Anda di halaman 1dari 1

Bulan berbantal awan menyisakan malam. Memandang ke bawah pada rel kereta yg mendua menuju tanda tanya.

Bulan gamang. Apakah rindu yg dibawa kereta sampai pada rumah cinta. Suara desah bulan menyiapkan temaram kisah. "Kutemukan senyummu dalam lipatan album lamaku.' **************8 Gardu tua itu masih terdiam ketika para pelantang meramaikan pesan merantaikan k ematian. "Kenapa kelahiran tak kau suarakan," tanyamu. "Belum berbuat apa-apa," jawabnya. Tapi bukankah ia datang untuk menggantikan? Serat-serat cahaya merayap mengusap kepala, meniup doa. **************** Ini jalan kecilku. Lorong dikerubut daun. Embun banyak bergantung. Tanah basah. Beton basah. Lumut berkerumun resah. "Hati-hati bisa tergelincir kakikimu. Licin!" Angin bergegas. Dingin. ***** Kedua gunung saling senyum. Satu melontarkan sulfatara. Satu membungkus diri dengan mega. Sulfatara yang sudah menghanguskan beribu jiwa. Lalu mengirimiku lahar, panas atawa dingin (sama saja), mengubur jejak langkahku. Lalu menggelontorkan batu, kecil atau besar (sama saja), menggusur rumah dan sawah. Tetapi Merbabu yang angkuh masihkan engkau menyimpan keluh? ************** Sudah sampai waktuku. Menunggu. Tapi kunci tak juga ketemu. Siapakah penunggu gerbang ini: aku atau kamu yg sembunyi di pagi jemu. Siapakah yg bakal bunyikan bel tanda mulai dan akhir belajar nanti? Aku sudah jemu menantimu di depan pintu yang membisu.

Anda mungkin juga menyukai