Anda di halaman 1dari 4

RIBUT PERSAMAAN LUPA PERBEDAAN Maulana Kurnia Putra

Bangsa Indonesia, khususnya umat Muslim, kini agaknya melupakan situasi masyarakat yang beranekaragam, baik secara fisik-genetik, sosial-budaya, dan kepentingan. Kini semua dari komponen masyarakat yang telah terbagi-bagi ke dalam wadah-wadah yang lebih segmentatif dan oportunis. Segmentasi masyarakat muncul lebih banyak berangkat dari sifat ketakutan akan keragaman (heterophobya). Hal ini terbukti meredusir paham kesatuan dan kebangsaan Indonesia. Primordialisme kini tidak berkutat pada ranah kesukuan, melainkan bergerak pada ranah-ranah kelompok kepentingan. Hipotesis Marx bahwa masyarakat selalu ada dalam konflik menjadi suatu yang realistis, namun konflik di Indonesia selalu dibingkai negatif. Heterophobya yang dulu dimaknai sebagai sikap diskriminasi perbedaan yang didasarkan pada orientasi seksual dan dinyatakan dengan suatu ketakutan irasional, tetapi juga bermakna sebuah keengganan pada keberagaman orang dan institusi.1 Agaknya karena hal ini, bangsa Indonesia telah mengalami pengerdilan, secara kesatuan, kebangsaan, empati, dan intelektualitas. Menjadikan bangsa Indonesia rebutan kebenaran, lupa perbedaan. Khususnya pada kelompok keagamaan, sikap berlebihan untuk takut dengan keberagaman terlihat sangat jelas kini, apalagi ditambah dengan kepentingan penguatan organisasi masing-masing. Benar-benar lupa tentang perbedaan dan keberagaman. Heterophbia akut melanda agen-agen penyatu masyarakat di bidang keagamaan. Konsep (petunjuk) ahli sunnah wal jamaah menjadi suatu fakta sosial yang menjadi rebutan, baik ketika konsep itu menjadi suatu motif dalam orientasi keberagamaan (religiousity) namun menjadi tidak baik ketika konsep itu menjadi dasar memunculkan prasangka dan stereotip
Dikutip dari Paper Diskusi Heterophobia yang disampaikan oleh Susanto, Dosen Fakultas Sejarah Seni Rupa UNS di Balai Soedjatmoko Surakarta pada 27 Maret 2011

terhadap kelompok lain. Menururt Achmanto Mendatu, prasangka dibangun dari perasaan negative atau tidak suka bahkan cenderung membenci. Sikap kemudian ada adalah membenci, melakukan diskriminasi, dan pelecehan verbal terhadap kelompok atau instansi lain. Bhineka Tunggal Ika yang dulu menjadi suatu landasan filosofis Indonesia kini pudar dan semakin tidak bermakna pada kelompok-kelompok yang ada di masyarakat, khususnya di kelompok-kelompok keagamaan. Ironi, bahkan ketika kita memahami agama sebagai integrator atau alat mengharmonisasikan masyarakat (menurut Durkheim) kini telah hilang pemaknaan fungsionalisasinya karena tiga hal yang menjadi dampak dari prasangka, yaitu streotipe, jarak sosial, dan sikap diskriminasi.

Ribut Persamaan Lupa Perbedaan Ketika bangsa Indonesia mengalami keakutan dalam heterophobya, muncul suatu paham pluralis yang sebenarnya baik untuk mengobati penyakit bangsa. Namun, malang sekali ketika pluralisme tidak dipahami dengan baik, maka muncul lagi ketakutan tentang hal itu. Sebagian kecil tentang wacana yang dilontarkan kaum-kaum pluralis adalah menganggap semua agama adalah sama. Tanggapan-tanggapan yang muncul pun beranekaragam, namun kebanyakan negatif. Sebuah penanda bahwa pendewasaan intelektual yang masih belum sejalan dengan gaung kepentingan yang diciptakan. Ketika wacana dengan anggapan semua agama adalah sama dimunculkan, maka bangsa Indonesia khususnya kelompok-kelompok keagamaan menjadi ribut penyamaan dan lupa perbedaan. Mempersoalkan dan menentang kaum pluralis karena wacana itu dengan kedewasaan yang belum matang. Bukan berdiri untuk memihak pada kaum pluralis, sosiologi berharapan menjadi sebuah proses mediasi konflik melalui multiparadigm-nya. Hanya dengan berpedoman dalam kerangka berpikir fungsionalis, dan berangkat dari keyakinan bahwa agama adalah suatu alat harmonisasi masyarakat, serta pemaknaan kembali Bhineka Tunggal Ika, rekonstruksi definisi sama dalam wacana semua agama adalah sama menjadi sebuah keharusan. Selama ini, kelompok-kelompok keagamaan yang heterophoby dan menentang pluralisme hanya bergerak melalui satu sudut pandang saja. Sudut pandang dalam ketakutan

penyamaan inti kebenaran agama atau di mata Tuhan yang merujuk pada keyakinan pemeluk agama. Menjadi suatu yang lumrah jika pluralisme itu ditolak mentah-mentah. Apa yang dilakukan saudara sebangsa itu menjadi tidak tepat ketika kita melihat wacana semua agama adalah sama dalam bingkai status di mata negara. Di mata negara, keberadaan agama-agama dianggap sama dalam hal keberadaan dan menjalankan ibadah masing-masing agama di Indonesia yang dibangun dari kebhinekaan dan toleransi terhadap kebhinekaan manjadi suatu keharusan. Karena tidak dipungkiri, kebenaran inti ajaran agama adalah suatu fakta sosial yang membangun masyarakat dalam kaitannya pada landasan kehidupan bernegara, moralitas yang luhur, ketaatan kepada Tuhan, dan kewajiban melaksanakan ajaran agama.2 Intinya dari mensikapi wacana pluralis semua agama adalah sama adalah bahwa sama disini memiliki tidak hanya satu arti, bukan hanya sama dalam arti di mata agama, namun pemaknaan sama di mata negara yang harus dipahami lebih lanjut. Karena ketika sama diartikan dalam sudut pandang kesamaan dalam hal inti ajaran agama, maka pengertian itu akan mengkerdilkan pemeluk agama, karena tidak ada satupun agama yang mau melepaskan hak tunggal untuk memonopoli kebenaran ajaran agama yang diyakini oleh pemeluknya, semua berangkat dari keyakinan. Gus Dur menuliskan bahwa: Islam pun bersikap demikian, karena Al Quran sudah menetapkan agama yang benar di sisi Allah adalah Islam. Namun, tidak berarti negara tidak boleh memberikan perlakuan yang sama kepada semua agama. Sebaliknya, keutuhan negara hanya akan tercapai kalau ia memberikan perlakuan sama di mata hokum. Persamaan teologis antara dua macam agama tidak mungkin ada kalau diartikan sebagai hak merumuskan kebenaran mutlak Tuhan. Namun, persamaan kedudukan di muka hokum dapat ditegakkan selama ada yang memberikan perlakuan yang sama.3 Harapannya adalah ketika kita menyadari bahwa bangsa Indonesia dibentuk dari perbedaan dan keberagaman, maka pendewasaan untuk melihat dan mensikapi sesuatu menjadi suatu keharusan. Kearifan dan eliminasi sikap heterophobya adalah mutlak dilakukan untuk mencapai persatuan dan harmonisasi masyarakat. Sehingga dengan
2

Pendapat ini ditulis oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam kolomnya dengan judul Yang Sama dan Yang Benar di Tempo tanggal 2 Juli 1983 yang dikutip dalam buku Melawan Melalui Lelucon dari Tempo halaman 60. 3 Ibid, hal 61

agama yang dipeluk masing-masing dapat memberi sumbangsih terhadap persatuan. Demikian.

Anda mungkin juga menyukai