4/3/2010 4/3/2010 4/3/2010 4/3/2010

Peristiwa
HMI diserang, mahasiswa terlibat bentrok dengan polisi Mahasiswa serang dan hancurkan pos polisi di Makassar Mahasiswa sweeping polisi di depan kampus Pasca penyerangan pos polisi, mahasiswa masih demo blokir jalan Polisi bersejata lengkap disiagakan, mahasiswa tetap Blokir jalan Polisi masih terus disiagakan di Jalan Sultan Alauddin Polisi dan mahasiswa bentrok, kantor HMI dan Polsek hancur Bentrok polisi, warga, dan mahasiswa UIN Demo Century, mahasiswa Unhas ricuh Bentrok polisi, warga dan mahasiswa UIN Bentrok polisi, warga dan mahasiswa UIN Bentrok polisi, warga dan mahasiswa UIN Bentrok polisi, warga dan mahasiswa UIN Pasca bentrok UIN, polisi yang bersihkan jalan diusir mahasiswa Mahasiswa rusak mobil dinas Pasca penyerangan, polisi amankan 18 mahasiswa

Program Berita
KABAR MALAM KABAR SIANG KABAR SIANG BREAKING NEWS BREAKING NEWS BREAKING NEWS BREAKING NEWS BREAKING NEWS KABAR MALAM BREAKING NEWS BREAKING NEWS BREAKING NEWS BREAKING NEWS KABAR PETANG KABAR MALAM KABAR MALAM

Serangkaian peristiwa ini menandakan bagaimana stereotipe pemberitaan atas Makassar dibangun oleh televisi melalui peristiwa bentrok. Sedikit banyak, stereotipe pemberitaan ini mengundang penilaian audiens. Inilah yang kemudian bisa menjadi ukuran, televisi melalukan kebijakan stereotipe melalui pemberitaannya. Kebanyakan respon audiens atas peristiwa tersebut bersifat negatif. Seperti pada salah satu portal online, sebanyak 150 lebih orang memberikan komentar yang hampir semua menyalahkan mahasiswa sebagai penyebab kerusuhan2. Sebagian pula mengaitkannya dengan karakter khas orang-orang Makassar yang cenderung emosional. Seperti komentar tokoh masyarakat Makassar Jusuf Kalla yang mengatakan, Orang Makassar Susah Kalau Tak Emosi3. Stereotipe atas etnis Makassar terakumulasi atas peristiwa yang dikonstruksi media televisi. Menilik sejauh mana peran media khususnya televisi dalam pemberitaan isu etnisitas menghantarkan fokus kajian penelitian ini dari sisi audiensnya. Melalui sisi ini, kita bisa melihat sejauh mana televisi melalui program-programnya menggambarkan stereotipe tentang etnis Makassar. Melalui pembacaan atau persepsi audiens pula, kita bisa menilai kecenderungan program televisi memperteguh atau mempertajam stereotipe yang telah terbentuk dalam masyarakat tentang etnis Makassar.
1

Litbang TVOne Biro Makassar

www.tribun-timur.com/202.146.4.121/read/artikel/84281/sitemap.html Judul Bentrok HMI Makassar Bingungkan Masyarakat.diakses pada 28 Februari 2011.
3

http://nasional.inilah.com/read/detail/389762/jk-orang-makasar-susah-kalau-tak-emosi. DIakses 28 Februari 2011

Rewa: Becoming a man in the lorong Rewa is a Makassar word that literally refers to braveness or toughness as vital indications of manhood. To be a man in the lorong is to be Rewa. Despite its significant implication for many social problems, very few studies have explored the local concept of masculinity and its relation to risk-taking behaviours in Indonesia although these behaviours have been identified as important elements of masculinity in other cultures, such as among Latinos in North America (Bourgois, 2003; Dietrich, 1998; Quintero & Estrada, 1998). The masculine nature of Rewa which appears in conversations or in mass media portrayals particularly in its relation to the violent and anti-social attitudes of many young men in the slum areas is no exception. It is worth noting that traditionally the concept of Rewa is tightly related the value of Siri (local concept of shame and dignity among Makassarese and Buginese, two major ethnic groups in South Sulawesi) that refers to positive qualities, such as showing courage in defending dignity, earning a lot of money or gaining a high level of knowledge and skills (Mattulada, 1979; 1998). Currently, however, the meaning of Rewa and Siri, particularly among many young men in urban slum areas, tends to emphasise its negative aspects. Baddu explained the context and the negative meaning of Rewa and Siri among young men in the lorong: Maybe because its really hard for many lorong boys to demonstrate a good achievement. Many of us are unemployed or just do the odd jobs, go to the bad schools and then drop-out. We are just widely known as good drinker, fearless in fighting and doing any other stupid things. Those are the only things that can make us popular. Those are the only things that can preserve our Siri, our dignity. So were just adapting to feel proud about those bad things. (Baddu, 25 years) There is a growing body of literature addressed the relationship between masculinity and risk-taking behaviours (Barker, 2005; Bourgois, 1996; Davis, Thomas & Sewalish, 2006; Kaplan & Marks, 1995; Messerchmidt, 1993; Sanders, 2006). Most argue that masculinity is not merely an opposition to femininity but should be understood in its interplay with other factors such as socio-economic class, race, age and sexual preference. In contrast to most men from high socio-economic backgrounds, who are able to fulfill their idealised masculinity through jobs or careers that provide them with good income and high self esteem, many young men from low socio-economic backgrounds who live in poor neighbourhoods express masculinity in different ways (Barker, 2005: Connell, 1987). In this context, the participation of marginalised men in practices such as street fighting, excessive alcohol use and drug use, and risky sexual behaviours, can be viewed as an effort to be considered masculine or real men (Barker, 2005: Kaplan & Marks, 1995).

Daftar pustaka Nasir, Sudirman.Culture, local construct of masculinity and HIV-risk practices among young male IDU in a slum area in Makassar, Indonesia. Diakses di http://socialcapital.weebly.com/uploads/1/0/5/9/1059736/nasir_culture_hiv_risk_makassar.pdf pada 24 Februari 2010. Warnaen, Suwarsih. 2002. Stereotipe Etnis dalam Masyarakat Multietnis.

Anda mungkin juga menyukai