Anda di halaman 1dari 2

PEMBELAJARAN KONTRUKTIVISME Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia saat ini adalah rendahnya kualitas

hasil pembelajaran pada setiap jenjang pendidikan. Terhadap masih relatif rendahnya mutu pendidikan di Indonesia banyak opini baik para pejabat, pakar dan praktisisi pendidikan ataupun masyarakat antara lain, fasilitas laboratorium dan sarana belajar kurang, gaji guru rendah, muatan kurikulumtarlalu padat dan pola pembelajaran yang konvensional. Penyebab lain yang lebih univesal atas masih rendahnya mutu pendidikan matematika, secara umum diterima para pendidik matematika adalah adanya salah konsep pada diri siswa. Salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi belajar anak adalah apa yang telah diketahui anak (Novak & Gowin, 1985). Prakonsepsi yang pada umumnya bersifat salah konsep secara terus menerus dapat mengganggu pembentukan konsepsi ilmiah. mengemukakan bahwa pengajaran yang tidak memperhatikan konsepsi awal siswa akan menyebabkan salah konsep siswa menjadi lebih kompleks dan stabil (Ausubel dalam Sadia, 1996). Keadaan tersebut akan mengakibatkan terjadinya kesulitan belajar dan akhirnya bermuara pada rendahnya prestasi belajar siswa. Pendekatan pembelajaran yang memperhatikan prakonsepsi siswa merupakan model pembelajaran yang mengacu pada tradisi konsrtuktivis. Sehubungan dengan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka dalam era globalisasi dewasa ini, permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan akan mengalami pergeseran. Proses pendidikan yang semula dipandang sebagai proses sosialisasi yang bertujuan untuk menyiapkan peserta didik untuk menyesuaikan diri dalam hidup bermasyarakat, bergeser menuju proses pembelajaran dimana guru berperan untuk mengatur, menyiapkan, dan membantu siswa sehingga tercipta kondisi belajar yang kondusif dalam rangka pengembangan manusia seutuhnya. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka peran guru pun bukan lagi sebagai sumber otoritas ilmu pengetahuan, tetapi berperan sebagai fasilitator atau mediator yang kreatif serta mengajar sebagai suatu proses negosiasi para pendidik (Bodner 1986). Dengan demikian perlu mengalihkan model belajar konvesional menuju model belajar konstruktivis yang berlandaskan asumsi bahwa pengetahuan dibangun di dalam pikiran pebelajar. Dalam model belajar konvensional, para guru menfokuskan diri pada upaya penuangan pengetahuan ke dalam kepala siswanya, tanpa memperhatikan gagasan-gagasan yang dimiliki siswa. Mereka berpikir bahwa setelah proses pembelajaran, di dalam kepala siswanya terdapat tiruan pengetahuan yang persis dengan pengetahuan yang dimilikinya. Hal ini telah menimbulkan kegagalan dalam pembelajaran konsep dan prinsip matematika. Dalam model belajar konstruktivis, penekanan tentang belajar dan mengajar lebih terfokus pada suksesnya siswa mengorganisasi pengalaman mereka, dan bukan pada kebenaran siswa dalam melakukan replikasi atas apa yang dikerjakan guru (Driver, 1988). Sebagai implikasi dari konseptualisasi ini, maka pebelajar hendaknya dipandang sebagai bagian yang aktif dan bertanggung jawab atas pembelajaran dirinya. Belajar dipandang sebagai perubahan konsepsi siswa yaitu konsepsi yang pada mulanya bersifat salah konsep menjadi konsepsi ilmiah. Di sisi lain,mengajar merupakan proses negosiasi makna. Dalam menjalankan fungsinya sebagai fasilitator pembelajaran, pada saat munculnya salah konsep, guru menyajikan konflik kognitif sehingga terjadi ketidakseimbangan (disekuilibrasi) pada diri siswa. Konflik kognitif yang disajikan guru, diharapkandapat menyadarkan siswa akan kekeliruan konsepsinya, dan pada akhirnya mereka merekonstruksi konsepsinya menuju konsepsi ilmiah. Dengan kondisi tersebut, penerapan model belajar konstruktivis dalam pembelajaran matematika diharapkan dapat menimbulkan suasana belajar yang bermakna (meaningful learning). Prinsip utama dari tradisi konstruktivis adalah pengetahuan tidak diterima secara pasif, melainkan dibangun secara aktif oleh individu. Gagasan-gagasan atau pemikiran-pemikiran tidak dapat dikomunikasikan maknanya melalui kata-kata atau kalimat, atau diberikan langsung kepada siswa, melainkan mereka sendiri yang membentuk makna tersebut (Wheatley, 1991). Berg (1991) menegaskan bahwa setiap pengajar harus menyadari dulu seperti apa prakonsepsi dan pengalaman yang sudah ada di dalam kepala siswa, dan kemudian dia harus menyesuaikan pelajaran dan cara mengajarnya dengan pra pengetahuan tersebut. Hal ini perlu diberikan penekanan karena pembelajaran matematika menurut pandangan konstruktivis adalah membantu siswa untuk membangun konsep-konsep/prinsip-prinsip matematika dengan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi, sehingga konsep/prinsip itu terbangun kembali; transformasi informasi yang diperoleh menjadi konsep/prinsip baru (Nickson & Grows, dalam Hudojo,1998). Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengertahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botolbotol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.

Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalahperan aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima. Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak. Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi matematika yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar matematika tersebut. Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran matematika, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan matematika dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) matematika menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi. Dengan demikian kemampuan siswa dapat meningkat dengan pembelajaran melalui pendekatan kontruktivisme.

Anda mungkin juga menyukai