Anda di halaman 1dari 6

Profesi Tidak Saja Membutuhkan Keahllian, Melainkan Juga Integritas Moral

Beberapa waktu yang lalu masyarakat kita dihebohkan oleh sebuah kasus yang melibatkan salah satu rumah sakit ternama, Omni Internasional. Kasus yang menyita perhatian banyak kalangan ini mencuat ketika seorang pasien Rumah Sakit bernama Prita Mulyasari mengekspresikan ketidakpuasannya terhadap pelayanan rumah sakit dalam media online yang kemudian melibatkan 2 orang dokter yang merasa nama baiknya dicemari. Kasus yang membesar karena melibatkan proses hukum dalam penyelesaiannya ini bermula saat Prita Mulyasari memeriksakan kondisinya yang demam tinggi dan sakit kepala, tepatnya pada 7 Agustus 2008. Pada saat itu juga Prita harus menjalani rawat inap karena diagnosis menunjukkan dia terkena demam berdarah dengan jumlah trombosit 27.000. Namun setelah dirujuk kepada dokter lain, ternyata trombositnya 181.000. Prita juga diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau izin pasien atau keluarga pasien suntikan tersebut untuk apa. Setelah beberapa hari, kondisinya tidak menjadi lebih baik, bahkan ketika Prita meminta keterangan kepada sang Dokter, dia tidak pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan. Tindakan yang dilakukan pihak Rumah Sakit juga tidak pernah membuat Prita merasakan kondisi yang elbih baik, dari mulai infus dan suntikan-suntikan yang membuat bagian tangan dan lehernya menglami pembengkakan, dan dia sempat merasa sesak nafas selama lima belas menit, padahal riwayatnya tidak pernah mengalami gangguan perbafasan. Inilah yang membuat Prita merasa bahwa hak-haknya sebagai pasien tidak didapatkan dan dokter yang menangani penyakitnya dianggapnya tidak profesional bahkan melanggar kode etik kedokteran dengan tidak memberikan hak mendapatkan informasi kepada pasien, kemudian muncullah ungkapan-ungkapan ketidakpuasan Prita dalam media online yang dianggap mencemarkan dokter secara personal maupun pihak rumah sakit sebagai lembaga atau institusi. Dalam kajian etika profesi, dokter dikategorikan sebagai profesi, karena seorang dokter harus melampau beberapa tahapan-tahapan pendidikan dan memperoleh gelar tertentu sehingga mereka dianggap ahli dalam bidang kedokteran. Dokter juga dikategorikan

sebagai kaum profesional karena selain mereka itu ahli (pengetahuan dan kecakapan atau pengalaman memungkinkan mereka melakukan hal yang benar secara moral), mereka juga memiliki klien, menetapkan perjanjian dengan klien dalam bentuk bayaran, dan mereka mentaati kehendak para klien. Akan tetapi, hubungan sifat keahlian kaum profesional terhadap sifat dipercaya sangatlah lemah, karena hubungan tersebut memiliki beberapa kendala atau permasalahan yang selalu hinggap pada kaum profesional. Karena bukan saja keahlian yang dibutuhkan oleh seorang profesional, tetapi juga integritas moral untuk mendapatkan kepercayaan dari klien. Seperti yang dikatakan Louis Brandies bahwa keahlian profesional merupakan pengetahuan yang diterapkan oleh para praktisi untuk melayani suatu tujuan. Keahlian harus selalu diterapkan untuk melakukan sesuatu. Di dunia keahlian, orang yang tahu bisa memilih tujuan menurut kesukaannya sendiri. Karena itu, ia belajar atau menjadi ahli dengan mendapatkan kemampuan untuk secara konsisten menghasilkan hasil yang disenanginya. Dengan demikian, tingkat tertinggi seorang penembak jitu atau seorang ahli sama sama terdiri dari keberhasilan dalam melaksanakan tugas secara terus menerus yang ditetapkan pelaku bagi dirinya sendiri. Salah satu kendala yang sering menghinggapi kaum profesional adalah sifat tidak dipercaya yang melekat pada keahlian. Contoh kasus Prita Mulyasari sebagai bukti bahwa sifat tidak dipercaya selalu melekat pada keahlian. Prita Mulayasari sebagai klien dalam menjalani perawatannya di rumah sakit Omni Internasional dengan ditangani seorang dokter yang melakukan sebuah kelalaian lunak dalam diagnosis dan dalam memberikan keterangan mengenai sakit yang diderita pasien. Kelalaian inilah yang kemudian menjadikan dokter tersebut tidak dipercaya oleh klien, karena dianggap tidak bermoral dan melanggar kode etik. Berbicara mengenai etika profesi seorang dokter, ada satu contoh menarik yang perlu dibahas dalam esai ini. Beberapa bulan yang lalu, tepatnya bulan Januari, dalam rapat anggota komisi IX DPR RI dengan Menteri Kesehatan, Endang Rahayu Sedyaningsih, para anggota dewan menyoroti soal sakit kanker paru-paru yang diderita Menteri Kesehatan. Memang rasa simpati ditujukan para anggota deewan kepada beliau, tapi seharusnya hal yang demikian tidak sepatutnya dibahas di depan publik, apalagi dalam rapat anggota

dewan. Namun permasalahannya bukan pada soal rapat yang embahas sakitnya bu menteri, tapi bagaimana bisa rekam medis seseorang yang ditangani seorang dokter bisa bocor ke hadapan publik ? Bukankah seorang dokter seharusnya menjaga rahasia sang klien (pasien) ? Hal ini dianggap sudah tidak mentaati kode etik kedokteran, dan juga secara moral hal ini tidak dibenarkan dengan memmbocorkan rahasia pasien kepada orang lain kecuali dengan persetujuannya. Kemudian permasalahan moral lainnya yang selalu melekat pada kaum profesional adalah kekacauan praktek. Seorang profesional dituntut untuk melaksanakan tugasnya dengan baik untuk menguntungkan klien berdasarkan kesepakan yang dibangun dengan klien, bukan malah sebaliknya. Menurut Model Rules yang baru tujuan utama dari seorang profesional adalah untuk membuat cakap dirinya sendiri, setelah itu kepentingan kedua adalah untuk melayani klien. Masih pada bidang kedokteran sebagai salah satu contoh, seorang dokter apabila kehilangan koherensinya sebagai seorang dokter untuk menangani bedah kosmetik yang menurunkan sifat profesionalnya menjadi sebuah keahlian. Seorang dokter jelas mereka menjalankan seni kedokteran yang dimengerti meliputi pengobatan dan pencegahan, bukan seni kosmetik untuk menciptakan penampilan yang indah dan sehat. Seorang dokter bertujuan untuk menyembuhkan klien dari sakitnya maupun memberikan saran-saran yang menyehatkan untuk mencegah sakit dari klien. Pada prakteknya, banyak dokter yang menggunakan keahlian untuk menangani penyakit kulit dan bedah rekonstruktif kini melenceng untuk mengadakan praktek dalam bentuk bedah kosmetik, dimana klien ditangani bukan untuk disembuhkan dari sakitnya, namun lebih diutamakan bagaimana membuat klien yang menginginkan bagian tubuhnya dengan ukuran dan bentuk tertentu memiliki apa yang mereka inginkan. Namun praktek bedah kosmetik ini nampaknya menjadi sangat populer di Korea Selatan dan Jepang. Terutama banyak dimanfaatkan oleh artis-artis maupun calon artis yang memiliki bakat namun tidak ditunjang dengan bentuk tubuh ideal dan menawan yang menginginkan bentuk tubuh langsing, seksi, tampan, cantik, dan lain sebagainya. Mayoritas dari dokter-dokter yang menangani bedah kosmetik adalah mereka yang ahli dalam pembedahan rekonstruktif yang seharusnya digunakan pada pasien yang memiliki cacat tubuh seperti bibir sumbing ataupun bekas luka kecelakaan atau penganiayaan yang membuat beberapa bagian tubuh

mereka mengalami luka dan harus dipulihkan melalui bedah plastik atau bedah rekonstruktif, namun melencang dari tujuang semula, mereka justru menggunakannya tanpa tujuan untuk menyembuhkan tetapi lebih bertujuan untuk membuat lebih indah bagian tubuh tertentu. Artis Sekaliber Michael Jackson juga tidak terlepas dari operasi plastik, bahkan tidak tanggung-tanggung, dia melakukan operasi plastik lebih dari dua kali, dia yang merupakan keturunan dari ras kulit hitam merubah wajah dan kulitnya menjadi berkulit putih, dengan praktek operasi kosmetik Amerika Serikat yang canggih dia berhasil merubah bentuk wajah serta warna kulitnya, bahkan bentuk hidung dan dagunya mengalami perubahan. Bukan hanya di artis-artis Korea dan Jepang serta Amerika Serikat saja ternyata, Indonesia pun menganggap bedah kosmetik menjadi salah satu gaya hidup. Terutama bagi perempuan. Memiliki bagian tubuh yang indah nampaknya membuat mereka mangambil jalan operasi plastik. Operasi plastik atau kosmetik yang paling diminati oleh masyarakat kita adalah operasi untuk memperindah mata. "Operasi plastik untuk memperindah mata adalah jenis operasi yang paling banyak diminta pasien di Indonesia saat ini," ungkap Dr Irena Sakura Rini MARS, SpBP, spesialis bedah plastik dari Perhimpunan Ahli Bedah Plastik Indonesia (PERAPI) dalam talkshow bertajuk The Quest for Beautiful Eyes : A Cosmetic Lens Trend Report. Memang ada perbedaan antara operasi konstruktif dan operasi kosmetik. Operasi konstrukitf bertujuan untuk kebaikan sejati. Misalnya, memperbaiki hidung orang agar mereka dapat bernafas lebih baik dan berfungsi lebih normal. Sedangkan operasi kosmetik meskipun menghasilkan manfaat namun manfaat tersebut merupakan khayalan yang sangat merugikan dalam jangka panjang. Jika dari pihak kedokteran tetap membiarkan praktek ahli dan spesialis berlawanan dengan tujuan maka kredibilitasnya perlu dipertanyakan. Sama halnya dengan seorang pengacara. Pengacara dikategorikan sebagai praktisi hukum yang bersifat proffesional karena mereka pun termasuk seorang ahli, memiliki kecakapan dalam bidangnya, mempunyai kapabilitas karena pengalaman dan pendidikan yang menunjang. Mereka juga melayani klien dengan bayaran dan diberdayakan oleh kepercayaan klien. Oleh karena itu integritas moral sebagai seorang pengacara juga

dibutuhkan untuk mendapatkan simpati dan kepercayaan klien. Namun dalam prakteknya pengacara sering mengalami kekacauan praktek. Salah satu yang pernah tersorot media adalah pengacara-pengacara di kalangan selebiriti. Sunan Kalijaga misalnya, pengacara dari Jeniifer Dunn, artis yang menjadi tersangka kasus penyalahgunaan dan pengedaran narkoba (sekarang terdakwa). Seorang pengacara memang sudah sepatutnya membina hubungan yang baik kepada klien untuk memahami apa yang dibutuhkan klien untuk menghadapi masalah hukum yang dihadapinya. Namun bagaimana jika Sunan Kalijaga yang berstatus menjadi suami orang lain menjalin hubungan asmara dengan kliennya sendiri, Jennifer Dunn ? Inilah yang menjadi perhatian banyak khalayak, seorang pengacara yang mengalami kekacauan praktek, dia yang seharusnya menjadi profesional dengan membantu meringankan hukuman yang diterima oleh kliennya, namun mengalami inkoherensi internal dengan secara tidak profesional menjalin hubungan asmara dengan klien, bahkan lebih dari itu, Pengacara beristri tersebut melakukan ciuman di depan sel klien dan tertangkap oleh media. Apakah hal tersebut dapat diterima secara moral ? Tentu saja tidak, siapapun mengecam perbuatan tidak profesional tersebut, terlebih Pengacara tersebut sudah memiliki istri dan dua orang anak. Jadi kesimpulannya adalah bahwa seorang profesional bukan saja membutuhkan keahlian yang didapatnya dari pendidikan, tingkatan kesarjanaan tertentu dan pengalaman yang didapatnya, tetapi juga seorang profesional harus mendapatkan kepercayaan dari klien mereka dengan cara mereka melakukan hal yang benar secara moral, integritas moral terhadap kaum profesional-lah yang membuat klien mempercayai mereka, bukan sebaliknya seperti contoh kasus yang dipaparkan diatas, bahwa mereka merusak kepercayaan klien dengan bertindak sesuatu yang dianggap tidak bermoral dengan melanggar kode etik profesi yang merupakan pengatur profesi itu sendiri. jika kaum professional mau mempertahankan kepercayaan klien, praktek keahlian mereka harus memperhatikan siapa kliennya dan harus mengambil prinsip dari sifat-sifat kebaikan klien serta mengabdikan hidupnya. Daftar Pustaka

Koehn, Daryl. 2000. Landasan Etika Profesi, terj. Agus M. Hardjana. Yogyakarta: Kanisius. http://forum.kompas.com/showthread.php?20940-Ada-malpraktek-dalam-kasusPrita-Mulyasari, Oleh dr. Nugroho, Diunduh pada hari Minggu 24 April 2011, pukul 14.05 http://www.detikhot.com/read/2010/02/11/175158/1297845/230/pengacara-jenniferdunn-cium-saya-karena-kepleset, Oleh Fakhmi Kurniawan, Diunduh pada hari Minggu 24 April 2011, pukul 13.47 http://www.tempointeraktif.com/hg/gosip/2009/06/27/brk,20090627-184118,id.html, Oleh Arfi Bambani Amri, Anggi Kusumadewi, Diunduh pada hari Minggu 24 April 2011, pukul 13.47

Anda mungkin juga menyukai