Anda di halaman 1dari 3

ADAT PANTANG LARANG MENGAKHIRI KISAHKU DENGANNYA

Oleh :Ridha Refelina Syafar

Pagi ini begitu mempesona. Terhirup udara segar yang menusuk diri untuk membuat hari-hariku ceria. Ku buka jendela kamar pagi ini. Suasana daerah pesisir pantai terlihat sebagai sebuah panorama yang takkan pernah terlupakan. Matahari muncul perlahan-lahan memamerkan kegagahannya, menghangatkan pelosok negeri kepulauan Riau. Dengan segera aku berlari, berlari menuju pantai unutk abadikan momen berhargaku agar dapat menyaksikan sang surya datang dengan ucapan selamat pagi. Meskipun hal ini telah berulang kali kulakukan sejak kecil, namun hal itulah yang menjadi kegemaranku dalam menyambut datangnya pagi. Keke, keke! Kemana dia?, suara emak terdengar dari kejauhan. Aku rasa, emak masih tidak hapal juga, kalau setiap harinya aku memandangi pesisir pantai. Walaupun begitu, tanpa pikir panjang lagi aku segera menemui emak. Ada apa mak? Kan keke sudah bilang pada emak, keke main di pantai setiapa pagi.Emak tidak usah risau, jawabku pada emak yang menyalakan tungku masak. Keke ini, sudah berapa kali emak bilang, rapikan dulu rumah. Kamar tidur keke saja berantakan !mau main pula! Keke sudah remaja, tidak baik anak belia seperti kamu hanya indah di pelabuhan saja. Nanti tak dapat jodoh bagaimana?, emak kembali melontarkan adat pantang larang negeri melayu. Aku tidak mengerti. Hatiku selalu berguman, apa hubungan antara kamar berantakan dengan tidak dapat jodoh. Aku rasa itu hanya mitos lama turunan nenek moyang akan adanya adat pantang larang itu. Aku pikir, emak hanya menakut-nakutiku saja agar aku segera merapikan dan membersihkan rumah. Yah, supaya enak dipandang mata. Kembali aku berkata,Emak!selalu saja begitu.Apa tidak ada perkataan lain? Kalau benar aku tidak dapat jodoh bagaimana? Ini menjadi pertanggungjawaban mak!, lugasku. Makanya keke, anak gadis harus rajin. Tidak semberonoh seperti kamu,Emak menambahkan. Akupun menjawab,ya, baiklah mak! Keke bereskan semuanya.

Malampun tiba. Semakin larut semakin indah. Berhiaskan macammacam rasi bintang yang menyinari malam yang kelam. Tak lupa pula, sinar bulan merangkak memunculkan diri,keluar dari peraduannya. Sendiriku ini teringat akan adanya bapak yang dulu selalu meminta bantuanku untuk pinggirkan perahu ke daratan. Tatapi, bayangan itu sirna seketika setelah kejadian badai besar melanda pesisir pantai. Bapak terbawa terjangan ombak dan gelombang. Aku tidak bisa membayangkan betapa sedihnya emak. Perasaan seperti itu, membuat aku selalu mengikuti perkataan emak. Karena, aku tidak ingin emak pergi dan meninggalkan aku sendirian. Sang surya kembali muncul. Seperti biasa, aku berlari dan menghirup pagiku yang bernyawa. Tetapi, dari kejauhan aku melihat sebuah kapal sederhana berlabuh di hulu pantai. Aku segera menghampirinya. Tak beberapa lama kemudian, tampaklah seorang pemuda yang berparas sangat tampan. Aku terperangah sejenak. Lalu, lamunanku sirna setelah ia menyapaku. Mmm. Maaf ada apa nona?,sapanya. Akupun menjawab, tidak.tidak apa apa tuan. Tampaknya, tuan orang baru di sini, tidak biasanya, jadi saya sedikit heran . Diapun menjawab,benar, ayah saya pindah tugas ke sini. Saya baru 2 hari di sini. Jadi, saya memutuskan untuk mengenali daerahnyan dulu, supaya terbiasa. Oh iya, kami dari Jakarta.akupun tertegun, begitu ya? Maaf tuan, saya harus pergi, takut emak susah mencari saya di rumah, salam. Akupun berlari menuju rumah. Tampak emak yang sedang sibuk menyalakan tungku. Lagi-lagi dia berkata kalau anak gadis seperti aku harus membersihkan rumah baru boleh main, kalau tidak, nanti bisa-bisa tidak dapat jodoh. Selalu saja perkataan seperti itu yang dilontarkan padaku. Aku tidak mengerti adat pantang larang negeri melayu. Aku rasa, itu tidak ada hubungannya. Aku kembali memelas ucapan emak. Pagi berikutnya, kembali demikian. Gadis pesisir seperti aku selalu menjalani hari yang bergelut dengan desiran ombak. Karena, itu adalah satu-satunya permainanku. Pemuda itu kembali lagi. Dia tampaknya menanti kedatangan seseorang. Aku tidak tahu, tetapi lsesaat setelah dia melihatku, dia menghampiriku. Dengan agresif dia ingin aku mengajaknya untuk berkeliling pantai dan bermain bersama. Aku tidak punyan pilihan lain selain mengiakan ajakannya itu. Akupun tidak mengerti mengapa aku sangat akrab sekali dengannya. Terasa seperti sudah lama mengenalnya.Tidak sedikitpun terasa

canggung berhadapan dengannya. Kami berlari, bernyanyi, dan membuat kastil pasir hingga petang. Rasanya sangat puas. Momen ini tidak akan pernah kulupakan untuk selamanya. Aku sangat senang akan kedatangannya. Harihariku terisi penuh warna cemerlang seperti pelangi di hulu pesisir pantai. Aku sangat bahagia mendengar dia mengucapkan, negerimu sangat indah, bukan karena hal lain, tetapi karena ada gadis ;belia yang setia menemaniku di pantai ini., aku menyukai kepulauan Riau.. Perkataan itu membuatku hatiku berbunga-bunga. Malam itu, tidurku terasa sangat nyenyak. Keesokan harinya, hatiku tegang menanti kedatangannya kembali.ku ingin hari itu terulang lagi. Terulang untuk yang kedua kalinya. Tetapi, setelah berjam-jam hingga petang, ia tidak kunjung datang. Hatiku bergumam, secepat itukah dia melupakanku?. Hari-hari berikutnya masih saja sama. Dia juga tidak ada. Aku menunggu dengan gelisah. Aku bertanya kepada semua nelayan, tetapi, mereka tidak mengenalinya. Aku bahkan juga tidak tahu siapa nama pemuda itu. Pemuda yang membuat hari itu penuh angan-angan. Aku menyesal harus bertemu dan berpisah dengan cara seperti ini. Dia bahkan tidak berpamitan dulu padaku, tidak mengabariku, aku jadi semakin benci. Kembali kuteringat, apa karena adanya adat pantang larang itu? Sehingga ia tidak ditakdirkan untukku!, jikalau semuanya benar, pasti aku akan menuruti semua perkataan emak untuk membersihkan rumah dan kamarku dengan rajin. Aku semakin bingung dan tidak mengerti apa arti semua ini. Semenjak kejadian itu,aku menjadi tidak peduli jika teman-temanku menertawai ceritaku akan akibat adat pantang larang itu. Aku hanya ingin emat tidak mengomel lagi setiap pagi. Dan aku bisa bermain setelah aku membereskan semuanya. Dengan begitu, secara otomatis aku mematuhi adat pantang larang negeriku, melayu. Walau sebenarnya aku tidak yakin.

Ridha Refelina Syafar, SMA PINTAR KM 7 Kebun Nenas- Jake, Kab. Kuantan Singingi

Anda mungkin juga menyukai